Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Jangan Bolos Kerja

Pagi itu Diarty sudah rapi dan siap untuk berangkat kerja. Rok putih dan juga kemeja berwarna merah marun terlihat anggun ketika tubuh sintal itu memakainya.

Diarty menghentikan langkah sesampainya ia di ambang pintu. Tiba-tiba rasa ragu menyelimuti benaknya, haruskah ia bertemu dengan Beno hari ini?

Ketika Diarty masuk ke dalam area kedai, sudah pasti ia akan menjumpai Beno sebagai bos barunya. Menggelengkan kepala, Diarty mundur lalu kembali menutup pintu rumah rapat-rapat.

Seperti orang bingung, Diarty lantas duduk di sofa kuning dengan perasaan gusar. Perlahan ia mencari ponselnya di dalam tas bahu yang ia pakai. Sepertinya ia perlu menghubungi Saras kali ini. Mungkin juga ia harus membuat alasan supaya ia bisa membolos satu hari lagi guna menghindari Beno.

Jari-jari lincah Diarty segera menekan tombol nomer kontak Saras di ponselnya. Mendadak perasaannya tidak aman, haruskah ia keluar dari toko itu dan berganti pekerjaan saja?

Belum sempat panggilan tersambung, suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Diarty. Mulanya ia mengabaikan namun ketukan pintu itu bertahan hingga lima menit kemudian, membuat Diarty harus rela berdiri menuju ke pintu dengan langkah sedikit meragu.

Diarty kaget luar biasa ketika tahu siapa tamunya kali ini. Dia nggak nyangka jika Beno bertamu pagi itu. Dengan gugup, Diarty menyapa Beno di ambang pintu. Sebuah mobil jenis APV warna putih telah terpakir rapi di depan rumahnya.

"Mas Beno, ada apa?" tanya Diarty dengan wajah memerah karena gugup.

"Aku datang buat jemput kamu. Apa kamu sudah siap?" Beno balik bertanya seraya memasukkan kedua tangan dibalik kantong saku celana hitam yang dia pakai.
Sebagai seorang bos, Beno Adipati terlihat begitu tampan dengan kemeja kotak-kotak warna abu-abu yang kini tengah ia kenakan.

"Aku kayaknya belum siap buat kembali kerja. Maaf udah buat kamu menjadi repot," sesal Diarty dengan wajah ditekuk.

"Kenapa?" tanya Beno penuh selidik, kini tatapan tajamnya tertuju pada sosok Diarty.

Gadis itu tertunduk, bibirnya bergetar. Tanpa ia sadari kedua tangannya saling bertaut dengan resah. Gelagat buruk tersebut dapat dicium oleh Beno, membuat Beno tahu bahwa apa yang dikatakan Diarty hanyalah alasan saja.

"Kakiku belum juga sembuh. Kayaknya aku harus istirahat beberapa hari lagi deh," ucap Diarty tertunduk. Gadis berwajah imut itu tak berani menatap mata Beno, ia tahu jika ia berani melakukannya maka kebohongannya akan segera terbongkar.

Beno terdiam, bola matanya mengarah ke arah kaki Diarty yang kemarin mengalami kecelakaan. Dahinya mengernyit, dia tak yakin dengan apa yang yang dikatakan Diarty. Namun begitu, Beno lebih milih buat ikutin sandiwara yang digelar Diarty di hadapannya.

"Oh, coba aku liat!" Beno langsung berjongkok di hadapan Diarty, membuat gadis itu kaget dan refleks mundur ke belakang beberapa langkah.

"Gak usah! Jangan diliat lagi!" cegah Diarty buru-buru. Beno mendongak, ia mengamati wajah Diarty yang memerah.

"Katamu tadi kakimu kembali bermasalah. Kenapa aku nggak boleh liat? Siapa tahu emang beneran bermasalah dan aku bisa minta ambulan ke sini buat angkut tubuh kamu ke rumah sakit." Beno berkata santai seraya bangkit dari jongkoknya.

Diarty mengedipkan bola matanya beberapa kali, hatinya semakin tak nyaman ketika Beno menyinggung ambulan yang akan datang kemarin buat angkut dia. Ya Tuhan, nista banget sih!

Menelan ludah dengan susah payah, Diarty berbalik badan lalu mengambil tas bahunya. "Ayo berangkat!"

Diarty lantas berjalan terlebih dahulu ke dalam mobil APV putih milik Beno. Pria berpakaian rapi itu menatap Diarty dengan tatapan lucu.

Ya, emang lucu. Empat tahun bersama Diarty membuat pria tampan itu tahu betul kayak gimana sifat asli Diarty. Gadis itu paling takut sama yang namanya ambulan. Tentu saja jika Beno bilang bakal ada ambulan datang buat angkut dia, Diarty pasti udah kalang kabut duluan.

Diarty segera masuk ke dalam mobil APV milik Beno dengan desiran hati yang tidak bisa ia lukiskan. Kenapa takdir selalu mempertemukan mereka di waktu yang tak terduga?!

Beno masih tersenyum tipis, ia memasuki mobil, memakai sabuk pengaman, lalu mulai menyalakan mesin mobil. "Aku gak nyangka jika aku bakal jadi atasan kamu."

Diarty terdiam, ia berusaha mengartikan ucapan Beno di sampingnya sambil mengenakan sabuk pengaman.

"Dengan begitu, aku bisa nindas kamu sesuka hatiku." Beno menyeringai lalu mulai menjalankan mobilnya menuju ke arah kedai kopi kami yang berjarak kurang lebih 10 km.

"Jadi, kamu kembali hanya buat nindas aku?" Diarty berkata pelan membuat Beno memalingkan wajah sebentar ke arah Diarty.

"Aku gak akan nindas kamu kecuali kamu mau jadi istri aku." Beno menjawab dengan mimik wajah tak berdosa.

Bagai disambar geledek, wajah Diarty lantas merebak merah. Buru-buru gadis itu memalingkan wajah keluar jendela mobil dan pura-pura nggak denger.

"Aku tahu kamu cuma pura-pura nggak denger. Oke-lah! Terus aja begitu, aku gak papa kok." Beno melanjutkan ucapannya tanpa rasa kecewa.

Pandangan pria itu lurus ke depan, dengan tenang ia mengemudikan mobil mewahnya membelah suasana kota yang mulai ramai dengan aktifitas warganya yang begitu padat.

Tak ada percakapan di antara mereka. Suasana pagi itu diawali dengan kecanggungan yang telah dibuat Beno.

"Kamu tahu nggak, aku masih punya banyak waktu kalo hanya buat nungguin kamu. Aku tetep nunggu sampe kamu mau," imbuhnya lagi lalu menyalakan tape musik di mobilnya.

Suara lagu lawas perlahan terdengar. Lagi-lagi lagu yang ia putar membuat perasaan Diarty makin dihajar habis-habisan. Kenapa tidak? Pria itu bahkan menyetel lagu masa SMA-nya dengan perasaan tanpa dosa.

"Mas Beno," Diarty mencoba bersuara. Gadis itu memberanikan diri melirik ke arah Beno lalu tertunduk murung. "Lupakan kisah kita, kita tuh udah putus. Aku harap kamu gak bikin canggung lagi ketika kita sedang bersama."

Beno belum menjawab, ia balas menatap Diarty dengan seribu arti. Pria itu tak menyangka jika kekasih kesayangannya di masa lalu berani berkata begitu.

"Oh, jadi kita udah putus ya? Sejak kapan? Kenapa aku gak tahu, ya?"

"Mas Beno, aku mohon jangan bahas itu lagi," dengkus Diarty merasa enggan.

"Loh? Kenapa emang, Di? Emang aku salah ya kalo aku tanya kapan kita putus? Karena setahuku, kita itu emang gak pernah putus sebenarnya."

"Mas-"

"Kamu inget nggak moment terakhir kita ketemu? Itu pun kamu pergi gak pamit aku, kamu juga gak kasih kabar aku. Menurutmu, kurang sabar apa coba aku ini ke kamu?"

Diarty menarik napas, ia merasa terpojok hingga baginya menatap suasana di luar jendela mobil adalah jawaban yang paling tepat.

"Di, tentu saja aku kesel waktu tahu kamu ninggalin aku. Lebih kesel lagi waktu tahu rupanya kamu habis kena omongan sama ibu aku," cerocos Beno tanpa menatap ke arah Diarty. Kali ini tatapan pria itu terlihat begitu terluka.

"Kamu udah tahu?" Diarty berkata pelan, ia harap ucapannya barusan tidak didengar oleh Beno Adipati.

"Tentu aja, Ibu yang ngomong sama aku." Beno berkata dengan mimik wajah pahit, ia berusaha untuk menahan segala dentuman tak karuan dalam hatinya.

"Jujur, aku pengen marah tapi ...,mau gimana lagi, dia ibu aku, dia yang nglahirin aku. Dia emang suka semena-mena, suka berkuasa, tapi aku juga gak punya wewenang buat benci dia," imbuh Beno berusaha untuk menceritakan penderitaannya selama ini.

"Di, waktu aku tahu kamu pergi karena itu, aku nyoba buat pahamin kondisi kamu. Aku tahu, kamu gak bakal bisa kalo sama ibu aku. Meski ibu aku bawel, judes, dan kasar tapi aku mohon Di, kamu jangan benci dia sampai ke ubun-ubun, ya."

Beno menatap Diarty dengan serius, kali ini ia berharap mendapat jawaban dari bibir mungil Diarty.

Diarty menunduk, mengembuskan napasnya dengan berat. "Aku udah maafin ibu kamu kok, Mas. Kamu tenang aja, aku juga sadar kok ucapan beliau waktu itu emang ada benernya."

Beno menipiskan bibir, perlahan ia meraih tangan kanan Diarty lalu menggenggamnya erat. "Makasih ya, Di."

Diarty menoleh ke arah Beno sejenak, ia menganggukkan kepala. Melihat tangan Beno meremasnya, perlahan gadis itu menarik tangan lantas kembali memalingkan muka.

"Tapi aku tetep nunggu keputusan kamu, Di. Kamu, harus tetep jadi istri aku."

****

Lamaran sepihak yang dilakukan Beno ke Diarty di dalam mobil membuat gadis itu beberapa kali membuat kesalahan. Baginya hal itu terlalu terburu-buru dan sama sekali tidak terpikirkan di otak Diarty.

Saras, teman kerjanya hanya bisa tersenyum lucu ketika Beno Adipati beberapa kali lewat dan Diarty harus pura-pura sibuk guna menghindari tatapan mereka berdua. Lucu nggak sih ketika liat Diarty pura-pura masuk ke kolong meja hanya untuk mengelap meja tatkala Beno Adipati lewat? Sungguh, Saras bisa mati karena cekikikan.

Bagi Saras, tingkah kedua insan beda jenis itu emang lucu. Bagaimana tidak ketawa ketika melihat Diarty harus melimpahkan tugasnya kepada Saras ketika membuat kopi untuk si bos. Mereka bahkan harus bertengkar dulu hanya demi siapa yang akan mengantarkan kopi.

Begitupun dengan Beno, pria itu jauh lebih agresif dalam memerintah. Satu jam yang lalu ia meminta kopi hitam, satu jam kemudian ia bahkan meminta kopi jenis lainnya lagi pada Diarty. Masih bagus kalo Beno datang menghampiri dan minta kopi tapi ini tidak. Si bos memilih membuka pintu ruangannya lalu berteriak pada Diarty di ambang pintu. Sangat menyebalkan, bukan?!

Saras kembali melempar pandang ke Diarty ketika melihat wajah Diarty ditekuk sehabis keluar dari ruangan si bos.

"Kenapa? Tugas aneh apalagi yang diberikan Beno ke kamu?" tanya Saras sembari mendekati Diarty yang duduk berjongkok di depan mesin penyeduh kopi. Wajah Saras terlihat menahan tawa, namun demi rasa persahabatannya ia memilih untuk pura-pura serius.

Diarty mendongak, ia menatap wajah Saras dengan tatapan memelas. "Sepertinya aku mulai gak kuat kerja di sini, Ras."

"Kenapa? Ayo cerita ke aku!"

"Baru setengah hari tapi Mas Beno udah kasih aku macam-macam tugas. Ras, aku dah gak kuat." Diarty mengeluh segenap jiwa.

"Aku heran, kenapa Beno se-agresif itu sih ke kamu? Sepertinya dia gak pengen liat kamu menghilang lagi dari pandangannya." Saras mencoba menebak.

"Ras, coba kasih aku saran, gimana enaknya ngadepin dia? Sepertinya kalo aku diemin terus, dia bakal ngelunjak makin parah deh. Kamu tau 'kan, kemarin aja dia dateng ke rumah sampe tiga kali."

"Tiga kali?" Saras mengulang dengan mata membulat. Diarty hanya menganggukkan kepala.

"Kayak minum obat aja sih?" Saras lalu terkekeh. Belum juga rumpian siang selesai, lagi-lagi Beno keluar dari ruangannya dan berteriak ke arah Saras.

"Saras, liat Diarty gak?" tanya Beno di ambang pintu ruangan. Saras segera menoleh disusul dengan Diarty yang berdiri dari jongkoknya.

Wajah Beno terlihat melega, ia melirik sekilas pada jam tangan yang ia pakai. Mata Diarty membulat ketika tahu persis jam apa yang dipakai Beno saat itu. Ya, itu jam tangan murahan yang Diarty beli buat Beno saat ultah Beno yang ke 18 tahun.

Jam tangan kulit warna hitam dengan merk 'Christo' itu ia beli dengan uang tabungan dan berharga sangat murah.

"Udah hampir jam 11 siang, udah waktunya buat makan siang. Kamu gak papa 'kan kalo aku tinggal makan siang keluar sama Diarty?" Beno berkata dengan begitu tenang tanpa memperhatikan wajah Diarty yang begitu bete.

Saras menoleh sejenak ke arah Diarty. "Gak papa, Bos. Aku bisa jaga toko sendiri kok, lagipula baru jam 11, toko belum juga ramai. Kalo kalian mau keluar makan, silakan."

"Ras," gumam Diarty lirih seraya menaut tangan Saras, berharap sobatnya itu mencegahnya kali ini.

"Ayo, Di! Keburu toko rame loh. Ras, aku duluan, ya." Beno lalu melangkah mendahului Diarty menuju keluar toko.

Diarty cemberut, dengan langkah berat ia mengikuti Beno. Sesekali gadis itu menoleh ke arah Saras yang menahan tawa dengan wajah penuh rasa permusuhan.

Suasana di luar kedai ramai dengan orang-orang yang berjalan lalu lalang. Mereka masih beraktifitas seperti biasa karena belum memasuki jam istirahat dan makan siang. Berjalan di belakang Beno dengan berat, sesekali Diarty memperhatikan beberapa kendaraan yang melewati mereka.

Beno yang menoleh dan melihat Diarty berjalan malas di belakangnya lantas berhenti. Pria itu menghampiri Diarty, menarik pergelangan tangan dan menggandengnya.

"Sepertinya aku gak bakal sabar deh buat nunggu kamu jadi istri aku. Dengan begitu biar kamu di rumah aja trus masakin aku."

Wajah Diarty kembali merebak merah, ia tak menjawab dan memilih untuk menunduk. Tangannya yang digenggam Beno terasa begitu erat dan hangat, genggaman yang terasa sama seperti empat tahun yang lalu.

"Di, kamu denger gak sih?" Beno menghentikan ucapannya. Pria berkemeja abu-abu itu menghentikan langkah lalu berdiri tepat di hadapan Diarty.

"Aku kan dah pernah bilang, jangan omong itu lagi atau-"

"Aku bakal lamar kamu akhir pekan ini. Jadi, jangan kemana-mana atau berusaha kabur dari aku. Oke?!"

***

Repot juga ya ketemu cowok modelan kayak Beno ini. Hehee...
Lanjut baca Bestie.... ☺


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro