Dua-Sembilan
Kamar baruku sudah rapi. Semua barang sudah berada di tempat semestinya, termasuk standing lamp di balik pintu untuk lampu tidur, dan karpet bulu di samping kasur. Ini sudah nyaman. Aku juga sudah mengepelnya sore tadi. Kini kamarku berbau seperti mint dan kopi yang berasal dari pewangi ruangan yang kupasang di lubang AC. Secara umum, kamarku sudah sangat layak dan nyaman ditempati.
Dalam kondisi normal, aku memang sering tidak bisa tidur bila ada di tempat yang baru. Karenanya, aku paling tidak suka menginap di hotel sendirian. Karena dipastikan aku tidak akan bisa tidur semalaman. Lalu pikiranku akan berkelana menuju hal-hal gaib dan menyeramkan.
Namun, yang membuatku tidak bisa tidur di kamar kos baruku malam ini jelas bukan lingkungan baru. Karena tubuhku sebenarnya sangat lelah, dan mataku juga sangat berat. Tetapi ada sesuatu yang terus mengganggu pikiran sehingga aku tidak bisa tidur.
Ya, tentu saja. Kebodohan yang terjadi siang tadi. Perkara tangga yang berakhir bencana. Setidaknya, bencana bagiku.
Pertanyaannya hanya satu. Kenapa Jagad melakukan itu? Dan kenapa aku melakukan itu? Oke, itu dua pertanyaan, bukan hanya satu. Tadi Jagad juga mengatakan sesuatu. “Gue capek, Na.” dan “Pura-pura nggak peduli itu melelahkan”. Apa artinya itu? Apa itu ada hubungannya dengan omongan melantur Hera beberapa hari yang lalu? Apa … sebenarnya selama ini Jagad juga merasa sama awkward-nya denganku? Apa sebenarnya Jagad hanya pura-pura biasa saja sama sepertiku? Lalu … apa Jagad juga merasakan apa yang kurasakan saat tadi bibir kami bertemu?
Tapi itu aneh sekali. Apa yang dilihat Jagad dariku? Aku tidak punya daya tarik mentereng seperti Shenina dan Ritchie. Aku bahkan berusaha keras … aku sudah menyembunyikan diri dengan baik, kan? Mustahil Jagad menyukaiku. Mustahil kata-kata Hera itu benar!
Namun, jika itu semua salah, apa yang membuat Jagad menciumku tadi? Aku bisa mengerti tentang kejadian fatal tiga tahun lalu. Alkohol membuat otak kami sama-sama kacau. Tapi hari ini? Jagad tidak mabuk, dan dia masih menciumku! Aku juga tidak mabuk, dan aku membalas ciumannya! Sialan! Kenapa hal bodoh itu bisa terjadi lagi, sih??
“That’s what called love, Love,” kata Hera imajiner yang begitu saja muncul di pikiranku.
“Hah … bullshit! Nggak bener ini …” gerutuku kesal.
Lelah dengan pikiran aneh di kepalaku, kuputuskan untuk membuka ponsel. Mungkin aku bisa scrolling Instagram sampai bosan. Atau mungkin aku bisa nonton film atau baca buku sampai kantuk datang. Namun, sebelum aku memutuskan, ponsel di tanganku tiba-tiba berdenting. Ada notifikasi chat masuk. Karena tanganku sedang men-scroll tanpa arti, tanpa sengaja malah membuka pesan pop up itu.
Jagad A. Pangestu:
Bisa keluar sebentar?
Gue di depan
Sontak aku memelesat duduk. Kubaca pesan itu berulang-ulang dan bunyinya masih sama. Di depan? Maksudnya di depan indekosku??
Jagad A. Pangestu:
Di depan kos lo maksudnya
Mataku semakin terbeliak membaca pesan lanjutan Jagad yang seolah menjawab pertanyaan dalam kepalaku. Kutatap jam dinding di atas rak buku. Sudah hampir pukul 11 malam. Apa yang dilakukan Jagad di sini? Kenapa dia ada di sini setelah tragedi tadi siang? Apa dia tidak merasa kejadian siang tadi akan membuat hubungan kami super-awkward? Apa yang harus kulakukan bila bertemu dengannya? Apa yang ingin dia lakukan di depan kosku?
Aku sempat mempertimbangkan untuk pura-pura sudah tidur dan tidak menuruti permintaan Jagad. Namun, baru tiga detik aku sudah menyerah. Maksudku, setelah semua yang dilakukan Jagad, setelah bantuannya nyaris seharian dan aku bahkan belum mengucapkan terima kasih, masa aku bisa mengabaikannya? Lagipula, di ponsel Jagad, pesan itu pasti sudah centang dua biru.
Kuhela napas panjang, "Yah ... Apa boleh buat."
Mungkin aku hanya perlu bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Seperti yang sudah-sudah, kan?
Aku bangkit dari tempat tidur, mengambil jaket rajut lusuh dan kebesaran dari dalam lemari, dan bergegas keluar. Aku sempat melirik kaca sebelum keluar, dan mendapati wajah kusut tanpa makeup, rambut tergerai acak-acakan setelah keramas sore tadi, dan baju putih-putih yang lebih cocok jadi baju tidur. Peduli setanlah. Malah bagus, karena misi itu yang kulakukan selama bertahun-tahun ini. Lagipula mengingat apa yang terjadi tadi siang, aku harus lebih serius menjalani misi ini.
Jagad keluar dari Peugeot-nya Ketika aku keluar dari gerbang indekos. Ia memakai jaket biru dan celana santai putih. Jagad tersenyum hangat.
"Gimana kamar baru? Nyaman?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Lumayan."
“Belum tidur, kan?” tanyanya lagi. “Gue ingat lo pernah bilang nggak tidur sebelum pukul dua belas.”
Aku menggaruk kepala sembari mengangguk pelan. “Ngapain tengah malam ke sini?”
“Temenin gue makan, yuk? Gue kelaperan.”
Mataku sontak menyipitkan mata. Jagad? Kelaparan? Memangnya mau makan apa di waktu-waktu seperti ini? Maksudku, Jagad nggak mungkin makan nasi goreng atau pecel lele di pinggir jalan yang buka sampai dini hari itu, kan?
“Apa ajalah yang bisa dimakan,” jawab Jagad saat aku bertanya. Dia berjalan memutari mobil, dan membukakan pintu sisi penumpang untukku.
Aku memandangnya ragu-ragu.
“Apa gue perlu ganti baju dan cuci muka dulu?”
Aku bisa mengingat dengan baik penampilan berantakan yang balas menatapku di cermin tadi. Juga jaket kedodoran, kaos putih yang terkena noda luntur, dan juga celana pendek krem yang benangnya terburai di beberapa sisi.
“Nope. You’re beautiful. As always,” kata Jagad.
Aku berdecak. “Beautiful-beautiful pale lo!”
Tetapi aku masuk juga ke dalam mobil Jagad. Si pemilik hanya tertawa mendengar gerutuanku.
“Sekalian ada yang pengin gue omongin,” kata Jagad dia masuk ke balik kemudi, dan memasang sabuk pengaman.
Sontak aku menoleh dengan cepat. Berharap Jagad memberiku sedikit clue, tetapi, dia terlalu sibuk memundurkan mobil untuk keluar dari gang indekosku. Aku juga tidak berani bertanya.
Kami berakhir di restoran cepat saji yang buka 24 jam. Mengabaikan kernyitan dahiku, karena merasa belakangan Jagad sering makan makanan yang kurang sehat, dia memesan satu paket nasi+ayam dan juga cream soup. Sementara aku hanya memesan es krim sundae rasa stroberi.
“Tadi gue habis meeting sama orang soal kerjaan. Ngajakin ketemunya di tempat minum,” terang Jagad.
“Gila lo, mabuk-mabuk kok berani nyetir??”
“Ya nggak mabuk juga, sih, gue cuma minum segelas. Tapi perut gue jadi kembung karena tadi belum makan.”
Aku ber-oh panjang, sembari menjilat es krimku yang mulai meleleh. “Pekerja keras juga lo, janjian meeting kerjaan malam-malam begini.”
Jagad tertawa. “Tadi pagi harusnya.”
“Lah! Terus? Kok lo malah santai aja bantuin gue pindahan?”
“Gue lupa ada janjian meeting. Untung aja orangnya nggak ngambek dan mau ketemuan lagi malam ini.”
Aku tergelak. "Parah banget. Cari asisten makanya. Biar ada yang bantuin mikir dan mengingat sesuatu. Untuk ukuran CEO lo tuh terlalu mandiri, deh. Nyetir sendiri, atur jadwal sendiri, bikin sarapan sendiri," tambahku setengah meledek.
"Gue nggak terbiasa hidup sama orang asing, Na. Diikuti ke mana-mana, dikasih tahu ini itu. Rasanya kayak nggak punya privasi," curhat Jagad. "Lagian kalau soal ngingetin jadwal meeting, biasanya cukup Corporate Secretary Samasta."
Aku ber-oh panjang. "Cari pacar lagi kalau gitu. Biar ada yang bantu ingetin sesekali. Atau seenggaknya, ada teman ngobrol soal hal-hal yang bikin lo bingung. Atau ... ya paling nggak ada yang temenin lo makan malam-malam begini."
“That’s why I am here right now.”
“Ya kan? Soalnya lo bakal susah ingat semu … eh, gimana?”
Jantungku mencelus saat menyadari ada yang aneh dengan jawaban Jagad sebelumnya. Kutatap Jagad lekat-lekat untuk meminta penjelasan. Aku bingung. Apa tadi pendengaranku bekerja dengan baik? Atau aku hanya salah dengar? Semoga aku hanya salah dengar.
Jagad yang sudah selesai makan, tengah merapikan sisa-sisa makanan dan pembungkusnya.
“Tadi kan lo nyaranin gue cari pacar. Lo mau? Jadi pacar gue?”
Kini mataku membeliak lebar. Jagad ini … beneran dia tidak mabuk??
“Wait a minute, ya,” katanya sebelum aku sempat merespons apa-apa.
Jagad bangkit membawa nampan dan piring kotornya ke sebuah meja tempat peralatan makan kotor. Dia membuang bungkus-bungkus kertasnya ke tempat sampah, baru kemudian mencuci tangan di wastafel. Sementara aku hanya memandangi setiap pergerakannya dengan syaraf-syaraf otak yang belum tersambung sepenuhnya.
Kebingungan masih menyelubungiku bahkan sampai Jagad kembali duduk di hadapanku, meminum air mineralnya, lalu tersenyum manis.
“Sejujurnya, gue beneran pengin ngobrol panjang lebar sama lo, soal kejadian di vila yang dulu itu. Sangat. Tapi gue takut, Na. Lo bersikeras bersikap seolah nggak pernah terjadi apa-apa,” kata Jagad.
“Apa kita harus bahas soal itu lagi?” tanyaku sedikit defensif.
Jagad terdiam sebentar, tetapi kemudian tersenyum. “Do you really think that it was an ordinary one night stand, anyway?”
Aku menelan ludah yang terasa sangat kental. Dalam pikiran terliarku pun, aku tidak pernah berpikir mendapatkan pertanyaan semacam ini dari Jagad. Yang lebih membingungkan lagi, bagaimana aku harus menjawabnya? Bukankah pertanyaan itu lebih cocok diajukan olehku? Kepada Jagad?
“Umm … I am not sure. Because … umm … well, gue nggak terbiasa dengan one night stand untuk bisa nyebut 'itu' sebagai sesuatu yang ordinary,” jawabku sembari menggaruk kepala. “Tapi sebenarnya lo mau ngomongin apa, sih? Sampai bawa-bawa masalah ini lagi?” Aku tertawa kecil. “Kita udah sepakat, kan? Itu cuma salah satu kekhilafan di masa muda yang harusnya nggak terjadi, so, mendingan kita lupain aja."
“Tapi apa lo benar-benar bisa lupain itu?”
WHAT?
“Kita emang sepakat, dulu. Tapi gue penasaran, lo beneran nggak pernah mikirin itu sama sekali? Atau kalau pake istilah lo tadi, apa iya, lo nggak pernah baper sama sekali?”
Aku menelan ludah. “Kenapa lo nanyain soal ini sih?”
“Kan tadi gue udah bilang. Karena gue baper. Sejak awal,” jawab Jagad seolah-olah pertanyaanku terlalu aneh untuk hal yang sudah jelas. “I take it seriously, almost everyday. Gue menyesal karena hal itu bikin kita jadi jauh beberapa tahun terakhir."
Aku tidak menjawab. Aku belum paham ke mana arah pembicaraan ini.
“Bukan berarti gue bahagia di atas penderitaan lo, ya, Na, tapi gue sedikit bersyukur ketika akhirnya lo hubungin gue hari itu. I thank God for every single day you stayed at my place. Karena itu kesempatan yang baik buat benerin hubungan kita. Tapi gue bego dan pengecut karena nggak berani ambil langkah apa pun, sampai lo pergi dengan kondisi yang sama dengan saat lo datang."
“Hah? Maksudnya …”
“Seperti yang lo bilang tadi, mungkin benar gue butuh seseorang. And I want you. You will make me the happiest person in the world if you say yes to being my girl friend.”
Harusnya ini menjadi momen paling mengejutkan dari seluruh pembicaraan malam ini. Sudah lewat tengah malam. Di restoran cepat saji. Aku memakai celana pendek dan kaos oblong untuk tidur. Jagad memintaku menjadi pacarnya.
Aku seharusnya terkejut, tersipu, atau semacamnya. Tapi aku malah tertawa.
“Gad, lo yakin lo cuma minum segelas, tadi?” tanyaku. “Kayaknya lo mabuk deh. Udah, yuk, sini, biar gue yang setirin mobil lo ke apartemen.”
Aku bangkit, berniat untuk mendahuluinya keluar dari restoran cepat saji. Toh, kami—atau tepatnya dia—sudah selesai makan. Namun, sebelum aku sempat beranjak, Jagad menahan sikuku.
“Duduk dulu, Na,” pintanya. “Gue belum selesai. Please?”
What the hell … aku benci sekali ketika orang berkata “please”. Mekanisme hatiku, memaksaku untuk menurutinya karena aku merasa jahat bila mengabaikannya. Akhirnya, aku pun duduk lagi. Mendengarkan apa pun omong kosong Jagad kali ini.
"Mungkin gue emang mabuk," kata Jagad tiba-tiba. "Karena gue nggak yakin gue berani ngomongin ini kalau gue nggak mabuk. Entah, anggap aja begitu."
“Ini serius ya?” tanyaku sembari menelan ludah.
Jagad mengangguk. “Seribu rius,” jawabnya garing.
“Tapi lo kan tahu gue—”
"Gue tahu lo benci orang kaya,” Jagad memotong. “Gue tahu gue out of list banget buat lo. Sama sekali nggak masuk kriteria. Tapi ya gimana lagi? Gue nggak tahu apa lo beneran nggak tahu atau cuma pura-pura nggak tahu … But I love you, Na. Always. More than you know, even more than I know."
“Tapi—”
“Jangan tanya sejak kapan, Na, karena gue juga nggak tahu jawabannya. Mungkin sejak sebelum kejadian di vila itu."
Kali ini aku diam. Percuma aku mencoba bicara, Jagad akan terus memotong kalimatku, kan? Lebih baik aku membiarkannya bicara sampai selesai dulu.
"It has been for years, and I am still into you just like before."
I am still into you? For years? Just like before? Apa maksudnya Jagad bilang dia masih menyukaiku? Seolah-olah dia sudah pernah mengatakannya sebelum ini.
“Gue tahu gue bukan Lukas, Na. Bukan Restu. Bukan orang-orang seperti mereka yang lo kagumi mati-matian itu. Gue tahu gue cuma anak manja yang nggak tahu apa-apa soal hidup versi lo. Tapi,” Jagad tersenyum. “Kasih si anak manja ini kesempatan, Na. I’ll try my best to become someone who deserve you.”
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro