Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7


"Ya kamu salah kalo tetap ngejar wanita yang dulu kamu incar, dia sudah nikah."

Sita salah satu dokter yang juga bertugas di rumah sakit itu memberika pendapatnya pada Didit, mereka seusia dan Didit merasa nyaman curhat pada Sita. Siang itu mereka baru saja selesai makan di salah satu m rumah makan yang tak jauh dari rumah sakit.

"Dia nggak bahagia dengan suaminya, sebel aku lihat suaminya yang kayak gak ada rasa khawatirnya lihat istrinya sakit."

"Bukan urusan kamu lagi, wanita itu bahagia ato nggak, kamu mau dicap pebinor?"

"Gak peduli aku kalo penderitaan itu dialami oleh Nisa, coba aja kamu bayangin wanita yang dulunya cerdas, ceria, penuh semangat lah sekarang terlihat lelah, kuyu dan kayak nggak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya."

Sita tertawa mendengar ucapan Didit.

"Kamu hiperbola."

"Nggaaak, beneran, karena kamu nggak kenal Nisa, aku gini karena kenal dia sejak kecil, dia sepupu aku."

"Iyaaa aku tahu, kamu sudah bilang."

"Kamu nggak pernah ketemu sih, nih aku lihatin ya foto dia saat masih berkuliah."

Didit mencari foto Nisa di galeri ponselnya dan memperlihatkannya pada Sita.

"Cantikkan? Lihat sorot matanya yang penuh semangat, tertawa lepas gitu eh sekarang bikin aku kaget beneran, deuh secepat itu laki-laki itu mengubah Nisaku."

"Eleeeh Nisaku."

"Dia milikku, sebelum dicuri sama laki-laki lemah itu."

"Laki-laki lemah?"

"Gimana gak lemah namanya kalo dia nggak bisa bikin istrinya bahagia, hanya laki-laki nggak peka yang nggak tahu apa yang dirasakan oleh wanitanya, dan itu sebuah kelemahan."

"Aku pikir dia lemah sahwat." Sita tertawa dengan keras.

"Kali aja iya, sudah enam bulan gak bisa bikin Nisaku hamil, meski kalo masalah kayak gitu belum tentu dia yang lemah sih bisa aja gangguan di salah satunya."

"Udah ... udaaah curhatnya ayo kita balik lagi ke rumah sakit, gak ada habisnya kalo kamu curhat si dia."

"Tar pulang bareng siapa?"

"Gampanglah."

"Bareng aku aja, mobilmu masih di bengkel kan?"

.
.
.

"Kak kok nggak cepat siap-siap ke kantor?"

Nisa melihat Hikam yang belum juga berganti baju.

"Nggak papa Dik, aku kok pingin sekali-sekali memandikan Abyan."

Hikam melihat bagaimana Nisa memandikan dan mulai mengeringkan tubuh Abyan. Lalu membaluri tubuh bayi laki-laki montok itu dengan minyak telon agar hangat, mulai memberikan bedak, memakaikan baju lalu menyisir rambut lebat Abyan dan memberikan Abyan pada Hikam.

"Minta tolong gendong dulu ya Kak, mau meletakkan handuk Abyan ke belakang."

Setelah kembali lagi, Nisa meraih Abyan dari tangan Hikam.

"Kalo pingin kapan-kapan aja pas Kakak sedang tidak ngantor, sana ganti baju aja dulu Kak."

Hikam hanya mengangguk dan berbalik menuju kamarnya. Saat Hikam menghilang dari hadapannya, Nisa baru sadar jika kemarin ada teman Hikam yang datang ke rumahnya dan menitipkan sesuatu padanya.

Nisa menuju ruang makan sambil meraih bingkisan dalam goodybag dan meletakkan di salah satu sisi meja makan. Lalu meraih botol susu yang sudah disiapkan pembantunya, memberikan pada Abyan yang terlihat lahap. Nisa duduk sambil menatap bayi laki-laki yang ada dalam gendongannya.

"Kak ini aku lupa kemarin ada teman Kakak kemari, nitip ini."

Hikam mengerutkan keningnya.

"Siapa?"

"Namanya Kinar, dia nggak mau duduk hanya ngasih itu, teman kantor Kakak ya?"

Hikam duduk, lalu melihat bingkisan yang ada di tangannya, meletakkan lagi di meja, ia mendorong agak jauh.

"Bukan teman sekantor, dia hanya teman kuliah dulu, lama nggak ketemu dan kaget aja dia muncul lagi, semoga nggak bikin masalah lagi."

"Mantan Kakak?"

"Aku nggak punya siapa-siapa di masa lalu, hanya kakak kamu saja."

"Tapi dari sorot matanya aku tahu dia nggak suka aku."

"Paling dia ke sini pingin tahu kamu, saat kakakmu meninggal hanya orang tuanya saja yang ke melayat, sehari setelah kami menikah dia ke rumah orang tuaku kan aku belum menempati rumah ini, orang tuanya dan orang tuaku bersahabat, waktu itu dia ngasi kado, kan dia memang nggak datang ke nikahan kami, memang nggak aku undang, orang tuanya saja yang diundang sama Abi."

"Kayaknya dia suka sama Kakak."

"Mungkin, kami nggak pernah dekat karena sejak awal memang Abi dan ummi nggak berkenan menjodohkan kami, dan akunya memang nggak suka sejak awal aku kenal dia."

Wajah Hikam terlihat mengeras, gerahamnya terlihat bergerak dari luar pipinya.

"Kan cantik Kak? Kenapa?"

"Cantik kan bukan ukuran semua laki-laki pasti mau, dia terlalu ngejar, dan aku nggak suka, dia nggak sungkan memegang laki-laki mana saja, tangannya itu suka ke mana-mana."

"Wah kakak perhatian banget."

"Bukan perhatian, namanya teman kuliah ya tahulah, dan asal kamu tahu kakak kamu tertekan saat tahu wanita itu masih saja mengejar, sudah tahu kami menikah kok ya malah makin jadi ngejarnya, ummi yang menemui orang tuanya meminta tolong agar dia nggak lagi gangguin kakak kamu, neror kakak kamu dengan bingkisan macam-macam dan sudah aku jelaskan bahwa aku nggak ada rasa apa-apa tapi karena kakak kamu pendiam dia hanya mengangguk saja, dari wajahnya aku tahu dia tertekan."

Nisa mengembuskan napas, dan melihat Abyan yang sudah nyenyak di gendongannya.

"Malangnya kakakku, dia nggak cerita sama aku, kakak tertutup sih."

"Kamu hati-hati aja, dia pakai cara lama, makanya dia sampai di pindahkan ke kota lain yang jauh sama orang tuanya untuk mengurus biro travel keluarganya karena malu anaknya gangguin rumah tangga aku."

"Gak papa, aku ladenin dia kalo macem-macem, aku bukan orang yang mudah digertak, eh Kak malah keasikan cerita, ntar ditegur Abang Zaid kalo telat ngantor."

Hikam hanya tersenyum lalu bangkit mendekati Nisa, mencium kening Abyan lalu tegak sejenak, Nisa mendongak menatap wajah Hikam yang entah mengapa tiba-tiba saja gugup lalu laki-laki itu merendahkan kepalanya lagi dan mencium kening Nisa.

"Aku berangkat, Dik."

"Kak." Hikam yang hendak berbalik jadi terdiam di tempatnya lagi.

"Yah?"

"Kan kata Kakak aku boleh minta apa saja kalo aku ulang tahun nanti."

"Boleh, Dik Nisa pingin minta apa?"

"Bulan madu."

Wajah Hikam terlihat kaget.

"Bulan madu? Di bulan ramadhan?"

"Iya nggak usah jauh-jauh, di hotel aja bulan madunya, kan bisa nitip Abyan ke ummiku, kita masih bisa memantau Abyan, gak usah lama-lama dua tiga hari aja."

Samar-samar Hikam tersenyum, dalam pikirnya, ada-ada saja keinginan Nisa. Nisa memang berbeda dengan Aisyah, lebih berani mengatakan apa yang ia inginkan. Tak lama Hikam mengangguk.

"Baiklah, empat hari lagi kan bulan madunya, nggak usah ke hotel yang lain, di penginapan milik keluargaku aja."

"Yaaaah."

"Kok yaaah?"

"Boleh aku yang nentuin hotelnya?"

"Baiklah, sesuka Dik Nisa aja kalo gitu."

"Bukan hotel yang mahal kok kak."

"Terserah Dik Nisaaaa."

"Beneran?"

Hikam mengangguk pelan dan  mendekat ke arah Nisa mencium kening istrinya lagi.

"Terserah Dik Nisa pingin di mana."

"Dan pingin apa aja, iya kan kak?"

Hikam tertegun, ia mengangguk lagi sambil tersenyum.

💗💗💗

7 April 2022 (03.37)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro