2. Halo Mas Beno
"Di..., Diarty..., jangan ngelamun!" tegur Saras seraya menepuk bahu Diarty ketika melihat gadis itu duduk di kursi kerjanya sambil melamun. Di hadapannya terdapat beberapa cangkir yang disusun rapi dengan segala peralatan untuk membuat kopi aneka jenis.
Suasana kedai kopi yang sepi karena masih pagi membuat Diarty sempat melamun. Gadis berusia 22 tahun itu tersentak. Spontan, ia lantas menoleh ke arah Saras, teman kerjanya di B&B Coffe. "Saras, ada apa?"
Baru saja Diarty melamunkan kejadian tadi pagi ketika ia berangkat kerja. Sosok mirip Beno Adipati mendadak melintas di jalan raya ketika ia tengah menunggu angkot. Benarkah itu Beno? Diarty sendiri kurang tahu pasti.
Saras tersenyum, ia tengah memakai celemek cantik bermotif volkadot warna ungu di pinggangnya. Tak lama kemudian gadis cantik berambut lurus itu duduk di samping Diarty dengan tenang. "Akhir-akhir ini aku liat kamu banyakan ngelamun. Sebenarnya ngelamunin apa sih?"
"Ah, gak ada kok. Mungkin kerjaan aja yang lagi sepi jadi aku ...,"
"Ah, masa'?! Aku kok ngrasanya gak gitu ya?" ucap Saras dengan tatapan genit ala menggoda ke arah Diarty.
"Beneran gak ada papa kok. Sepertinya aku butuh hiburan deh," celetuk Diarty pelan seraya menyandarkan punggungnya di kursi yang ia duduki.
Saras tersenyum, "Kalo gitu napa gak pergi aja? Aku denger ada promosi gedhe-gedhean di kedai mie seberang jalan. Bukannya kamu gila makan?"
Wajah Diarty tiba-tiba memerah, ia lantas mencubit tangan Saras dengan cubitan keras. Seketika tawa Saras meledak hebat.
"Bukannya aku bener, ya? Kamu sejak SMA doyan banget sama yang namanya mie pedas."
"Tapi gak gitu juga kali, Ras. Empat tahun itu bukan waktu yang sedikit loh buat aku," ucap Diarty merengut. Ada wajah murung yang terselip dibalik ekspresi senyum gadis itu.
"Iya aku tahu, dikatain gak enak diliat itu emang menyakitkan. Jadi, aku gak bakal rekomendasiin kedai seberang jalan lagi deh." Saras kembali cekikikan disusul dengan tawa Diarty.
"Eh, ngomong-ngomong, aku denger kedai kopi kita ini bakal ganti pimpinan deh." Saras mulai mengubah topik bicaranya menjadi serius.
"Beneran? Napa aku gak tahu apapun?" Diarty mengernyitkan dahi, gadis itu memajukan tubuhnya dan berusaha agar lebih dekat lagi dengan Saras.
"Aku denger pemilik lama udah tua, dia pengen pensiun makanya diambil alih sama yang mudaan," cerita Saras dengan suara dibuat pelan membuat Diarty semakin mencondongkan tubuhnya ke arah Saras.
"Dan aku denger, pemilik baru kedai kopi ini bakal dateng dua atau tiga hari lagi," imbuh Saras lagi. Gadis itu menyambar lap warna putih guna mengelap beberapa cangkir yang masih basah di atas meja.
"Beneran tuh? Aku harap pemilik yang baru juga enak orangnya. Coba kalau nggak, kita bakal kena semprot melulu gara-gara santai gak ada guna gini," ucap Diarty mengemukakan pendapatnya lantas disusul gelak tawa Saras yang keras.
"Eh, kamu malah ketawa?! Emang lucu ya ucapanku?" sanggah Diarty merasa aneh dengan tawa Saras.
"Dari dulu kamu emang gak pernah berubah, Di. Kamu orangnya penakut, pantes aja kamu digertak sama ibuknya Beno langsung kabur."
Saras terus tergelak, merasa lucu dengan sifat sahabat karibnya tersebut. Ia lupa bahwa Beno adalah luka lama buat Diarty.
Hingga akhirnya Saras sadar bahwa tawanya tidak lagi lucu. Ia menghentikan tawanya segera ketika tahu wajah Diarty terlihat tidak nyaman dan masam.
"Ehm ..., maaf Di, aku gak bermaksud buat ...,"
"Gak papa kok. Aku baik-baik aja," tepis Diarty pura-pura tersenyum.
Gadis itu mengedarkan pandang, melihat suasana kedai yang sepi. Beberapa kursi terlihat kurang rapi, membuat perhatian Diarty segera teralih.
"Sepertinya aku pengen nyobain mie pedas seberang jalan sebelum si pemilik kedai ini datang, boleh nggak?"
Diarty menatap Saras dengan tatapan berbinar. Saras tersenyum, ia lega karena teman sejatinya tersebut sama sekali tidak marah dengan ucapannya tadi.
"Boleh. Pergilah! Lagipula kau hanya makan mie pedas setahun sekali," ucap Saras lalu cekikikan.
Diarty tersenyum, sekali lagi ia mencubit lengan Saras dengan gemas. Cubitan sedikit keras itu sukses membuat Saras kesakitan lalu mengaduh pelan.
"Baik, aku pergi dulu ya."
"Oke."
**
Bagi Diarty hidup itu tidak mudah. Ya, dia sudah mengakuinya sebelumnya. Gadis 22 tahun dengan rambut panjang sepunggung itu tahu betul bagaimana rasanya dibilang 'gak enak diliat'. Bukan sama siapa-siapa melainkan sama ibu pacarnya sendiri.
Seperti yang dikatakan Saras sebelumnya, Diarty memang penakut. Sungguh, benar-benar penakut. Jika bukan karena penakut, untuk apa ia menghindar dari Beno empat tahun ini. Seperti rakun, Diarty rela berpindah-pindah tempat kos hanya untuk menghindari pacarnya, Beno Adipati.
Berbeda dari empat tahun lalu, Diarty yang sekarang jauh lebih modis dan tentu saja 'enak diliat'. Tubuhnya dulu yang gempal penuh lemak kini berangsur lebih ramping. Semua itu memang tidak mudah bagi Diarty.
Selama empat tahun ini Diarty menjalani diet ketat. Memang menyiksa ketika ia harus rela mengurangi porsi makannya. Diarty nyaris patah semangat namun lagi-lagi hinaan dari ibunda Beno menjadi cambuk spesial bagi Diarty.
Ucapan ibu Beno kala itu bagaikan cambuk malaikat pencabut nyawa yang memecut hatinya. Hancur, remuk berkeping-keping. Diarty sadar, memang dia bukan gadis perfect yang pantas buat Beno.
Sesayang apapun Diarty pada Beno, kenyataan bahwa dia tidak boleh menyanding Beno sudah jelas di depan mata.
Sekarang, dengan keadaan yang 'enak diliat' ini pun, Diarty belum juga berani menampakkan batang hidungnya di depan Beno terlebih di depan ibunya yang super posesif.
Pagi beranjak siang itu terik matahari mulai membakar kota. Namun bagi Diarty tidak akan menjadi masalah baginya, toh kulitnya tidak akan menarik perhatian siapapun.
Di pikirannya sekarang hanya terbayang bagaimana pedasnya mie rebus impiannya di kedai seberang jalan. Kedai itu selalu ramai, selain harganya yang terjangkau, makanan disana selalu bersahabat dengan lidah.
Kedai yang dinamai Mie pedas 'Lidah Iblis' itu menawarkan aneka macam mie pedas dengan level kepedasan yang berbeda. Letaknya di samping jalan, berhadapan dengan jalan raya yang luas. Di hadapan kedai ada beberapa jenis tanaman bunga mawar yang sudah setahun ini sama sekali tidak berbunga.
Tak peduli dengan minyak jenuh yang akan menambah pundi-pundi lemak yang ia punya, Diarty bergegas menuju ke kedai dengan hati riang gembira.
Langkah penuh semangat Diarty tiba-tiba terhenti tatkala matanya yang berwarna hitam melihat sosok yang begitu familiar baru saja keluar dari kedai mie tersebut.
Belum habis rasa terkejut Diarty, sosok yang diyakini sebagai Beno itu tanpa sengaja turut menatap keberadaan Diarty. Beno yang sekarang terlihat begitu tampan dengan jaket jeans warna biru. Kulitnya yang putih begitu menunjang penampilannya yang tinggi.
Saat itu mereka sama-sama tertegun cukup lama hingga akhirnya Diarty sadar dan memilih memutar tubuhnya 180 derajat.
"Aku harus pergi!" sugesti Diarty dalam hati sambil melangkah pergi.
"Tunggu!" Beno terdengar berteriak membuat langkah Diarty semakin cepat dan panik.
Diarty melangkah makin cepat dengan jantung berdegup sangat kencang. Jangan sampai kali ini ia benar-benar tertangkap oleh Beno.
Teriakan Beno yang menginstruksikan agar Diarty berhenti melarikan diri, sama sekali tak digubris. Gadis itu sibuk dengan kemauannya sendiri. Terus berjalan jauh dan pura-pura tak mendengar teriakan Beno.
Sial!
Diarty nyaris berteriak ketika tiba-tiba sepatu high-heel yang ia pakai patah, membuat jalannya tidak seimbang dan ....
Bruk.
Diarty terjungkal di jalan trotoar yang keras, ia meringis menahan sakit ketika ia sadar bahwa lututnya turut tergores.
"Di ..., kamu nggak papa?" teriak Beno berlari ke arah dimana Diarty terjatuh.
Diarty menoleh, ia memaki dalam hati. Tak ingin tertangkap Beno, ia berusaha berdiri dengan susah payah dan hendak lari namun ....
"Di ..., kamu nggak papa?" ulang Beno bertanya dengan mimik wajah khawatir. Pria itu segera mencekal pergelangan tangan Diarty, seakan tahu bahwa gadis itu berniat ingin melarikan diri lagi darinya.
"Ah, nggak. Aku nggak papa kok. Jangan khawatir," ucap Diarty menahan sakit seraya mencoba berdiri dan berjalan.
Rasa ngilu kini bersarang di lututnya, Diarty tidak tahu apakah ia bisa kembali ke tempat kerjanya atau tidak.
"Terima kasih Mas, udah bantu aku berdiri. Maaf aku buru-buru banget, maaf ya." Diarty berusaha melepaskan tangan Beno lalu melangkah pergi dari hadapan Beno.
Bruk.
Lagi-lagi Diarty jatuh di hadapan Beno, membuat harga diri Diarty jatuh sejatuh-jatuhnya. Sepertinya ia tidak bisa pulang sendiri. Kakinya terkilir.
"Tuh, 'kan?! Kamu emang gitu sih. Diomongin suka keras kepala," cerocos Beno seraya menghampiri Diarty yang masih bersimpuh di tanah.
Wajah Diarty memerah tatkala Beno berjongkok di hadapannya. Ia berusaha untuk menghindari tatapan Beno yang -sedari dulu emang luar biasa bikin gila.
"Aaaahhh ...," pekik Diarty kaget ketika Beno tiba-tiba membopongnya tanpa bilang-bilang. Mereka kembali bertatapan dan Diarty tanpa sengaja mengalungkan kedua tangannya di leher Beno.
"Tunjukkan rumahmu! Kuantar kamu pulang," ucap Beno dengan nada serius.
"Ah, gak usah Mas Beno. Aku bisa pulang sendiri," ucap Diarty lalu buru-buru berusaha untuk turun dari gendongan Beno.
"Kamu ini ya, apa gak bisa dibilangin. Dari dulu sampai sekarang, gak ada perubahan sama sekali. Aku tetep anter kamu pulang," ucap Beno tak kalah keras kepala, pria itu berhasil menghentikan usaha Diarty untuk turun dari gendongan.
Beno lantas melangkah menuju ke parkiran dimana mobilnya masih terparkir dengan rapi tanpa menurunkan tubuh Diarty. Parkiran mobil Beno terletak di samping kedai Mie pedas, karena mengejar Diarty ia meninggalkan mobilnya begitu saja.
"Ehm, Mas ..., kamu gak keberatan kah gendong aku?" Diarty mencoba bertanya pada Beno dengan nada nyaris tak terdengar.
Beno belum menjawab, "Berapa sih berat badan kamu? Jangan berpikir terlalu ribet."
Diarty terdiam, ia memilih untuk tak bertanya lagi. Sesampainya di depan mobil, Beno menurunkan tubuh Diarty dengan perlahan. Tanpa kehabisan akal, Beno lantas mencekal pergelangan tangan Diarty dengan erat.
"Ayo masuk, aku antar kamu sampai rumah." Beno membuka pintu mobil, dia menginstruksi layaknya bos besar.
"Tapi Mas, aku ..., aku masih kerja," ucap Diarty terbata, ia masih enggan untuk masuk ke dalam mobil.
"Kerja dimana? Siapa bosmu? Biar aku yang mintakan ijin sama dia," ucap Beno tak kalah tegas. Diarty kembali diam, ia tak punya pilihan selain masuk ke dalam mobil dengan patuh. Seperti dulu, sikap otoriter Beno Adipati memang masih mencolok.
Suara pintu mobil yang ditutup sedikit keras membuat Diarty nyaris terlonjak. Hari ini ia benar-benar tak bisa keluar dari perangkap.
Diarty diam di tempat, jangankan menoleh dan menatap Beno, menggeser pantatnya sedikit saja ia tidak sanggup.
"Dimana alamatmu?" tanya Beno seraya memakai sabun pengaman.
Diarty tak menjawab, ia tidak boleh memberitahu alamatnya pada siapapun termasuk pada Beno.
"Dimana alamatmu?" tanya Beno berulang. Kali ini pria itu mendekatkan tubuhnya ke tubuh Diarty, membuat tatapan mereka bertemu satu sama lain.
"Turunkan aku di taman saja," jawab Diarty dengan wajah memerah.
"Tidak bisa," putus Beno seraya menarik sabuk pengaman milik Diarty dengan kasar lalu memakaikannya.
"Kenapa?"
"Karna kamu suka boong," ucap Beno datar. Kali ini pria itu menarik tubuhnya lalu menghidupkan mesin mobil.
Diarty terdiam, sepertinya perbuatannya di masa lalu sangat membekas di ingatan cowok satu ini. Kalau tidak, ngapain juga dia bilang gitu.
"Jadi, aku harus antar kamu kemana?" tanya Beno terus mendesak.
"Kan aku sudah bilang, turun di ...,"
"Kalo gitu kamu ke rumahku aja," putus Beno dengan sepihak.
"Jangan!" teriak Diarty keras membuat Beno menoleh cepat ke arah Diarty dengan wajah setengah terkejut.
"Kenapa?"
Diarty terdiam, wajahnya memerah. Gadis berwajah imut itu menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Seakan mengerti perasaan Diarty, Beno menghela napas perlahan. "Kalo kamu gak pengen ketemu ibuk, ya udah, kasih tau alamat kamu. Enggak-enggak kalo aku bakal maen ke rumahmu setelah ini."
Diarty melirik Beno sesaat, "Aku tinggal di belakang kampus pertanian, Mas."
Beno terdiam, ia lalu melajukan mobilnya menuju ke alamat yang ditunjukkan Diarty.
Dalam perjalanan sama sekali tak ada percakapan. Suasana mendadak sangat canggung, hanya terdengar suara musik pelan dari dalam mobil mewah milik Beno.
"Kenapa?" Beno tiba-tiba membuka suara membuat Diarty perlahan menolehkan kepala ke arah Beno.
"Kenapa kamu selalu ngehindar dariku? Kenapa? Apa aku terlihat begitu buruk buat kamu?" tanya Beno seraya menatap Diarty sejenak.
Diarty menelan ludah, ia memalingkan wajah dan pura-pura tak membalas tatapan Beno di sampingnya.
"Selama empat tahun ini, kamu kemana aja? Apa kamu nggak tahu bagaimana perasaanku ke kamu?" imbuh Beno sembari menatap jalanan di depan yang padat lalu lintas. Wajahnya mendadak murung, matanya menyorot dengan tatapan sedih.
"Di, aku kangen banget sama kamu."
*****
Ihh, Mas Beno ketemu-ketemu udah bilang kangen. Ciee... Cie....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro