8. Waktu Yang Berharga
Petang itu Diarty akhirnya membawa Beno pulang ke rumah. Ia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya apalagi pria itu belum pernah sekalipun pergi ke kampung seperti dirinya.
Pada awalnya, Diarty hendak meninggalkan pria itu di stasiun. Dengan begitu, Beno akan balik lagi ke kota dan mengurungkan niatnya buat mencari Diarty. Namun dugaan Diarty ternyata salah, Mas Beno malah tetep kukuh dan terus nungguin dia hingga dua jam berikutnya.
Di dalam sebuah taksi yang mereka tumpangi, Mas Beno memeluk tubuh Diarty dengan erat. Pria itu tanpa malu memeluk pinggangnya dan menyandarkan kepala di bahu gadis pujaannya.
Sang supir taksi sesekali melirik mereka dari kaca depan. Melihat hal tersebut, Diarty merasa sangat canggung dengan perbuatan Mas Beno.
"Ehm, Mas, bisa gak duduknya biasa aja? Aku gak enak dilirikin terus sama pak supir," bisik Diarty pelan pada Beno yang masih menggelayut manja di tubuhnya.
"Gak, aku nyamannya kek gini. Siapa suruh kamu bikin aku nunggu sampai dua jam lamanya. Kamu tau nggak, perbuatan kamu itu kelewat jahat." Mas Beno gak mau ngalah, ia bahkan semakin mempererat pelukannya di tubuh Diarty.
Menghela napas, Diarty merasakan ada aura balas dendam yang coba Beno tunjukkan padanya. Tak ingin bertengkar, akhirnya Diarty lebih milih ngalah.
Tak ada percakapan dari keduanya, posisi masih saja tetap sama, membuat sang supir yang melirik mereka mengernyitkan dahi karena tak paham.
"Di, kamu kok nggak ngomong, kamu kesel ya ma aku?" tanya Beno sembari mengangkat wajah. Ia mengamati wajah Diarty cukup lama membuat gadis itu memerah tak karuan.
"Nggak, buat apa aku kesel."
"Kok tiba-tiba diem? Aku gak suka ya kalo kamu boong lagi sama aku," rajuk Beno dengan serius. Pria berjaket jeans itu kini meraih tangan Diarty lalu menggenggamnya erat.
"Beneran, aku nggak papa kok." Diarty menjawab seraya membuang pandangan keluar jendela taksi.
Beno menghela napas, ia kembali menyandarkan kepalanya di bahu Diarty sambil menggenggam erat jemari gadis itu.
"Terakhir kali kamu bilang ke aku bahwa kamu nggak kenapa-napa, kamu baik-baik aja tapi nyatanya ..., kamu boong. Di, kenapa sih kamu demen banget boongin aku? Kita udah sama-sama gedhe, aku gak sama kayak empat tahun yang lalu. Jangan suka main petak umpet apalagi soal perasaan," tukas Beno dengan lirih.
Wajah Diarty memerah mendengar sindiran halus tersebut. Ia memilih bungkam dan tak menjawab apapun.
"Dulu kamu pergi karena ibuk dan sekarang kamu nyoba buat pergi lagi dari aku. Di, semua ini apa ada kaitannya dengan ibuk?" tanya Beno lalu menegakkan tubuhnya. Pria itu duduk dengan tegap, siap mendengarkan jawaban dari bibir kekasihnya.
Diarty pura-pura tak mendengar, ia terus memalingkan wajah keluar jendela hingga akhirnya jemari Beno terangkat dan menarik dagu Diarty perlahan. "Di, jangan menghindar lagi. Jujurlah padaku apa yang kamu rasain selama ini."
Mereka bertatapan cukup lama. Diarty mengerti arti bahasa mata yang Beno coba tunjukkan padanya. Pada mulanya Diarty tak ingin jujur tapi melihat sorot mata penuh ketulusan itu maka ia tak kuasa untuk menolaknya lebih jauh.
Diarty mengangguk lalu perlahan tertunduk. "Ya, sore itu ibuk Mas Beno datang ke rumah. Kali ini ucapannya benar Mas. Mas Beno jangan karena aku, Mas lebih milih ngehancurin masa depan sendiri. Mas udah capek-capek kuliah buat jadi arsitek tapi malah Mas lebih milih jadi bos kedai toko kopi di tempat aku kerja. Mas, jangan karena aku, Mas jadi kayak gitu. Aku ...,"
"Emangnya aku keliatan terpaksa ya ninggalin profesi aku lalu jadi bos kedai kopi di tempat kamu kerja? Kayaknya kamu nggak ngerti. Jangankan ibuk, kamu pun nggak ngerti apa itu ketulusan."
Mereka kembali berpandangan hingga akhirnya Beno memilih buat genggam tangan Diarty. "Aku tahu, bagi ibuku hal itu tidak bijak terlebih dia udah mati-matian banting tulang buat kuliahin aku. Tapi, niat ini sungguh dari dalam hati. Di, jika aku beneran gak tulus gak cinta sama kamu, apa gunanya coba aku ngejagain perasaanku ini empat tahun lamanya? Di, empat tahun itu cukup lama buat aku bertahan dari orang-orang yang berusaha merusak kepercayaanku pada kamu. Di, sebaliknya, tidakkah kamu percaya dengan apa yang telah aku perjuangin selama ini padamu? Tidakkah kamu kasihan sama aku, sama perjuanganku ini?"
Diarty terbengong, ia membalas tatapan Beno dengan rasa penuh bersalah. "Maaf Mas, aku gak ngerti kalo empat tahun lalu kamu begitu terluka akibat kepergianku. Maaf juga jika aku memilih buat gak kasih kabar apapun ke kamu kendati aku masih menyimpan nomer kontak kamu. Semua itu aku lakuin ..., aku lakuin supaya kamu bisa lupain aku dan bisa hidup lebih baik seperti kata ibuk."
Diarty tertunduk, bola matanya kembali berkaca-kaca. Beno meraih tubuh Diarty, memeluknya dengan begitu erat seolah tak ingin terpisahkan.
"Kejadian yang lalu biarin aja berlalu, sekarang adalah waktu yang tepat buat kita menebus empat tahun yang lalu. Di, jawab pertanyaan aku, kamu masih sayang nggak sama aku?"
Diarty terdiam, meringkuk sedih dalam dekapan Beno. Karena tak kunjung ada jawaban, Beno melepas pelukannya dan mengangkat wajah Diarty dengan lembut.
"Di, please jawab aku, kamu masih sayang nggak sama aku?" tanya Beno serius, bola matanya yang cokelat terlihat berkilat indah.
Diarty terdiam cukup lama, ia menatap bola mata itu dengan perasaan campur aduk. Diarty menarik napas, pada akhirnya ia menganggukkan kepala.
"Di, sekali lagi aku tanya, kamu beneran cinta nggak sama aku? Jawab Di," ucap Beno terdengar menuntut.
Diarty terpaku, ia memilih untuk menunduk. Namun Beno dengan cekatan justru kembali menarik wajah Diarty agar tidak menunduk lagi.
"Di, kamu gak cinta sama aku? Kamu cuma sayang sama aku? Di, kasih aku penjelasan, jangan buat aku salah paham dikit aja. Di, aku butuh jawaban yang pasti soal perasaan kamu ke aku," ucap Beno terdengar lirih.
Bibir Diarty bergetar, ia harus menjawab apa kali ini. Jangankan menghindar, menunduk aja Beno sama sekali gak ngebolehin.
"Di ...,"
"Mas Beno, aku cinta sama Mas Beno. Bener-bener cinta," jawab Diarty terdengar lirih. Kala itu Diarty menahan mati-matian wajahnya yang memerah bak tomat rebus.
Beno yang mendengar jawaban itu nyaris tak percaya, ia bahkan lupa bahwa ia tidak bernapas untuk beberapa detik.
Wajah Beno turut memanas ketika mendengar jawaban tersebut. Hatinya menghangat, membuat Beno segera meraih tubuh Diarty dan memeluknya dengan erat.
Detak jantung keduanya berpacu satu sama lain. Beno ataupun Diarty, mereka sama-sama merasakan detak jantung masing-masing dalam pelukan tersebut.
Menarik napas, Beno menenggelamkan wajahnya di bahu mungil Diarty. "Makasih Di atas jawaban yang udah kamu berikan. Aku janji bakal jadi laki yang lebih baik lagi buat kamu. Aku beneran janji sama kamu. Makasih Di, makasih banget."
****
Taksi yang membawa mereka pergi akhirnya sampai pada kampung halaman dimana ibu Diarty tinggal. Butuh waktu satu jam untuk benar-benar sampai di rumah mungil kediaman Ibu Diarty.
Turun dari taksi, Diarty berhenti sejenak lalu menatap dua bola mata Beno dengan serius.
"Mas Beno, ini pertama kalinya aku bawa seseorang ke rumah, aku harap kamu bisa jaga sikap ya di depan ibuk aku."
"Ibuk kamu apa segalak ibuk aku?" Beno bertanya dengan wajah terlihat penasaran.
"Nggak, ibuk aku nggak galak hanya aja ..., aku harap setelah kamu ketemu beliau, kamu bisa berpikir sekali lagi tentang hubungan kita."
"Maksud kamu, Di?"
"Ayo masuk, kamu bakal tau sendiri jawabannya." Diarty gak mau bicara panjang lebar di depan Beno. Gadis itu meraih tangan Beno lalu menggandengnya masuk ke halaman rumah.
Setelah mengetuk pintu beberapa kali, terdengar jawaban seseorang dari dalam rumah. Tak lama kemudian pintu itu terbuka, menampilkan sosok wanita berparas cantik seperti Diarty.
Beno segera menyimpulkan bahwa wanita itu mungkin ibu Diarty. Selama empat tahun pacaran, Beno sama sekali gak pernah ketemu sama orangtua Diarty.
"Bibi ...," ucap Diarty lalu mencium tangan wanita itu. Persepsi Beno langsung berubah, jika wanita ini bukan ibunya lalu yang mana ibunya?
Setelah bersalaman, Beno memilih untuk tetap bersabar dengan teka-teki yang Diarty coba tebarkan kepadanya.
"Di, tumben kamu pulang, kamu kangen sama ibuk? Trus siapa pria ini? Ehem ... Pacar kamu ya?" tebak Bibi Nosi seraya melirik ke arah Beno sambil tersenyum.
Diarty belum juga menjawab tapi Bibi Nosi segera menoel tangan Beno dengan gemas. "Eh, cowok, kamu pacarnya Di, ya? Sejak kapan? Kok Diarty gak pernah cerita sama Bibi? Duh, ganteng banget sih kamu."
Wajah Beno memerah, ia melirik sejenak ke arah Diarty yang bermain mata dengannya, mengisyaratkan agar Beno jangan buka rahasia di depan bibinya yang cerewet.
"Ah, iya Bi. Aku pacarnya Di, kami udah empat tahun ada hubungan." Rupanya Beno memilih tetep buka hubungan mereka di depan keluarga Diarty.
"Ah, Diarty sejak kapan kamu main rahasia-rahasiaan sama Bibi. Sejak kapan? Kamu punya pacar ganteng kek gini masih tega kamu sembunyiin?" tegur Bibi Nosi pura-pura marah seraya mencubit pinggang Diarty.
Wajah Diarty memerah, membuat Beno harus tersenyum geli melihatnya.
"Duh, Bibi apaan sih?! Aku mau masuk, pengen ketemu ibuk sama Damia." Diarty bersungut.
Tunggu? Siapa Damia? Pikiran Beno kembali berpikir. Selama ini Diarty sama sekali gak pernah bercerita mengenai siapa itu Damia? Apakah mungkin itu adiknya?
"Iya, ayo masuk ke dalam rumah. Bibi bawain Damia buat kamu. Tuh, ibuk kamu ada di dekat jendela."
Bibi Nosi lalu berjalan duluan memasuki rumah. Wanita berusia kurang lebih 43 tahun itu segera masuk ke dalam sebuah kamar dimana Damia tinggal.
Diarty terpaku ketika melihat sosok ibunya tertegun di atas kursi roda. Tak ada sapaan hangat dari beliau. Wanita itu terlihat berpikiran kosong, menatap keluar jendela tanpa ada perasaan jemu.
Diarty menghela napas, ia menatap Beno sekali lagi. "Dia ibuk aku, Mas. Empat tahun yang lalu ibuk sama bapak kecelakaan bus pas mau jengukin aku di kota. Ayah aku meninggal di tempat dan ibuk ..., ibuk kehilangan dua kakinya dan harus pake kursi roda."
Beno tercekat, ia tak menyangka jika banyak hal sulit yang sudah didapetin Diarty selama empat tahun ini. Tunggu! Apakah ini alasan Diarty meninggalkannya empat tahun yang lalu selain hardikan dari ibunya?
"Setelah kecelakaan itu, ibuk aku sedikit tergoncang. Beliau lebih banyak diem, gak bisa diajak bicara. Sesekali beliau nangis tanpa sebab, kadang juga marah dan banting-banting barang. Aku harap Mas mau pikirin lagi alasan Mas buat lamar aku beberapa waktu lalu. Keluargaku terlalu amburadul buat jadi besan keluarga Mas," ucap Diarty lirih dan penuh rasa sakit.
Perlahan Diarty beranjak mendekati ibunya yang masih terbengong menghadap ke jendela.
"Buk, Diarty dateng. Ibu tau nggak, hari ini Diarty pulang gak sendiri kok. Diarty pulang bawa temen cowok," ucap Diarty lirih seraya berjongkok di samping kursi roda ibunda tercinta.
Tak ada jawaban, jangankan jawaban bahkan wanita paruh baya dengan rambut mulai memutih itu sama sekali tak menoleh atapun melihat ke arah Diarty.
Diarty terdiam sejenak, rasa sakit menjalar dalam hatinya. Ia mencoba tersenyum, menahan air mata yang ingin meluncur bebas dari bola matanya.
"Buk, Diarty pulang. Diarty kangen sama sapaan ibuk, kangen banget." Diarty lalu memeluk tubuh ibuknya dengan erat.
Sungguh memilukan, bahkan sudah empat tahun ini Diarty sama sekali tak mendengar sapaan hangat dari sang ibunda tercinta.
"Mamaaaa ...," teriak seorang bocah umur tiga tahun dari dalam kamar. Rupanya bocah itu baru bangun dari tidurnya.
Diarty menoleh lalu beranjak bangun. Ia tersenyum lebar ketika bocah itu menggapai-gapai dirinya dari pelukan sang bibi.
"Maamaaa .... "
"Damia, mama kangen sama kamu!" teriak Diarty lalu menyongsong Damia dan membawanya ke dalam pelukan.
"Sayang, anak mama, udah makan belum?"
Wajah Beno mengerut, ada perasaan aneh yang terlukis di wajahnya. Sejenak ia merasa cemburu dan juga ingin marah. Siapa Damia ini? Benarkah dia anak Diarty?
Sebenarnya teka-teki apa yang dimainkan Diarty padanya?
••••••••• ••••••••••••• •••••••••••••••••
Waduh, apa yang sebenarnya terjadi ya? Siapa Damia ini? Benarkah Diarty sudah memiliki anak?
Lalu bagaimana dengan Beno? Apakah dia bisa menerima keberadaan Damia di sisi Diarty?
Baca kisah lengkapnya hanya di E-BOOK dengan judul yang sama. Di sini kalian akan di suguhkan 20 Bab gratis yang bisa kalian baca sampai puas.
Yuk beli buku originalnya hanya di GOOGLE PLAY STORE.
Eitss....
Jangan lupa mampir ke karya penulis yang lain ya.
1. My Enemy, My Emperor
2. Dibalik Masakan Asin Buatan Ibuku
3. Sotya // Permata
4. Dsb.
Terima kasih. ☺🧡
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro