Chapter 36 - Di Bawah Atap Keluarga, Langit Seakan Menghujankan Kelopak Bunga
Seringkali di setiap teman barunya itu, Zi Han, akan mengungkit topik pembicaraan mengenai kembalilah pulang ke Kunyang dalam rangka selesaikan masalah yang ada ... Ren Cheng akan banyak atau memang memilih untuk diam saja, bahkan terkadang akan mengalihkan topik hanya untuk berbicara omong kosong.
Namun, sejak malam di mana kota dipenuhi lentera nyala terang, ketika mereka menikmati mie ekstra pedas bersama, Ren Cheng yang tidaklah pernah begitu memikirkan perkataan Zi Han, pada akhirnya sukses menghantui Ren Cheng. Semacam memaksa atau menyudutkan pria bermarga Wang ini untuk sesegera mungkin membuat keputusan.
Katakan saja di mana awal musim semi akan segera hadir. Ren Cheng beritahukan jikalau ia akan memenuhi keinginan Zi Han, untuk tidak lagi kabur dan hadapi masalah layaknya seorang pria sejati. Meskipun dalam prosesnya Ren Cheng akan memiliki banyak kekhawatiran, perasaan gugup serta malu dan sebagainya yang mampu jadikan ia tak bisa mengangkat kepala dengan benar. Lagian sebesar apa pun kesalahan yang ia perbuat, bagaimana mungkin kedua orangtua-nya tidak akan memaafkan, bukan?
Ren Cheng juga tidaklah pernah membayangkan apabila reaksi yang didapatkan ketika pulang ke rumah adalah begini. Dapati bagaimana kedua orangtua-nya bertindak semacam tidaklah pernah terjadi apa-apa, seakan kepergian Ren Cheng selama beberapa tahun ini hanyalah suatu kepergian untuk berlibur singkat saja. Yang terlihat di sepasang netra ayah dan ibu, bagaimana kepulangan Ren Cheng dengan selamat dan sehat ini sudah menjadi suatu hal yang sangatlah baik.
Namun, bagaimana dengan Jia Hou dan Yun Bei? Mampukah bersikap demikian mengabaikan? Dan apabila tidak mampu mengabaikan, tidak mungkin pula mereka akan selalu dan saling menghindar, bukan? Terlebih Ren Cheng sendiri sekembalinya ia pulang, tekad dan hal apa yang harus dibicarakan pada Jia Hou, terutama pada Yun Bei ... pasti telah dipikirkan dengan baik-baik sebelumnya. Sehingga Ren Cheng memiliki keberanian untuk beritahukan kepada ayah dan ibunya, adakan makan siang kecil-kecilan hanya di antara keluarga Wang saja.
Begitu Jia Hou beserta keluarga kecilnya benarlah hadir, itu Ren Cheng sendiri yang menyambut. Saksikan untuk pertama kalinya bagaimana Yun Bei menggendong seorang anak kecil yang begitulah serupa dengan Jia Hou. Akan tetapi, begitu si anak tersenyum, dapat dilihat dengan jelas bagaimana senyuman itu serupa sekali dengan Yun Bei. Membuat Ren Cheng tidaklah bisa jika tidak ikut tersenyum, menyapa dan memanggil anak itu dengan sebutan 'Hou Han'. Yang mana detik berikutnya, Ren Cheng tanpa ragu meminta ketersediaan pada Yun Bei untuk berbicara empat mata saja.
Serta merta tanpa berucap apalagi bertanya, Jia Hou menarik diri bersama putranya, temui kakek dan nenek yang diberitahukan Ren Cheng kini sedang duduk menikmati teh di taman belakang. Yang mana kepergian Jia Hou ini, membuat Ren Cheng haruslah memikirkan baik-baik hal apa yang harus diucapkan dahulu. Mungkin haruskah meminta Yun Bei untuk duduk dulu di ruang tamu ini? Ataukah menanyakan kabar? Ataukah mungkin haruskah mengucapkan selamat telah menjadi seorang ibu? Mengingat Ren Cheng belumlah pernah mengatakan hal tersebut dengan benar, apalagi secara tulus.
Namun, entah dikarenakan apa ... dari beberapa pertanyaan yang terpikirkan tersebut, Ren Cheng malah bertanya, "Apa sekarang kau bahagia?"
Jelas-jelas saja itu adalah pertanyaan paling bodoh yang pernah diucapkannya, bukan? Menanyakan sesuatu yang jelas saja apa jawabannya. Terlebih Ren Cheng tak lagi bisa menarik kembali ucapan, dan yang ditanyakan pun tidak memberikan jawaban selain menempatkan diri pada sofa.
Keheningan yang ada pada akhirnya mendatangkan kecanggungan, dan kecanggungan itu pula yang menjadikan otak Ren Cheng seakan tak mampu untuk berpikir, semacam telah lupa jikalau ia-lah yang meminta untuk berbicara dengan Yun Bei. Mengharuskan Ren Cheng yang terus menerus memerhatikan sekeranjang buah-buahan segar pada meja, berakhir mengambil satu buah yaitu apel untuk kemudian dikupasnya dengan hati-hati.
"Jika aku terus diam, apakah kau juga akan terus diam?" tanya Ren Cheng, tanpa mengarahkan pandangannya kepada Yun Bei, seakan pertanyaan barusan ditanyakan kepada apel di tangannya itu. "Marahlah jika kau ingin marah, jangan hanya gunakan pandanganmu untuk mewakili mulutmu yang seakan ingin mengutukku." Apel yang sudah dikupas pun kemudian diberikan sepotong bagiannya langsung kepada Yun Bei, tapi tidaklah terdapat tanda-tanda Yun Bei akan menerima, mengharuskan Ren Cheng menempatkan potongan pertama itu ke piring kecil.
"Benar, aku ingin marah, tapi setelah melihatmu sekarang ... aku ingat apa yang dikatakan kakakmu adalah benar. Kepulanganmu sendiri ke kota ini, ke rumah ini, sudah seharusnya menjadi penghilang masalah, apalagi kemarahan."
Ren Cheng tak bisa berucap apa-apa untuk membalas, apel yang dikupasnya pun telah selesai dipotong-potongnya untuk siap dinikmati. Namun, ia sendiri tampak tidaklah ingin menikmati dengan hanya terus memandangi sepiring potongan apel sebagai pengalihan agar tak bertemu pandang dengan Yun Bei yang kembali berucap, "Aku marah padamu bukan dikarenakan perasaanmu kepadaku, karena memang tidak ada yang bisa menghentikan kepada siapa perasaan akan diberikan. Hanya saja, membawa-bawa serta memperalat orang lain hanya untuk bermain sandiwara jelas adalah salah, dan aku tahu kau tahu hal itu dengan sangat baik, tapi kau tetap melakukannya dan bahkan berakhir menyakiti orang tersebut."
"Ren Cheng," panggil Yun Bei, dan Ren Cheng berakhir memalingkan pandangan kepada Yun Bei yang kembali berucap, "Tidak ada yang menyalahkan perasaanmu padaku, hal itu bukanlah masalah besar. Jadi ... jika kau menganggap sekarang ini aku sedang marah padamu, itu bukan marah dikarenakan perasaanmu padaku, melainkan aku marah karena kenapa harus selama ini kau pergi? Kenapa baru sekarang kau berani pulang? Di saat keluargamu sangatlah khawatir, di saat tidak ada satu pun dalam keluarga yang menyalahkanmu."
"Tetap saja aku harus meminta maaf, setidaknya padamu dengan cara yang benar."
"Yang paling harus mendapatkan maaf itu jelas adalah Ding Xiang."
Lama tak mendengar nama 'Ding Xiang' disebutkan, berbagai ingatan di saat Ren Cheng pertama kali bertemu ataupun mengenal hingga menyakiti wanita itu teringat kembali. Sangatlah segar, dan juga entahlah kenapa bisa begitulah membuat hati bergejolak tak karuan mengganggu hingga Ren Cheng sendiri memasukkan beberapa potongan apel ke dalam mulutnya sebagai bentuk pengalihan dari pikiran yang tidak ingin ia ingat lagi.
"Kau ...." Semacam dihantam oleh keraguan. Akan tetapi, tidak didetik berikutnya di mana Yun Bei justru tampak yakin. Karena merasa hal itu perlu, terlebih penting untuk disampaikan. Meskipun pada akhirnya, ucapan yang hendak diselesaikannya malah berakhir disela oleh Ren Cheng yang seakan tahu hendak mengarah ke mana ucapan Yun Bei ini. Bahkan Ren Cheng berikan gelengan, baik untuk menegaskan ataupun untuk menghentikan lebih lanjut Yun Bei yang tampak ingin mengucapkan sesuatu.
"Baik, aku tidak akan mengatakan apa-apa. Perasaan itu milikmu sendiri, jadi kau lebih tahu harus bagaimana, dan seperti apa menghadapinya." Bangun dari duduk, Yun Bei tak lupa mengambil satu potongan apel yang disediakan Ren Cheng tadi. "Kita adalah keluarga, dan dalam keluarga kita ini ... tidak ada yang namanya marah berkepanjangan, terlebih tidak ada maaf yang tidak bisa diterima." Dimakannya potongan apel sembari kemudian tersenyum, ajak Ren Cheng ke taman belakang untuk menemui keluarga lain yang barangkali menunggu kehadiran mereka.
Saat itulah, sebelum Ren Cheng menerima ajakan tersebut ... dengan sangat jelas dan dengan sangat tulus, kata 'Maaf' keluar dari mulut Ren Cheng. Yun Bei selaku yang mendapatkan maaf tersebut hanya bisa mengangguk tatkala dari sepasang netra penuh haru itu didatangi oleh genangan cairan bening yang kemudian meluruh basahi wajah penuh senyuman, sebelum Yun Bei akhirnya kembali berucap, "Jadi ... apa mulai sekarang aku bisa mendengarmu memanggilku kakak ipar?"
Diamkan Ren Cheng yang tersenyum, dianggap dan dipahami betul oleh Yun Bei sendiri jikalau senyuman yang diperolehnya ini adalah balasan atas mengiyakan pertanyaan barusan.
Meskipun begitu, Ren Cheng masihlah belum bisa bernapas lega atas permasalahan yang dibuatnya ini. Kenyataan bagaimana keluarga lainnya ... ayah, ibu dan juga sang kakak, Jia Hou, haruskah Ren Cheng bertindak seperti tidaklah pernah terjadi apa-apa? Tidak lagi mengungkit hal apa pun? Sungguh benarkah Ren Cheng akhirnya bisa mengembuskan napas lega dalam keluarga ini? Yang mana dengan segala pemikiran dan pertimbangan yang harus segera diputuskan, Yun Bei mengajak Ren Cheng ke bagian taman belakang tempat di mana Jia Hou dan juga ayah dan ibu berkumpul. Menyaksikan mereka bercengkerama dengan baik.
"Kau bilang ..." ucap tiba-tiba Ren Cheng yang menghentikan langkah, juga hentikan Yun Bei yang menanti ucapan selanjutnya dari Ren Cheng yang akhirnya kembali berucap, "mereka telah memaafkan, bukan?"
"Kau mungkin tidak tahu, bagaimana ayah dan ibu tidak lagi tersenyum apalagi tertawa dengan begitulah lepas dari semenjak kau pergi. Karena mereka telah memutuskan untuk bersikap layaknya tidak pernah terjadi apa-apa, maka hormati keputusan mereka."
"Lalu bagaimana aku harus bersikap di hadapan suami-mu itu?"
"Sebelum menjadi suami-ku, dia adalah kakak kandungmu. Darah yang mengalir dalam diri kalian adalah sama, lantas tidakkah kau paham orang seperti apa kakak-mu itu?"
Benar, biar kata Ren Cheng tidaklah banyak menghabiskan waktu dengan Jia Hou, ditambah sebagian besar dari hubungan mereka lebih banyak diisi oleh ketidaksukaan dan kebencian satu sama lain dikarenakan Feng Mei Lin dahulu. Namun, dari semenjak kasus dengan Feng Mei Lin tersebut terselesaikan, Jia Hou bukan lagi Jia Hou yang suka menyimpan dendam. Melainkan seorang Jia Hou yang bersikap layaknya seorang kakak, mampu memahami, menerima, dan berpikir jauh ke depan agar keluarga hangat yang dengan susahnya ini didapatkan tidak akan lagi sekacau seperti waktu Feng Mei Lin hidup.
Ren Cheng kembali membawa langkah mendekatnya, tanpa ragu kemudian memanggil ayah dan ibunya dengan senyuman merekah tulus. Akan tetapi, di balik dari senyuman tersebut didapatkan suatu permintaan yang bisa dipahami oleh ayah ataupun ibu secara bersamaan, apabila putra mereka yang baru pulang ini sedang meminta untuk diberikan waktu pribadi dengan Jia Hou seorang.
Oleh karena itu, dengan alasan ingin memanaskan kembali makanan yang telah dingin di meja makan keluarga sana, ibu dan ayah sekaligus pula Yun Bei beserta Hou Han masuk ke dalam rumah.
Mengambil duduk tepat di hadapan Jia Hou, bahkan menikmati sepotong kue kering yang ada ... Ren Cheng bersihkan mulut dengan seteguk teh sebelum akhirnya lemparkan pandangan kepada Jia Hou. "Apa ada sesuatu di wajahku?"
Manakala Jia Hou tak menjawab, tapi pandangan masih terus saja diarahkan pada Ren Cheng. Pun Ren Cheng tidaklah tahu harus bereaksi seperti apa, selain berucap dengan kejujuran apabila ia sedikit gugup jika terus dipandangi sebegitu lekatnya. Namun, Ren Cheng tak lupa pula berucap menjelaskan agar setidaknya sang kakak jangan salah menanggapi atas kegugupan yang dimaksudkan.
Tentu saja hal itu mengundang sedikit tawa dari Jia Hou, tahu apabila Ren Cheng ini pastilah sedang bercanda di saat momen kecanggungan mereka. Iya betul, Jia Hou juga merasa gugup karena tidak tahu pula harus mengatakan apa kepada adiknya ini. Meskipun begitu, Jia Hou tampaknya paham apabila permasalahan Ren Cheng dan Yun Bei telah terselesaikan dengan baik, dan hal itu tentu merupakan hal baik hingga datangkan senyuman di wajah Jia Hou yang menuangkan teh pada cangkir kosong Ren Cheng.
"Mungkin akan lebih baik jika aku mendengar kata-katamu yang penuh amarah atau bahkan kata-kata kasar seperti umpatan, seperti bagaimana dulu hubungan kita."
"Apa kau ingat Feng Mei Lin?" tanya tiba-tiba Jia Hou, dan dengan tanpa banyak berpikir ... Ren Cheng mengangguk. Karena bagaimana bisa melupakan wanita itu? Kejahatan yang diberikan, terutama bagi Jia Hou yang diperlakukan dengan begitulah salah. "Semengerikan dan sejahat apa pun Feng Mei Lin, wanita itu tetaplah ibu yang melahirkanku. Hingga akhir usianya, tidaklah aku pernah mendapatkan kata 'maaf' darinya."
"Kenapa tiba-tiba membawa wanita itu?" Wanita yang merupakan luka terbesar dalam hidup seorang Jia Hou, dan siapa yang tahu apabila luka tersebut mungkin masihlah ada hingga detik ini. "Aku sungguh tidak ingin mendengar nama wanita itu, terlebih jika disebutkan melalui mulutmu."
"Tidak ada maksud lain, hanya ingin memberitahumu bagaimana tanpa mendapatkan satu maaf dari Feng Mei Lin saja, aku masih bisa memaafkannya. Lantas menurutmu, bagaimana mungkin aku tidak bisa memaafkanmu? Di saat dari awal aku tahu kau memang menyukai Yun Bei, dan perasaanmu itu tulus sehingga sulit bagimu untuk melupakan."
"Sungguhkah kata-katamu datang dari hati dan bukannya kata-kata penghibur belaka?" Ren Cheng jatuhkan pandangan pada isian cangkir teh, seakan tidak berani untuk mendengar segera jawaban atas pertanyaannya barusan. Tentu pula Ren Cheng sangat sadar apabila kesalahannya jika dibandingkan dengan Feng Mei Lin bukanlah apa-apa. Wanita tersebut tentu tiada bandingan, mengingat perlakuan yang diberikan kepada Jia Hou bukan hanya berupa kesalahan, melainkan kegilaan.
Beruntung saja Jia Hou tidak mengikuti sifat ibunya itu, dan Ren Cheng yang terdiam tanpa lagi berani mengangkat pandangan pada akhirnya dapati bagaimana Jia Hou mengajak bersulang. Bahkan tanpa salah mendengar, Ren Cheng sangat jelas dan yakin apabila Jia Hou baru saja memanggilnya sebagai 'Adik', dan panggilan itulah yang serta merta angkatkan kepala Ren Cheng tanpa lagi sadar apabila di balik dari sepasang netra penuh harunya ini telah dihadir pula oleh suatu senyuman yang merekah layaknya musim semi yang akan segera tiba.
Harumkan seluruh kota dengan aroma yang terbawa angin, damaikan dan lembutkan serta berikan kehangatan dalam suasana yang telah mendingin selama bertahun-tahun di antara mereka dua bersaudara ini. Yang tanpa mereka sendiri sadari, bagaimana Yun Bei telah menyaksikan dari beberapa jarak tertentu ... ikut tersenyum haru, bahkan embuskan sedikit napas penuh kelegaan sembari diarahkan pandangan pada langit biru berawan tipis di atas sana yang seakan siap berikan hujanan kelopak bunga.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro