CHAPTER 1
Tempat itu sangat berisik. Musik mengentak-entak yang membuat telinga sakit, tambahkan lampu mati-hidup yang membuat pusing kepala. Belum lagi seliweran tubuh-tubuh yang bergoyang mengikuti hasrat. Orang-orang menggila, meninggalkan segala norma, masalah, dan tagihan-tagihan di belakang. Besok pagi ketika pengaruh alkohol sudah hilang, masalah-masalah itu akan kembali menuntut dipikirkan. Namun, biarlah itu menjadi urusan besok.
Dayu berjalan cepat, sebisa mungkin menghindari orang-orang agar tidak perlu bertabrakan. Dalam hatinya dia mengutuki agenda teman-temannya. Bisa-bisanya mereka mengajak party di hari kerja?
Dia berhenti sejenak, menyipitkan mata, memandang sekitar, mencari-cari di mana teman-temannya berada. Untung saja dia segera menemukan sosok cewek berambut pirang panjang dengan pakaian kurang bahan yang tengah berjoget di atas meja. Sahabatnya yang satu ini memang mudah sekali dicari.
Udah gila dia ya, pikir Dayu sambil geleng-geleng kepala. Pesta lajang sih pesta lajang, tapi harus begini banget?
Baru saja Dayu melangkah untuk menghampiri sofa tempat kawan-kawannya menggila, seorang perempuan berambut pixie berjalan limbung ke arahnya. Disusul kemudian pria berbadan besar yang tidak kalah limbung—sepertinya sudah mabuk—menubruknya. Perbedaan postur yang terlalu besar, membuat Dayu tidak bisa mempertahankan posisi. Meski tidak mabuk, dia ikut-ikutan limbung dan nyaris terjerembap ke lantai, jika saja tidak ada sepasang lengan yang meraih pinggangnya tepat waktu.
"Got you!" kata suara itu, terdengar panik sekaligus lega. "Are you OK?"
Sangat lega, Dayu melepaskan diri dan memutar tubuhnya, menghadap penyelamatnya—seorang pria tinggi memakai kemeja denim, yang wajahnya tidak cukup terlihat jelas karena minimnya cahaya.
"Yap. Thanks a bunch!" kata Dayu sembari tersenyum.
"No problem, sering terjadi," jawab si pria, sebelum mereka berpisah.
Dayu kembali melanjutkan langkah mendekati meja kawan-kawannya
"Dayu!" panggil si pirang seksi yang berjoget di atas meja.
Hilda, salah satu sahabatnya yang sekaligus tuan rumah pesta kali ini, memakai gaun tipis bertali spageti yang rendah di bagian dada maupun punggung. Sobekan-sobekan confetti menempel di kulitnya, gelas tinggi berisi cairan keemasan di tangannya, sementara badannya meliuk-liuk mengikuti musik yang diputar oleh DJ kenamaan. Turut menari bersamanya, ada dua sahabat Dayu yang lain yang penampilannya nggak kalah trendi dan seksi.
"Jahat banget lo, telat masa sampe satu setengah jam!" teriak Hilda lagi.
Dayu, yang baru saja diteriaki, berkebalikan dari itu semua. Alih-alih memakai gaun bertali spageti atau rok mini dengan rantai yang bergemerincing di pinggang, dia datang dengan setelan kantor yang membosankan. Rok pensil 7/8 bermotif kotak-kotak dengan kemeja putih dan blazer yang bermotif sama seperti rok. Rambut panjangnya diikat ekor kuda tinggi. Ransel berayun di pundaknya.
"Lo mau party apa mau pitching ke klien, sih?" tanya Winny, yang rambutnya dipotong pendek sebatas telinga, dengan rok mini berbahan kulit serta crop top hitam yang hanya menutupi bagian dadanya. Perut ratanya terpampang sempurna.
Dayu tertawa. Setelah melempar tas dan juga tubuhnya ke sofa, dia meraih botol Civas yang sudah banyak berkurang, dan menuang sisanya ke satu gelas kosong yang ada di meja. Tanpa berpikir, Dayu menegaknya sekaligus, dan berdecak lega.
"Uhuuuu!" siulnya, sembari mencecap-cecap rasa alkohol itu di lidahnya. "Gilaa! Mau meledak rasanya kepala gue hari ini!"
Ketiga sahabatnya masih menari-nari liar. Winny, si rambut bondol yang sporty berjoget dengan rokok terselip di sela-sela jari. Tine, yang memakai dress bunga-bunga hanya berjoget-joget lemah gemulai, terlihat seperti mengalami trans.
Hilda melompat turun dari atas meja, kemudian mengempaskan di samping Dayu, memeluknya seperti koala.
"Bau banget!" gerutu Dayu sembari menutup hidungnya dan mendorong sahabatnya menjauh. "Lo udah minum berapa botol?"
Hilda tergelak. "Namanya juga party, bego. Lo yang aneh, datang ke tempat ginian pake outfit kantor."
"Ya kan gue emang langsung dari kantor, Pintar," jawab Dayu.
Dia memutuskan untuk melepas blazernya, menyisakan kemeja pendek putih dan rok.
"Tine!" panggilnya kepada cewek dengan dress bunga-bunga. "Ya Tuhan, udah teler lo?" Dayu tergelak melihat Tine yang berusaha turun dari meja dengan kagok. "Sini! Awas itu kepleset!" Kemudian Dayu berpaling pada Hilda yang duduk menyandari sofa. "Lo apain si Tine? Buset, pada barbar bener, sih?"
Tidak lama kemudian, Winny turun dari meja dan ikut mengempaskan tubuhnya di samping Dayu. Aroma alkohol terpancar kuat. Dayu jadi penasaran sudah berapa botol yang mereka habiskan.
Malam ini, Hilda menggelar pesta lajang privat untuk mereka berempat. Sebenarnya Dayu yakin itu alasan untuk mabuk-mabukan saja. Pertama, mana ada pesta lajang privat yang digelar di kelab malam, di tengah-tengah pengunjung lain yang juga sama gilanya? Kedua, meski minggu lalu sudah melangsungkan pertunangan dengan kekasihnya, Boy, pernikahan mereka masih lama. Dayu menduga, Hilda sedang suntuk dan ingin bersenang-senang saja.
Hilda mengajak mereka mabuk sampai black out sejak pukul 9 malam. Sayangnya, Dayu harus menyelesaikan masalah pekerjaan. Editor tempatnya bekerja melakukan kesalahan karena tidak segera mengecek approved draft dari klien untuk penayangan advertorial hari ini. Padahal klien sudah memberikan feedback sejak dua minggu sebelumnya. Saat hendak tayang, editor baru menyadari bahwa ada satu foto pilihan klien yang diambil bebas di internet. Editor menyarankan untuk mengganti foto lain, tetapi klien marah karena tidak ada foto yang sesuai dengan keinginannya. Alhasil, timnya harus menghubungi pemilik foto pilihan klien untuk memproses pembelian. Sialnya, pemilik foto itu orang Hungaria. Jadi, bayangkan saja bagaimana serunya sore Dayu hari ini.
Meski bukan kesalahannya, dan tidak ada yang bisa dilakukan selain menghibur klien selama tim editor bekerja selaku sales manager yang bertanggung jawab atas project yang di-handle oleh account executive di bawahnya, Dayu tetap saja tetap ikut lembur di kantor untuk memastikan semuanya bisa beres. Alhasil, dia baru tiba di Perfect Gateaway menjelang pukul setengah 12 malam, dan teman-temannya sudah teler.
"Lo nggak capek, Day, kerja sampe tengah malam begini terus?" tanya Winny.
Jangan tertipu dengan penampilan seksi nan sporty menjurus ke hipster Winny malam ini. Di balik itu semua, Winny adalah seorang ibu rumah tangga dengan dua anak perempuan menggemaskan yang masing-masing berusia 5 dan 3 tahun. Suaminya adalah pengacara senior di sebuah firma hukum terkenal. Setiap hari, jika tidak ada pesta semacam ini, aktivitas Winny didominasi oleh mengurus keluarga kecilnya dan beramah tamah dengan tetangga sekitar serta mendampingi suami ke acara-acara formal.
"Duit nggak bisa masuk sendiri ke rekening gue, Cuy," jawab Dayu.
Matanya memilah-milah botol alkohol di meja, lantas pilihannya kembali pada sebotol Civas yang tinggal setengah. Dayu langsung menegaknya dari botol.
"Nikah makanya, biar seenggaknya ada duit yang datang sendiri ke rekening," sambar Tine, menggelosor di pinggiran meja.
Hilda tergelak. "Lo suruh Dayu nikah, Ne? Itu sama kayak gue nyuruh lo pake hijab."
"Terus?" Tine mengerutkan dahi.
" Kan lo Khatolik, Christine!"
Dayu tergelak menyimak obrolan random orang-orang mabuk ini. Dayu tidak akan bersikap menye-menye dengan mengatakan hal ini kepada ketiga sahabatnya, tetapi inilah yang dia cari setiap hari. Sahabat-sahabat baik yang siap mendengar keluh kesahnya. Sahabat yang meski tidak ragu mengatainya tolol atau memarahinya habis-habisan saat dia melakukan kesalahan bodoh, tetapi selalu datang pertama dan mengulurkan tangan saat Dayu butuh bantuan. Di akhir hari, setelah penat bekerja, obrolan di grup WA "PECINTA DOLLAR" menjadi hiburan sendiri bagi Dayu. Menyimak omelan Winny untuk anak-anaknya, atau keluhan Tine tentang suami berondongnya, atau Hilda dengan koleksi cowok-cowoknya. Lantas sesekali, di hari spesial seperti ini, mereka liburan bersama atau sekadar mabul-mabukan. Semua itu cukup membuat Dayu nyaman dengan hidupnya. Dunia boleh kejam dan tidak berperasaan, tetapi Dayu siap menghadapi apa saja selama ada orang-orang ini. Kenapa juga dia harus mencari-cari kenyamanan lain?
"Hilda yang the real bitch aja akhirnya tied the knot," komentar Tine. "Gue yakin Dayu pada akhirnya juga bakalan ketemu seseorang."
"Barusan gue ketemu seseorang," kata Dayu tanpa berpikir panjang. "Cowok, pake kemeja denim, kayaknya sih ganteng."
Ketiga sahabatnya memandangnya dengan ekspresi tertarik.
"Siapa?" tanya Winny.
"Ya mana gue tahu! Kan gue bilang ketemu, bukan kenalan. Terus, ada lagi cowok gede kekar, cewek mabuk, satpam yang kepalanya plontos, ibu-ibu yang nungguin taksi—"
"Woy!" sergah Hilda kesal. "Lo mabuk apa gimana, sih?!"
Dayu tertawa. "Lo yang mabuk, bego!"
"Maksudnya Tine seseorang yang spesial, tolol! Bukan random people yang lo temuin di jalan!"
"Random people juga bisa jadi spesial," sanggah Dayu.
"Udah, udah, jangan didesak terus si Dayu. Ntar doi malah cabut," lerai Winny. "Malam ini jadi kan nginep di tempatnya Hilda?"
Sontak Dayu berdecak. "Besok gue kerja, wooii."
"Bukannya lo ambil cuti?" tanya Winny cepat. "Hilda suruh ambil cuti, kan?"
"Cuti sih cuti, tapi di hari kerja ini ... takut ada yang urgen, terus guenya teler gimana?"
Hilda berdecak. "Beb, bilang yang jujur! Lo paham artinya cuti nggak?"
Alih-alih menjawab, Dayu hanya tertawa. Sahabatnya itu tentu tidak tahu artinya bekerja di bidang penjualan. Hidup dan matinya, kapan dia bisa liburan ke luar negeri, atau kapan dia bisa beli baju dan tas branded, semuanya ditentukan oleh klien. Cuti? Itu adalah kata-kata utopia yang terlalu digembar-gemborkan, menurut Dayu.
"Pokoknya malam ini kita mabuk sampe teler!" jerit Hilda sembari mengambil sembarang gelas di meja, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.
Dayu, Tine, dan Winny mengikutinya. Masing-masing memegang gelas dan mendetingkannya di udara.
"Ya udah, kalian aja yang teler. Biar gue yang stay sober sekalian jagain," putus Dayu.
"Ih, ngapain? Semua yang ada di sini udah gue bayar. Minum sampe black out, Babe!"
"Kalau semua teler, yang nyetirin balik siapa, Maliih?"
"Tenaaang," jawab Hilda sembari mengisi ulang gelasnya. "Gue udah siapin sopir buat malam ini."
"Sopir?" Mata Dayu mencuat naik. "Boy?"
"Bukan. Tuh orangnya," jawab Hilda sembari mengedikkan kepala ke sisi kanan mereka.
Dayu mengikuti arah kedikan Hilda, dan melihat seorang pria muncul dari sela-sela orang yang tengah berpesta. Pria itu memakai kemeja denim dan membawa minuman kaleng. Dayu menyipitkan mata begitu mengenali sesuatu.
Lho, itu kan cowok yang menolongnya tadi?
***
Ada banyak hal buruk yang terjadi saat mabuk-mabukan, versi Dayu. Pertama, dia sering lupa diri dan melakukan hal-hal konyol yang nantinya akan dia sesali. Misalnya, menelepon bos dan memprotes soal pekerjaan—untung saja Dayu tidak punya mantan pacar, jadi untuk yang satu itu dia terselamatlan. Kedua, after effect mabuk alias hangover itu sungguh menyiksa. Kepalanya seperti habis dipukuli, tenggorokannya kering kerontang seperti setahun tidak dialiri air, perutnya mual dan seringnya asam lambung naik. Cahaya lampu kamar yang remang-remang pun menyiksa matanya. Apalagi saat dia keluar dari kamar dan memasuki ruangan utama apartemen yang bersimbah cahaya. Matanya perih dan kepalanya seperti ditusuk-tusuk.
"Morning, Beb," sapa seseorang yang sudah sibuk di dapur.
Jangan bayangkan Dayu pulang ke apartemen cowok stranger dan menjalani one night stand. Lantas cowok itu sekarang menungguinya bangun sembari memasak sarapan di dapur—tambahkan deskripsi hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada, memamerkan ototnya yang menggoda. Nope.
Yang memasak di dapur itu Winny. Sudah rapi, bugar, dan penuh semangat. Sejak dulu, Winny paling kuat minum dan paling cepat pulih dari hangover di antara mereka berempat. Jika Dayu akan lesu dan mengantuk seharian setelah mabuk semalam, hal itu nggak ada dalam kamus Winny. Uniknya, daya tahan itu semakin bertambah setelah Winny menikah dan punya anak. Sementara Dayu, Tine, dan Hilda masih tepar dan berbau busuk, Winny sudah rapi dan siaga. Mungkin karena dia terbiasa bangun pagi dan menyiapkan keperluan anak-anaknya. Winny selalu turun tangan sendiri mengurus duo krucilnya, meski asisten rumah tangganya sudah berjejer, menunggu diberi instruksi.
Dayu selalu berpikir bahwa Winny adalah sosok ibu yang baik. Bukan hanya untuk Aurelie dan Elsie kecil, melainkan juga untuk ketiga sahabatnya.
"Mandi sono," perintah Winny. "Itu di kulkas ada air kelapa. Tadi gue minta tolong Pak Win beliin."
Dayu mengangguk. Sembari bersendawa keras-keras yang menguarkan bau asam, dia beranjak mengambil air kelapa di kulkas. Setelah Dayu menghabiskan segelas bertepatan Tine keluar dari kamar mandi dengan handuk menutupi kepala.
"Morning, Dayday," sapanya dengan suara serak, meski penampilannya sudah segar.
"Morning. Hilda belum bangun, ya?'" Dayu bertanya bingung. Dia berusaha mengingat-ingat apakah masih ada seongok tubuh di kasur saat meninggalkan kamar tadi.
Saat itu, dari arah kamar terdengar suara gedabrukan dan umpatan, yang disusul dengan suara muntahan. Dayu meringis, dan memilih buru-buru masuk ke kamar mandi yang ada di dekat ruang tengah.
Semalam, sesuai rencana, keempatnya pulang ke apartemen Hilda. Dan hari ini, jika berjalan sesuai rencana, mereka akan shopping dan nonton konser gabungan band-band lawas semasa mereka SMA.
Dayu benar-benar menikmati waktu mandinya pagi itu. Dia berlama-lama berendam di bathup yang dipenuhi air hangat. Dayu bahkan membawa ponselnya, dan memutar lagu-lagu bossanova yang menenangkan. Seandainya tidak hangover, mungkin Dayu akan membawa sebotol anggur sekalian.
Setelah otot-ototnya terasa lebih lentur dan sakit kepalanya berkurang, Dayu pun bangkit dari bathup dan mengakhiri mandi paginya. Dengan segar aroma sabun pilihan Hilda yang nggak perlu diragukan, Dayu keluar dari kamar mandi dengan tubuh berbalut bathrobe. Di dapur, ketiga sahabatnya sudah berkumpul.
"Anjir! Gue kirain lo pingsan di kamar mandi!" seru Hilda urakan.
Dayu cuma menyengir, dan duduk di kursi kosong di sebelah Winny. Di meja makan pagi itu, sudah tersedia nasi goreng seafood lengkap dengan acar. Memang itu menu sarapan miliaran umat manusia di dunia. Namun, masakan Winny tidak perlu dipertanyakan. Andai tidak sibuk mengurus anak dan suami, Dayu akan menyarankan Winny untuk buka restoran saja.
Satu suapan masuk ke mulutnya, Dayu langsung berdecak-decak nikmat.
"Lo mau nggak jadi personal chef gue, Win?" tanya Dayu, selagi menikmati sarapan. "Gaji UMR, dapat BPJS, dan THR."
Winny hanya tertawa, tetapi Hilda langsung nyolot.
"Bisa-bisanya lo nawarin gaji UMR ke doi. Lo nggak tahu gaji sopirnya Winny berapa? Dua digit kali!"
Dayu mendengus. "Huuuu ... sungguh nggak adil dunia ini. Gue kangen deh sama zaman kuliah dulu. Tiap hari Winny ke kampus bawa bekel ekstra. Itu masa-masa di mana kebutuhan gizi gue terpenuhi dengan baik."
"Emang sekarang kurang gizi, Day?" tanya Tine polos.
Hilda tergelak. "Jelas. Dayu tuh kebanyakan meeting, kekurangan gizi."
Dayu ikut tertawa. "Bener, sih."
"Apa kabar work-life balance?" tanya Winny.
Dayu mengedikkan bahu. "Mitos."
"Apalagi kalau ntar gue udah kewong. Apa makin nggak pernah makan tuh si Dayu?" sindir Hilda. "Selama ini kan gue yang rajin nyeret buat lunch bareng. Habis kewong, ya gue lunch bareng laki guelah."
Dayu hanya bisa nyengir. Mau bagaimana lagi? Itu faktanya. Posisinya sebagai sales manager di kantor membuat Dayu beredar dari satu meeting ke meeting yang lain. Skip makan siang bukan hal baru, kecuali agendanya lunch meeting. Selama ini, Hilda-lah yang menjadi partner lunch-nya yang setia. Selain kantor mereka berdekatan, hanya Hilda yang waktu luangnya masih cukup banyak karena belum berkeluarga.
"Pasang alarm tiap jam makan, Day," saran Tine.
"Apa gunanya kalau cuma buat di-snooze, snooze lagi, snooze terus, snooze mulu? Kasihan alarm-nya, udah nggak punya harga diri," ledek Hilda.
"Makanya, Day," kata Winny tiba-tiba mengubah nadanya jadi lebih lembut. Dayu pun mulai berprasangka buruk. "Setuju, ya, yang kemarin itu?"
Tuh kan. Pasti soal itu lagi yang mau dibahas.
Dayu mengerang lelah.
"Apa, sih, susahnya?" tanya Hilda nggak habis pikir. "Tinggal jalan sekali atau dua kali. Kalau nggak cocok, ya udah nggak usah dilanjutin."
"Males ribet," jawab Dayu pendek. "Kalian lupa, hidup gue udah cukup ribet dengan target cari duit 10 miliar setahun itu?"
Baik Hilda, Winny, dan Tine sama-sama diam, tidak ada yang merespons alasan yang Dayu berikan. Mungkin karena mereka tahu alasan Dayu yang sebenarnya bukan itu.
Hal ini juga yang membuat Dayu kesal dan lelah sendiri. Persahabatan mereka bukan hanya setahun atau dua tahun, melainkan sudah dua belas tahun. Hilda, Winny, dan Tine barangkali lebih memahami dan mengerti dirinya dibanding Kak Widia, kakak kandung yang Dayu sendiri lupa kapan terakhir kali mereka bertemu. Mereka bertiga juga tahu pasti kenapa Dayu selalu enggan terlibat hubungan romantis dengan siapa pun. Lantas, kenapa masih mereka masih mendesak juga?
"Gue punya ide," kata Hilda tiba-tiba. "Lo lagi nabung buat jalan-jalan keliling Eropa kan, Day?"
Kali ini Dayu menatap sahabatnya dengan kening terangkat.
"Tabungan lo nggak nambah-nambah karena lo kebanyakan cicilan. Ya nggak?"
Kali ini Dayu mendengus sebal. Haruskah Hilda mengungkit fakta betapa milenialnya Dayu? Gajinya yang sebenarnya tinggi, tidak berbekas karena kebanyakan cicilan. Ya apartemen, ya mobil, baju dan sepatu branded, belum lagi biaya skincare, dan pastinya biaya senang-senang agar dia tidak gila, mengingat tekanan kerjanya sungguh berat.
"Kenapa? Lo mau bayarin liburan gue?" tantang Dayu.
Dia hanya bercanda, tentu. Namun, Hilda mengangguk. Kening Dayu semakin berkerut. Hilda memang tajir. Hilda Maharani Sosromihardjo adalah cucu dari Vahrudi Sosromihardjo, salah satu orang terkaya di era orde baru Indonesia. Kekayaan keluarganya tidak bakal habis dimakan sampai 3-4 generasi keturunan Sosromihardjo. Kalau toh sekarang Hilda bekerja di perusahaan maskapai penerbangan, itu juga karena iseng saja, daripada nganggur dan bosan di rumah. Namun, masa iya Hilda sebegitu dermawannya sampai mau membiayai liburan keliling Eropa Dayu? Kalau sebatas liburan ke Paris atau ke Roma seminggu, sih, masih mungkin. Tapi ini? Target Dayu jelas. Keliling Eropa. Dia bahkan berencana dua bulan tidak pulang ke Indonesia.
"Ih, gue mau juga!" serobot Tine. "Bayarin gue juga dong, Hil!"
"Nggak gue bayarin juga," sanggah Hilda. "Gini, lo tahu kan apartemen gue yang di PIK? Yang gue taruh di AirBnB?"
Dayu mengangguk.
"Lo pegang selama setahun."
Kali ini mata Dayu membeliak. "Serius lo?!"
Hilda mengangguk. "Itu properti populer di AirBnB. Tiap minggu ada aja yang ambil. Jadi, keuntungan udah pasti gede."
Tentu saja. Apartemen Hilda itu, selain memang bagus, lokasinya juga strategis menghadap ke laut dan dekat dengan keramaian. Apalagi saat ini PIK terus berkembang dan menjadi salah satu tujuan favorit untuk liburan singkat warga ibukota di akhir pekan.
Apartemen tersebut hanya salah satu dari apartemen milik Hilda yang tidak dihuni secara tetap. Bagi Hilda, pendapatan dari sewa apartemen itu mungkin cuma recehan yang habis untuk sekali belanja baju di Hong Kong. Namun, bagi Dayu, itu bisa jadi sumber pendapatan lain yang bisa menambah pundi-pundi tabungannya.
"Selama setahun, lo boleh kelola itu apartemen di AirBnB. Mau lo ubah harganya juga terserah. Gue nggak bakal minta setoran sepeser pun," kata Hilda. "Lumayan nggak tuh, buat nambahin tabungan lo?"
Mata Dayu masih menyipit.
"Syaratnya cuma satu, Day." Hilda menyibak rambut silvernya. "Lo harus kencan dengan seseorang."
***
Gimana, guys? 🤣
Cerita ini update seminggu sekali setiap akhir pekan yaa. Buat yang nggak sabar nungguin, bisa meluncur ke Karyakarsa yang udah sampai bab 4.
Sampai ketemu akhir pekan depan! 💜
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro