Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 15 Trauma

Suara tangisan menggema di tengah rumahnya kala itu. Hania berjalan dikerumunan dengan tubuh kecilnya. Matanya mengedar ke sekeliling dengang raut bingung. Ada wajah-wajah yang dikenalnya tampak menangis, entah menangisi apa.

Tubuh Hania pasrah ketika seseorang menariknya, menundukkan tubuhnya hingga terduduk di depan sesuatu yang tertutupi kain cokelat bercorak. Kerumunan menjadikannya pusat perhatian.

“Wanti ….”

“Mbak Wanti ….”

Terdengar orang-orang memanggil nama Ibunya sambil melihat ke arah sesuatu yang tertutupi kain itu yang entah apa. Hania berusaha memaknai situasi. Matanya ikut tertuju di sana juga. Cukup lama.

Sampai tiba-tiba tubuhnya bergerak tanpa ia sadari. Rasa penasaran yang bertumpuk menggerogoti sekujur tubuhnya. Tubuhnya perlahan mendekati sesuatu itu. Tangannya spontan menyingkap sebagian kain itu sampai muncullah wajah Ibunya yang wajahnya penuh dengan luka-luka tak berdarah. 

“I–ibu–” 

Kerongkongan Hania rasanya tercekat saat mengatakan kata itu. Tangannya perlahan meraba wajah pucat itu hingga dadanya mendadak begitu sakit.

“Ibu … Ibu … Ibu!!!”

Hania mengerjap dengan nafas terengah. Ada wajah Kenan yang pertama kali dilihatnya tampak seperti berbicara padanya. Tapi entah apa. Hania tak mendengarnya dengan jelas.

“Nia! Nia! Hey! Nia! Jawab, Nia! Kamu dengar saya tidak? Nia?” Kenan sampai menggoyang-goyangkan tubuh Hania. Tapi ratapan perempuan itu begitu kosong. Memandang ke arahnya tapi tidak merespon apapun. “Hey! Dia kenapa? Kenapa dia seperti ini?” tanya Kenan pada laki-laki beruban yang berdiri tak jauh darinya. 

“Tenang, Ken. Hania baru sadar. Beri dia waktu untuk lebih tenang. Tidak ada masalah apapun saat saya memeriksanya tadi.” 

Brian, Dokter pribadi Kenan yang sengaja Kenan bawa –diam-diam– ke tempat bulan madunya ini bicara begitu santai. 

“Lo yakin? Kenapa dia bertingkah aneh?”

“Pak Ken….” Hania tiba-tiba bicara.

“Nia! Kamu tidak apa-apa, kan? Gak ada yang luka, kan?” 

Kenan sampai menangkup wajah Hania erat, memutar kepalanya ke kiri dan kanan untuk memastikan memang benar tak ada masalah apapun seperti perkataan Brian tadi.  

“Pak ….” Tangan Hania menarik tangan Kenan untuk melepaskan wajahnya. “Saya gak apa-apa kok. Kenapa ada Dokter Brian di sini?”

Dokter beruban tapi wajahnya tak berkeriput itu melemparkan senyuman pada Hania. “Hai, Nia. Saya dipanggil karena katanya kamu tidak sadarkan diri di tengah laut. Hampir tenggelam kata Kenan. Untungnya kamu baik-baik saja. Kamu hanya perlu istirahat dan makan yang cukup. Tak ada masalah. Katakan saja pada Kenan bahwa dia tidak perlu khawatir.”

Hania melirik Kenan dengan wajah bingung. “Saya hampir tenggelam?”

Kenan melirik Brian sekilas. Tak lama Dokter itu keluar dari ruangan itu. 

“Begitulah. Kalau kamu ingat. Kalau tidak pun, tidak masalah. Semua baik-baik saja.”

Hania memandang sekeliling, termasuk dirinya. Meraba-raba tubuhnya seperti kehilangan sesuatu.

“Pak Kenan, siapa yang ganti baju saya?” tanya Hania takut-takut.

“Lebih baik kamu istirahat seperti yang Brian katakan, Nia.”

Kenan cepat-cepat turun dari ranjang. Setengah berlari menuju pintu keluar ruangan.

“Pak! Pak Kenan yang ganti baju saya, kan? Pak! Pak Kenan!!!”

Teriakan Hania sama sekali tak menghentikan langkah laki-laki itu. Kenan secepat kilat lenyap dari pandangan Hania.

“Aaarrrggghhh!!! Gimana iniii???”

Hania hendak berlari menyusul Kenan. Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara ponselnya bersuara. Cepat-cepat ia menuju ke sumber suara, tas kecil yang berada di nakas dekat ranjang. Menyentuh layarnya beberapa kali, Hania menemukan banyak panggilan tak terjawab dari sebuah kontak tak asing. Matanya seketika membola sempurna saat sebuah pesan masuk dari nomor yang sama.

Sementara itu, Kenan nyaris saja menabrak Brian yang ternyata masih ada di depan Vila. 

“Aarrgghh!!! Kenapa lo masih di sini?!” bentak Kenan.

“Jadi, kapan gue dikasih izin buat balik?”

“Sampai Bima ada di sini.”

“Lo keterlaluan, Ken. Apa gak bisa lo berdua aja sama si Hania di sini. Apa gunanya juga gue atau si Bima ada di sini mata-matain kalian? Berasa orang ketiga gue!”

“Di saat seperti tadi! Lo lupa Hania hampir mati gara-gara tenggelam? Saat situasi mendadak, lo harus ada bantuin gue!”

“Kenapa gak sekalian aja lo sewa bodyguard sih? Kenapa harus gue? Lo gak takut kalau si Hania tiba-tiba jatuh cinta sama gue?”

“Gue gak mau bikin Hania gak nyaman. Dan berhenti berpikir kalau si Hania bakalan jatuh cinta sama lo. Lo bukan tipenya!”

Brian menganggukkan kepala mengerti sambil mengangkat tangannya. Menyerah.

“Lo beneran gak tahu kenapa si Hania bisa nyampe tenggelam gitu?” tanya Brian. Ia dan Kenan berdiri tak jauh dari Vila sambil memandangi laut lepas.

“Gak tahu! Gue gak ngerasa buat kesalahan apapun!”

“Yakin lo? Lo kali yang terlalu pede gak ngerasa bersalah. Coba lo inget-inget! Kalian ribut sebelumnya gak?”

“Kagak!”

“Sebelumnya lo sama dia ada masalah atau obrolan apa gitu? Kali aja kan bikin ganggu dia.”

“Apa yah? Gue cuma nanya soal Ibunya soalnya tiap dia tidur, dia selalu nangis dan manggil-manggil nama Ibunya. Dia baru bisa tidur tenang setelah pegang tangan gue.”

“Ibunya yang udah meninggal itu, kan?”

“Iya! Masa iya nyokap tirinya. Gak mungkin juga, kan?”

“Hmm …. Trauma kayaknya, Ken.”

“Trauma gimana maksud lo?”

“Karena kehilangan Ibunya lah. Dia mungkin masih ngerasain itu.”

“Dia gak tahu kalau cara tidurnya begitu.”

“Oh, yah? Kok bisa?”

“Mana gue tahu! Untung aja gue bawa lo ke sini. Terbukti kan kekhawatiran gue apa?”

Kenan menoleh ke arah pintu Vila yang tertutup.

“Masuk sana! Temenin dia istirahat kalau elo udah tahu cara tidurnya gak tenang. Kalau ada waktu luang, pas udah balik nanti, suruh dia ketemu gue. Biar gue cari tahu penyebab tidurnya kayak gitu apa.”

Kenan bukannya tak mau menemani Hania, tapi mendadak ia merasa malu bertemu perempuan itu. Apalagi sekarang Hania tahu kalau Kenan yang mengganti pakaian basahnya tadi saat pingsan.

Itu juga terpaksa Kenan lakukan. Ia tak mau Brian atau siapapun mengetahui jika di antara dirinya dan Hania belum terjadi apapun. Jadinya, Kenan terpaksa mengganti pakaian basah Hania tadi.

“Gue mau cari makan. Lapar!” kilah Kenan sambil melangkah menjauhi Vila.

“Heh! Gila lo yah? Pesen aja! Gak usah nyari sendiri. Tega amat ninggalin istri sendiri!”

Brian berhasil menghentikan langkah Kenan. Ia menyeret sahabatnya itu masuk ke dalam Vila.

“Jangan tambah beban gue, Ken. Gue gak tahu Hania kenapa pastinya. Tugas lo sebagai suaminya nemenin dia dulu sementara waktu. Atau lo sama dia mending balik ke Jakarta sekarang. Gimana? Lo gak jadi honeymoon panjang! Gak jadi berduaan sama si Hania! Mau lo?” ancam Brian.

Kenan langsung terdiam. Perkataan Brian cukup membuat niatnya tadi untuk menghindari Hania langsung buyar.

Dengan langkah mengendap-endap, Kenan memasuki Vila. Ia berusaha sepelan mungkin menutup pintunya. Jalannya saja sampai berjinjit.

“Pak Kenan,”

Suara Hania menyambut Kenan yang langsung membatu tepat di depan pintu Vila. Tampak Hania tengah berdiri beberapa langkah darinya. Dua tangannya tampak menggantung di dua sisi tubuhnya. Salah satunya menggenggam ponsel dengan erat. Sorot matanya lurus ke arah Kenan. Mengunci laki-laki itu seperti pancaran laser.

“Mampus! Kena omelan lagi gue!” keluh batin Kenan.

“Saya mau pulang ke Jakarta sekarang!”

“Apa?! Pulang?”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro