Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

XIX

Nggak ada yang lebih menyenangkan dari hari gajian. Kalau biasanya aku harus pikir-pikir dulu setiap kali melihat iklan promo makanan yang seliweran di Instagramku, di hari gajian aku nggak perlu ragu-ragu untuk order piza meski hanya ukuran personal box. Yaah ... tambah satu porsi lasagna boleh juga.

Selain itu, aku juga bisa memperbarui langganan streaming film berbayar yang tarifnya lumayan mahal. Kabarnya sih nanti akan ada layanan yang lebih hemat, yaitu paket keluarga--satu pembayaran bisa dibagi menjadi 5 account. Well, percuma sih, aku kan nggak punya teman yang bisa kuajak menjalin keluarga.

"Happy banget sih, Mon? Udah kayak jadi miliuner aja," seloroh Bang Eky saat memberikan slip gajiku.

"Hari gajian adalah hari kebahagiaan sedunia, Bang," jawabku sembari tertawa.

"Mau beli apa, sih?"

"Piza, dong."

"Masa tiap gajian beli piza mulu?

"Mau beli vitamin buat Paduka juga. Apa tuh, Bang? Yang kayak punya Alexander? Mahalnya minta ampun. Cuma terjangkau di hari gajian."

"Ntar gue kirimin link order-nya."

"Asyiik. Trims, Bang. Biar sesekali Paduka ngerasain jadi kucing konglomerat, ya."

Bang Eky tergelak. "Ya udah, sana buruan beli piza. Ntar keburu duit habis, makan pizanya baru bulan depan."

Sembari tertawa, aku segera pamit pulang kepada Bang Eky. Sebenarnya, gaji bekerja di Kedai Kita memang nggak cukup besar. Apalagi aku hanya part time yang seringkali izin saat ada kuliah dadakan atau hal urgen lainnya. Namun, jumlah itu cukup banyak dan sudah mencukupi kebutuhan sekunderku. Setidaknya aku belum pernah meminta uang saku lebih dari Papa. Memang selama ini Papa dan Kak Lyra selalu bertanya apakah uang sakuku cukup? Apakah aku ada kebutuhan mendadak? Apakah aku butuh tambahan uang saku? Seterbuka itu Papa dan Kak Lyra soal keuangan. Sayangnya, well ... kemarin-kemarin, aku lebih suka puasa untuk berhemat dibandingkan harus minta uang lebih.

Karena itu, gajian dari Kedai Kita bagaikan angin surga yang bisa kupakai untuk kebutuhan sekunder ini itu. Mulai dari makan enak, beli pakan paduka, print bahan kuliah, dan menutupi kebutuhan-kebutuhan kuliah lainnya.

Ya, ya, oke. Khusus bulan ini, memang bukan hanya kesempatan untuk makan piza yang kutunggu-tunggu. Ada satu hal lagi yang harus kulakukan dengan gajiku, dan itu membuatku soooo excited.

Memenuhi janjiku untuk mentraktir Agni. Yeay!

Bukannya apa-apa, tetapi Agni sudah mentraktirku dua kali, kan? Aku ingin balas budi, supaya nggak terkesan parasit banget.

Aku merencanakannya hari ini. Hari Kamis saat jadwal kelas PSKD, aku berharap bertemu Agni sebelum kelas seperti biasa. Sayangnya, hari itu dosen PSKD datang tepat waktu. Jadi, aku harus masuk kelas sebelum bertemu Agni. Tak apa. Toh, karena jadwal kelasnya sama, kira-kira kelas kami akan selesai di jam yang sama. Jadi, aku akan menunggunya.

Kenapa nggak janjian lewat chat aja sih? Mungkin begitu Ragil dan semua orang akan bertanya. Aku juga berpikir seperti itu awalnya. Tapi setelah kutelaah lebih jauh, rasanya agak-agak memalukan kalau aku sengaja mengirim chat hanya untuk mengajaknya makan bakso. Oke-oke, ini mungkin sedikit useless mengingat sepanjang waktu aku sudah sering mempermalukan diriku sendiri di hadapan Agni. Tapi nggak apa-apa, dong, kalau aku mau belajar jaim mulai dari detik ini?

Tuhan sepertinya merestui rencanaku. Saat aku keluar kelas, Agni juga baru saja keluar kelas. Seperti biasa, penampilannya nggak pernah lepas dari kesan cowok femes kampus. Celana jeans biru, kaos putih dengan tulisan "Hari Senin" padahal ini hari Kamis, dan juga jaket bomber warna hijau army yang sepertinya adalah favorit Agni karena sering dipakai. Rambut panjangnya diikat dengan gaya messy low bun--cepolan rendah dan nggak rapi.

"Kak Agni!" panggilku. Kurang keras sebenarnya karena aku takut menarik perhatian, tapi ... syukurlah Agni mendengarnya. Mungkin karena posisi kami juga nggak terlalu jauh.

Cowok itu berhenti melangkah, berbalik, dan menemukanku dengan mudah.

"Oh! Hai, Mon," sapanya balik sambil tersenyum.

Aku mendekat dengan senyum lebar. "Habis ini masih ada kelas nggak?"

"Nggak. Kenapa?"

"Kemarin gue gajian," kataku.

"Oh?" Agni mengangkat alis. "Wah, selamat, ya! Jangan boros-boros."

Aku tertawa. Gayanya sudah seperti orang tua saja pake mengingatkanku supaya nggak boros.

"Jadi nggak nih?" tanyaku.

Sesaat Agni bingung. "Apanya?"

"Kan gue janji mau traktir makan bakso habis gajian? Yuk, gue traktir."

Agni seolah-olah baru ingat. "Astaga! Iya, gue lupa!"

"Sekarang lo bisa kan, Kak?"

Dengan senyum bersalah, Agni menggeleng. "Nggak bisa. Maaf."

Semangatku langsung menurun 50 persen.

"Oh, lo sibuk, ya? Besok, deh. Bisa nggak?"

"Nggak bisa, Mon. Sori."

Senyum di wajahku nyaris menghilang.

"Lusa?" tanyaku ragu-ragu, walau sepertinya aku sudah tahu jawabannya.

Agni menggeleng.

"Besoknya lusa?"

Lagi-lagi Agni menggeleng, membuat semangatku seketika terjun bebas. "Nggak bisa gue. Maaf, ya?"

Kenapa nggak bisa, Agni? Bukankah biasanya orang setidaknya memberikan alasan kenapa dia menolak saat diajak sesuatu? Well, itu hak Agni untuk menolak dan dia juga nggak wajib untuk memberi tahu alasannya, tapi rasanya ....

"Oh, nggak apa-apa, Kak. Santai. Bisa kapan-kapan aja, kok," kataku, berusaha untuk tetap tersenyum. "Kalau lo nggak mau juga nggak apa-apa, sih, Kak. Nggak perlu dipaksakan. Santai aja, ya."

Kenapa Agni nggak memberitahuku alasannya mungkin karena ... well, sesimpel karena dia memang nggak mau saja. Apa lagi? Mungkin dia sudah menyadari bahwa sikapnya selama ini terlalu baik dan terlalu ramah. Mungkin juga dia memutuskan bahwa sikap absurd-ku sudah terlalu berlebihan dan dia lelah menghadapinya. Mungkin dia baru sadar kalau berteman denganku nggak memberinya keuntungan atau publisitas apa-apa. Mungkin dia ... pokoknya dia nggak mau. Titik!

"Ya, udah kalau gitu. Gue duluan, ya, Kak. Daaah!"

Aku berjalan mundur meninggalkan Agni sembari berdadah-dadah alay, lalu berbalik pada langkah ketiga, dan langsung menghela napas panjang.

Agak mengecewakan, sih, karena kemarin dia kelihatannya semangat minta ditraktir. Tapi ... ya sudahlah. Aku bisa apa? Yang penting aku sudah menunjukkan iktikad baik untuk memenuhi janjiku. Nggak dosa, dong? Toh selama ini aku juga nggak pernah minta ditraktir. Dia sendiri yang bermurah hati dan menghambur-hamburkan uang untuk makan bakso. Aku nggak perlu merasa nggak enak dan bersalah karena nggak bisa membalas budi.

Ketika kakiku menempuh kira-kira enam langkah, terdengar suara tawa kecil di belakangku.

"Tunggu! Monika, tunggu!"

Sebenarnya aku nggak berniat berhenti, tetapi nggak lama kemudian tas ranselku ditarik pelan dari belakang membuatku nyaris saja terjengkang. Untung Agni segera menahan punggungku dengan sigap.

Saat aku berbalik dan memandangnya dengan marah, Agni malah tertawa.

"Bercanda," katanya kemudian.

Bercanda apanya?

"Muka lo kenapa sedih begitu?" tanya Agni dengan nada geli. "Sori sori, kayaknya barusan gue akting kelewat galak dari yang seharusnya."

Hah? Apa, sih?

"Bukannya nggak mau, tapi beneran nggak bisa. Maaf." Agni menangkupkan kedua tangannya di depan dada. "Lagi ada kerjaan, jadi EO konser musik gitu bantuin teman. Jadi, gue emang agak riweuh beberapa hari ini. Ini aja gue mau langsung ke kantor mereka. Besok dan lusa juga."

Oh, begitu ....

"Oke." Aku nyengir lebar. "Kirain Kak Agni emang nggak mau ditraktir."

"Ditraktir?" Agni menggeleng cepat. "Mana mungkin gue nolak. Jadi, boleh, kan, traktirannya gue pake nanti setelah kerjaan beres?"

"Ya, kalau masih ada duitnya. Kalau udah habis buat manjain Paduka, harus tunggu gajian selanjutnya."

Agni tertawa. "Iya, Monika. Santai aja. Btw, lo suka cokelat?"

Aku mengerutkan dahi merespons perubahan topik yang tiba-tiba ini. "Su ... ka, sih. Kenapa gitu?"

Agni merogoh ke dalam saku jaketnya lalu mengeluarkan Toblerone Dark Chocolate dari sana dan memberikannya padaku.

"For you," katanya.

Kali ini mataku membulat. "Dalam rangka?"

Agni hanya tersenyum dan menggoyang tangannya, seolah tak sabar. Lantas sebuah pemahaman muncul di benakku.

"Dikasih penggemar, ya?"

Agni tertawa kecil. "Iya. Mau nggak?"

Meski aku kasihan dengan nasib penggemar Agni yang ngenes banget, cokelat mahal gratisan ini tentu sayang sekali untuk dilewatkan. Jadi, kuraih cokelat berbentuk segitiga itu dengan suka cita.

"Asyiik! Trims."

"Iya, sama-sama," jawab Agni.

Sesaat Agni mengulurkan tangan ke atas kepalaku, tetapi detik berikutnya, tangannya berbelok dan menyentuh kepalanya sendiri. Kini Agni mengusap-usap dahinya sendiri dengan senyum aneh.

"Ya udah, ntar gue kabarin, ya, kapan bisanya. Cabut dulu, Mon."

Lagi-lagi aku berdadah-dadah mengiringi kepergian Agni. Saat Agni sudah lenyap dari pandangan, kutatap cokelat di tanganku. Tuh kan, kenapa malah aku yang dikasih-kasih lagi?

***

"Temen lo itu ganteng juga, Mon."

Aku yang sedang membantu Nindy membereskan meja-meja di Kedai Kita mendongak.

"Siapa? Ragil?"

Narita yang tengah sibuk dengan layar laptopnya sontak mendongak dan mendelik sebal.

"Agni, coy. Kenapa jadi Ragil?"

Aku berkata "oh" tanpa suara. Ya mana aku tahu Narita sedang membicarakan Agni? Tadi kan kami tengah membahas soal postingan IG terbaru yang pake sarung di leher dan makan di warung indomie. Itu lho, momen waktu kami ketemuan di warung Kang Ujang. Heran deh. Yang begitu doang, kok bisa-bisanya Ragil dapat likes sampai 2000? Padahal aku mengambil fotonya dengan mata yang tinggal 50 persen karena dipaksa.

"Lihat, deh."

Narita tiba-tiba melepas headphone di telinganya, lalu menggeser layar laptopnya, sehingga aku bisa melihat apa yang dia kerjakan sejak tadi. Ternyata itu adalah video Kasak-Kusuk Kampus bareng Agni. Ah, iya, aku baru ingat kalau mereka sudah take video minggu lalu. Sepertinya video itu sudah selesai diedit.

Dalam video berdurasi 20 menit itu, Agni duduk santai berhadap-hadapan dengan Narita. Lokasi pengambilan video-nya di studio yang sudah biasa disewa oleh Narita. Keduanya ngobrol santai dan terlihat asyik, seolah-olah mereka bukan baru kenalan beberapa hari sebelumnya. Sudah kuduga, Agni memang sosok yang tepat untuk acara ini. Selain visualnya yang memikat, gaya bicaranya juga santai, ringan tapi informatif, sesekali melempar jokes yang memeriahkan suasana, dan tentunya cerdas. Aku mengerti kenapa Narita "puas" dengan bintang tamunya kali ini.

"Udah punya pacar belum dia?" tanya Narita.

"Hah? Nggak tahu ... emang kenapa?" tanyaku bingung.

"Kalau jomlo, ya mau gue pepetin lah," jawab Narita sembari tergelak.

"Ih! Parah ... terus Ragil gimana?"

"Lah, Ragil emang kenapa?" tanya Narita sambil lalu. "Jadi, si Agni ini ada pacarnya nggak, Mon?"

Aku garuk-garuk kepala. "Nggak tahu juga gue," jawabku. "Mending lo tanya Ragil kalau soal begituan. Gue mana paham."

Jujur saja, sampai sekarang aku juga nggak tahu apakah Agni punya pacar atau nggak. Ingat saat aku bertanya soal cewek yang datang bersamanya di acara launching buku dulu? Agni kan nggak pernah menjawab dengan jelas 'ya' atau 'bukan'.

"Lah, masa lo nggak tahu? Bukannya lo dekat sama dia, Mon?" tanya Narita.

"Mana ada," jawabku. "Gue juga baru kenal dia semester ini. Gara-gara si Ragil kampret itu gue jadi ikut kepanitiaan yang Agni pimpin."

Narita mengangguk sembari ber-oh panjang. "Aneh. Gue kira kalian dekat, soalnya kayaknya Agni kenal lo banget."

"Maksudnya?"

Entah buat apa, Narita menegakkan tubuhnya, merapikan rambutnya, lalu berdeham dengan suara yanh diberat-beratkan.

"Kalau Monika nggak suka makan pedas, ya? Makannya juga dikit sih, tapi dia nggak ribet kalau diajak makan di mana pun. Ah, Monik emang sering ngomong sendiri, sih. Self talk katanya. Kocak. Tapi lucu sih, disimak pas dia ngomong sendiri gitu. Oh, kalau Monik lebih suka lagu-lagu rock. Nggak nyangka juga ya penampilan kalem gitu sukanya lagu yang teriak-teriak--"

"Ya elah Nar, itu kan--"

"Eh, belum kelar! Oh, itu sih topik favoritnya Monik. Dia pasti seneng tuh baca buku-buku kayak gitu. Please lah, Mon." Narita memasang tampang dramatis. "Gue aja nggak tahu lo suka baca buku sejarah!"

Aku menelan ludah. Dari cerita dari Narita, kenapa Agni terdengar annoying, ya?

"Masa, sih?"

"Heran, kan, lo?" Narita menyeringai. "Kayaknya dia naksir sama lo, Mon."

Awalnya aku terkejut. Namun, satu detik kemudian aku tertawa sampai tergelak-gelak. Ibarat jalan, kesimpulan Narita benar-benar nyasar.

"Kebalik, pea'!" seruku tak habis pikir. "Yang bener mah, gue yang naksir dia."

"Haaah?" Narita membulatkan matanya terkejut. "Serius lo naksir Agni?"

"Anggap aja gitulah."

***

Dulu Kak Lyra pernah bilang bahwa saat haid, nafsu makannya selalu meningkat. Rasanya apa-apa terlihat enak di mata dan pengin dimakan. Apalagi kalau makanan-makanan manis seperti cokelat, es krim, dan permen. Godaannya meningkat 1000x lipat.

Sayangnya, aku nggak pernah merasakan itu. Saat tamu bulananku datang, nafsu makanku malah kabur entah ke mana. Badan rasanya nggak karuan, dan kalau manusia nggak butuh makan, aku pilih meringkuk saja di dalam selimut sampai haidku selesai.

Tapi nggak bisa, kan? Dunia terus berputar, jadwal kuliah masih berjalan, kuis-kuis datang secara dadakan, meski haid bikin mood-ku berantakan. Huh, that's a life, Mon.

Seperti hari ini. Aku nggak lapar, tapi aku ingat kalau tadi pagi aku juga skip sarapan. Mana sekarang sudah lewat dua jam dari jam makan siang. Jadi, demi memenuhi kewajiban pada tubuhku sendiri, aku mampur ke kantin sebelum pulang ke kos-kosan. Kubeli roti maryam rasa cokelat untuk makan siang.

Gigitan pertamaku terasa hambar. Sepertinya aku perlu beli jus supaya perutku bisa kenyang tanpa harus mengunyah.

"Monik!"

Aku celingukan bingung saat namaku dipanggil keras-keras. Di sisi kananku, di dekat pintu keluar kantin, ada Ragil dan beberapa anak kepanitiaan Dies Natalis kemarin. Ragil melambai heboh, dan diikuti oleh anak-anak yang lain. Aku meringis, mau nggak mau mendekat ke meja mereka yang sepertinya tengah kumpul-kumpul.

"Lagi pada nostalgia, ya?" tanyaku. "Padahal kan baru pisah sebulan."

Meja yang terdiri dari enam orang itu--Ragil, Wanda, Rama, Tyo, Elsa, dan Agam--semakin ramai.

Ragil menarik tasku, dan memaksaku duduk di sebelahnya.

"Udah, lo nggak usah ngomong. Duduk sini aja," katanya kejam.

Aku mencebik kesal, dan menggigit roti maryamku.

"Kok jarang kelihatan sih, Mon?" tanya Wanda. "Ke mana aja?"

"Masa sih, Kak?" Aku balas bertanya.

"Iya, kan? Kayaknya gue terakhir ketemu lo pas hari-H Dies Natalis itu. Pas evaluasi lo nggak datang, kan?"

Aku meringis. Jelas, saat itu kan aku sedang dalam pelarian dari Agni.

"Nggak ke mana-mana kok, Kak. Tiap hari ke kampus juga. Emang takdir kita nggak ketemu kayaknya."

"Biasa, guys, ini anak alerginya lagi kumat," kata Ragil, menjelaskan tanpa diminta.

"Alergi manusia itu, ya?"

Ragil mengangguk semangat, seolah-olah doi adalah jubir resmiku. "Yoi, alergi kambuhan yang nggak ada obatnya. Kecuali satu orang doang, sih."

Kugeplak punggung Ragil keras-keras. Aku tahu apa yang hendak ia katakan. Ternyata Ragil memang sebocor-bocornya ember bocor. Mana ada jubir yang misinya adalah menjatuhkan nama yang dijubiri? Rumit, sialan.

Sayangnya, saat kukira Ragil yang tengah cengengesan sudah bisa diamankan dengan baik, satu lagi orang berbahaya muncul.

"Hi, guys! Lagi pada ngapain nih kumpul-kumpul di mari?"

Agni muncul di antara Elsa dan Agam. Rambut gondrongnya kali ini tergerai bebas.

"Nah, yang ini juga sama gaib-nya nih," komentar Rama. "Ke mana aja lo, Ni? Jarang kelihatan padahal biasanya seliweran terus. Lo nggak mendadak alergi manusia kayak Monik, kan?"

Agni menatapku sesaat, lalu tertawa geli. "Sori sori, gue jarang di kampus emang. Lagi ada kerjaan di luar."

Wanda berdecak. "Gileee, Agni mah gitu. Di kampus nggak kelihatan, di luar dia eksis. Tahu-tahu ntar muncul di TV, apa posting foto lagi di Aussie. Mantap."

"Kagak, woi!" Agni tergelak. "Kerja gue, kerja. Ini juga ke kampus mumpung lagi selow karena mau ketemu dia," tambah Agni sambil menunjuk ke arahku.

Meja yang tadinya ramai mendadak hening, dan semua mata seketika terarah padaku. Sedangkan aku yang tengah nyemil roti maryam rasa cokelat, dengan tololnya, menoleh ke belakang untuk mengecek siapa yang ada di belakangku.

"Maksudnya Pak Bobi?" tanyaku memastikan, karena aku melihat Pak Bobi, pemilik konter makanan yang menjual bakso dan mi ayam, tengah membereskan mangkuk-mangkuk kosong di meja yang ada di belakangku persis.

Sontak Agni tertawa, tetapi Ragil menyentil dahiku dengan kesal.

"Elo, goblog! Elo!" kata Ragil frustrasi.

"Haaah? Mau ketemu gue, Kak?" tanyaku bingung. "Ngapain?"

"Mau nagih janjilah," jawab Agni kelewat santai.

"Janji apaan?"

"Lho, katanya waktu itu mau traktir makan bakso?"

"Oh, iya, deng."

Meja yang tadinya hening seketika ramai kembali. Cie-ciean merajalela, membuat di kupingku mulai terdengar suara 'nguing'.

"Moniiik ... masih aja nih?"

"Monik ternyata pantang menyerah, ya. Salut gue, Mon, salut!"

"Wah, Mon, ternyata masih lanjut nih?" ledek Rama. "Udah sampai mana pedekate lo sama Agni? Kayaknya udah berhasil sampai tujuan nih, Mon?"

"Belum. Masih ngetem nungguin penumpang," jawabku masam.

Aku jadi kesal karena Agni malah tertawa-tawa seolah dia bersuka cita. Padahal aku ingat dulu dia begitu baik hati menyelamatkanku saat Ragil menghancurkan nama baikku. Kenapa Agni jadi sama genggesnya dengan Ragil, sih? Apa kegenggesan, ke-alay-an, dan kebocoran itu termasuk penyakit menular?

***

Annyeong!

Apakah ... Apakaaaah sudah muncul benih-benih sesuatu di hati seseorang, permisaaah?

☺️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro