Chapter 27 - Ketidaksadaran Yang Membawa
Cukup dengan kemeja putih dan celana hitam panjang, pakaian sederhana ini siap membawanya keluar tinggalkan rumah begitu menghabiskan sarapan. Rambut berponi yang tidaklah diberi sedikit pun sentuhan, diterpa oleh embusan angin dingin yang mengantarkan kehangatan dari balik cahaya hangat kekuningan yang belum lama terbit ini.
Dengan langkah dari sepasang kaki yang mengenakan sepatu berwarna senada dengan celananya, ia pun masuk ke dalam mobil untuk kemudian antarkan mobil tersebut bergabung pada jalanan, tonjolkan diri akan seberapa berbedanya ia di antara kendaraan lainnya yang seakan tak berani menggunakan warna seterang warna mobilnya. Kuning.
Pernah dahulu sekali ia memang sangatlah menyukai mobil ini. Namun, seiring dari semenjak ia diangkat menjadi direktur hotel, kesukaan tersebut pun memudar yang sebabkan mobil berwarna cerah ini pun tak lagi sering dipergunakan. Lantas, kenapa sekarang ia malah mempergunakannya? Menjadi pertanyaan ayah dan ibunya, tapi sewaktu sarapan tadi tidaklah ada yang bermaksud mempertanyakan langsung.
Yang mana ketika mobil kuning yang berwarna sangatlah berkebalikan dengan pakaian yang dikenakannya ini telah sampai tujuan, terparkir tepat pada pinggiran trotoar dengan sedikit tumpukan es menghiasi. Ia tidaklah segera turun, melainkan kebingungan kenapa harus ia membawakan mobilnya ini kemari alih-alih ke tempat kerjanya sendiri. Yang begitu ia sadar kalau tidak seharusnya ia di sini, dinyalakan kembali mobil untuk siap berangkat. Hanya saja, ketukan demi ketukan dari balik kaca mobil membuat ia mengurungkan niatan untuk setelahnya membukakan kaca jendela, dapati Xu Wei-lah seseorang yang mengetuk itu.
"Apa yang sedang kau lakukan sepagi ini di tempat kerjaku?" tanya Xu Wei, satu tangan membawa semacam kantong makanan berisi susu kacang kedelai dengan beberapa cakwe. "Kau ingin bertemu dengan Ding Xiang?" Kembali Xu Wei menanyakan, tapi dengan segera pula pertanyaannya itu dijawab dengan gelengan tegas yang menjadikan Xu Wei mengalihkan topik pembicaraan. "Mobil lamamu masihlah terlihat baru, kau pasti merawatnya dengan sangat baik." Jujur saja yang ingin Xu Wei ketahui sebenarnya adalah 'kenapa mendadak menggunakan mobil ini?'
Perhatikan saja teman prianya ini, terlihat tidak begitu ceria dan bahkan mungkin semalaman tidaklah tidur. Sungguh berkebalikan dengan warna cerah mobilnya, kala pakaian yang dikenakan jauh lebih cocok dengan suasana hati Ren Cheng.
Tak lagi ingin dan tidak pula ada hal yang ingin diucapkan lagi, Xu Wei pun pamit untuk kembali ke toko dan siap bekerja kembali dengan sangat sibuk harusnya. Namun, tepat sebelum Ren Cheng sepenuhnya menutup kaca mobil, wanita ini malah menghentikan untuk kemudian sampaikan suatu kabar. Terkait Ding Xiang yang mengambil cuti selama tiga hari ke depan, kabar tersebut pun diketahui Xu Wei bukanlah dari Ding Xiang langsung, melainkan dari sepucuk surat yang ditinggalkan.
Jadi, Xu Wei tidaklah tahu apakah suasana hati Ding Xiang sudah lebih baik atau belum. Sudahkah Ding Xiang memaafkan atau belum, dan hal lainnya yang sangat ingin diketahui Xu Wei ... yang pastinya ingin pula diketahui oleh Ren Cheng. Tepatnya Ren Cheng yang kini memerhatikan ke satu arah, saksikan bagaimana beberapa anak laki-laki tampak sibuk menjual dan menyebarkan surat kabar cetak dengan bagian dari halaman depan dipenuhi foto-foto penangkapan Su Yao kemarin.
Baik itu Ren Cheng, ataupun Xu Wei sekalipun. Bersama pemikiran mereka mengarah ke satu hal ... apa mungkin ke sanalah Ding Xiang berada?
*****
Dipersilahkan masuk ke dalam suatu ruangan yang tidaklah memiliki apa pun selain ventilasi dan satu meja serta dua kursi yang saling berhadapan. Bahkan pencahayaan yang ada cukuplah remang, tergantung tepat di tengah dari meja yang seakan siap padam kapan saja. Ia pun dimintai oleh seorang pria berseragam polisi untuk duduk, tapi duduk yang dilakukan menunjukkan beberapa ketidaktenangan begitu ditinggalkan seorang diri. Semacam pikirannya sedang bergelut, tidak tahu apakah kedatangannya kemari adalah hal yang tepat.
Bangun sudah ia dari duduk, tapi beberapa suara langkahan dari luar sana terdengar kian mendekat yang mengharuskan ia untuk segera kembali ke posisi semula. Dapati pintu terbuka, izinkan seseorang untuk masuk sebelum pintu kembali tertutup. Pun seseorang yang baru dizinkan masuk tersebut secara gontai membawakan langkah, jadikan ia yang menanti tak berani menoleh dan hanya bisa menurunkan pandangan. Rasakan seseorang duduk tepat di hadapannya dengan kedua tangan terborgol.
Baru semalam dari semenjak dipenjarakan, tapi bagaimana bisa seseorang akan dan telah terlihat begitulah kacau? Rambut tergerai seakan tak tersisir selama berminggu-minggu, rona pada wajah menghilang, lingkar mata membengkak bahkan menghitam, bibir yang ada pun pecah-pecah di saat tubuh seakan telah kehilangan beberapa kilogram. Jadikan ia yang bertamu semakin tidak tahu lagi harus mengatakan apa, selain mengeluarkan isian dari kantong yang dibawakan. Dapati ada tiga kotak makanan yang masing-masing berisi nasi, tumis sayuran dan juga daging.
"Aku bukanlah pengemis yang meminta makan darimu," ucap ketus Su Yao, tak sudi melihat makanan yang ada bahkan ketika aroma begitulah menggugah selera. "Kenapa seorang yang rajin bekerja malah kemari dan bukannya ke toko?" Semacam tak ingin berlama-lama berada seruangan, dan lebih baik baginya untuk kembali ke dalam sel penjara.
Yang mana ia yang ditanyakan menjawab, "Kenapa kau melakukan hal-hal itu? Kenapa harus sejauh itu sampai merugikan dirimu sendiri bahkan masa depanmu?" Nada ditinggikan, merasa sangat disayangkan semua harus berakhir seperti ini.
"Apakah Xu Wei tidak memberitahumu? Atau kau sebenarnya ingin melihatku yang kacau ini?" Kesal, tapi Su Yao juga tertawa dengan sedikit mengundang cairan bening di sepasang mata. Sadar jikalau mungkin Ding Xiang memanglah tidak tahu apa-apa, atau mungkin belum mendengar dari Xu Wei ataupun Ren Cheng. "Kau mendatangiku langsung alih-alih menanyakannya kepada dua atasanmu itu. Kenapa ...? Apa akhirnya kau sadar bahwa dirimu hanyalah alat yang dipergunakan?"
Ding Xiang memilih untuk bungkam.
"Jika bukan karena kehadiran Xiao Lan, sudah pasti posisi Kepala Pemasaran jatuh padaku sedari dulu. Hanya dikarenakan latar belakang keluargaku tidaklah tinggi, kenapa aku harus mengalah dan bahkan tertindas!" Ungkapkan segala rasa frustrasi yang selama ini dipendam dalam diri, seolah inilah ia yang sesungguhnya setelah lepaskan topeng penuh kesabaran yang suka tersenyum. "Yang kuinginkan hanyalah menghukum Xiao Lan atas sikapnya yang keterlaluan, keluarkan dari Weiyin dan turunkan jabatan yang telah dicurinya dariku."
"Tapi tidak perlu sampai merugikan Weiyin, bukan? Dan sekarang Weiyin tidaklah ingin membantumu sedikit pun. Kau pun tahu Manajer Xu tidaklah pernah menyukai Xiao Lan, sewaktu-waktu Xiao Lan pasti akan disingkirkan."
"Manajer Xu? Xu Wei?" Su Yao kembali tertawa, tapi tawa yang ada bukan dikarenakan merasa kesal, melainkan lebih kepada merasa sangat konyol atas apa yang didengarkan barusan. "Xu Wei begitulah takut pada Pimpinan Xu, apakah menurutmu bisa memecat Xiao Lan? Bukankah menurutmu sudah sepatutnya Xu Wei kemari dan bersujud padaku sembari mengatakan terima kasih?"
Salah tetap salah, tidak peduli apa pun yang terjadi dan bahkan jika apa yang dikatakan Su Yao memanglah masuk akal. Namun, tetap saja hal itu tidak bisa menjadi pembenaran. Karena apa yang dilakukan Su Yao bukan hanya menghancurkan satu orang, melainkan banyak orang dengan kerugian yang sangat besar. Berapa banyak pekerja Weiyin yang dipecat? Berapa banyak pekerja Weiyin yang tertekan? Dan berapa banyak pekerja Weiyin harus menanggung kesulitan yang datang tiba-tiba tersebut?
"Sulit bagiku untuk meluruskan kembali pikiranmu, Su Yao," lirih Ding Xiang akhirnya, sebulir air mata dari wajah tertunduk serta kecewanya meluruh hingga ke dagu. Menetes tepat di atas meja kayu. "Kau adalah temanku, tapi melihatmu sekarang ... aku semacam tidaklah mengenal dirimu lagi."
Su Yao terdiam, tawa kecil dikeluarkan untuk mencegah dirinya ikut menangis. "Maka jangan lagi kemari, karena aku bukan lagi temanmu itu." Bangun dari duduk, tangan yang terborgol pun menjadi fokusnya. "Jika harus kembali ke waktu lalu ... aku masih akan melakukan hal yang sama." Dengan cepat ia tinggalkan ruangan, langkah pasti dan tanpa menoleh ke belakang sedikit pun. Dipahami sudah oleh Ding Xiang jikalau inilah akhir dari kisah pertemanan singkat mereka.
Lantas, kenapa begitu memilukan? Di saat Ding Xiang berucap, "Apa benar tidak ada seorang pun yang kuanggap teman bisa menjadi benar-benar temanku? Apakah semuanya benar hanyalah sandiwara dengan maksud tertentu?" Benamkan wajah dengan kedua tangan, isakan tangis serta merta menyertai.
Tak tahu pasti berapa lama Ding Xiang berada dalam ruangan tersebut, karena begitu ia keluar tinggalkan ruangan dan juga kotak makanan yang dibawakannya tadi. Dapat dilihat makanan hangat telah menjadi dingin, tak lagi terlihat enak seperti sebelumnya. Layaknya raut wajah yang terpasang pada Ding Xiang, begitulah dingin dengan sepasang netra menyorotkan kekosongan. Akan tetapi, kekosongan tersebut seketika sirna begitu pendengaran menangkap akan suara tak asing yang dulu suka merendahkannya di Weiyin.
Yang sebenarnya tak perlu baginya untuk menoleh ke belakang sekalipun, Ding Xiang telah tahu siapa dan akan seperti apa pula kesenangan di wajah orang tersebut mengingat telah terbebas dari segala tuduhan dan hukuman. Yang begitu berdiri berhadapan dengan Ding Xiang, keangkuhan dan kepercayaan diri wanita ini semacam berkali-kali lipat dari yang dulu. Berikan pandangan mengintimidasi, dan bahkan siap mengeluarkan segala bentuk ucapan merendahkan lainnya.
"Bagaimana rasanya melihat teman baikmu itu membusuk dalam penjara?" ucapnya memulai, tidak sama sekali peduli bagaimana para petugas polisi di sekitar mendengar. "Bagaimana pula rasanya menjadi alat Xu Wei dan Ren Cheng?" tanyanya lagi, kikis lebih lagi jarak hingga ucapan berikutnya terdengar layaknya suatu bisikan. "Sekarang apa kau merasa bangga bisa dekat dengan Ren Cheng? Bahkan Xu Wei sekalipun tidaklah benar-benar menganggapmu teman." Jauhkan diri beberapa langkah, senyum penuh kemenangan kuasai diri.
Xiao Lan telah mengetahui sebanyak ini sebenarnya dari siapa? Apakah mungkin dari hakim muda bernama Dao Yang itu? Namun, Ding Xiang tidak percaya apabila demikian adanya. Apalagi begitu melihat keberadaan dari seorang pria paruh baya hadir, dekati Xiao Lan, bahkan berikan pandangan penuh ketidaksukaan pada Ding Xiang. Setidaknya Ding Xiang akhirnya tahu, pria paruh baya yang merupakan ayah Xiao Lan ini bukankah cukup berkuasa? Mudah sekali dengan menggunakan koneksi untuk mendapatkan segala kabar yang ingin diketahui Xiao Lan.
"Xu Wei dan Ren Cheng adalah pasangan sesungguhnya. Hanya tinggal menunggu hari di mana pengumuman pernikahan akan dilangsungkan. Sedangkan kau ... tidak lagi berguna bagi mereka, siap untuk dibuang."
"Semakin kau mengatakan hal-hal ini, semakin aku yakin ucapanmu tidaklah benar." Ucapan yang keluar dari mulut bisa saja terdengar yakin, tapi bagaimana dengan sepasang netra? Dan hal itu diketahui Xiao Lan, kian menjadi pula ucapan mengejeknya hingga Ding Xiang lakukan hal yang belumlah pernah dilakukan. Semacam Ding Xiang bukan lagi Ding Xiang.
Hal tersebut terjadi begitulah cepat, tanpa dipikirkan sama sekali seolah otak tak lagi memerintahkan pergerakan, melainkan tangan yang menggerakkannya sendiri atas perintah luapan emosi tertahan. Dan tamparan keras itu terjadi sekali, cukup membekas di wajah Xiao Lan yang seketika terdiam. Akan tetapi, bagi Ding Xiang tamparan tersebut belumlah cukup atas apa yang menjadi ucapan keterlaluan Xiao Lan. Ingin ia menampar sekali lagi, dan dijamin tamparan kedua yang diberikan pasti akan meninggalkan bekas luka pada sudut bibir Xiao Lan.
Namun, tangan yang melayang yang diharapkan menampar kembali Xiao Lan ini tertahan, dan hal ini menyadarkan Ding Xiang untuk kembali ke kesadaran. Yang mau tak mau Ding Xiang akhirnya dapati keberadaan hakim muda bernama Dao Yang-lah yang menahan pergelangan tangannya. Lihat bagaimana Dao Yang menggeleng, dan gelengan itu pun berhasil menurunkan tangan Ding Xiang untuk kemudian sedikit menjauh dari Xiao Lan yang jelas saja tak terima atas tamparan yang didapatkan.
"Aku ingin menuntutnya atas kekerasan fisik! Dao Yang, kau urus masalah ini dan aku akan membayar mahal dirimu!"
"Kau yakin ingin menuntut?" tanya Dao Yang memastikan, dan tentu jawaban yang didapatkan adalah anggukan Xiao Lan. "Bagaimana denganmu, Ding Xiang? Apa kau ingin menuntut balik?" Penuh harap Dao Yang meminta akan mendapatkan anggukan pula dari Ding Xiang, dan Ding Xiang bisa melihat hal itu dengan cukup jelas. Jadi, anggukan Ding Xiang berikan. "Namun, harus kuberitahukan hasilnya terlebih dahulu padamu, Xiao Lan. Mengingat kau tidaklah memiliki luka serius di wajah, sedangkan semua petugas di sini bisa menjadi saksi akan bagaimana keterlaluannya ucapanmu."
"Jadi maksudmu aku akan kalah? Dan aku memang pantas mendapat tamparan?"
Dao Yang tidak menjawab, melainkan tersenyum kecil yang bisa diartikan jawabannya adalah 'iya'. "Tuan Xiao Zhan Zi, bagaimana menurutmu Anda? Apakah harus aku memproses tuntutan putrimu ini?"
Tanpa mengatakan apa-apa, ayah Xiao Lan segera menarik pergi putrinya dengan cukup kasar. Semacam malu atau apalah itu kepada Dao Yang atas sikap bodoh Xiao Lan yang taklah memahami situasi dengan terus berseru akan menuntut. Jadikan Ding Xiang merasa tak enak hati telah mengubah tempat kerja menjadi begitulah ribut, dan ia pun berencana untuk pergi begitu usai menyampaikan rasa terima kasih dan tanpa melupakan maaf pastinya.
Dao Yang tiba-tiba saja menghentikan, bertanya, "Bisa kau luangkan waktumu sebentar?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro