02. Nanti Magang Gue Gimana?
"Saga, bisa bantuin gue nggak? Gue lagi di kantor polisi."
"Lo ngapain di sana?! Lo ditangkep?!"
Suara keras Saga membuat gue menjauhkan ponsel dari telinga. Gue menghela napas.
"Gue dituduh nyimpen narkoba di jajanan," kata gue pelan. "Tapi lo tau sendiri kan? Gue bukan orang yang kayak gitu. Demi Tuhan, gue cuma dapet kiriman paket. Itu bukan punya gue."
Napas Saga terdengar sedikit berat dari seberang sana.
"Oke. Gue hubungin bokap gue dulu. Lo sabar ya. Ntar gue ke situ," ucap Saga berusaha menenangkan gue.
"Gue di kantor polisi deket apartemen. Thanks, ya."
Panggilan itu berakhir. Gue duduk dengan tatapan kosong di kursi kantor polisi. Jangan sampai kabar ini bocor ke sosial media. Reputasi gue bisa ternodai.
"Anak muda zaman sekarang nggak tau diri. Stres sedikit larinya ke narkoba. Pinter banget modusnya. Narkoba di jajanan bolsu," sindir seorang polisi bernama Firman.
Polisi mengamankan bolsu misterius beserta bubuk putih yang ternyata adalah narkoba. Gue sangat awam tentang benda haram itu. Seumur hidup, gue nggak pernah melihat narkoba. Bagaimana bisa gue tahu bahwa itu adalah salah satu jenis narkoba? Di mata gue, itu masih terlihat seperti susu bubuk taburan bolsu.
Gue menatapnya tajam. "Itu bukan punya saya."
"Mana ada penjahat ngaku."
"ITU BUKAN PUNYA SAYA! SAYA DIJEBAK!" balas gue membentaknya. Tidak sopan, tapi kesabaran gue memang hanya setipis tisu. Fakta bahwa gue hanya dijebak membuat emosi ini semakin meledak. Rasanya gue ingin menebas kepala pria di hadapanku ini.
"Itu narasi yang sering saya dengar! Dijebak dijebak padahal punya mereka sendiri!" hardik Pak Firman. Tiba-tiba ia mencengkeram lengan dan menyeret gue dengan kasar. "Sini kamu!"
Kemarahan gue semakin naik. "Nggak usah nyeret-nyeret dong! Saya bisa jalan sendiri!"
"Otakmu yang nggak jalan! Berani kamu bentak-bentak polisi?!"
"EMANG KENAPA?! POLISI JUGA MANUSIA BIASA! NGGAK USAH NGERASA PALING BERKUASA! HAUS BANGET PENGEN DIHORMATIN?! UDAH DIBILANGIN, SAYA NGGAK SALAH!" teriak gue mengamuk sambil menahan tubuh dari seretan itu.
Brukkk!
"Awww...."
Gue mengelus lengan yang sakit karena terbentur dinding. Polisi keparat itu menghempaskan tubuh gue dengan kasar hingga menabrak tembok. Belum puas dengan itu, ia mendekati gue dengan wajah arogan.
"Kamu pasti sedang mabok narkoba. Nggak usah macem-macem kamu. Hukumanmu bisa lebih berat kalau kamu berani melawan. Paham kan?" ancam Pak Firman.
Gue mendengus kesal. "Nama doang Firman. Kelakuan lebih kayak setan sih. Pantes aja rakyat udah nggak percaya sama kalian."
Mata Pak Firman melotot. Tangannya mengcengkeram kedua pipi gue.
"Baru kali ini ada yang berani kasar sama saya. Hati-hati kamu. Saya bisa bikin kamu makin lama di penjara."
Cengkeraman itu terlepas. Gue mengelus pipiku yang perih.
"Anda sengaja membuat kasus palsu biar cepat naik pangkat, kan? Saya juga bisa bikin Anda viral dan membuat Anda dicopot dari jabatan," balas gue balik mengancam.
Pak Firman terlihat tidak percaya dengan pendengarannya. Ia kembali mendekati gue dan mencengkeram kerah baju ini. "Kamu ngancem saya?"
"Iya. Kenapa? Nggak suka? Sama. Saya juga nggak suka diancam," oceh gue kesal.
"Kam—"
"Bapak lagi apain temen saya?"
Suara Bintang menyela ucapan Pak Firman. Gue dan polisi sialan itu sama-sama menoleh. Bintang melangkah mendekati gue. Ia melepaskan tangan Pak Firman dari kerah baju gue. Sejenak ia tersenyum sambil merapikan rambut gue. Setelah itu, ia memberikan kode agar gue duduk. Gue pun mengikutinya.
"Urus temen kamu. Mulutnya kurang ajar," oceh Pak Firman meninggalkan kami.
Bintang tersenyum hambar. "Lo nggak apa-apa, Kak?"
"Lo nggak usah basa-basi nanya. Gue nggak baik-baik aja," jawab gue masih kesal.
"Semua bakal baik-baik aja."
Gue mendengus pelan. "Lo ngomong kayak gitu karena nggak berada di posisi gue."
"Iya. Tapi nggak salah kan kalo gue kasih semangat?"
"Gue nggak mau dikasihanin."
"Katanya penulis. Kok nggak ngerti bedanya dikasihanin sama disemangatin?" sindir Bintang membuat gue semakin kesal.
"Memberi semangat itu muncul karena adanya perasaan kasihan," sahut gue cepat.
"Jadi itu yang lo pikirin setiap memberikan semangat ke orang lain?" senyum Bintang. "Nggak semua orang punya alasan yang sama. Gue kasih semangat buat lo karena gue tau lo nggak salah, Kak. Gue tau lo kuat. Tapi gue pengen lo lebih kuat lagi untuk membuktikan kalo lo nggak salah."
Gue hanya diam dalam kebingungan.
Bagaimana ini semua bisa terjadi?
Apa motif orang misterius itu?
🍂
Saga datang!
Akhirnya dia datang setelah penantian nyaris tiga jam! Gue sangat lega. Gue sudah muak dengan pertanyaan dan tatapan menghakimi dari para polisi itu!
Mungkin kalian heran kenapa gue bisa selega ini dengan kehadiran Saga. Sebenarnya bukan Saga, tapi seorang pria gagah berseragam perwira yang datang bersamanya lah yang membuat gue lega luar biasa.
"Selamat malam," sapa pria gagah itu.
Mendadak semua polisi yang ada dalam ruangan itu membalas sapaannya sambil menunduk hormat. Pria gagah bernama Pak Pratama. Beliau adalah ayah Saga yang berpangkat tinggi di institusi kepolisian. Oh, kalian pikir keberanian gue melawan polisi tadi tidak beralasan?
Salah.
Gue berani melawan karena... pertama, gue memang nggak salah. Kedua, gue punya back up dari sisi jabatan dan dari sisi popularitas gue. Anjing lah! Gue lagi sakit begini kenapa malah ditangkap polisi? Jujur, gue marah banget!
"Kenapa mendadak sekali ke sini, Pak?" tanya Pak Firman itu dengan lagak manis.
"Oh, saya dapat laporan soal keponakan saya," jawab Pak Pratama seraya melemparkan tatapannya ke arah gue. "Katanya keponakan saya ditangkap karena kasus narkoba. Itu keponakan saya."
Seketika wajah Pak Firman dan rekan-rekannya pucar pasi. Gue menyeringai melihatnya. Matilah kalian! Belagu banget sih! Arogan! Mau apa lo sekarang?! Mampus! Gue menyumpahi mereka dalam hati.
Saga menghampiri gue. "Lo bilang punya bukti kalo nggak salah kan?"
Gue mengangguk lalu menatap Bintang. "Bin, kasih videonya ke Saga."
Bintang mengangguk pada Saga. "Udah gue kirim ke hp lo, Kak."
Saga pun mengecek ponselnya. "Thanks."
Kening gue mengernyit. Kak? Kirim ke hp? Wait.... Bintang kenal sama Saga?
Rasa penasaran itu gue simpan dulu. Masalah bolsu sialan itu harus selesai malam ini juga. Gue memandangi Saga yang menunjukkan video itu ke ayahnya.
"Ini, Pa. Ini bukti kalau Sheila nggak tau apa-apa soal kiriman itu," kata Saga.
"Tadi gue udah nunjukkin video itu ke mereka. Tapi mereka malah maki-maki gue, Ga. Gila, ya. Nggak ada sopan-sopannya jadi aparat," oceh gue menumpahkan kekesalan. Gue sedang berada di atas angin sekarang. Mereka nggak akan berani maki-maki gue lagi.
Pak Pratama menarik napas dengan berat setelah melihat video dan mendengar ocehan gue. Beliau menggelengkan kepala sambil menatap para polisi satu per satu.
"Sudah tes urine?"
"Negatif," sambar gue cepat.
"Jadi saya pikir kita semua sudah tahu. Bukti sudah kuat. Jangan diproses kasus ini," titah Pak Pratama tegas. Beliau menghampiriku sambil tersenyum, "Kamu boleh pulang."
Gue melonjak kegirangan. "Makasih, Om."
Semudah itu?
Ya, semudah itu kalau seseorang punya koneksi bagus. Mungkin gue keliru telah menyalahgunakan kekuasaan Pak Pratama untuk menyelesaikan masalah. Tapi apapun akan gue lakukan untuk membuktikan gue nggak salah. Faktanya, gue memang nggak bersalah.
🍂
Saga menyetir mobil dengan tenang. Pak Pratama duduk di sampingnya, sibuk dengan ponsel yang kecerahan layarnya to the max. Benar-benar tipikal generasi boomer. Sementara itu, gue dan Bintang duduk berdampingan di belakang. Gue dan Saga saling melirik sejenak melalui spion tengah.
"Lo lagi musuhan sama siapa?" tanya Saga tiba-tiba.
"Nggak ada," jawab gue singkat. Sebelum Saga kembali bersuara, gue melanjutkan, "Lo kenal sama Bintang?"
"Dia sepupu gue," jawab Bintang menyahut obrolan gue dan Saga.
Spontan bibir gue membulat. "Kok lo gak pernah bilang?"
"Mau profesional aja sih, Kak."
"Sheila," panggil Pak Pratama yang membuat gue mendadak ciut. Beliau menoleh ke belakang. "Kamu mau kasus ini benar-benar ditutup atau kamu mau tracing siapa pengirim paketnya untuk laporan pencemaran nama baik?"
Di saat gue akan menjawab, tiba-tiba Bintang menyenggol lengan gue. Ia memberikan kode 'TIDAK' melalui sebuah gelengan kecil. Gue tahu Bintang hanya seorang mahasiswa semester akhir, tapi entah kenapa gue setuju dengan dia.
"Tutup aja, Om. Tapi kalau kepolisian mau ambil alih tanpa melibatkan saya, silakan."
Jawaban gue membuat Pak Pratama mengangguk. Gue tahu, tadi gue memang berpikir untuk mencari tahu pelakunya. Tapi gue mendadak berubah pikiran. Gue harus fokus ke pemulihan dulu. Sudah cukup dramanya hari ini.
Mobil Saga memasuki kompleks apartemen. Kemudian berhenti sempurna di depan lobi. Sebelum turun, gue mengucapkan terima kasih sekali lagi pada mereka. Tanpa mereka, mungkin gue sudah mendekam di penjara. Bintang tersenyum sambil melambaikan tangan.
"Met tidur, Kak," katanya yang membuatku mengangguk kecil.
🍂
Seharusnya gue sudah bisa tidur dengan nyenyak malam ini dan seterusnya. Nyatanya, rumor tentang narkoba di apartemen menyebar dengan sangat cepat. Untungnya tidak ada yang peduli dengan itu. Rumor tetaplah menjadi rumor. Gue bersyukur untuk yang satu itu.
Keesokan harinya, gue mendengar bisik-bisik di kantor perihal narkoba itu. Tapi mereka masih bersikap normal di depan gue. Gue juga masih bersyukur untuk hal itu.
"Kak—"
"Minta tolong ke yang lain aja," tolak gue mentah-mentah.
"Gue cuma mau nanya. Lo udah enakan?" Bintang menyambung pertanyaannya. Sebelum gue sempat menjawab, ia meletakkan satu kotak bento di meja gue.
Gue menatap bento itu, lalu memandang Bintang. "Gue nggak minta."
"Mama buatin ini buat gue. Kebetulan ada lebih, terima aja ya, Kak."
Seketika gue menyesal mengatakan 'gue nggak minta'. Dalam sekejap, perasaan tidak enak sekaligus iri menyergap hati ini. Betapa menyenangkannya jadi Bintang yang hidup penuh perhatian dari orangtuanya. Sekarang gue nggak heran kenapa Bintang sangat baik dan ramah. Ibunya memberi kasih sayang yang cukup dan itu membuat sisi dengki gue meronta-ronta.
Bintang kembali ke tempat duduknya. Gue penasaran, bagaimana rasanya punya ibu yang perhatian? Bagaimana rasanya dibuatkan bekal bento setiap hari? Bagaimana rasanya dihujani kasih sayang oleh ibu?
Ingatan gue tentang kasih sayang orangtua sangat samar. Gue bahkan nggak ingat kapan terakhir kalinya mama menanyakan kabar.
"Kenapa bukan lo aja yang nelpon ortu?"
Percayalah, gue sudah sering mendengar pertanyaan itu. Apa yang bisa diharapkan dari seorang anak yang tidak mendapatkan perhatian cukup dari orangtuanya? Gue dibesarkan dalam hubungan yang canggung. Yang bahkan untuk sekadar bercerita ke orangtua sendiri, gue nggak berminat. Lagipula siapa yang betah dihakimi duluan oleh orangtua sendiri?
Pernah gue mencoba menceritakan tentang hari gue.
Tahu apa kata mama?
Baru dua kalimat keluar dari bibir ini, sahutan mama meluncur lima paragraf dengan penuh penekanan dan penghakiman.
Ma, aku cuma mau cerita. Aku cuma pengen didengerin....
Jangan bilang gue nggak pernah mencoba. I've tried my best.
Pada akhirnya, gue merasa sia-sia. Bukan gue yang menciptakan dinding tebal dan tinggi itu. Gue sudah berusaha menghancurkan dinding itu, tapi orangtua gue terus membangunnya dengan lebih tinggi lagi.
Lalu, apakah masih salah gue juga jika akhirnya gue menarik diri?
Ponsel gue bergetar. Gue memandang pesan dari Bintang di layar.
Bintang (intern)
Obatnya diminum. Lo gak boleh sakit
sampai gue selesai magang.
Gue mendengus pelan. Sejak kemarin Bintang hanya membahas soal internship-nya. Sepertinya dia tidak benar-benar tulus menjaga gue. Ini semua semata-mata demi magangnya. Hhh... harusnya gue sadar sejak awal.
Sheila
Ya.
Bintang (intern)
Soal rumor narkoba itu, biar gue yang urus.
Lo jangan kebanyakan pikiran, ntar kumat.
Sheila
Ok
Bintang (intern)
Ntar gue anter. Jangan jalan kaki lagi.
Sheila
Gue bawa mobil
Bintang (intern)
Tinggalin aja mobilnya di parkiran.Gue anter. Gue gamau lo kumat di jalan. Ntar nasib intern gue gimana?
Itu pesan terakhir Bintang yang gue baca. Jujur, gue muak banget melihat kata 'intern' sejak tadi. Ternyata kebaikan tanpa pamrih itu hanya omong kosong. Bintang contohnya. Gue pikir dia tulus membantu sejak kemarin. Hari ini baru ketahuan motif sebenarnya. Semua karena magang. Nggak lebih.
"Sheil, makan siang yuk," ajak Aurora menghampiri gue.
"Di mana?" tanya gue sambil mematikan laptop.
"Pengen nasi padang nih. Lo mau juga nggak?"
"Boleh." Gue mengangguk cepat. Kami pun melenggang pergi dari ruangan dengan tatapan Bintang yang mengekor. Anak magang itu memandang mejaku dengan sedih.
Ya, gue memang sengaja meninggalkan bento dari Bintang di meja.
Gue nggak akan menyentuh makanan itu.
Gue nggak mau orang baik karena ada maunya.
Gue maunya diperlakukan dengan tulus.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro