8
Sepulang kerja, Bongbong langsung mengerjakan skripsinya. Ditemani segelas kopi latte yang dibelinya di gerai pinggir jalan.
Tok tok tok ....
Suara ibunya terdengar memanggil nama Bongbong, dengan ketukan pintu yang pelan.
“Iya, Mah?” tanya Bongbong setelah membuka pintu kamarnya.
“Dicariin Arius, Bong. Ada hal penting katanya.” Lutfi masuk ke dalam kamar, berdiri di depan pintu dan melihat kasurnya sudah ada laptop dan juga printer.
“Kak Bongbong, ajarin Erin PR, dong!” Adiknya yang kelas enam sekolah dasar menyempil di sebelah Lutfi.
Bongbong menghadap Erin, dan berlutut untuk menyamakan tingginya dengan adik tercinta. “PR apa, Sayang? Duduk dulu di kasur, nanti kak bongbong ajarin. Tapi, nggak boleh mainin yang ada di kasur, ya!”
“Oke,” balas Erin sambil mengacungkan jempol, yang kemudian rambutnya diusap Bongbong.
Bongbong berdiri menghadap Lutfi. “Dia ngapain lagi ke sini?”
“Pengen ngobrol sama kamu, berdua aja katanya.”
“Susah ngomong sama batu, Mah.” Bongbong keluar kamar, dan Lutfi terlihat menemani Erin yang duduk di kasur.
“Hai ... lagi sibuk, ya?”
“Udah tau nanya. Kenapa lagi? Gue bener-bener sibuk ini, lagi ngerjain skripsi.”
Arius adalah cowok ganteng, rambut pendek sedikit cepak, berpenampilan rapi. Mapan. Dengan gaji enam digit, tinggal di Gang di kota 021 itu termasuk orang kaya. Banyak cewek yang menyukainya, tapi Arius masih memilih Bongbong sebagai tambatan hatinya. Pantang menyerah sebelum janur kuning melambai di depan rumah.
“Sebentar aja, kok. Kita ngobrol di luar, yuk!” ajaknya. Arius sudah berdiri, bersiap mengajak Bongbong keluar rumah.
Bongbong langsung duduk. “Di sini aja, gue nggak bisa keluar rumah, apalagi di depan. Banyak cewek lo.”
“Gue nggak punya cewek, Bong. Yang ada di hati ini cuma elo doang, nggak ada yang lain. Kalo lo nggak percaya, biar besok nyokap bokap gue dateng ke sini buat ngelamar elo.”
“Apaan, sih? Awas aja kalo sampe nyokap lo dateng ke sini, kita nggak kenal lagi!” ancamnya. Arius langsung takut jika sudah diancam begini. Cowok setengah tulen itu tidak akan berani macam-macam dengan Bongbong.
“Jangan, dong! Gue beneran sayang sama elo, Bong. Apa selama ini masih kurang buat ngebuktiin ke elo, bahkan ke keluarga lo juga gue mau buktiin, ‘kan?”
Memang benar, sih. Selama ini, Arius selalu membantu Bongbong saat dirinya kesusahan. Terlebih saat ayahnya meninggal lima tahun lalu, dirinya menjadi tulang punggung untuk keluarganya. Namun, itu bukan permintaan dari Bongbong, melainkan Arius sendiri yang menawarkan diri dan memaksa Bongbong untuk menerima bantuannya, seperti pinjaman uang, masalah kelistrikan, juga masalah yang lain.
“Gue nggak minta, dan elo yang maksa gue buat nerima bantuan lo kalo lo lupa!” tegas Bongbong. Seolah dirinya tukang minta-minta perhatian, serta bantuan pada Arius.
Seharusnya cowok itu mikir, jika sudah ditolak berkali-kali, berlenggang lah ke cewek lain yang masih menerima dia. Bukan malah mengemis pada Bongbong, terlebih mengungkit masa lalu.
Membuat Bongbong semakin naik pitam. Hal yang sudah berlalu tidak pantas untuk diungkit, apalagi itu masalah pemberian. Bukankah lebih baik ketika tangan kanan memberi, dan tangan kiri berada di belakang?
“Gue nggak lupa, kok. Kalo bukan bantuan dari gue, emang keluarga besar lo mau bantuin? Enggak, ‘kan? Cuma gue yang masih mau nerima lo disaat lo lagi terpuruk,” pujinya pada diri sendiri.
“Keluarga besar gue? Om sama eyang gue mau bantuin waktu itu, tapi lo bilang apa? Nggak apa-apa, Om, sebagai seorang temen wajib saling membantu. Itu, ‘kan, yang lo ucapin dulu? Kalo ke sini cuma mau ngungkit, mending lo pulang, deh! gue sibuk.”
Jika memberi hanya untuk mendapat pujian atau mengungkitnya setelah lama terjadi lebih baik tidak memberi. Bongbong sangat menghindari orang yang gila akan pujian atau mengungkit apa yang sudah diberi pada orang lain. Seperti tidak ikhlas, tapi harus merelakan.
Bongbong menarik tangan Arius untuk keluar dari rumahnya. Dirinya sudah muak dengan ocehan cowok setengah tulen seperti dia yang selalu mengungkit jasanya agar diterima cintanya.
“Bong, Arius masih ngejar, lo?” teriak Brian dari warung depan. Dia sedang nongkrong bersama Panjul dan Niki. Bongbong tersenyum pada mereka, dan mengangguk.
“Eh, gue nggak ngejar, ya! Gue nyatain perasaan tulus gue,” ungkapnya.
“Yang tulus nggak akan ngomong tulus di depan orangnya.” Setelah mengucapkan itu, Bongbong langsung menutup pintu rumahnya sedikit kencang hingga Arius terkejut.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro