Bab 9. Gue Bukan Pembantu!
"Andai saja Savana punya tongkat ajaib macam Upin-Ipin, sekali cakap pim, pim, pom! Semua yang diinginkan pasti terkabul."
•
•
•
"Yang, aku berangkat. Jangan lupa masak buat makan siang sebelum mama datang." Samar-samar Savana mendengar suara Jonas, lalu merasakan sebuah kecupan hangat yang mendarat di dahi. Namun, bukannya bangun, si kebo cantik itu justru semakin menyembunyikan tubuh di balik selimut.
Tak peduli dengan suara-suara bertebaran di luar kamar, Savana masih setia memejamkan mata. Ah, rasanya ia seperti berada di rumah sendiri. Tidur sepuasnya sampai alarm yang berasal dari suara enyak berbunyi, barulah hati Savana tergerak untuk bangun.
Ngomong-ngomong soal enyak ... Savana jadi kangen sama beliau. Gimana keadaan enyak, yah? Apa beliau baik-baik saja? Atau malah tambah baik setelah Savana enggak ada?
Ah, tapi Savana yakin kalau enyak baik-baik aja, bahkan tambah baik karena tidak ada yang membuat tensi darah wanita kesayangan Savana itu naik.
"Sekarang jam berapa?" Savana menyibak selimut, manik cokelatnya melirik ke arah jam dinding. "Udah si—APA? UDAH SIANG?"
Bodoh! Bodoh! Bodoh!
Kenapa Savana bisa lupa kalau ibu mertuanya akan datang hari ini? Aduh! Bisa gawat kalau medusa tua itu melihat keadaan Savana yang baru saja bangun dari tidur nyenyaknya.
"Mati gue!"
Segera Savana berajak dari posisinya, kemudian berlari ke kamar mandi. Jangan pikir kalau Savana akan menyiram tubuhnya dengan air! Karena itu salah besar. Savana Dinescara tidak akan mandi jika keadaanya mendesak seperti ini.
Usai membasuh wajah, membersihkan bekas iler yang sudah mengering, serta menghilangkan bau neraka dari dalam mulutnya, Savana segera mengganti piama dengan dress bunga berwarna kuning. Ngejreng, guys!
Setelah menata penampilannya sebelum bertemu mertua yang galaknya naudzubillah, gadis berkulit putih itu mengedarkan padangan ke seluruh penjuru kamar.
"Aduh, ini kamar kenapa berantakan banget? Siapa, sih, penghuninya? Nyebelin banget." Savana menggaruk kepala. Ia kesal. Kenapa, sih, medusa tua itu harus datang ke sini? Pakai acara nginep lagi. Kan Savana jadi ribet sendiri.
Kalau saja Savana masih mengikuti plot cerita, mungkin saja Savana tidak akan mengalami hal ini. Ah, tapi ya sudahlah. Yang harus Savana lakukan sekarang adalah ... memikirkan bagaimana caranya ia bisa membuat kamar ini rapi dalam sekejap?
Andai saja Savana punya tongkat ajaib macam Upin-Ipin, sekali cakap pim, pim, pom! Semua yang diinginkan pasti terkabul. Tapi, sayang, ini bukan dunia kartun atau dunia halunya para bocil, melainkan dunia pernovelan.
"Males banget beresin kamar." Sembari berdecak kesal, Savana mulai merapikan tempat tidur. Namun, sebelum tangannya menyentuh seprai, ketukan pintu yang cukup keras berhasil mengurungkan niat Savana.
"Siapa, sih?" Kening Savana berkerut, terlebih suara ketukan itu semakin lama berubah menjadi sebuah gebrakan, membuat Savana berdecak pelan sebelum akhirnya ia memutuskan untuk membuka pintu.
"Iya, kena—Ma ... ma?" Savana terbelalak. Astaga! Kejutan apa lagi ini? Kenapa mama datang di waktu yang tidak tepat?!
"Ngapain aja kamu?" Mama meneliti penampilan Savana dari atas sampai bawah. "Udah cantik, rapi, wangi juga. Kamu mau ke mana?"
Aduh ... bisa tidak ibu mertuanya ini nanya satu-satu? Kan Savama jadi bingung mau jawab yang mana.
"Aku ...."
"Udah hampir tengah hari." Mama menubruk bahu Savana, membuat gadis itu mundur beberapa langkah. "Kamu ngapain aja, sih, kalau di rumah? Berantakan banget."
Kalau boleh memilih, Savana lebih suka dimarahin sama Enyak Hindun daripada titisan ibu tirinya Cinderella. Savana jadi punya feeling enggak baik.
"Kamar berantakan." Terdengar decakan nyaring. "Kamu tau, 'kan, kalau Jonas enggak suka sama wanita pemalas?"
"Iya, Ma. Vana tau." Sebenarnya Savana malas berbicara sama mama mertuanya ini, tapi mau bagaimana lagi? Mau tidak mau, suka tidak suka, Savana harus berbicara dengan beliau.
"Terus kenapa kamu diam aja?!"
Savana meringis. Sebenarnya Savana tidak takut dengan amarah mama, ia cuman takut kalau pita suara mama putus lalu diganti sama cacing pita. Kan bahaya.
"Mama dari tadi ngalangin Vana." Savana meringis. Bodoh! Kenapa dia menyahut seperti itu? Savana yakin, setelah ini telinganya pasti akan kena semprot lagi.
"MAKSUD KAMU APA, FANA?!" Nah, kan. Savana benar. Wanita satu ini memang enggak takut kalau pita suaranya putus. "Kamu mau nyalahin, Mama?"
"E-enggak, dong, Ma." Savana nyengir. "Mana mungkin Fana berani nyalahin Mama. Kalau gitu, Fana beres-beres dulu."
Mama mengangguk. "Setelah itu bikinin mama teh kayak biasa," ucapnya seraya berlalu.
Akhirnya Savana bisa bernapas lega. Mertuanya ini benar-benar memberi efek luar biasa untuk jantungnya. Savana tidak bisa membayangkan jika ia benar-benar mempunyai mertua macam Bu Mitha di dunia nyata. Bisa tamat riwayat Savana.
Ah, sudahlah. Lebih baik Savana membereskan kamar ini, lalu keluar untuk membuatkan pesanan yang mulia.
***
"Ini, Ma, tehnya." Savana tersenyum, sembari meletakkan secangkir teh di meja. Lantas gadis berambut kecokelatan itu mengambil posisi duduk di sebelah mama. Namun, sebelum bokong Savana menyentuh sofa, tiba-tiba suara mama membuat Savana seketika mengurungkan niatnya.
"Iya, Ma?" Ini serius, Savana harus bepose macam nenek-nenek. Berdiri enggak, duduk pun enggak karena menunggu mama ngelanjutin ucapannya.
"Udah masak? Nyuci? Ngepel?"
What the— ini nenek sihir ngapain nanya-nanya macam Savana pembantunya? Berdehem pelan, Savana berduduk sembari tersenyum. "Aku udah masak kok, Ma. Nyuci juga udah, ngepel juga."
Mama mengangguk pelan. "Kalau gitu, kamu siramin tanaman."
"Nyiram tanaman?" Savana mengernyit. "Ma, ini udah siang. La—"
"Kamu mau ngelawan? Enggak mau nurut sama mama? Kamu mau Jonas juga marah sama kamu karena kamu ngebantah mama?"
Ya Tuhan! Wanita ini kenapa, sih? Baru saja Savana ingin bersantai ria, eh malah diganggu. Memang, ya, Savana itu tidak pernah salah kalau memberi julukan. Mertuanya ini memang titisan ibu tiri Cinderella. Kejam.
"Iya, Ma." Savana menyahut lesu. Terserah apa kata mertua, deh. Awas saja kalau tanamannya mati, lalu Savana yang disalahkan.
"Fana!"
Apalagi, sih?
Savana yang nyaris keluar dari rumah kembali berbalik, menatap mama yang tadi menyerukan namanya. "Iya, Ma?"
"Setelah nyiram tanamam, kamu beliin mama vitamin di apotek seberang kompleks, yah. Habis itu pijitin."
NENEK SIHIR SIALAN!
Savana tersenyum, lantas ia kembali mengayunkan kaki menuju taman belakang. Diiringi dengan sumpah serapah yang ia tujukan pada Bu Mitha.
"Sialan! Dia pikir gue pembantu apa?!"
Andai saja Savana mampu, sudah ia pastikan wanita nyebelin bin mgeselin itu ia masukkan ke karung, lalu membuangnya ke lautan. Biar dimakan hiu sekalian, dan manusia kejam macam mama bisa berkurang, agar kehidupan bisa tenang.
"Fana! Mama mau jus!" Terdengar teriakan nyaring dari dalam rumah, membuat Savana membanting selang dengan kesal.
GUE BUKAN PEMBANTU!
••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
09.10.2020.
Serius, Ze ngantuk banget.🤣🤣🤣 beruntung ada Kara baiks HalamanBaru yang selalu ngingetin😭😭😭 aylapyuutuu karaaaaa🤣🤣🤣
Makasih buat Kara, buat kalian semua yang selalu nunggu dan baca cerita ini. Aku berharap kalian enggak pernah bosan nungguin Savana apdet🤣
Ze sayang kaleannnn💋💋💋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro