6
"Gimana istrimu? Sudah mendingan? Aku ke sana yang kapan hari tapi istrimu sedang tidak di rumah." Zaid bertanya pada Hikam. Hikam terlihat sedih dan berulang mengusap wajahnya.
"Mungkin di sedang ada di rumah orang tuanya." Hikam menjawab dengan pelan.
"Ada apa lagi?"
"Aku mencoba memperbaiki hubunganku dengan istriku, Alhamdulillah semakin baik, tapi saat aku mulai mengusap wajahnya dan ..."
"Lalu?" Zaid terlihat penasaran.
"Belum apa-apa mulutku sudah mendesiskan nama Dik Ais, aku melihat luka di matanya, aku menyakitinya lagi."
Zaid menatap kesungguhan di mata adiknya. Kesungguhan jika ia mulai berusaha menjadi lebih baik dan kesungguhan jika ia menyesal telah menyakiti istrinya.
"Kau sudah minta maaf?"
"Yah, saat itu juga begitu aku tersadar, aku sudah berusaha sekeras mungkin Bang tapi ada saja rintangannya."
"Artinya hatimu masih belum sepenuhnya pada Nisa."
"Padahal saat aku mulai ingin lebih intim aku hanya berkonsentrasi pada Dik Nisa, atau mungkin karena wajah keduanya mirip?"
"Bisa jadi, yang penting kamu sudah berusaha dan terus berusaha, paling tidak istrimu melihat kesungguhanmu."
"Iya Bang, aku ingin hubungan kami menjadi lebih baik."
"Sekali-sekali, ajaklah istrimu jalan-jalan, pernah jalan-jalan berdua?"
"Belum."
"Sempatkan, cari waktu yang tepat, misal saat istrimu ulang tahun, kayaknya sepele tapi mengingat hari istimewa istrimu akan membuat ia bahagia, kau tahu tanggal lahir istrimu?"
"Emmm, tidak Bang."
.
.
.
Annisa menatap sebuah foto di galeri ponselnya, foto dirinya dan kakaknya, wajah mereka memang mirip hanya kakaknya selalu saja tersenyum tipis sementara dirinya bisa lepas dan bebas tersenyum lebih lebar.
Ia mencari apa yang kurang pada dirinya hingga suaminya masih salah panggil justru saat mereka sedang memperbaiki hubungan. Ia ingat betul bagaimana malam itu Hikam memeluknya, menciumi keningnya dan saat baru saja mendapatkan ciuman pertama dari Hikam samar ia dengar Hikam mendesiskan nama Aisyah.
Kecewa? Pasti, dan jangan ditanya sakit hatinya seperti apa, tapi sekali lagi ia tetap memaafkan suaminya, ia tahu Hikam sedang berusaha memperbaiki hubungan dengannya, sedang berusaha menjalankan tugasnya sebagai suami dan semakin luluh saat Hikam memeluk erat dirinya dan meminta maaf berkali-kali.
"Aku mulai menyukaimu Dik, mulai deg-degan jika dekat seperti ini, maaf jika aku masih saja menyebut nama almarhumah kakakmu, maaf jika aku menyakitimu lagi."
Kalimat itu sudah cukup bagi Nisa untuk menyadarkannya jika Hikam mulai berubah, juga bagaimana Hikam menyuapinya dan melayaninya dengan sabar saat ia sakit.
"Nisa, tidak pulang kamu Nak? Kasihan Abyan." Zahira berdiri di mulut pintu kamar Nisa.
"Iya Ummi, aku akan pulang."
"Aku wajib mengingatkanmu untuk kembali ke rumah suamimu meski kamu baru beberapa jam di sini."
"Iya Ummi, apalagi sekarang Abyan semakin nggak mau sama siapa-siapa, kalo bangun nanti dia pasti nangis, padahal juga biasanya anteng sama si bibi."
"Makanya, pulanglah Nak, kasihan Abyan."
Nisa bangkit dari tidurnya, ia rapikan abayanya lalu meraih kerudungnya untuk dipakai kembali.
"Aku hanya kangen kasurku dan memang nggak akan lama di sini."
"Ummi yakin kamu ada masalah sama suamimu ya? Tiap kali ada yang kamu pikir meski sebentar kamu pasti pulang dan tiduran di sini."
Nisa meraih dompetnya dan menatap Zahira.
"Ummi, apa aku nggak cantik?"
Zahira mendekat ke arah Nisa, ia tangkup pipi anaknya dengan kedua tangannya.
"Hei, kamu cantik, kecantikan yang berbeda dari kakakmu, dia lebih putih memang, hidung dia juga lebih mancung, tapi matamu lebih besar dan ekspresif satu lagi senyummu lebih manis, anak-anak ummi karunia Allah terhebat dalam hidup ummi, jadi jangan tanya kamu cantik apa nggak, semua ciptaan Allah cantik seusai porsinya, jika kamu merasa nggak cantik artinya kamu kurang bersyukur anakku."
"Astaghfirullahal adzim." Nisa memejamkan matanya sejenak saat terbuka lagi matanya telah berkaca-kaca." Aku hanya khawatir terlihat tidak cantik di mata suamiku."
"Kau mulai menyukainya?"
Nisa mengangguk dengan wajah memerah.
"Tak lama setelah kami menikah aku mulai menyukainya, dia sabar meski cuek sama aku, dia juga tampan dan jika membaca kalam Allah bikin hati sejuk, kekurangan dia ya itu ummi dia cuek, cueknya nggak nguatin."
Zahira tertawa mendengar ucapan Nisa.
"Sabaaar."
"Sejak awal jadi istri dia aku sabar Ummi, kalo nggak sabar nggak akan bertahan diabaikan sama dia, demi Abyan dan Kak Hikam."
Keduanya berjalan beriringan menuju pintu depan.
.
.
.
Nisa tertegun melihat Hikam yang menggendong Abyan dan bayi laki-laki itu menangis saat melihat Nisa, Nisa segera meraih Abyan dalam gendongan Hikam.
"Maaf Kak, aku baru pulang."
"Nggak papa, aku hanya ingin pulang saja tadi setelah sholat dhuhur di kantor bersama para karyawan."
"Nggak papa kalo Kak Hikam mau balik ke kantor, aku tadi hanya kangen kasurku jadi rebahan sebentar dan ummi sudah mengingatkanku untuk segera pulang."
"Oh iya, nanti kita buka puasa bersama ya Dik."
"Di rumah kan?"
"Nggak di luar aja, kita cari tempat yang nyaman."
"Oh iya iya."
"Nanti aku jemput kamu, kamu bersiap aja, eh iya ngomong-ngomong, ultahmu kapan ya Dik?"
"Tanggal 11 bulan ini."
"Pingin hadiah apa?"
"Ah nggak usah, kakak jadi perhatian ke aku aja aku sudah senang." Wajah Nisa memerah karena malu.
"Bilang aja jika Dik Nisa pingin apa."
"Apa saja boleh?"
"Yah, apa saja."
.
.
.
Malam hari setelah buka bersama dan dilanjutkan dengan sholat magrib,
ishak dan tarawih di sebuah mesjid mereka menyusuri jalan berdua dengan mobil.
"Aku kepikiran Abyan, Kak, cepetan dikit ya."
"Aku sudah telepon si bibi dan Alhamdulillah Abyan anteng, sudah tidur dia, tahu kali kalo kita sedang pacaran."
Nisa diam saja, dadanya kembali berdebar tak karuan meski gurauan Hikam terasa biasa saja.
"Kita jalan-jalan aja dulu Dik, kali ada jajanan yang kita pingin, duduk berdua sambil makan kayak anak-anak muda itu."
"Kita kan masih muda juga Kak."
"Eh iya sih." Keduanya tertawa pelan, meski kaku komunikasi yang kaku mulai cair.
Tak lama keduanya terlihat sudah turun dari mobil setelah Hikam memarkir mobilnya di area parkir. Berjalan menyusuri keramaian malam diantara orang-orang yang juga sedang mencari jajanan khas Ramadhan.
"Masih rame aja ya meski sudah malam."
"Iyah." Hikam meraih tangan Nisa dan menggenggamnya, berdua mereka berjalan sambil meredakan detak jantung yang tak biasa di dada masing-masing. Sesekali sama-sama saling menatap sejenak lalu kembali menyusuri jalan.
"Kita mau beli apa ini Kak?"
"Eh iya ya, mau beli apa? Tapi kayaknya masih kenyang, udah kita jalan aja."
Dan Hikam semakin erat menggenggam tangan Nisa.
"Kayak anak SMA lagi pacaran kita Kak."
Hikam berhenti sejenak, ia tersenyum lebih lebar dari biasanya. Lalu melepas genggamannya.
"Baiklah gini aja."
Hikam merengkuh bahu Nisa dan melanjutkan langkahnya.
"Ayo." Hikam menoleh saat Nisa terasa ragu melangkah. Ia melihat pendar bahagia di mata istrinya, sesederhana ini ia bisa membahagiakan Nisa, ada rasa menyesal mengapa baru sekarang.
.
.
.
Sesampainya di rumah tiba-tiba saja Nisa menahan lengannya saat ia akan melanjutkan langkah ke kamar. Hikam menoleh menatap istrinya yang berwajah sendu lagi.
"Ada apa Dik?"
"Terima kasih."
Hikam mengernyitkan keningnya.
"Untuk?"
"Buka bersama, jalan-jalan, genggaman tangan kakak dan rengkuhan lengan kakak di bahuku."
Senyum Hikam lagi-lagi mengembang. Ia peluk Nisa sambil memejamkan mata.
"Maafkan aku Dik, maafkan aku yang tidak peka."
💗💗💗
6 April 2022 (03.47)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro