Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2. Bagaimana Jika?

"Tuhan ... kenapa nasib Savana selalu sial? Rasanya Savana seperti pemeran utama dalam novel yang selalu ketiban sial. Savana jadi berpikir, bagaimana jadinya kalau ia masuk ke dalam dunia novel yang ia buat? Apakah ia bisa mengubah kesialan menjadi keberkahan bagi pemeran utama?"



Jakarta, 22 Juni 2010

————————————

Gadis bermanik kecokelatan itu mengerjap perlahan ketika gradasi masuk ke retina. Dipandangnya ruangan yang didominasi warna biru putih ini. Sepi. Tidak ada siapa pun di sini. Suara berisik yang tadi Savana dengar pun sudah menghilang entah ke mana. Perlahan dua sudut bibirnya tertarik, Savana bangga pada dirinya sendiri karena berhasil mengelabui orang-orang.

Perlahan Savana bangkit dari posisi sembari memegangi perut yang masih terasa sakit. Lantas gadis berdarah Betawi itu merogoh saku celana jinnya, mengeluarkan benda sejuta umat dari sana. Namun, ketika Savana ingin menghubungi Rayyan untuk mengantarkan bekal, tiba-tiba pintu ruangan terbuka, menampakkan laki-laki bermata sipit dengan keresek putih serta secangkir teh di tangannya.

"Makan, terus minum obat." Laki-laki yang belum—mungkin tidak ingin—Savana ketahui namanya itu menyerahkan keresek yang ia bawa.

Savana hanya memandangi keresek itu tanpa berniat mengambil. "Kakak punya niat apa sama saya?"

Si kulit putih itu berdecak. "Saya mau bunuh kamu," ucapnya datar.

Savana menatap laki-laki yang berdiri di sampingnya nyalang. Apa maksudnya? Dia pikir Savana bocah yang ingusnya kayak angka sebelas? Memang, yah, laki-laki edan ini sekarang sudah menjelma sebagai kembarannya Rayyan. Savana pikir, hanya Rayyan laki-laki gila yang pernah ia kenal. Akan tetapi, laki-laki satu ini ternyata lebih gila dari Rayyan.

"Bunuh aja, Kak." Rayyan dengan tidak tahu diri masuk ke ruang kesehatan. "Gimana keadaan lo?"

"Urus pacar kamu." Laki-laki itu menyerahkan keresek di tangannya pada Rayyan. Kemudian berlalu meninggalkan mereka yang saling tatap satu sama lain.

"Pacar?" Savana membeo. "Sumpah, ya, Yan. Gue bahkan gak pernah bayangin kita pacaran. Tapi kenapa dia bilang gue pacar lo? Dasar sinting!"

"Dia gak sinting. Lo yang sinting! Udah tau hari ini hari pertama OSPEK, malah gak sarapan." Rayyan meletakkan keresek di nakas, lalu menyerahkan kotak bekal milik Savana yang sudah ia buka. "Makan." Dengan senang hati Savana melahap roti bakar isi cokelat yang dibuatkan enyak tercinta untuknya.

"Makanya, Na, jadi orang itu jangan pemalas lo—" Savana memutar bola mata malas. Ini yang kadang membuat Savana malas dengan Rayyan, ceramah panjang kali lebarnya. Alhasil, Savana memilih abai, membiarkan mulut Rayyan mengeluarkan suara tanpa ia dengarkan. Masa bodoh apa yang dia katakan.

"Lo dengerin gue gak, sih?!"

"Gue makan, Yan. Lo kalo mau pidato, ke lapangan aja. Males gue dengerin lo." Mendengar jawaban Savana membuat decakan keras keluar dari mulut Rayyan.

"Geser dong, Na." Savana menuruti, gadis itu menggeser tubuhnya, membiarkan Rayyan berbaring di sebelahnya. "Gue ngantuk. Kalo lo udah kelar makan bangunin, yah."

"Enggak, ah. Lo jangan tidur dong. Gue kan belum cerita." Savana menjilat tangan kanan usai menghabiskan seluruh roti bakar isi cokelatnya. "Akting gue bagus gak, Yan?"

"Lumayanlah."

"Yang ngangkat gue ke sini siapa? Gue yakin pasti bukan lo. Secara lo emang gak pernah mau ngangkat gue kalo lagi pingsan." Gadis itu turun dari ranjang, berjalan mengambil cangkir berisi teh yang diberikan si songong tadi.

"Yang ngehukum lo."

Savana mengangguk. "Cabut, yuk."

"Baru juga mau tidur." Rayyan mendengkus. "Oh iya, naskah yang dipinang sama penerbit kemarin udah kelar revisi?" tanya Rayyan setelah turun dari ranjang.

"Dikit lagi. Paling malam ini kelar."

"Oh, jadi tadi malam lo begadang buat revisi?" tebak Rayyan tepat sasaran.

"Apa lagi? Naskahnya kudu cepet-cepet disetor, Yan." Savana menghela napas panjang. Merevisi naskah adalah pekerjaan yang paling membosankan dan merepotkan yang pernah ada. Andai saja naskahnya itu bisa merevisi diri sendiri, Savana pasti akan sangat bahagia karena ia tidak perlu repot-repot berhadapan dengan laptop siang dan malam.

"Mau gue bantu?"

"Enggak usah." Savana mendesah pelan. "Habis ini kegiatannya ngapain?"

"Minta tanda tangan panitia." Rayyan menyahut lesu.

"Males banget. Emangnya panitia di sini artis? Gue yang calon artis aja gak nyuruh orang-orang minta tanda tangan gue. Heran," ujar Savana sembari menghentikan langkah. "Gue balik ke ruang kesehatan aja, deh. Ngantuk."

"Terus, tugas lo gimana, Markonah? Kalo mereka nanyain lo gimana?"

"Bilang aja gue masih sakit dan butuh istirahat." Savana nyengir lebar. "Gue cabut dulu. Selamat bertugas Rayyan yang gak ganteng-ganteng amat!"

Sepeninggal Rayyan, Savana kembali ke ruang kesehatan. Membaringkan tubuh di ranjang, menatap langit-langit ruangan yang didominasi dengan warna putih biru itu sembari menghela napas panjang. Naskah novel yang belum ia revisi tinggal beberapa bab lagi. Namun, rasa malas kembali menyerang diri.

"Masih sakit?"

Savana yang nyaris terbang ke alam mimpi, kini terpaksa kembali membuka mata kala suara datar milik seseorang yang membuatnya harus berakting layaknya artis papan triplek. Sembari menghela napas, Savana menoleh ke samping kiri, hingga netra cokelatnya bertemu dengan manik kelam milik cowok itu.

"Pusing." Savana menyahut singkat.

"Roti dari saya kenapa gak dimakan?"

Menurut lo gue harus makan yang mana? Roti bakar buatan enyak atau roti seribuan yang lo beli entah di mana? Ingin sekali Savana menyahut seperti itu. Namun, tidak bisa karena mengingat ia sedang berakting. Alhasil Savana hanya bisa tersenyum tipis lalu menjawab, "Saya bawa bekal."

"Saya tau kalo kamu cuman pura-pura."

Apa maksudnya? Apa yang dimaksud cowok resek bin nyebelin ini? Sepertinya akting Savana sudah sempurna. Pun dengan penampilannya. Bahkan sebelum Savana membaringkan tubuh, ia sempat memberi bibirnya bedak yang selalu ia bawa dalam tas. Lalu, dari mana dia tahu kalau Savana hanya pura-pura?

Berdehem pelan, Savana berkata, "Kakak gak liat muka saya pucet kayak mayat hidup?"

Bukannya menjawab, laki-laki itu justru membuat Savana mati kutu. "Saya tahu kamu cuman pura-pura pingsan. Maka dari itu hukuman kamu bertambah dua kali, ah bukan, tiga kali lipat."

What the— "Gak bisa gitu dong, Kak!" Lama-lama si sipit ini akan Savana sihir juga jadi kambing, biar enggak seenaknya lagi sama dia. "Saya beneran pingsan, kok! Mana mungkin kalo pura-pura akting saya semulus pantat bayi?"

Laki-laki itu diam menatap Savana beberapa saat sebelum akhirnya ia kembali berucap, "Besok datang jam enam. Sebagai hukuman kamu menggantikan Pak Ridwan membersihkan lapangan setiap hari selama OSPEK." Selanjutnya laki-laki itu pergi tanpa menghiraukan protes dari Savana.

"Sialan!"

Tuhan ... kenapa nasib Savana selalu sial? Rasanya Savana seperti pemeran utama dalam novel yang selalu ketiban sial. Savana jadi berpikir, bagaimana jadinya kalau ia masuk ke dalam dunia novel yang ia buat? Apakah ia bisa mengubah kesialan menjadi keberkahan bagi pemeran utama?

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

02.10.2020

Ze gak tau sama bab ini gimana? Dapat humornya atau enggak, Ze gak tau :( tapi, Ze tetap berharap kalian menikmati.

See u next chapter, yah! 🙋

Ze sayang kalian💋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro