9
Bongbong mengambil air minum di dapur, lalu menuju kamarnya. “Erin ketiduran, Mah?”
“Iya, nungguin kamu lama banget. Ngapain Arius ke sini?”
“Biasa... tukang tebar pesona, maunya dipuji terus. Minta Bongbong terima cinta dia. Ya kali, Bongbong udah nggak waras nerima cinta dia.” Bongbong meletakkan gelasnya di meja belajar, lalu mengambil buku Erin. “Mama bawa Erin ke kamarnya, aja! Biar aku kerjain PR dia di sini.” Bongbong mengambil kertas A4 di atas printer untuk mengerjakan PR adiknya.
Erin tertidur pulas berada di pangkuan Mamanya. Lutfi, ibu tiga orang anak itu masih terlihat muda. Rambut panjang, dengan mata lentik dan gigi gingsul seperti Bongbong. Anak kedua perempuan, berada di sekolah menengah umum, kelas dua. Lutfi bekerja di swalayan dekat rumahnya. Suaminya telah meninggal lima tahun lalu.
“Kamu jangan keseringan begadang, Bong! Nggak bagus buat kesehatan, liat, nih, kerutan di mata kamu, ada mata pandanya juga,” tunjuknya pada mata Bongbong.
Bongbong sedikit menyingkir untuk menghindari jari Mamanya. “Biar cepet wisuda, Mah.” Bongbong langsung mengambil tas yang ada di meja belajar, lalu mengambil amplop yang diberikan Jay tadi siang. “Mah, ini ada uang buat biaya sekolah Cilla sama Erin.” Bongbong menyerahkan setengah dari uang yang diterimanya dari Jay.
“Uang dari mana?” Lutfi membuka amplop dan menghitung jumlahnya. “Ini banyak banget, Bong? Kamu kerja apa sampe dapet uang sebanyak ini?” Lutfi meletakkan amplopnya di atas laptop Bongbong, dan meminta penjelasan dari dia.
“Tapi Mama jangan marah, ya? Halal, kok.”
“Nggak mungkin kalo halal kamu bilangnya begitu.”
“Jadi, abangnya Key. Mama inget Key, ‘kan? Temen Bongbong yang suka jemput naik mobil itu. Abangnya nyewa Bongbong sebagai tunangannya. Intinya begitu.” Bongbong duduk di pinggiran tempat tidurnya.
“Abangnya Key? Si Jay?”
“Kok, Mama tau?” Matanya memicing, dengan pikiran penuh tanya. Tidak mungkin jika mamanya mengenal Jay, ‘kan?
“Dia pemilik pabrik gede yang di sana, nggak mungkin mama nggak kenal. Apalagi nenek-nenek di daerah bawah. Dia suka ngasih donatur ke tetangga bawah.”
Benar saja, orang sekampungnya sudah mengenal lelaki yang baru ia jumpai hari ini dari lama. Sedangkan dirinya? Ia sudah lama mengenal Key, tapi baru mengetahui kakaknya sebagai donatur warga kampungnya hari ini.
Perkampungan Bongbong merupakan jalanan menurun. Ada yang di bagian atas, ada yang bagian bawah. Penduduk sering menyebutnya daerah atas dan bawah.
Bongbong manggut-manggut mendengar cerita dari Mamanya. Ternyata seorang Jay itu sangat dermawan, pantas saja kekayaannya melimpah ruah. Bukankah harta yang disedekahkan bisa kembali berkali-kali lipat dari Tuhan? Dengan sedekah juga mengajarkan kita akan kasih sayang terhadap sesama makhluk.
“Yaudah, kamu cepet tidur! Jangan begadang lagi. Inget, kerutan mata itu bikin kita cepet keliatan berumur,” goda Mamanya.
“Isssh.... Mama. Udah sana, bawa Erin ke kamarnya!” Menarik tangan Mamanya agar segera menggendong Erin keluar.
Sebelum menutup pintu, Mamanya terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi ditahan. Membenarkan Erin dalam gendongannya, tangan kanannya mengelus punggung Erin pelan.
“Kenapa lagi?” tebak Bongbong.
“Jangan pake hati kalo belum mau nerima seseorang buat singgah di sini. Apalagi belum siap ngerasain sakitnya,” tunjuk Lutfi tepat di hati anaknya.
Lutfi tidak mau melihat anaknya merasakan sakit hati jika menjalin kasih dengan orang kaya seperti Jay, terlebih kekayaan yang dimiliki orang itu tidak main-main. Sangat kaya.
“Siap, Komandan,” hormatnya. Dengan tangan hormat di samping pelipis seperti polisi yang hormat ketika bertemu dengan atasannya.
Bongbong menutup pintu kamarnya. Sudah pukul sebelas malam, matanya belum ingin terpejam. Ia memilih untuk mengerjakan PR adiknya lalu melanjutkan skripsinya yang belum kelar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro