Empat Belas
Ketika kami tiba di kantor, anak-anak juga baru saja selesai makan di kantin. Kami bertemu di depan lift. Hilda dan Rani menyapaku dengan sangat heboh, yang aku curiga ada niat lain di belakangnya. Ada juga Restu, Prio, Tanti, Ale, dan Mas Hans di sana.
Hilda dan Rani pun berbasa-basi bertanya aku tadi makan di mana. Lalu aku bilang bahwa sahabatku-yang sedang berdiri di sebelahku sambil main HP-mengajakku makan siang di kafe dengan gaya 60's vibes yang ada di dekat sini. Seperti biasa, Jagad hanya tersenyum tipis dan mengangguk saat aku memperkenalkannya pada Hilda dan Rani yang terlihat sangat excited.
Tak ada pembicaraan yang berarti saat kami sudah di dalam lift. Namun, jantungku mencelus tak karu-karuan saat aku berdiri tepat di sebelah Restu. Lengan kami bahkan saling bersentuhan karena lift cukup penuh. Lagi-lagi aroma parfum yang khas dan maskulin itu menyambangi hidungku. Demi Tuhan, kenapa aku berdebar-debar begini sih?
"Bye, Gad. Thanks, ya," pamitku ketika lift tiba di lantai 9. Jagad hanya melambai sambil tersenyum.
Aku melangkah terburu-buru, karena aku tidak sanggup kontak fisik lebih lama lagi dengan Restu.
"Uwuuuu ... Jadi, temen lo si koko-koko kwetiaw itu, Na?" tanya Ale begitu pintu lift tertutup. "Tahu gitu gue ikutan makan!"
Aku tergelak. "Emang kenapa sih, Le?"
"Itu idol-nya Rani tuh, Na," celetuk Hilda sambil terkekeh. "Jagad Pangestu, alias Koko Samasta."
"Kok gue doang? Lo juga ngeces tiap lihat Koko Samasta di lobi!" balas Rani cepat.
Aku tertawa-tawa. "Koko Samasta?"
Wah, tidak kusangka pesona Jagad sampai di kantor juga. Aku sudah terbiasa dengan pesona itu saat kami kuliah. Banyak sekali yang menitipkam salam, cokelat, sampai buku puisi untuk Jagad kepada kami berlima. Ternyata hal itu tidak berubah sampai sekarang.
"Teman apa teman, tuh, Na?" tanya Rani heboh, sambil menyenggol-nyenggol pundakku. "Ganteng banget sih dia tuh! Kan gue jadi deg-degan!"
Aku tertawa lebar. "Temen beneran, Ran. Teman kuliah."
"Oh, kalian sekampus??"
Aku mengangguk. "Sejurusan. Seangkatan. Satu dosen pembimbing pula."
"Anjiirr ... Apa rasanya temenan dekat sama Koko Samasta, Na?"
Apa rasanya jadi teman Jagad Pangestu? Bila ditanya beberapa bulan yang lalu, aku akan menjawab "B aja". Malahan terkadang sikap agresif cewek-cewek yang rajin menjilat kami untuk mendapatkan perhatian Jagad itu juga menjengkelkan. Tapi kalau sekarang, apa rasanya jadi teman Jagad? Kurasa itu adalah anugerah terbaik yang kuterima. Tanpa dia, aku tidak akan bisa sampai di tahap ini bukan?
"Yaa ... Gitulah. Sama aja kayak temenan sama lo, Ran," jawabku berdusta.
"Mana mungkin?! Tapi kok tumben dia lewat situ?" tanya Rani heran, saat kami sudah di kubikel masing-masing.
Kebetulan kubikelku memang berdekatan dengan kubikel Rani dan Hilda. Karenanya, aku sering terjebak dalam obrolan karena dua orang itu senang sekali membahas banyak hal. Mulai dari acara American Next Top Model sampai mas-mas ganteng di Circle-K.
"Lewat situ?" Aku balas bertanya, sembari meraih air mineral di meja.
"Lift umum. Kok dia lewat situ? Bukannya lewat lift CEO?"
Sambil menegak air dari botol, aku menyipitkan mata.
"Ada gitu lift CEO?" tanyaku bingung.
"Ada, Na. Nih, kalau lo masuk lewat depan, habis tap kartu kan kita biasanya langsung lurus terus belok kanan, kan? Nah, kalo para CEO, VP, dan pejabat-pejabat lainnya, dia belok kiri. Di belakang Starbucks itu ada pintu besi warna krem? Itu lift khusus buat pejabat kantor."
"Oh ya?"
Tapi perasaan ... setiap hari Jagad menaiki lift yang sama denganku.
***
Hari ini aku lembur sedikit. Kalau biasanya aku pulang tepat pukul lima sore, aku baru mematikan komputerku pukul setengah tujuh. Ada revisi draft yang mendadak masuk menjelang pukul lima tadi. Kata Ale, klien minta revisian di-submit hari ini juga karena mereka ingin tayang besok, tepat saat Harbolnas.
Kantor sudah sepi saat aku celingukan ke kanan dan ke kiri. Entah mengapa, kantor ini punya kebiasaan datang on time dan pulang on time. Yang masih ada di kantor hanya aku, Ale yang menungguiku mengerjakan revisi, Prio yang sedang berkutat dengan Photoshop, dan ... Restu yang juga masih terpengkur di depan laptopnya.
Kuangkat tanganku untuk merenggangkan badan yang terasa pegal. Sebelum pulang, kuputuskan untuk mencari camilan dulu di pantri. Sayangnya, yang kutemukan hanya kerupuk kemplang oleh-oleh entah siapa. Yah, apa boleh buat. Lebih baik aku segera pulang dan cari makan malam.
Setelah membereskan barang, aku pun berpamitan dengan orang-orang yang ada di sana. Namun, saat aku menunggu lift, Restu datang bergabung. Pria itu tersenyum tipis sembari membenahi tas ranselnya di bahu.
Jantungku pun berulah lagi. Oh, ya ampun! Kenapa belakangan aku norak sekali sih?
"Lembur apa, Na?" tanya Restu.
"Revisi, Mas. Biasa," jawabku sok cool.
Diam-diam, aku menatap Restu. Figur sampingnya terlihat sangat sempurna. Hari ini dia memakai jeans pudar, kaus putih bertulisan "I love Money" dan kemeja merah marun yang lengannya digulung sampai siku. Rambut ikalnya terlihat sedikit berantakan. Astaga, kenapa aku suka sekali melihat pemandangan ini, ya?
"Oh ya, Coldfresh udah achieve kan?" tanya Restu lagi.
Aku mengangguk. "Thanks, Mas. Udah bisa kirim report ke klien."
"Sip."
Lift yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Aku melangkah masuk membuntuti Restu yang menahan pintu. Hanya kami berdua yang ada di lift itu.
"Langsung pulang, Mas?" tanyaku, membuka obrolan.
Restu menghadapkan tubuhnya sedikit padaku. "Mau makan dulu di kantin. Laper banget. Perjalanan gue masih jauh soalnya."
"Emang kantin masih buka sampai malam?"
"Nggak semua, tapi biasanya ada yang masih buka. Warung Pak Mul biasanya masih. Tahu Pak Mul, kan? Yang jualan mie goreng, nasi goreng, sama bubur ayam?"
Aku mengangguk.
"Mau ikut?"
Sontak aku menoleh, memandang Restu secara langsung. Aku yakin dia hanya menawarkan secara kasual saja. Tapi ... hatiku merasa berbunga-bunga tanpa aku tahu sebabnya. Sebelum aku menguasai pikiranku dan mempertimbangkan keputusan yang waras, aku mengangguk.
"Boleh deh."
Sepanjang jalan menuju kantin, saat Restu tidak melihat, diam-diam aku tersenyum. Diam-diam aku juga mengambil dua langkah di belakangnya. Aku juga tidak tahu kenapa. Tapi punggung yang terlihat kukuh itu, menjadi pemandangan yang menyenangkan di mataku. Ingin rasanya aku menutup wajahku dan merona sesuka hati, seperti remaja yang baru saja jatuh hati.
Astaga, apa itu jawabannya? Apa aku jatuh hati pada pria ini?
"Nana?"
Langkahku terhenti. Aku mendongak, dan menatap Restu yang berdiri sekitar dua langkah di depanku dengan wajah bingung.
"Apa nggak bahaya lo jalan sambil nunduk dan senyum-senyum sendiri gitu?" tanyanya. "Lagi mikirin apa sih?"
"Hah?" Aku membelakkan mata. "Eh, enggak kok! Enggak! Tadi cuma lagi keinget kejadian lucu aja," jawabku sembari meringis.
Restu mengerutkan dahi, lalu ikut-ikutan tertawa kecil. Kami sudah tiba di kantin. Tepat seperti kata Restu, satu-satunya warung di kantin yang buka hanya tempat Pak Mul. Saat kami mengambil meja di dekatnya, Pak Mul langsung menyapa Restu dan bertanya pesanan yang biasa. Restu mengangguk.
"Kalau mbaknya mau apa?" tanya Pak Mul padaku.
"Umm ..." Mataku menyusuri tulisan menu di etalase Pak Mul.
"Udah pernah cobain telur kuah?" tanya Restu.
Aku menoleh dan menggeleng. "Menu apa itu? Baru dengar." Aku bahkan tidak menemukan menu itu di list menu etalase Pak Mul.
"Cobain aja. Enak kok."
Aku pun mengikuti saran Restu. Pak Mul mengacungkan jempol dan memintaku menunggu.
"Gimana? Udah betah di fyi.id ?" tanya Restu saat kami menunggu pesanan dibuatkan.
Sontak aku tertawa kecil. "Pertanyaan lo, Mas. Udah kayak Mbak Heksa."
Restu ikut tertawa. Suaranya renyah dan seru. Tipe-tipe tawa yang menular dan membuat orang lain kepengin ikut tertawa meski tidak tahu apa alasannya.
"Lo tahu apa yang paling gue suka dari kantor kita?" tanya Restu lagi. "Selain gue bisa pake baju kayak gini ke kantor, cuma di sini gue bisa nganjing-anjingin bos tanpa takut dipecat."
"Masa? Mas Anthony?" tanyaku tidak percaya.
Restu mengangguk. "Daripada bos, gue lebih suka nyebut dia leader sih. Dia nggak pernah marah kalau dikritik. Dan ketika dia ambil keputusan yang payah atau instruksi yang nggak logis, dia juga nggak marah dimaki-maki. Thats why, ini lumayan cepat berkembang. Baru tiga tahun, tapi peringkatnya di Alexa* dan Comscore* udah tinggi. Karena Anthony selalu ngasih kebebasan tim buat mencoba hal apa pun."
"Wow, sounds interesting," decakku.
Mendadak Restu tertawa. "Membosankan, ya, topik obrolan gue?" tanyanya. "Sorry, gue nggak jago berinteraksi."
"Eh! Nggak gitu, Mas! Nggak gitu!" Aku menggeleng cepat. "Seru kok. Maksudnya, itu pandangan yang oke buat anak baru kayak gue. Jadi gue bisa lebih kenal sama perusahaan."
Restu tertawa. "Ya tapi males juga sih ngomongin kantor jam segini. Lo suka kopi nggak, Na?"
"Suka," jawabku cepat. "Meja gue aja isinya gelas kopi semua, Mas!"
"Pernah datang ke Jakarta Coffee Week?"
"Ada acara kayak gitu? Kirain cuma Jakarta Fashion Week aja." Aku bertanya.
"Ada. Di sana banyak kedai kopi yang buka stand. Terus ada pameran varian kopi dari seluruh nusantara. Ada juga diskusi kopi dan sastra. Ada musiknya juga sih."
"Wih, kayaknya seru. Jadi pengen datang."
"Tahun ini acaranya di PIK Avenue. Dua minggu lagi kalau nggak salah."
Salah tidak sih, kalau di momen ini aku sedikit berharap Restu akan melanjutkan dengan pertanyaan "Mau pergi bareng gue nggak?"? Well, aku tahu itu mustahil terjadi sih.
"Okee, nanti gue kepoin deh acaranya," jawabku sebijak mungkin.
Saat itu Pak Mul datang membawa pesanan kami. Telur kuah yang dimaksud itu ternyata seperti kwetiaw tanpa kwetiau. Ada sayur, telur, suwiran ayam, dan kuah yang mengepul. Juga taburan bawang goreng. Astaga, laparku jadi menggila.
"Lo pulangnya ke Bekasi ya, Mas?" tanyaku di sela-sela makan. "Naik KRL?" Restu mengangguk. "Kenapa nggak bawa kendaraan sendiri?" tanyaku lagi.
"Males gue. Jauh banget! Macet lagi. Lebih suka naik KRL. Bisa tidur di jalan kalo dapat duduk. Motor gue simpan di stasiun Bekasi."
Aku ber-oh panjang. Ya kalau aku jadi dia sih kemungkinan besar akan mengambil pilihan yang sama. Aku sering heran dengan orang-orang yang bisa membawa kendaraan sendiri dan pulang-pergi Jakarta-Bekasi setiap hari.
"Di Bekasi tinggal sama keluarga?" tanyaku.
"Nope. Keluarga gue di Bali. Merantau gue di sini."
"Lho, gitu? Kok tinggalnya jauh banget di Bekasi, Mas? Kenapa nggak cari yang dekat-dekat sini aja?"
Restu tertawa. "Mana sanggup gue nyicil KPR di Jakarta? Itu juga kemarin untung banget gue lagi promo dari developer-nya. Jadi ada potongan harga. Lumayanlah."
"Woalaah. Udah rumah sendiri? Gue kirain ngontrak atau ngekos kayak gue. Mantap sih, Mas. Gue nggak kepikiran kapan bisa mulai KPR."
"Lo tinggal di Setiabudi kan, ya?" tanya Restu.
"Iya, Mas."
"Ngekos?"
"Umm ..." Aku garuk-garuk kepala. "Sementara numpang di tempat teman, sih. Lagi nyari-nyari kontrakan ini."
"Berarti udah nggak naik KRL ke Cawang lagi?"
Sontak aku mendongak. "Gimana, Mas?"
Restu menatapku dengan sebelah alis terangkat. "Lo ... yang waktu itu di Stasiun Sudirman, kan? Yang mau naik KRL ke Cawang?"
***
*Alexa dan Comscore merupakan perusahaan yang menyediakan sodtware untuk statistik pengunjung website. Dua perusahaan ini dipercaya menjadi sebagai sebagai penghitung ranking media di seliruh dunia, berdasarkan traffic.
Holaaaa~
Sori gaes, part ini kemarin terupdate dengan draft mentah yang belum dirapihin. Karena kebodohanku, buka tempat draft di dua device yang berbeda 😩
Btw, bagi yang belum tahu, ceritaku yang judulnya Baby Without Daddy akan segera bisa dipelul-peluk versi cetaknya. Saat ini sedang berlangsung PO BWD sampai tanggal 18 November 2020. Kalian bisa pesan lewat Toko Nubu, Salenovel, Cintabukubookshop, BukuBeken, dan RumahBukuBundaRasya. Cusss kepoin IG atau Shopee mereka. Atau kalau mau beli di aku juga boleh. Tapi stoknya terbatas nih, cuma ada 10 copy. Pengiriman agak lama, nanti setelah tanggal 18 Nov setrlah bukunya di tanganku. Yang mau, WA aja di 081949640519.
Oh ya, BWD ini akan dicetak print on demand. Artinya, nanti nggak akan ada di toko buki offline. So, kalau pengen dapat Daddy Sabda dan Mommy Mentari, mendingan ikut PO sekarang 🤭
Kalian udah pernah baca Sabda - Mentari ini? Kalau kalian baca versi Wattpad aja, bedanya lumayan banyak. Kalau kalian baca versi storial, versi cetak ini akan ada extra parts-nya.
Love you guys! ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro