Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua

"Pake apa lagi, Mbak Nana?" tanya Bu Jamilah, pemilik warteg di dekat kontrakan, saat membungkuskan nasi untukku.

"Umm ... " Aku menatap deretan lauk pauk di etalase. Aku sempat tergiur dengan lele kremes yang terlihat gurih dan ayam sambal hijau yang terlihat pedas menggoda, sebelum aku mengingat isi dompetku. "Orek tempe aja, Bu. Rada banyak ya, 5000. Tempe gorengnya tiga."

Bu Jamilah tertawa. "Sayurnya tempe, lauknya juga tempe? Mbok pake ayam?"

Aku menggeleng dan meringis kecut. "Kolesterol," jawabku berdusta.

Bu Jamilah tertawa lagi. "Ealaah ... Wong masih muda gitu."

Setelah mendapatkan makananku untuk satu hari ini, aku berjalan pulang dari warteg ke kontrakan. Mampir sebentar di warung untuk membeli sabun cuci sachet-an.

Ini hari ketigaku menjadi pengangguran. Sisi positifnya, aku tidak harus bangun pagi-pagi dan berdesak-desakan di KRL untuk sampai di kantor tepat waktu. Aku bisa nonton film sampai malam tanpa takut kesiangan. Sisi buruknya ... ya banyak. Semua ini buruk, karena aku semakin khawatir bagaimana caranya bertahan hidup dengan isi rekening yang tak sampai satu juta itu.

Setiap kali bangun tidur--di siang hari, karena menjadi pengangguran membuatku bisa bangun siang--aku bingung memikirkan apa yang harus kulakukan selain membuka Jobstreet, JobsDB, Glints, dan berbagai website penyedia informasi lowongan kerja lainnya. Aku juga memikirkan bagaimana cara tetap tinggal di kontrakan ini meski belum bisa membayar tagihan tiga bulan belakangan. Jika aku memakai sisa uang di rekening untuk mencicil membayar kontrakan, aku tidak akan bisa makan. Tapi kalau aku tidak segera membayar, aku pasti akan diusir. Macbook Air yang rencananya akan kujual, kuurungkan niat. Kalau Macbook itu kujual, bagaimana aku bisa mencari pekerjaan??

Kalau sudah begini, aku jadi menyesali waktu bertahun-tahun aku bekerja. Kenapa aku tidak bisa menabung lebih banyak lagi? Seharusnya aku tidak nekat mencicil mobil untuk Ibu tahun lalu. Tabunganku yang kukumpulkan dari sisa-sisa pengeluaran dan cicilan, sudah ludes untuk menutup cicilan selama empat bulan ini. Bahkan tabungan yang kusisihkan untuk uang kuliah Levana sudah ikut terpakai. Rasanya aku tak sanggup membebankan semuanya kepada Ibu. Padahal selain Levana, Ibu masih harus membiayai Alana, adik bungsuku yang masih di bangku SMA. Astaga, aku baru menyadari betapa rawannya hidup seseorang jika hanya bergantung pada satu pintu penghasilan. Ketika pintu itu tertutup, dia akan kelaparan.

Aku akan kelaparan, kuulang kalimat itu sekali lagi. Jantungku berdebar-debar menghitung berapa uang yang kubutuhkan dan bagaimana caranya aku keluar dari persoalan finansial ini.

Aku tahu kabar buruk kedua datang ketika melihat Bu Hannah, pemilik kontrakan, sudah nongkrong di teras kontrakanku ketika aku tiba. Wajah yang putih dan tembam itu tidak ada ramah-ramahnya. Aku jadi semakin yakin ini bukan silaturahmi biasa.

"Pagi, Bu," sapaku, berusaha ramah.

"Uang kontrakan sudah ada, Nana?" tanyanya.

Astaga! Dia bahkan tidak merasa perlu untuk berbasa-basi.

"Belum. Maaf, ya, Bu. Tapi saya janji ... "

"Dua hari," potong Bu Hannah sadis.

"Hah?" tanyaku tak mengerti.

"Ibu kasih waktu kamu dua hari buat lunasin uang kontrakan tiga bulan. Kalau sampai lusa uangnya belum Ibu terima, kamu angkat kaki dari sini."

Setelah mengeluarkan ultimatum sembari berkacak pinggang, Bu Hannah melenggang pergi. Meninggalkanku yang tertegun di teras. Harus cari uang ke mana untuk mendapatkan empat setengah juta dalam dua hari? Masa aku harus pinjam Lukas?

Lukas ... Ah, tapi apa boleh buat? Lukas pasti mengerti. Toh, selama empat tahun pacaran, aku belum pernah meminjam uang padanya. Lagipula, selama pacaran ini, kami saling bergantian membayari saat kencan. Jadi aku tidak membebankan finansial hubungan padanya. Toh, dia juga tahu situasiku seperti apa. Kalau tidak sedang terjepit dan tidak punya pilihan lain, aku tak akan melakukannya.

Kutaruh makanan yang sudah kubeli di atas meja. Hasratku untuk sarapan lenyap sudah. Aku segera bersiap untuk pergi ke kantor Lukas di daerah Sudirman.

***

Kalau di luar jam-jam sibuk berangkat kerja, sebenarnya naik KRL itu menyenangkan. Aku bahkan mendapat tempat duduk begitu naik dari Stasiun Cawang dan turun di Stasiun Sudirman.

Aku menunggu Lukas di kafe kecil yang terletak di samping gedung perkantorannya. Tadi aku sudah menghubunginya, dan Lukas setuju untuk bertemu. Jam istirahat Lukas masih sekitar 30 menit lagi, dan aku memang datang terlalu cepat karena aku pengangguran.

Aku sengaja memilih sudut kafe yang dekat dengan kaca, agar bisa melihat orang berlalu lalang. Setelan mereka kebanyakan rapi. Well, namanya juga SCBD, pusat daerah bisnis Jakarta. Beberapa lowongan kerja yang kulamar kemarin juga berkantor di sini, walau kalau ditanya, aku tak ingin bekerja di perusahaan yang kantornya di Sudirman. KRL-nya itu lho. Parah!

"Renjana."

Aku menoleh. Lukas datang, dengan setelan kerjanya yang rapi: celana bahan dan kemeja slim fit. Aku langsung antusias menyambutnya. Seperti biasa, kehadiran Lukas membuat perasaanku langsung membaik. Walau kalau dipikir-pikir, tiga bulan belakangan intensitas pertemuan kami menurun drastis. Lukas sedang sering bertugas keluar kota. Terkadang kami hanya bertemu dua minggu sekali saja.

Begitu Lukas di depanku, aku langsung menggebu-gebu menceritakan semua yang terjadi. Aku sudah menceritakan situasiku saat ini padanya via telepon dan chat. Tapi pasti berbeda dengan menceritakannya secara langsung. Aku bisa merapal sumpah serapah dengan lebih bebas.

Selama aku bercerita, Lukas lebih banyak diam dan mendengarkan. Harusnya ini menjadi sesuatu yang aneh, kalau saja aku tidak terlalu sibuk dengan emosiku sendiri.

"Aku bingung harus gimana sekarang. Aku udah lamar kerja ke mana-mana, tapi ... ya nggak tahu kapan bisa kerja lagi. Bu Hannah udah ngasih ultimatum tadi pagi. Kalau dua hari aku nggak bayar uang kontrakan tiga bulan, aku harus out. Tapi masa aku harus jual MacBook itu? Gimana nanti aku bisa kerja?"

"Tenang, Na, tenang." Lukas menepuk-nepuk punggung tanganku. "Aku yakin semua bakal ada jalan keluarnya kok. Kamu yang sabar ya. Tapi dengan begini, akhirnya semua jelas. Nasibmu nggak terkatung-katung seperti sebelum-sebelumnya."

"Ya, tapi kan aku resmi jadi pengangguran!"

"Ya nanti juga akan dapat kerja lagi. Dengan background pendidikan dan pengalamanmu, aku yakin nggak akan butuh waktu lama."

Sebenernya aku sangat berharap Lukas menenangkanku dengan cara yang lain. Dengan menawarkan pinjaman untuk bayar uang kontrakan, misalnya. Jujur saja, aku agak kagok untuk mengatakannya. Ini kali pertama aku meminjam uang pada pacarku, dan aku tahu, ternyata sesulit ini mengakui bahwa kondisiku sedang buruk sekali.

"Uhm ... Sebenarnya, aku juga pengin ngomongin sesuatu," kata Lukas lagi.

Pria itu memajukan tubuhnya hingga dadanya mendekat ke pinggir meja. Kedua tangannya saling bertaut di atas meja dengan gelisah. Ekspresi Lukas mendadak serba salah.

"Kenapa?" tanyaku mulai merasa aneh.

Lukas masih memasang tampang kurang nyaman. Bahkan kemudian menunduk dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Wajahnya terlihat frustrasi.

"Aku minta maaf, Na," katanya. "Maaf banget."

Aku tidak menjawab. Jujur aku masih belum paham apa yang dia bicarakan.

"Aku tahu mungkin ini bukan waktu yang tepat buat ngomongin ini. Tapi aku juga nggak tahu kapan saat yang tepat."

Aku mulai tidak sabar. "Soal apa sih, Kas? Nggak apa-apa, bilang aja."

"Aku ... nggak bisa lanjutin hubungan kita. Maaf ..."

Rasanya seperti baru saja petir menyambar tepat di telingaku. Gelegar suaranya sampai membuat kupingku pengang.

"Gimana, Kas? Sori, aku agak ..."

"Maaf, aku nggak bisa nerusin hubungan kita, Na. Maaf, aku harus berhenti di sini."

Tadinya aku berharap ini adalah halusinasi. Namun, saat kucubit diriku sendiri, sakit rasanya. Kejadian ini memang nyata. Lukas mengakhiri hubungan kami tepat saat aku begitu membutuhkannya. Kenapa? Apa karena dia tahu aku ingin meminjam uang padanya? Apa dia takut aku akan menjadi beban finansialnya karena kini aku pengangguran??

"Kenapa ...?" tanyaku lirih. "Aku salah apa?"

Lukas menatapku dengan pandangan sedih. "Bukan salahmu. Ini bukan soal kamu, ini soal diriku sendiri."

Bullshit.

"Belakangan aku banyak mikir kalau kayaknya kita nggak sejalan. Aku makin nggak bisa ngimbangin kamu."

Sejak kapan hal itu terjadi? Apakah aku berhalusinasi karena aku merasa hubungan kami baik-baik saja selama ini? Pikiran tidak sejalan? Astaga, aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku dan Lukas bertengkar.

"Lukas, jujur aja. Kenapa? Kapan kita pernah nggak sejalan? Dan tadi apa? Nggak bisa ngimbangin aku? Aku nggak ngerti maksudmu." Aku berusaha bertahan. Aku benar-benar tidak paham. Dua hari yang lalu kami masih teleponan dan semuanya baik-baik saja.

"Ini murni soal aku. Kamu terlalu baik buat disakiti, Na. Aku ngerasa aku nggak akan bisa bahagiain kamu."

Kamu terlalu baik, kalimat itu begitu menamparku. Bukannya aku tidak tahu, aku justru sangat paham bahwa maksud dari kalimat itu sebenarnya simpel: Lukas sudah tidak ingin bersamaku tapi dia terlalu pengecut untuk mengatakan alasan yang sebenarnya. Bukan dia yang tidak bisa membahagiakanku, tapi aku yang tidak lagi membuatnya bahagia. Ini menyakitkan. Apa salahku? Apa yang telah kulakukan sampai aku terlalu baik untuknya?
Rasanya aku ingin menangis. Tapi di saat yang sama aku juga ingin tertawa.

"Oke," jawabku lirih. Aku bahkan nggak punya tenaga untuk membela diri dan mempertahankan hubungan kami. "Baiklah."

Lukas menatapku, sedikit tak percaya. Mungkin dia mengharapkan reaksi yang sedikit lebih dramatis dariku. Tapi aku bahkan sangat lelah dengan semua ini. Mendadak aku menyesal menemui Lukas. Aku merindukan kasurku. Aku ingin membenamkan diri di dalam bantal-bantal dan tak ingin bangun lagi sampai semua ini membaik.

"Thanks, Na. karena kamu mau ngertiin aku. Kita masih bisa temenan kok. Dan soal yang tadi, tenang aja. Aku akan bantu. Kamu butuh berapa buat bayar kontrakan?"

Aku menggeleng. Setelah memutuskanku dengan alasan aku terlalu baik, Lukas masih tega menginjak harga diriku dengan menyinggung soal bantuan itu? Aku memang sedang kalah dan lemah. Tapi aku tidak sehina itu!

"Nggak usah, Kas. Lupain aja apa yang aku ceritain tadi. Aku akan cari jalan keluar lain," kataku sambil menghabiskan tehku cepat-cepat. "Oke. Makasih untuk beberapa tahun ini. Be happy with your life, ya."

"Tapi, Na, aku bener-bener mau bantu ..."

"Gue pamit, ya. Mumpung masih jam segini KRL belum rame."

Tanpa mengindahkan panggilan Lukas, aku bangkit dan berjalan. Namun, baru lima langkah, aku kembali padanya. Entah apa yang kupikirkan, tapi kalimat ini meluncur begitu saja dari bibirku.

"Anyway, gue sebenarnya nggak sebaik yang lo pikir, kok. Lo nggak tahu kan kalau gue sempat selingkuhin lo?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro