5
Hikam menatap foto almarhumah istrinya yang ada di meja kerjanya, ia raih dan mengusap wajah cantik di foto itu, dalam pigura berwarna silver.
"Dik, maafkan aku, aku sepertinya mulai menyukai adikmu, maafkan aku jika melanggar janji kita yang tetap akan setia selamanya, dia terlalu baik untuk aku abaikan, dia memang tak selembut kamu tutur katanya tapi kesabaran dia padaku dan pada Abyan yang pelan tapi pasti mulai masuk dalam hatiku, aku berusaha mengabaikan kata hatiku tapi aku semakin tersiksa."
Dan pintu terbuka, Hikam kaget saat melihat Zilda di sana.
"Ummi? Mana Abah, biasanya ...."
"Dia ada di ruang kerja kakakmu, ummi ada perlu sama kamu."
Zilda duduk di seberang meja kerja Hikam, ia raih pigura yang masih ada di tangan Hikam, ia lihat dan menggelengkan kepalanya lalu ia letakkan lagi pigura itu di meja Hikam. Ia tatap wajah anaknya. Laki-laki berwajah sendu yang pendiam dan memiliki garis wajah yang mirip dengannya.
"Aku tak bisa memaksamu melupakan Ais, tapi mengabaikan Nisa itu tidak benar, ia istrimu yang kamu nikahi dengan sah, melayanimu dengan baik, mengasuh anakmu dengan sabar lalu apa lagi yang membuat kamu mengabaikan dia? Ummi pikir dia tidak hamil karena lelah urusan rumah tangga dan lelah mikir kamu eh ternyata lebih parah lagi, lalu apa yang kamu lakukan selama enam bulan tidur satu ranjang? Apa ranjangmu ada sekat hingga kau tak bisa menyentuhnya?"
Hikam menunduk menghindari tatapan tajam orang yang telah melahirkannya, wanita yang biasanya lembut padanya kini terlihat sangat marah.
"Ummi, bukan aku tak menghargai dan menyayangi Dik Nisa, bukan hal yang mudah melupakan Dik Ais yang saat itu baru saja meninggalkan aku, aku harus belajar melupakan sekaligus belajar menyukai, dan itu tidak mudah, wajah mereka mirip itu yang semakin membuat aku bimbang, tapi akhir-akhir ini sering ada rasa aneh tiap kali aku dekat dengan Dik Nisa dan itu juga butuh penyesuaian karena aku bukan laki-laki yang mudah bergaul."
Zilda hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan pelan.
"Kalo ada apa-apa bilang, cerita sama ummi, ummi yang gak enak sama keluarga Nisa, kayak kita manfaatin Nisa aja, disuru ngasuh si Abyan aja tanpa dapat cinta dan sayang dari kamu."
"Ini juga lagi usaha Ummi."
"Trus itu foto pernikahan kamu sama Aisyah kok belum diturunkan di rumahmu? Simpan yang baik ganti fotomu sama Nisa, masa mama ke sana masih saja ada, itu juga bikin gak enak sama Nisa."
"Apa sampai seperti itu Ummi, aku yakin, Dik Nisa bisa memahami."
"Satu dua bulan bisa tapi kalo sudah setengah tahun entahlah, ayo Hikam belajar move on, hadapi realita bahwa Aisyah sudah meninggal dan Nisa yang saat ini ada di dekatmu."
"Iya Ummi, aku pasti berusaha dan sedang berusaha move on."
.
.
.
"Silakan masuk, silakan saja, kebetulan sudah selesai semua pekerjaan saya, pasien saya juga sudah selesai semua saya tangani." Didit menyilakan Hikam duduk di ruang kerjanya. Ia melihat laki-laki dengan tatapan mata yang terasa berbeda, menatapnya dengan penuh tuduhan.
"Dik Nisa, istri saya."
Didit tersentak, namun ia tetap tersenyum, tangannya saling menggenggam dan matanya lurus menatap mata Hikam yang menatapnya tajam.
"Saya tahu, meski saya tak hadir dan hanya dapat foto-foto pernikahan kalian dari saudara saya, saya tahu, hanya yang perlu Anda tahu, Anda merebut wanita yang saya incar sejak lama, saya jaga dan akan saya nikahi setelah selesai semua proses pendidikan saya dan saya sah menjadi dokter lalu mendapatkan penghasilan yang layak, jadi jika Anda tak bisa membahagiakan dia maka lepaskan dia, saya bukan cenayang tapi dari sorot mata Nisa, dia tak bahagia dengan Anda, saya siap menjadi laki-laki kesekian dalam hidupnya, saya menunggu jandanya dan ini bukan gurauan!"
Jantung Hikam jadi tak karuan, ia tak mengira Didit menggertaknya. Tapi ia tak mau kalah karena ia merasa bahwa Nisa akan lebih memilihnya apalagi didukung dengan surat-surat yang sah, itu yang membuat Hikam merasa lebih berhak atas Nisa dari pada Didit.
"Anda jangan menggertak saya, saya hanya ingin mengingatkan Anda, tak perlu lagi mengirim makanan dan lain-lain, saya suaminya, saya sudah menafkahinya sandang, pangan dengan baik."
Terdengar tawa mengejek Didit ia condongkan badannya ke arah Hikam.
"Tapi batinnya yang tidak Anda jaga, lihat sorot mata lelahnya, apa yang telah Anda lakukan padanya? Dia wanita yang cerdas, aktif, tegas dan pergaulannya luas, jika Anda tidak menikahinya saya yakin dia akan melanjutkan pendidikan lebih tinggi lagi, seandainya dia menikah dengan saya, saya ijinkan dia berkuliah lagi."
"Jika Anda tak tahu apa-apa tentang pernikahan kami lebih baik Anda tak usah berkomentar."
Tawa Didit semakin keras.
"Saya tidak mengundang Anda, Anda yang datang sendiri ke sini, lalu tiba-tiba mengatakan "Dik Nisa istri saya" dan bla bla bla, apa salah jika saya berkomentar? Jika Anda tak ingin saya berkomentar silakan pergi dari hadapan saya, jaga istri Anda baik-baik, jika tidak maka saya akan mengambilnya dari Anda!"
Hikam bangkit dari duduknya, ia benar-benar terlihat marah.
"Anda akan berhadapan dengan saya jika macam-macam pada Dik Nisa."
"Saya tidak takut!"
.
.
.
Hikam masuk ke dalam rumahnya dengan langkah pelan, sejak dari rumah sakit tempat Didit bekerja ia terus berpikir, jika ia kurang bersyukur punya istri seperti Nisa, meski ia tak menjadi suami yang baik selama enam bulan ini tapi Nisa tetap melayaninya dengan baik. Dan ia kaget saat melihat Nisa duduk di ruang makan.
"Dik!"
"Kakak dari mana? Ini tetap aku nyuru si bibi biar nyiapkan makan, takut Kakak belum buka."
"Sudah tadi di mesjid, maunya cepat-cepat pulang tapi keburu adzan jadi aku berhenti di mesjid, hanya minum saja sih sekadar membatalkan puasa."
"Makanya Kakak makan dulu ya."
"Bentar lagi tarawih, nanti aja makannya setelah tarawih, aku pulang hanya khawatir kamu belum makan."
"Aku memang nunggu Kakak untuk makan bareng."
"Makanlah duluan, aku tungguin, atau aku suapin?"
Dada Nisa jadi tak karuan, ia takut semakin menyukai Hikam tapi khawatir lagi-lagi Hikam akan mengabaikannya.
"Ayolah aku asuapin ya."
Nisa menggangguk pelan, ia turuti keinginan hatinya agar bisa merasakan dimanja oleh Hikam dan ia melihat Hikam yang menyendokkan nasi dan kuah soto ke piring, harumnya mulai menguar ke hidung Nisa dan Hikam.
"Yuk, ak."
Hikam mulai menyuapkan nasi ke mulut Nisa, Nisa membuka mulutnya dan mulai mengunyah pelan, tiba-tiba saja air matanya tak mampu dibendung.
"Maafkan aku Kak, belum bisa menjadi istri yang baik." Suara Nisa terputus-putus. Hikam meletakkan sendok, mengusap air mata Nisa.
"Aku yang minta maaf Dik, aku yang tak bisa membuat kamu bahagia lahir dan batin, aku kurang bersyukur, aku baru sadar jika di luar sana ada laki-laki atau mungkin banyak laki-laki yang menginginkan kamu menjadi pendamping, aku akan berusaha lebih baik lagi menjadi suamimu, imammu."
💗💗💗
5 April 2022 (02.26)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro