
Part 6 - Duda Berjaket Pink
Jangan lupa vote dan komennya ya, Gaes.
***
Astagah! Bang El!
Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Jarak wajahku dengan Bang El hanya beberapa senti. Lagi pula kenapa dia dekat-dekat begini? Jantung ini rasanya mau copot. Duh, Tuhan ... dari dekat begini, aku bisa melihat wajah Bang El dengan begitu jelas, dan ini berhasil membuatku menahan napas. Sumpah, ganteng banget!
“Kakak ngapain, sih?”
“Cuma pengen tau kamu lihat apaan? Kok, kayaknya seru.”
Aku memundurkan wajah sedikit saat mata kami bertemu. Tatapannya itu ... haruskah kujelaskan? Ah, entahlah. Aku tidak bisa menjelaskan karena tidak tahu apa yang harus dijelaskan. Kalau kata Punch di lagu Stay With Me. “Neon falling you.”
“Ini hujan kapan reda, ya?” Bang El melengos sembari menggosok-gosok lengannya. Kakinya bergerak-gerak persis orang yang tidak sabar menunggu sesuatu.
Pasti dia kedinginan sekali, terlihat dari wajahnya yang pucat dan bibirnya yang membiru. Aku takut dia benar-benar mati karena kedinginan. Kalau dia mati, nanti jadi hantu yang gentayangan, mengikutiku ke mana-mana. Ah, tidak! Cukup dalam mimpi saja aku bertemu hantu. Dalam kenyataan, jangan sampai!
Aku harus bagaimana? Melihat dia begitu, rasanya tidak tega. Akan tetapi, masalahnya nanti aku bisa kedinginan kalau jaket ini dipinjamkan. Lagi pula, jaketku mana cukup dipakai Bang El. Duh, bingung. Coba tawari dulu kali, ya? Apa salahnya mencoba? Toh, sedari tadi aku sudah merasakan kehangatan. Kata Mama, harus selalu berbagi pada orang yang membutuhkan. Asal, tidak berbagi suami saja, bisa membuat jantungan.
“Kak El, mau pinjam jaket Nana?”
Bang El menoleh ke arahku. Dia tersenyum simpul. Apakah itu senyum yang dipaksakan? Apakah sedingin itu, Bang? Ya ampun, Nana. Kamu solimi, dari tadi biarin orang kedinginan tanpa ada niat membantu. Jahat banget kamu, Na.
“Kak El dingin banget, ya?”
Aku membuka jaket dengan segera, lalu kupakaikan ke Bang El. Adegan apa ini, Cin? Biasanya, tokoh laki-laki yang melakukan ini, tetapi ini apa? Ini kebalik, Malih!
“Aku tau, ini gak bakalan cukup, tapi lumayan buat ngurangin dingin, ‘kan?”
Bang El masih diam, hanya senyum yang terbit dari bibirnya. Eh, Bang! Ngomong, dong. Kalau cuma begitu, aku bingung harus apa lagi. Bilang makasih atau bilang aku sayang kamu gitu, kan, enak didengar. Selain sehat untuk kuping, sehat juga untuk hati.
Lama aku melihat Bang El. Namun, dia masih diam. Sumpah, aku khawatir banget. Aku takut dia hipotermia meski ini bukan di kutub utara.
“Kak El gak kenapa-kenapa, ‘kan?” Aku pun menempelkan punggung tangan ke kening, lalu turun ke pipi tirusnya. Suhu tubuhnya dingin banget. Bahaya ini. “Kak El butuh sesuatu? Bilang, ya.”
“Aku cuma butuh kamu.”
Eak! Akhirnya, ini orang bicara juga, sekalinya bicara malah bucin. Dasar playboy cap kaki tiga. Jangan lupa, yang ada badaknya. Eh, malah seperti iklan larutan penyegar.
“Boleh pinjam, ‘kan?”
Bang El menarik tanganku, lalu menautkan jemari kami. Aku bisa apa? Hanya bisa mengerjap-ngerjap sembari menelan ludah. Setelah itu, suasana kembali hening di antara kami. Jadi, selain ahli dalam membuat hati nyut-nyutan, dia juga ahli dalam pinjam-meminjam. Apa dia juga membuka usaha kredit hati? Tukar tambah hati yang patah? Hais, usaha macam apa itu?
Aku memandangi derai hujan, tentu saja dengan tangan yang masih dalam genggaman Bang El. Situasi ini membuatku mengingat kejadian delapan bulan lalu, saat aku bersama dia yang katanya tak bisa hidup tanpaku. Uhuk! Maaf, Nana keselek biji pengkhianatan.
Seperti yang kukatakan sebelumnya, hujan itu adalah paduan dari air dan kenangan. Ya, setiap kali hujan turun, aku akan mengingat kejadian pahit beberapa waktu lalu. Laki-laki yang begitu kucintai pergi begitu saja, tanpa kata maaf, tanpa pamit, eh, pamit sebentar dengan alasan akan mendekatkan diri dengan yang Mahakuasa. Nyatanya, selang beberapa bulan dia pergi, kabar pernikahannya dengan perempuan lain sampai ke telingaku.
Hey! Katanya tak bisa hidup tanpa aku. Dia bilang, aku adalah sumber kebahagiaannya. Katanya ....
Ah, banyak katanya, tetapi semua itu omong kosong. Kam to the pret! Kupret kuadrat!
Tan, mantan ... kudoakan kau bahagia di sisi-Nya. Semoga amal ibadah diterima, lapang kuburnya. Aamiin.
“Dik Nana nangis?”
Suara Bang El menyapa telinga, sedangkan jemarinya sudah berada di pipiku. Aku menangis? Aku tidak sadar akan hal itu, yang kutahu hanya ada rasa nyeri di hati setiap kali bayangan-bayangan si Mantan bermain di benak.
“Dik Nana nangis gara-gara jaketnya kupinjam?”
Bukan, Bang. Bukan begitu ... haruskah aku cerita soal perihnya hatiku pada Bang El? Rasanya sakit sekali setiap janji-janjinya terputar kembali di otak, Bang.
Aku tidak bisa bicara, tetapi dada begitu sesak. Alhasil, tangisku pecah. Kututup wajah dengan tangan. Tak peduli pada tanggapan Bang El. Saat ini yang kuingin hanyalah menangis sejadi-jadinya. Soundtrack Kumenangis, tolong disetel untuk mengiringi kepedihan ini biar tambah menghayati.
Beberapa detik berikutnya, kurasakan tangan Bang El menyentuh punggung. Lalu, aku ditarik dalam dekapannya. Aku menangis, menumpahkan segala sesak di dada Bang El. Apakah ini benar atau salah. Aku tak peduli, yang penting tidak rugi, malah gurih. Eh.
Tangan Bang El terus menepuk-nepuk punggungku, rasanya menenangkan, sangat nyaman. “Dik Nana kenapa tiba-tiba menangis?” tanyanya setelah tangisku mereda.
Aku pun menjauhkan tubuh dari pelukan Bang El. Aneh, sungguh aneh. Saat tangisku selesai, hujan turut mereda. Kususut bekas air mata di pipi, lalu menantap wajah Bang El dengan intens. Diakah orangnya? Orang yang nantinya bisa mengerti aku dalam segala hal. Orang yang kupinta pada Tuhan di setiap doa.
“Dik Nana kebiasaan, ditanya malah ngelamun.”
Ini bukan bentuk lamunan, Bang. Akan tetapi, pemikiran untuk masa depan yang gemilang penuh kebahagiaan dan bergelimpangan harta, eh, bergelimangan maksudnya. Maaf, Nana salah omong lagi. Maklum, kalau dekat laki-laki ganteng, Nana suka grogi.
“Makasih, ya, Kak. Sudah mau nemenin Nana nangis.” Fix, lain di mulut, lain di hati. Hati membatin sebait puisi, mulut hanya menyampaikan sebaris ucapan terima kasih.
Bang El tampak mengangkat bahu. “Dengan senang hati.” Dia tersenyum, lalu mengacak rambutku. “Kalau butuh tempat menangis, panggil saja aku.”
Ya, jika ada kesempatan bertemu lagi, aku akan melakukannya. Itu pasti. Cukup klise, aku terlihat seperti perempuan gampangan. Namun, entah kenapa aku tidak peduli akan hal itu. Kata jin di iklan rokok, “Yang penting happy.”
“Hujannya sudah reda, Dik. Ayo, kita cari angkutan.”
Tanpa banyak bicara, aku pun mengikuti langkah Bang El. Akan tetapi, langkah terhenti saat menyadari sesuatu. Eh, itu Bang El tidak salah, ‘kan? Jaketku belum dibuka. Mana warnanya pink. Apa dia tidak malu? Duh, Tuhan ... kok, ada manusia model begitu?
“Kak El!”
Bang El membalik badan. “Apa? Kangen?”
Kampret! Bukan itu, woy!
“Bukan, Kak. Cuma mau bilang, jaket Nana masih dipake Kak El.”
Sontak Bang El melihat badannya sendiri. Dia pun menyengir, menampakkan sederet gigi putihnya. Detik kemudian, dia terbahak, lalu melihat ke arah sekitar. “Apa tanggapan orang nanti? Masak ada laki-laki tampan pakai jaket pink?”
Tanggapan orang? Bisa jadi Bang El dikira kaum melambai berbahasa khas eyke-akikah.
“Udah, ayo, buruan. Takut hujan lagi.” Aku berjalan beberapa langkah untuk menyamai tempat Bang El berdiri, lalu kugamit lengan kokohnya. Kami pun berjalan beriringan, mencari angkutan kota yang bisa membawa ke MOG alias Mall Olympic Garden, pusat perbelanjaan di Malang. Tak butuh waktu lama, kami sampai ke tempat tujuan dengan selamat, tanpa kurang sesuatu apa pun. Eh, ada. Aku sudah krisis rasa malu sekarang. Maksudnya, rasa maluku sudah hilang. Bangga? Apa yang bisa dibanggakan, Jumilah? Kuharap, tak ada Nana dalam wujud lain, cukup satu saja di dunia ini.
Selama perjalanan menuju MOG, tak ada percakapan sama sekali. Bahkan, saat turun dari angkutan pun, kami masih saling membisu. Aku hanya bisa mengekori Bang El tanpa banyak protes. Lalu, saat kami tiba di pintu masuk lantai satu, Bang El menghentikan langkahnya secara mendadak, membuatku terantuk punggungnya.
“Kenapa berhenti?”
Bang El tak menjawab, membuatku begitu penasaran akan apa yang terjadi. Apa mungkin ada macet? Yang benar saja, ini bukan jalan raya. Aku pun memilih berdiri di depan Bang El, demi melihat wajahnya. Namun, Bang El memasang wajah tanpa ekspresi. Senyum yang sedari tadi terukir di bibirnya, sudah pudar sekarang.
Tatapan Bang El lurus ke depan, membuatku mau tak mau melihat ke arah pandangannya tertuju.
“Mas Eldrich. Kok, ada di sini?”
Seorang perempuan cantik memakai gaun biru selutut menyapa Bang El. Namun, laki-laki itu hanya terdiam. Bibirnya masih terkatup rapat.
Ada apa ini?
***
Makasih yang udah baca.
Salam, Kekasih Kyungsoo
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro