XVI
Tadi malam aneh sekali.
Setelah berhasil kabur dari Agni, aku bengong selama lima menit. Duduk di atas kasur, menyandar ke dinding, dan mencengkeram ponsel di dada. Menit keenam, aku masuk ke dalam selimut, dan berusaha keras mengosongkan otak. Anehnya, itu berhasil. Saat terbangun, matahari sudah tinggi, dan Bu Murni mengetuk-ngetuk pintu kamarku, menawarkan menu sarapan hari ini--tumis kacang dan melinjo dan rica-rica tahu.
Bisa-bisanya aku tidur nyenyak saat aku terancam hukuman kasus penipuan?
Setelah mandi, aku teringat bahwa ada yang aneh dari percakapanku dengan Agni semalam. Lantas, aku segera membuka aplikasi email di ponselku. Benar saja, ternyata balasan dari Dracula atas emailku sudah masuk sejak tiga minggu yang lalu. Kurasa aku terlalu sibuk dengan segala acara kepanitiaan itu. Haah. Harusnya aku ingat kalau ponselku ini kadang memang berulah, tidak mau menampilkan notifikasi tanpa aku membuka aplikasinya terlebih dahulu. Mana aku juga jarang-jarang buka email lagi.
Email itu sebagian besar berisi jawaban atas pertanyaan atau hal-hal yang kuceritakan di email sebelumnya. Namun, ada satu paragraf yang membuatku nyaris nggak bisa menelan sarapanku pagi ini.
Elizabeth, karena kamu sudah berbesar hati berbagi rahasia, aku juga bakal lakuin hal yang sama. Nggak ada orang lain selain keluargaku yang tahu soal ini. Aku tahu ini buruk, dan aku hidup bertahun-tahun dalam kubangan rasa bersalah. Rasa takut seolah dikejar-kejar, dan juga rasa benci pada diri sendiri. Aku tahu kamu paham soal yang terakhir itu, karena kamu cerita kalo kamu juga ngalamin hal yang sama. This is my greatest mistake. Aku pernah lari dari tanggung jawab. Harusnya aku membusuk di penjara, bukannya hidup di sini seolah-olah semuanya baik-baik saja.
Ponselku nyaris tergelincir dari pegangan membaca kalimat terakhir. Jantung mencelus, dan ulu hatiku terasa seperti baru saja ditonjok. Aku yakin adalah hal yang sama dengan alasan kenapa Agni merasa dirinya nggak layak dicintai kemarin. Alasan yang belum pernah kudengar karena aku malah kedistrak oleh lagu Float.
Tapi ... membusuk di penjara? Apa itu nggak terlalu serius? Kesalahan apa yang membuatnya merasa layak membusuk di penjara? Lari dari tanggung jawab? Apakah Agni menghamili cewek dan meninggalkannya begitu saja? Atau Agni mencekoki temannya dengan obat-obatan terlarang, lalu dia kabur, sementara temannya ditangkap polisi? Atau Agni benar-benar pernah membunuh orang meski kemarin ia menyangkal?
Meskipun hal itu membuatku penasaran setengah mati sampai nggak konsen menyimak perkuliahan selama beberapa hari, aku belum membalas email Dracula. Aku masih bimbang dengan apa yang seharusnya kulakukan terkait relasi Lady Elizabeth dan Draculatamvan ini. Haruskah aku mengakuinya kepada Agni? Bagaimana jika ia menuduhku penipu? Lagipula, Agni menganggap Elizabeth sebagai satu-satunya tempat ia bisa menjadi diri sendiri. Bagaimana jika ia semakin kecewa setelah mengetahui bahwa Elizabeth itu aku? Bagaimana jika ia merasa ditipu dan semakin terpuruk karena hal itu?
Sisi jahat dalam diriku menyeletukkan ide gila untuk tetap menjadi Elizabeth agar aku bisa mengorek cerita lebih dalam terkait Agni. Elizabeth adalah satu-satunya orang lain yang Agni percayai. Siapa lagi yang bisa mengorek cerita tentang Agni selain Elizabeth coba? Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga kalau lagi sial. Bagaimana jika nanti aku ketahuan secara nggak sengaja? Apa itu nggak akan menimbulkan lebih banyak permasalahan dam juga kebencian dalam diri Agni?
See? Umurku bahkan belum 20 tahun. Kenapa aku harus menghadapi persoalan sepelik ini sih? Perasaan kalau baca di novel-novel teenlit, masalah remaja sebatas kena friendzone atau cinta bertepuk sebelah tangan?
Aku juga nggak ingin bersikap pengecut dengan kabur-kaburan dari Agni (lagi), tetapi aku masih belum tahu bagaimana caranya menghadapi cowok itu. Aku takut kalau mulutku yang lancang ini, malah ngomong yang enggak-enggak tanpa sadar. Karena itu, aku memilih untuk menghindar setiap kali bertemu Agni. Aku pura-pura sibuk, ngejar mau kelas, janjian sama tukang fotokopian, sampai jadwal ngasih makan Paduka, saat kami bertemu dan sebelum Agni mengajakku ngobrol lebih jauh.
Satu yang aneh, kurasa belakangan aku jadi sering bertemu Agni. Kok bisa? Padahal aku sudah hampir dua tahun di kampus ini, dan sebelumnya hal ini nggak pernah terjadi. Yah ... meski setahun terakhir Agni memang cuti sih.
Bahkan saat aku keluar dari gedung dekanat setelah mengumpulkan tugas makalah di resepsionis lantai dua, aku melihat Agni di sudut parkiran mobil dosen. Wajahnya terlihat sangat keruh, dan ia sedang berdebat dengan seorang perempuan setengah baya yang berpenampilan glamour. Riasan wajah yang tebal, dan dari jarakku berdiri--kurang lebih 10 meter--aku bisa melihat logo LV di sligbag yang dikenakan oleh perempuan itu.
Mataku memicing, berusaha melihat lebih jelas. Dari sini, aku nggak bisa menangkap obrolan mereka, tetapi perempuan itu terlihat sedang menjelaskan sesuatu dengan menggebu-gebu, bahkan kurasa sedang marah-marah. Sementara Agni hanya menukas satu atau dua kali. Namun, jelas-jelas wajahnya nggak senang dan merah padam.
Tak lama kemudian, Agni mengangkat tangan, meminta perempuan itu berhenti bicara. Lalu, ia mengeluarkan dompet dari saku celana, dan dari sana, ia mengeluarkan beberapa lembar uang. Meski jarak kami jauh, aku bisa melihat itu jumlah yang cukup besar dilihat tumpukannya yang cukup tebal. Tanpa kuantisipasi, bersamaan dengan ia menyerahkan uang itu kepada si perempuan setengah baya, Agni mendongak dan menemukanku.
Sontak jantungku berdebar kencang. Aku merasa sangat salah, seperti mengintip atau mendengar sesuatu yang seharusnya menjadi privasi orang lain. Rasanya seperti aku tertangkap basah mencuri milik orang lain. Sial, kenapa aku harus berhenti, sih, tadi? Kenapa aku harus melihat Agni di situ? Kenapa aku harus keluar dari gedung dekanat sekarang? Kenapa aku harus mengumpulkan makalah hari ini?
Dengan perasaan bersalah, kupaksakan sebuah senyum dan kulambaikan tangan sekadarnya untuk menyapa. Aku nggak tahu apakah Agni balas tersenyum atau malah kesal karena aku seolah memata-matainya. Selanjutnya, aku bergegas balik arah, dan melangkah ke mana pun asalkan nggak di sini.
Baru dua puluh atau dua puluh lima langkah, mendadak suara langkah-langkah cepat terdengar di belakangku. Aku meringis, berharap setengah mati itu bukan Agni.
"Monik!"
Sayangnya, itu memang Agni.
Duh, dia mau apa, ya? Jangan-jangan dia mau memarahiku karena iseng mencampuri urusannya? Lho, tapi aku kan nggak berbuat apa-apa? Siapa suruh dia berdebat di tempat umum?
"Tunggu!"
Apakah aku punya alasan untuk mengabaikannya atau pura-pura nggak mendengar panggilannya? Nggak ada, jelas. Jadi, dengan senyum yang kupasang secara default, aku berhenti melangkah dan berbalik. Agni mendekatiku dengan langkah-langkah cepat. Kemeja hijau army-nya yang nggak dikancingkan berkibar-kibar.
"Hai, Kak," sapaku.
Kini Agni sudah berdiri di depanku dengan napas yang lumayan cepat. Dia menangkat tangan sedikit, minta waktu.
"Lo ... mau ke mana?" tanya Agni.
"Gue? Oh, nggak ke mana-mana. Di sekitar sini aja, mutar-mutar sampai bosan sekalian olahraga, terus balik ke kos-kosan," jawabku asal.
"Sibuk nggak?"
"Nggak juga. Gue mah malah selalu kurang kerjaan, Kak."
Senyum Agni muncul begitu saja. "Makan bakso, yuk? Gue traktir," ajaknya. "Di tempat yang kemarin itu."
Aku menyipitkan mata, sedikit bingung dan curiga. Ada angin apa, tiba-tiba mau traktir?
"Gue habis gajian," terangnya tanpa diminta. "Yuk?"
Sebenarnya aku ingin menolak. Sumpah mati, meskipun tawaran makan bakso gratis itu sangat menggiurkan. Namun, yang justru menggangguku adalah ekspresi Agni terlihat penuh harap. Ekspresi orang yang ingin menjelaskan sesuatu setelah tepergok. Aku kasihan padanya, dan aku ingin bilang bahwa dia nggak harus menjelaskan apa pun padaku. Namun, pada akhirnya aku tetap nggak sanggup untuk mengatakan nggak.
***
"Makan baksonya dulu, Mon."
Aku mendongak. Dengan uap panas dari mangkukku di sela-sela kami, aku menatap Agni yang juga tengah menatapku. Dia mengedikkan dagu ke arah mangkuk baksoku.
"Katanya nyesel kalau makan bakso mi-nya duluan dan keburu kenyang sebelum baksonya habis?" jelasnya. "Udah gue ingetin tuh."
Sontak aku tertawa kecil. "Masih ingat aja lo, Kak. Makasih banyak, lho."
Kutatap mangkuk baksoku yang masih utuh. Benar juga. Aku harus mulai dengan pentol baksonya. Atau setidaknya, gantian.
"Tapi nanti jadi mi-nya yang nyisa nggak ya?"
Agni tertawa lalu menyorongkan mangkuk miliknya. "Sini, kasih mi-nya ke gue. Biar gue yang habisin."
"Serius lo, Kak?" tanyaku sangsi. Baru kali ini ada orang makan bakso malah minta mi-nya.
"Iya, kan gue butuh banyak karbohidrat karena luas permukaan tubuh gue lebih besar daripada lo."
Itu penjelasan macam apa sih?
Namun, akhirnya aku mengikuti sarannya. Kupindahkan separuh mi dari mangkuk baksoku ke miliknya. Seperti biasa, Agni langsung menambahkan sambal banyak-banyak ke sana. Sedangkan aku lebih suka serba minimalis. Kecap sedikit, saus seuprit, dan sambal secukupnya.
Awalnya kami menikmati bakso dalam diam. Hari ini, warung bakso legendaris ini lumayan sepi. Mungkin karena ini sudah hampir pukul setengah tiga. Jam makan siang sudah lewat jauh. Sebenarnya aku juga sudah makan siang seporsi siomay tadi.
"Tadi itu nyokap gue."
Lagi-lagi aku mendongak, menatap Agni yang tiba-tiba bicara dengan suara sengau karena ia mendadak pilek akibat kepedasan. Mangkuk baksonya sudah tandas.
Bingung harus merespons apa, aku hanya berkata, "Oh ... cantik, Kak."
"Lo ingat apa yang lo tanyain dini hari kapan itu?"
Hatiku mencelus. Kenapa aku lebih ingat soal bahwa Agni adalah Dracula? Lalu, apa itu yang dia maksud membusuk di penjara karena kabur dari tanggung jawab.
"Yang ...."
"Kenapa gue nggak layak dicintai."
"Oh ...."
"Hidup gue kacau," kata Agni lagi sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku. "Bokap gue jatuh sakit sejak tiga tahun lalu. Stroke dan sekarang lumpuh. Keluarga gue bangkrut, karena bokap nggak lagi bisa bekerja. Sekarang penghasilan keluarga cuma dari toko kain peninggalan Kakek gue di Pasar Baru. Itu juga nggak seberapa."
Aku menelan ludah. Mendadak baksoku yang tinggal seuprit nggak lagi menarik.
"Gue berusaha keras beradaptasi. Gue kerja sambilan sana-sini buat bayar kuliah dan kebutuhan sehari-hari."
"Itu alasan lo ambil cuti setahun kemarin, Kak?" tanyaku tanpa bisa dicegah.
Agni mengangguk. "Gue berusaha keras. Tapi ... kayaknya nyokap dan kakak gue nggak bisa beradaptasi secepat itu. Gaya hidupnya masih sama, meski sekarang praktis kami nggak punya apa-apa. Lo tahu yang paling parah? Kakak gue malah terjerat prostitusi online."
Aku menelan ludah. Ini lebih parah daripada yang kusangka. Namun, sebisa mungkin aku memasang ekspresi biasa agar Agni nggak merasa aku menghakimi keluarganya.
"Kakak lo ... sekarang gimana?"
Agni mengedikkan bahu. "Ya masih kayak gitu. Bisa dimaklumi sebenarnya, karena gimanapun kami terlahir dengan dalam kondisi finansial berkecukupan bahkan berlebihan. Dan dia pikir, itu adalah cara paling mudah untuk tetap mempertahankan kehidupan sosialitanya. Cara paling gampang buat menuhin semua kebutuhan dia. Gue bisa apa sih, Mon? Kenyataannya, gue juga nggak bisa ngasih apa yang dia butuhkan untuk bisa melarangnya ini dan itu."
Aku menelan ludah untuk kesekian kalinya.
"Belum lagi nyokap gue kayak nggak paham kalau situasi sekarang udah berbeda."
Jadi, ini yang Dracula maksud bahwa ia dipaksa untuk berubah oleh keadaan.
"Kacau, kan, hidup gue? Pontang-panting kerja buat nabung biaya kuliah dan tambahan biaya pengobatan bokap, tapi ujung-ujungnya cuma buat bayarin arisan nyokap." Agni tertawa kecil.
Aku heran, bagaimana ia masih bisa tertawa. Walau sedetik kemudian, wajahnya kembali mendung.
"Kadang ... gue merasa sendirian."
Refleks aku menyentuh tangan Agni, berusaha menyambungkan semangat. "Lo kan bisa cerita ke gue, Kak. Ya mungkin gue nggak bisa bantu secara finansial karena gue sama-sama kerenya, tapi gue pendengar yang baik, kok. Suer!"
Agni tersenyum. "Iya, lo udah pernah bilang waktu itu soal pendengar yang baik." Thanks, Mon. Tapi kalau orang-orang tahu hidup gue yang sebenarnya, bisa kaget kali, ya?" Agni tertawa lagi. "Mereka kan tahunya hidup gue sempurna. Mungkin gue bakal dibilang penipu, karena nutupin kenyataan yang sebenarnya bahwa hidup gue kacau."
"Semua orang pasti punya rahasia, Kak," kataku cepat-cepat. "Lo nggak punya kewajiban untuk jelasin apa pun soal hidup lo ke orang-orang."
"Iya juga sih. Tapi ini kenapa gue malah jelasin panjang lebar ke lo, ya, Mon?"
"Nah, itu gue juga nggak paham."
Kami berpandangan sebentar, lalu tertawa.
"Kocak lo, Mon. Kan lo sendiri yang bilang kalau gue boleh cerita-cerita."
Masih sambil tertawa aku mengangguk. "Iya, selalu, kok. Kapan aja mau cerita, hubungi Monik di nomor yang tertera."
"Iya, nanti tiap habis curhat gue traktir bakso deh buat ganti kerugian waktunya."
"Deal."
Kutelan bakso terakhir di mangkukku. Hebat juga aku benar-benar bisa mengosongkan mangkuk kali ini.
"Sekarang lo pasti nggak naksir gue lagi, ya? Setelah tahu bahwa gue ini semacam kekacauan berjalan?" tanya Agni tiba-tiba. Nadanya setengah bercanda, dan ada seringai geli di wajahnya. "Nggak sekeren yang lo pikirkan selama ini."
Aku yang tengah meminum es teh menggeleng cepat-cepat.
"Nggak gitu! Kan tadi gue udah bilang, Kak. Tiap orang punya rahasia, dan santai aja. Rahasia lo ini nggak ngurangin pesona lo, kok. Lo pekerja keras, dan itu bikin lo makin keren. Gue tetap suka."
Lo ngomong apa sih, Mon?
Agni tertawa kecil. "Setiap orang punya rahasia ...," gumamnya. "Benar juga. Kalau lo?"
"Gue kenapa?"
"Rahasia lo apa?"
Eh ... apa rahasiaku?
"Bercanda, Mon. Santaii. Lo nggak harus cerita apa-apa, kok." Agni tertawa lebar.
"Eh, nggak gitu, nggak gitu!" jawabku buru-buru.
Agni pasti sudah menyingkirkan rasa malunya dengan menceritakan tentang permasalahan hidupnya ini. Aku tahu bahwa membuka diri bukanlah hal yang sederhana. Setidaknya aku harus memberitahukan satu rahasiaku, agar Agni merasa lebih baik.
Tapi apa yang harus kuberitahukan padanya? Rahasia yang mana? Apa aku harus mengaku bahwa aku adalah Lady Elizabeth? Yang selama ini surat-suratan dan email-emailan dengannya? Atau aku harus mengaku soal mimpi-mimpi yang kualami tentangnya? Atau soal niat awalku mendekatinya? Atau bahwa aku nggak pernah punya perasaan apa pun padanya?
"Rahasia gue itu ... gue ... kalau mimpi buruk, kadang suka pipis di celana."
Sungguh pemilihan rahasia yang buruk, Monik. Nggak heran kalau setelah itu Agni tertawa terpingkal-pingkal sampai tubuhnya membungkuk. Sepertinya aku memilih karakter yang salah di hadapan orang ini.
***
Pembicaraanku dengan Agni tadi siang begitu membekas dalam pikiranku dan lagi-lagi membuatku nggak konsentrasi menjalani shif-ku di Kedai Kita. Bahkan, setelah aku tiba di kos-kosan dan berbaring menatap langit-langit kamar, aku masih belum tuntas memikirkannya.
Aku ... hanya sulit membayangkan bagaimana Agni menjalani hidupnya selama ini.
Rasanya sekarang semuanya masuk akal dan terjelaskan dengan tepat. Ini memang belum menjelaskan tentang kabur dari tanggung jawab dan penjara itu, tetapi kini aku mengerti maksud dari mimpi-mimpi absurd itu. Benar-benar mengerti. Kegelapan dan kesunyian itu menggambarkan apa yang tengah mengimpit Agni. Kolam comberan itu menggambarkan keruhnya hidup yang Agni jalani, tetapi ia tak punya pilihan lain selain tetap menjalaninya dan bertahan di sana. Menyelam berkali-kali, bernapas berkali-kali sekadar untuk tetap hidup saja.
Untuk seseorang yang terbiasa dengan previlese dan finansial yang melimpah, lantas kehilangan semuanya, Agni tangguh juga bisa beradaptasi dalam waktu yang singkat. Namun, mungkin itu juga yang membuatnya tertekan, karena seluruh sel-sel tubuhnya dipaksa terus bergerak dan berubah. Belum lagi ia harus menanggung pemahaman bahwa ekspektasi orang padanya berbeda dengan hidup sebenarnya yang ia jalani. Wajar saja dia merasa begitu sesak dan putus asa, sebab masalah ini terlihat seperti tak ada ujungnya.
Jurang menganga, dan kecelakaan-kecelakaan itu menggambarkan keputusasaan yang teramat sangat. Sekarang, perkara pickup dan cutter itu terasa bisa diterima. Agni kelelahan, karena dia berusaha sendirian. Ia memang kesepian, dan segala yang orang lihat dari hidupnya, bukanlah apa-apa. Mimpi itu lagi-lagi benar. Hidup Agni nggak sebaik-baik saja yang ia perlihatkan. Dia butuh bantuan.
Oke. Sekarang semuanya sejelas warna bulu Paduka. Namun, apa yang harus kulakukan untuk bisa membantunya? Persoalan Agni ini terlalu berat dan terlalu personal untuk kutangani.
Entahlah. Akan kupikirkan itu nanti.
Yang jelas, sekarang aku memutuskan untuk melenyapkan Lady Elizabeth. Lenyap seutuhnya. Kehadiran virtual itu nggak akan bermakna banyak. Namun, aku akan berusaha untuk lebih dekat dengan Agni sebagai Monik agar tahu apa yang bisa kulakukan untuk membantunya. Aku akan menggantikan peran Lady Elizabeth sialan itu dalam hidup Agni. Yah ... walaupun aku tahu Agni nggak akan seterbuka itu karena aku bukan orang yang benar-benar asing. Namun, kurasa itu lebih baik dibandingkan terus-terusan bersembunyi di balik nama Lady Elizabeth saat aku sudah tahu siapa Dracula sebenarnya.
Kutatap layar ponselku yang menyala dan juga draft chat yang kuketik untuk Agni beberapa saat lalu. Aku tahu bahwa kata-kata nggak bisa menyelesaikan apa pun, tetapi kuharap aku bisa memberinya tanda. Bahwa aku ada di sini, dan siap mendengarkan keluh kesahnya, meski hanya sebatas itu yang bisa kulakukan.
Aurora Monika:
Kak Agni, happy working. Yang semangat kerjanya biar cepat kaya! Hehe. Jangan lupa makan dan sempetin istirahat, ya!
Pokoknya ... fighting! 🎉🎉💪💪
***
Alohaaaa~
Selamat memulai Hari Senin ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro