Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

V

Rumah nggak pernah lagi menjadi rumah untukku. Aku tahu mengapa hal itu bisa terjadi, tetapi nggak tahu bagaimana mengatasinya. Dulu, aku biasa menghabiskan sore dengan duduk di teras bersama Papa, sembari menatap lalu-lalang kendaraan. Kadang kami juga berdiskusi tentang hal-hal menarik, misalnya mana yang lebih menguntungkan antara menanam cabai atau vanili. Bisa juga tentang bagaimana hidroponik dan metode pertanian tanpa lahan lainnya perlu segera dikembangkan kalau kita nggak mau kelaparan di masa depan.

Ketika kubilang pulang ke Bandung, yang kumaksud sebenarnya adalah Kabupaten Bandung. Tepatnya Ciwidey. Papa tadinya seorang dosen di jurusan pertanian. Namun, empat tahun lalu, Papa memilih untuk melepaskan profesinya, dan mengajak kami pindah dari Bogor ke Ciwidey, untuk menempati rumah lawas peninggalan kakek yang terbengkalai. Sejak saat itu, Papa memutuskan untuk fokus mengurus lahan pertaniannya di daerah Cicalengka dan Cianjur. Saat nggak memantau sawahnya di kedua lokasi tersebut, Papa menanam berbagai tanaman bumbu di garasi rumah dengan sistem hidroponik atau beternak ikan mas di belakang rumah.

Sementara itu, Kak Lyra yang lulusan sekolah kuliner di Jakarta, membuka bakery kecil-kecilan di depan rumah. Dulu Kak Lyra sempat mendapat tawaran untuk menjadi pastry chef di sebuah hotel internasional di Bali. Namun, meninggalnya Mama membuat Kak Lyra memutuskan untuk tetap bersama aku dan Papa. Pilihan itu mungkin terlihat worth to buy, kalau mengingat sekarang Kak Lyra dan Papa sering berkolaborasi membuat cake-cake sayur organik untuk di jual di bakery yang cukup laris.

Sekilas terdengar, suasana rumahku sangat menyenangkan, bukan? Jika belum jelas, bayangkan aroma manis roti yang melimpah sepanjang hari dari dapur Kak Lyra. Lalu bayangkan pula menu sayur dan ikan segar plus organik di meja makan. Di pagi hari pula, akan terdengar suara Papa menyanyi lagu-lagu berbahasa Sunda sembari mengurus tanaman-tanamannya.

Suasana rumah yang hangat dan menyenangkan, membuat hati tenteram. Seharusnya, itulah yang kurasakan. Namun, aku tak tahu apa yang salah dengan diriku ini. Situasi rumah yang hangat dan penuh wangi kue justru terasa seperti ruangan sempit dengan pasokan oksigen yang tipis. Saluran napasku seolah menyempit, dan aku mulai terasa seperti terhimpit. Itulah yang kurasakan setiap kali pulang ke rumah.

"Kok udahan makannya, Neng?" Papa bertanya ketika aku berdiri dari kursi tempatku duduk di meja makan malam. "Pepes ikan masnya masih ada, lho."

"Monik udah kenyang, Pa," jawabku beralasan.

"Mana ada kenyang? Kamu baru makan setengah centong juga belum habis."

"Kurang enak, Mon, masakan Kakak?" kali ini Kak Lyra bertanya.

"Enggak, kok!" jawabku buru-buru. "Enak banget. Perutku aja kayaknya yang lagi nggak enak. Tadi siang, supir travelnya bawa mobilnya ugal-ugalan banget. Sampai sekarang aku masih mual."

"Mau dibikinin teh?" tawar Kak Lyra. "Di toko ada artisan tea dari Yoshi. Enak, lho. Kamu harus coba yang namanya Bungah. Segar banget!"

Yoshi adalah nama pacar Kak Lyra sejak dua tahun lalu. Ia adalah peracik teh sekaligus pemilik coffee shop di Bandung Kota. Sebuah kombinasi yang aneh memang, karena biasanya peminum teh nggak minum kopi dan sebaliknya.

"Ntar Monik bikin sendiri aja, Kak," jawabku, sembari berlalu ke dapur untuk mencuci piring bekas makanku.

Di malam hari penghuni rumah ini hanya tiga orang, yaitu kami. Dua orang, jika aku sedang berada di Jakarta. Memang sih, dari pagi sampai siang rumah ini ramai dengan karyawan-karyawan Kak Lyra. Ada juga Bi Eha, pengurus rumah tangga yang membantu Kak Lyra mengurus rumah.

Dari jarak jauh, keluargaku bisa menjadi potret keluarga kecil yang hangat dan bahagia. Namun, dari jarak dekat, aku bisa melihat luka-luka itu masih menganga dan meneteskan darah. Terlebih aku tahu, bahwa akulah penyebab dari luka-luka itu. Akulah yang menjadi pemicu atas banyaknya perubahan di keluarga ini. Jadi, bagaimana bisa aku tetap baik-baik saja di sini?

***

Menjelang pukul 11, suasana sudah sangat hening. Berbeda dengan kos-kosanku yang selalu penuh gelak tawa, dan juga suara bising kendaraan yang lewat di jalanan gang depan. Di rumah, pukul 10 malam lampu sudah padam. Papa sudah masuk ke kamar, mungkin belum tidur, melainkan asyik membaca buku-buku tentang pertanian. Kak Lyra juga sudah masuk kamar, karena ia harus bangun pagi-pagi untuk menyiapkan bakery. Jalanan depan rumah juga sudah sepi. Maklum, di sini bukan kota besar yang hidup 24 jam.

Kamarku masih sama seperti terakhir kali kutinggalkan. Dindingnya berwarna krem, dengan lampu tidur kecil di samping ranjang. Ada jendela ganda besar di sisi kanan. Jika kubuka, aku akan langsung berhadapan dengan jalanan depan rumah. Di seberang kasur, ada bufet rendah tetapi cukup panjang yang terbuat dari kayu berpelitur hitam. Di sana, pigura-pigura fotoku dari zaman bayi diletakkan dengan begitu presisi.

Tadinya aku sudah sempat tidur. Seusai makan malam dan kabur dari Papa serta Kak Lyra, aku masuk kamar dan benar-benar ketiduran. Namun, dua jam kemudian aku terbangun dengan tubuh basah kuyup penuh keringat, kepala yang terasa seperti ditusuk-tusuk, dan mimpi tentang Agni yang semakin aneh saja.

Malam ini, dalam mimpi aku berpapasan dengan Agni di JPO di atas rel kereta yang letaknya nggak jauh dari kampus. Penampilannya persis seperti kali terakhir aku melihatnya di kantin. Namun, seperti yang sudah-sudah, matanya begitu kosong, seolah nyawanya sudah nggak ada di raga itu. Kami berpapasan dalam diam, karena menuju arah yang berlawanan. Namun, hanya beberapa detik dari saat kami berpapasan, aku mendengar suara besi beradu. Saat aku menoleh, kulihat Agni tengah terjun dari JPO. Tubuhnya terjatuh di atas rel kereta yang keras. Tepat di saat yang sama, suara klakson kereta api terdengar memekakkan telingaku. Tak ada waktu lagi. Rantai besi itu melumat tubuh Agni, mengoyaknya menjadi bagian-bagian kecil. Lalu aku terbangun dan memuntahkan makan malamku ke di samping tempat tidur.

Sakit kepala menggila membuatku terpaksa minum paracetamol untuk meredakannya. Hal ini terkadang perlu dilakukan karena siapa yang mau merasakan kepala ditusuk-tusuk seperti ini terlalu lama? Sakitnya mungkin masih tertahankan, tetapi aku benci dengan rasa mual yang hadir bersamanya. Namun, baru kali ini aku benar-benar muntah. Bayangan tubuh terkoyak itu ... argh! Stop, Mon! Stop! Memangnya aku mau membersihkan muntahanku lagi?

Kuputuskan untuk meninggalkan kamarku dan kuputuskan untuk menyeduh teh racikan Kak Yoshi yang Kak Lyra tinggalkan untukku di dapur. Sembari menunggu air mendidih, aku memikirkan mimpiku, minus bagian tubuh yang dikoyak-koyak kereta.

Ini adalah mimpi ketiga setelah wajah Agni muncul untuk pertama kali. Sebelumnya, aku memimpikan Agni di tengah hamparan beton putih dan kolam renang dengan air keruh yang sama. Aku melihatnya menggigil kedinginan. Kulitnya pucat seperti mayat, dan bibirnya membiru. Namun, dia masih hidup. Dia masih bernapas meski tersengal-sengal. Aku memanggil namanya, dan entah mengapa, kali ini aku bisa melakukannya. Agni menoleh padaku, dan aku bertanya ada apa. Apa yang bisa kulakukan untuknya. Sayang, ia tidak menjawab sama sekali. Agni hanya menatapku dengan wajah mayatnya, selama satu, dua, tiga menit. Agni mengulurkan tangannya yang mengerut padaku. Ragu-ragu, aku menerima tangan itu. Mimpiku berakhir tepat saat aku menyentuh ujung jarinya dan merasakan sengatan dingin yang luar biasa. Efek kejutnya membuatku terbangun dengan sakit kepala hebat yang membutuhkan paracetamol untuk meredakannya.

"Mustahil itu cuma bias ...," gumamku. "Mungkin mimpi-mimpi ini emang soal itu cowok itu ...."

"Mon, ngapain?"

Aku mendongak. Kak Lyra muncul dari kamarnya, dengan piyama dan wajah mengantuk.

"Bikin apaan?" tanya Kak Lyra, sembari mengambil air putih dari dispenser.

"Teh," jawabku.

Sembari minum, Kak Lyra mengamati wajahku.

"Wajahmu masih pucat," katanya setelah selesai minum. "Masih mual?"

Aku mengangguk, meski mual yang kualami ini bukan karena supir travel ugal-ugalan. "Makanya ini bikin teh panas."

"Kalau perlu tambahin irisan lemon. Ada di kulkas."

Aku mengangguk. Tepat saat itu, air yang kujerang sudah mendidih. Segera kutuang air panas dalam cangkir yang sudah berisi kantong artisan tea. Sesuai kata Kak Lyra, aku menambahkan irisan lemon dan juga beberapa butir gula batu.

"Kamu baik-baik aja kan, Mon?" tanya Kak Lyra tiba-tiba.

Sontak aku mendongak, dan memandang kakakku dengan heran. Apa maksudnya?

Sebaliknya, Kak Lyra juga memandangku dengan tatapan lekat, seolah sedang mencari tahu jawabannya sendiri. Tak lama kemudian, Kak Lyra menghela napas panjang. Tangannya terulur, mengusap belakang kepalaku.

"Nggak apa-apa," katanya. "Jangan menghindari rumah, Mon. Sering-sering pulang. Percaya sama Kakak. Nggak ada yang nyalahin kamu atas semua hal yang terjadi."

Kutatap cangkir tehku lekat-lekat untuk menahan rasa panasnya. Untung saja, Kak Lyra pamit untuk tidur lagi, tepat saat air mata pertama menetes di pipiku.

Mungkin aku akan mempercayai itu. Bahwa aku nggak bersalah. Bahwa keputusan Papa untuk pindah ke Bandung dan keputusan Kak Lyra untuk menolak mimpinya berkarier sebagai pastry chef di hotel, bukan karena aku. Sayangnya, Kak Lyra pernah muncul di mimpiku, memberitahuku betapa berat baginya melihatku. Karena melihatku, mengingatkannya pada Mama. Karena jauh di dalam lubuk hatinya, Kak Lyra berpikir bahwa memang akulah yang menyebabkan Mama meninggalkan kami semua.

***

Kembali tidur kurasa akan sia-sia saja saat ini. Lagipula, aku khawatir mimpi-mimpi aneh kembali mendatangiku. Karena itulah, kuputuskan untuk jalan-jalan saja. Kuambil jaket di kamar, dan aku bergegas keluar melalui pintu depan.

Udara dingin langsung menyambutku begitu keluar rumah. Kurapatkan jaket yang kupakai. Terbiasa hidup di Jakarta, pulang ke Ciwidey membuatku selalu kedinginan.

Jalanan di depan rumah sudah sangat sepi. Maklum, karena sekarang sudah pukul sebelas malam. Jakanan itu tidak terlalu besar, sedikit naik-turun, dengan rumah-rumah penduduk yang berdempetan. Di siang hari, jalanan ini cukup ramai. Meski bukan area wisata, jalanan ini biasa dilalui oleh orang-orang yang hendak ke Rancaupas atau Kawah Putih. Karena itulah banyak orang yang mampir ke bakery Kak Lyra untuk beli oleh-oleh.

Kususuri jalanan yang sepi itu. Namun, baru sekitar lima belas menit berjalan, seseorang memanggilku.

"Mon?"

Aku berbalik, berusaha mengidentifikasi sosok yang memanggilku.

"Lah, lo balik juga, Gil?" tanyaku begitu mengenalinya.

Ragil berlari mendekat. Ia memakai celana training dan jaket yang cukup tebal. Ada sarung di pundaknya. Bukan hal yang sangat aneh bertemu dengan Ragil malam-malam seperti ini. Itu jugalah awal dari keakraban kami. Sama sepertiku yang suka jalan-jalan saat nggak bisa tidur, Ragil juga selalu lari jika nggak kunjung bisa tidur.

"Yoi. Naik apa lo?" tanyanya. Napasnya sedikit berkejaran, tanda dia sudah cukup lama berlari sebelum kami bertemu di sini.

"Travel."

"Ck! Tahu gitu lo bareng gue aja tadi. Gue bawa motor."

"Eh, Paduka ...."

"Gue titipin ke anak-anak kos. Santai, banyak budak kucing di kos-kosan gue."

Aku tertawa kecil. Memang nggak salah aku menitipkan Paduka di tempat Ragil.

"Lo nggak bisa tidur?" tanyaku pada Ragil.

"Tadi gue habis makan bakmi sama anak-anak. Kalau nggak olahraga dulu sebelum tidur, nanti gue jadi buncit," jawabnya.

Rumah Ragil berjarak sekitar 800 meter dari rumahku. Dia adalah anak tunggal dari pasangan suami-istri pegawai negeri. Di rumahku sendiri, Ragil bukanlah sosok asing. Dia sering membantu Papa mengurus tanaman atau sekadar nongkrong di bakery Kak Lyra sembari tebar pesona.

"Lo sendiri ngapain keluyuran malam-malam begini?" tanya Ragil.

"Sakit kepala."

"Lagi?" Ragil menoleh, memandangku dengan mata menyipit. "Perasaan tiap di rumah, lo sakit kepala mulu."

Aku hanya nyengir kecut. Lalu tiba-tiba aku teringat penyebab sakit kepalaku malam ini. Sebenarnya, aku mulai ragu bahwa kemunculan sosok Agni di mimpiku akibat cocoklogi semata. Kalau Agni hanya bias, mustahil dia muncul sampai tiga kali bukan? Mimpi-mimpi itu menggambarkan Agni, sejelas wajah Yoshiki Hayashi yang terpasang di dinding kamar kos-kosanku. Dia bahkan membuat konsumsi paracetamolku meningkat!

"Gil."

"Hmm ...."

"Orang kalau cuti kuliah itu biasanya pake alasan apa, sih?"

"Ya macam-macamlah. Alasan keluarga, pertukaran pelajar ke luar negeri. Macam-macam," jawab Ragil. "Kenapa? Lo mau cuti?"

"Nggak, sih." Kuselipkan sehelai rambut bandelku ke belakang telinga. "Kalau Kak Agni itu kemarin cuti karena apa?"

"Agni? Gue nggak tahu pastinya sih, tapi katanya dia harus ngurusin project keluarganya, karena bokapnya sakit."

"Bokapnya pengacara bukan?"

"Yep. Keren juga lo update soal info-info basic kayak gitu, Mon."

Aku mengedikkan bahu. "Gue nguping omongan orang aja. Terus, project apa yang dia urus?"

"Nggak tahu gue. Kabarnya sih selain pengacara, Sandito Umbara juga pengusaha."

Aku manggut-manggut. "Agni itu orangnya kayak gimana, sih, Gil?" tanyaku.

"Kayak gimana, gimana nih?" Ragil balas bertanya.

"Yaa ... dia pribadinya gimana? Songong, nggak? Kan makannya pake sendok perak."

"Nggaklah. Baik banget malah."

"Seleb kampus ya Agni itu?"

"Seleb?" Ragil tertawa. "Yaa ... banyak yang tahu dia. Anaknya lumayan vokal dan aktif di kampus. Temannya banyak banget. Terus dia kan juga pacaran sama anaknya Pak Dekan. Lagian lo kuper kebangetan deh. Masa sampai nggak tahu dia? Harusnya kan lo lebih tahu dia daripada gue, Mon, karena kalian sejurusan."

"Atau mungkin ... dia tipe-tipe bad boy yang memendam masalah hidup kayak di novel-novel?" gumamku, lebih kepada diri sendiri.

Ragil tertawa lagi. "Gue nggak pernah baca novel yang lo baca. Jadi, ya ... nggak tahu."

"Dia masih pacaran sama anaknya Pak Dekan?"

"Setahu gue sih ... nggak."

"Mereka putus kenapa sih?

"Mana gue tahu," jawab Ragil.

Aku menoleh kepada Ragil dengan mata menyipit. "Lo bukannya dekat sama dia?"

"Me?" Ragil terdengar heran.  "Nggak sedekat itu, Cuy. Baru akrab akhir-akhir ini aja karena doi jadi ketua acara Dies Natalis, tapi ... ini kenapa jadi sesi interogasi soal Agni gini, sih?"

Menyadari bahwa penelitianku terlalu agresif, aku hanya bisa menyengir.

"Nggak apa-apa," jawabku. "Gue cuma kepo."

"Kenapa mendadak seorang Monik kepo sama cowok?"

Ini nih yang paling kubenci dari sesi menggali informasi. Apalagi kalau narasumbernya orang seperti Ragil. Yang ada, dia malah akan balik menggali informasi tentang mengapa aku menggali informasi.

"Sekali-sekali nggak apa-apa, kan?" jawabku asal. "Gue belum pernah ngepoin cowok."

Jawabanku membuat Ragil sontak berhenti.

"Aurora Monika," katanya serius. "Setelah hampir dua puluh tahun hidup, apakah akhirnya lo naksir cowok?"

"Emang biasanya gue naksir cewek?"

"Sing bener atuh, tong becanda wae!" gerutu Ragil. "Beneran lo naksir Agni?"

Aku tertawa kecil. "Imajinasi lo berlebihan. Kepo doang dibilang naksir."

Ragil memandangku dengan mata menyipit, seolah dia nggak puas dengan jawabanku dan berusaha mencari jawaban sendiri. Lalu ia berdecak.

"Padahal gue udah semangat mau bantuin," gerutunya.

Aku mendengkus keras. "Biar nantinya lo bisa nodong balik supaya gue comblangin sama Narita, kan?"

Ragil menyeringai. "Kok tahu?"

Aku berdecak. "Narita udah punya pacar."

"Prinsip gue sebelum janur kuning melengkung, masih milik umum, Mon."

"Dasar tulul!"

***

Berat, yaa? XD
Tenang gaes, yang unyu-unyu sudah dekat ;p

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro