Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Cuilan Kisah Dari Masa Depan

Ketika orang lain sibuk berkutat dengan kemacetan di Kota Jakarta ini, gue sudah duduk manis di ranjang. Lebih tepatnya, gue sibuk memastikan sesuatu.

Pukul 06.06 malam, jari gue menari di layar ponsel. Gue sedang meluangkan waktu berbicara via dunia maya dengan seseorang yang sikapnya terus mengganggu pikiran belakangan ini. Daripada terus overthinking dengan asumsi tanpa akhir,  lebih baik gue tanya langsung ke orangnya.

Sheila
Kamu kenapa sih?

Juna
Nggak apa-apa.
Kenapa memang?

Sheila
Ngerasa kamu
agak berubah aja.

Juna
Memang apa yang
kamu rasakan?

Sheila
Cuek. Datar. Kamu kenapa sih?
Aku ada salah? Bilang aja biar jelas.
Aku nggak bisa baca pikiran.

Setelah meletakkan ponsel di atas bantal, guemenarik tisu.

Oh, tenang saja. Tisu itu bukan untuk sebuah tangisan. Bukannya gue sok kuat, tapi saat ini gue sedang nggak punya alasan untuk menangis. Satu-satunya alasan gue mengambil tisu karena ingus sialan yang membuat gue tersiksa dua hari ini.

Usai menghempaskan lendir itu dari hidung, pikiran gue pun melanglang buana perihal Juna. Kira-kira bagaimana balasan pesan dari Juna? Apakah hati gue akan sakit? Atau justru lega?

Entah kenapa, gue selalu berpikir kalau Juna akan memberikan jawaban yang gue takutkan. Hati kecil gue bilang, Juna akan meninggalkan gue untuk....

Entah untuk apa. Gue nggak tahu. Itu hanya ketakutan tidak beralasan dari seorang gadis yang sedang menjalani LDR. Guerasa, ini adalah efek dari terlalu sering melihat video perselingkuhan di sosial media. Sudah berulang kali gue menekan pilihan 'TIDAK TERTARIK', tapi video sejenis selalu muncul di beranda.

Gue kesel sih jujur.

Ah, aplikasi sosial media sialan.... Besok gue akan menghapus aplikasi itu. Bukan aplikasinya sih yang salah, guenya yang kebanyakan pikiran. Sangat tidak ramah bagi tipe orang overthinking seperti gue.

Di tengah pikiran yang berputar-putar, akhirnya ponsel gue bergetar juga. Gue menarik napas panjang sebelum meraih benda kecil itu. Perlahan gue membuka pesan masuk dari Juna.

Juna
Mungkin karena sudah
nggak ada yang bisa diperjuangkan
dan dipertahankan lagi.

Detik itu juga, langit seolah runtuh dan menghantam tubuh ini.

Gue terdiam. Meskipun jawaban itu sudah terpikirkan sejak kemarin, tapi tetap saja kepala ini terasa berat. Tetap saja hati gue tergores dalam.

Gue menarik napas panjang berulang kali.

Dada gue sesak. Jujur, sesak banget.

Tapi apalagi yang bisa gue lakukan? Memohon ke Juna biar tetap bersama?

NOPE. Nggak akan. Gue bukan tipe orang yang seperti itu. Kalau dia mau pergi, ya pergi saja. Gue sama sekali nggak ingin menahannya meskipun gue masih sayang.

Pelan tapi pasti, gue berusaha menata hati dan pikiran yang mendadak kacau. Gue membisu dalam waktu lama, sampai akhirnya gue mengetik balasan untuk Juna.

Sheila
Nah, gitu dong dari kemarin.
Bukannya diem aja. It's ok kalo
kamu emang capek. Toh aku juga
nggak bisa maksain kan.

Juna
Oke. Done.

Sheila
Kalo nikah, kabarin.
Oh ya. Minta alamat barumu.

Read only.

Gue terdiam dengan tatapan kosong. Namun sepenuhnya gue sadar, beberapa hal akan berubah—kalau tidak bisa dikatakan 'hilang'.

Napas ini terhela pelan. Apakah ini benar-benar akhir? Gue hanya bisa memandangi layar ponsel dengan hati kalut. Juna nggak membalas pesan gue. Rasa kalut yang terlalu tiba-tiba membuat gue mengambil tindakan impulsif yang sepertinya akan gue sesali. Sekali lagi, gue mengirim pesan untuk Juna.

Sheila
Bisa minta alamatmu?

Juna
Buat apa sih?

Sheila
Balikin barang dari kamu.

Setelah mengirim pesan, gue tersenyum. Kebahagiaan gue sederhana. Sesederhana mendapat pesan balasan dari Juna—meskipun hanya sebuah kalimat yang ogah-ogahan. Dan omong-omong, gue nggak serius soal mengembalikan barang pemberian Juna. Itu hanya alasan random gue agar tetap bisa bicara dengannya.

Juna
Nggak usah dikembalikan.

Pesan dari Juna membuat senyuman ini semakin lebar. Jari gue semakin bersemangat mengetik pesan. Gue harus mengambil kesempatan ini. Rindu gue harus terobati!

Sheila
Aku nggak bisa simpan
barang dari mantan.
Aku harus kembalikan ini.
Minta alamat baru kamu.

Juna
Kamu serius mau
kembalikan barang dariku?

Sheila
Iyap.

Juna
Oh, kalau begitu sekalian
kembalikan uangku yang
habis buat kamu selama 6 tahun.

Senyuman gue menghilang.

Bahagia gue sederhana. Tapi yang membuat gue hancur juga sangat sederhana.

Gue mencengkeram ponsel kuat-kuat. Ternyata Arjuna Jamaludin yang sudah lebih dari enam tahun gue kenal bisa setega ini. Dia anggap apa kenangan yang dulu? Sebuah transaksi perasaan? Barter? Tukar tambah? Atau mungkin kenangan antara kami cuma sebatas kenangan cinta monyet buat dia?

Gue benci....

Tapi kenangan yang terkumpul selama enam itu tahun menahan gue untuk membenci dia lebih jauh. Demi apa pun, gue nggak habis pikir dengan sikap Juna yang sekarang. Tenggorokan gue tercekat. Seperti ada yang menusuk hati gue perlahan dari dalam.

Sakit.

Tapi lucunya, airmata ini nggak bisa keluar....

Tanpa diminta, otak gue memainkan rekaman kenangan perihal kami: Sheila dan Juna.

Gue sama sekali nggak mau mengingat bagaimana seorang Juna rela mengantar gue pulang—setiap selesai latihan teater. Padahal setelah itu, dia harus putar balik 25 km lagi untuk sampai ke rumahnya sendiri. Malam-malam, demi gue.

Gue juga enggan mengingat bagaimana Juna (di tengah rapat) buru-buru menyusul gue ke Stasiun Tugu. Gue harus kembali ke Jakarta dan itu adalah kesempatan terakhir kami untuk bertemu. Pada akhirnya, kami gagal bertemu karena terjebak macet. Namun Juna tetap berdiri di pinggir jalan sampai kereta yang gue naiki lewat di depannya.

Demi melihat wajah gue lagi, katanya.

Gue pernah seberharga itu di mata dia.

Pernah. Hanya pernah.... Kemarin. Dulu. Entah kapan.

Shit! I did it. Barusan gue bilang, nggak ingin mengingat apa pun. But actually I did it.

Kepala gue nyaris pecah mengingat itu. Rasanya ingin sekali gue memaki otak ini karena sudah me-rewind memory tentang Juna seenaknya sendiri. Ingatan itu menusuk hati gue tanpa ampun. Tapi sekali lagi, airmata ini nggak bisa keluar.

Hhhh....

Harusnya gue bersyukur karena tidak perlu repot-repot menghabiskan airmata untuk seorang lelaki. Tapi masalahnya, sakit hati ini perlu diluapkan. Gue nggak mau semakin menumpuk sampah perasaan yang memperburuk kondisi mental.

Nyebelin, ya?

Di saat yang lain pantang menangis dan berusaha keras untuk tidak menangis, gue malah berharap bisa menangis di kamar yang remang-remang ini.

Benar-benar sebuah paradoks.

🍂

"Enak banget ya, Kak. Jalan-jalan terus."

"Lo cantik banget deh!"

"Enak banget jadi Kakak."

"Udah cantik, pinter, suaranya bagus, body goals, baik lagi."

Ada banyak pesan atau komentar yang gue terima di sosial media. Mereka kira, hidup gue sempurna. Mereka bilang, mereka ingin menjalani kehidupan seperti gue.

Dan gue pun hanya bisa tertawa dalam kepedihan.

Jujur, gue merasa buruk. Gue merasa sedang melakukan pembohongan publik. Uhm, oke itu terlalu berlebihan. Let's say, gue seperti sedang melakukan pencitraan layaknya para politisi di negeri ini. Bedanya, mereka (para politisi itu) melakukan pencitraan demi harta dan tahta.

Sementara gue....

Gue nggak punya tujuan sebesar itu. Atau bahkan, bisa dibilang gue nggak punya tujuan apa-apa. Gue hanya ingin menjalani kehidupanku dengan baik. Gue hanya orang biasa yang nggak mau menjual kesedihan di depan publik. Gue nggak mau orang-orang jahat itu bahagia melihat penderitaan ini. Gue sudah cukup menderita. Jadi gue nggak akan memberikan celah bagi orang-orang jahat itu untuk menari di atas rasa sakit ini.

Nggak dan nggak akan pernah.

Yeah, kehidupan gue memang nggak sesempurna yang terlihat di sosial media atau di luar. Gue menyimpan banyak luka dan trauma di dalam. Dan sekarang gue penasaran. Kalau mereka tahu kisah asli gue, apa iya mereka masih mau menjalani kehidupan seperti gue?

Hai, gue Sheila Anandita. Seorang gadis berusia 26 tahun yang masih berjuang untuk berdamai dengan masa lalu dan diri sendiri. Gue nggak pernah bilang bahwa hidup gue yang paling menderita.

Nggak! Gue nggak sedramatis itu. Gue tahu, banyak di luar sana yang mengalami hal sama. Bedanya, gue punya keberanian untuk berkisah. Bagi gue, menunjukkan sisi gelap hidup sama normalnya dengan menunjukkan sisi terang. Sementara mereka, mungkin lebih memilih memendamnya sendirian—menyimpan sisi gelap itu untuk dirinya sendiri karena takut akan banyak penghakiman dari orang lain

Dan semua itu membuat gue ingin bertanya pada kalian.

"Sampai kapan mau lo pendam? Lepasin. Lo berhak bahagia...."

"Membandingkan kehidupan kita dengan orang lain memang tidak akan pernah ada habisnya."
Dimudipu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro