Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10 • Selalu Tega

Hari demi hari berganti, seperti dedaunan yang gugur untuk digantikan dengan daun yang baru. Alana berjalan memasuki kelas dengan sweater tebal warna pink yang membalut badannya. Ia menatap sekeliling kelas sambil menunduk, seperti ketakutan tapi sebenarnya tidak ada yang perlu ia takutkan.

Alana duduk di bangkunya, tepat di samping Alfi yang sedang menulis sesuatu di buku tulis. Alfi sempat tidak menyadari kehadiran Alana kalau saja cewek itu tidak terbatuk.

Alfi menoleh sekilas ke arah Alana, tapi secepat kilat kembali menatap buku tulisnya. Alana terbatuk lagi, kali ini batuknya berkali-kali.

"Minum." Alfi berucap.

Alana melirik Alfi, lalu ia meraih air mineral yang ada di dalam tasnya. Ia segera menenggaknya hingga sisa hampir setengah botol.

Sekarang Alana menidurkan kepalanya di atas meja dengan posisi wajah yang mengarah ke Alfi. Alana mengukir sebuah senyuman kecil ketika ia lihat wajah Alfi yang terlihat sangat serius. Makin keliatan ganteng dan ngegemesin kalau kata Alana.

Tiga hari tidak masuk sekolah, Alana sudah merasa kangen akan suasana kelas barunya ini. Terlebih, ia kangen denger Alfi ngomel-ngomel dan ngebentak-bentak orang.

Ternyata, cowok senyebelin dia kangen-able juga, ya?, pikir Alana.

"Uhk!" Alana batuk lagi. Ia menutup mulutnya tapi matanya tidak lepas dari wajah Alfi.

"Lo ngeliatin gue ya?" Alfi melirik Alana dengan sangat sinis. Tatapannya bikin Alana salah tingkah dan memberi pengaruh buruk bagi pipinya. Ya, pipinya seketika merona merah seperti pipi seorang bayi.

"Geer banget." Alana mencoba mencairkan suasana sekaligus berusaha menghilangkan rasa gugupnya. "Selain galak dan nyebelin tingkat dewa, lo geeran juga ya?"

"Nggak mungkin gue ngomong kayak gitu kalo lo nggak ngeliatin gue, Bodoh." Alfi berujar ketus.

"Iya iya iya." Alana mengubah posisinya jadi duduk. "Ngomel mulu, sih? Masih pagi, tau."

Setelah itu, tidak ada lagi yang berucap. Alfi sibuk merangkum sebuah materi pelajaran dari buku paket ke buku tulis. Sedangkan Alana sibuk memerhatikan Alfi. Ia mendekatkan tubuhnya ke Alfi hanya untuk melihat apa yang sedang Alfi tulis.

"Tulisan lo rapi juga, ya?" Alana malah salah fokus ke tulisan Alfi. Alfi tak memberi komentar, hanya diam dan menganggap Alana tidak ada.

"Rajin banget copas tulisan dari buku paket ke buku tulis. Padahal, lo bisa pake cara simpel. Tinggal lo tandain kata-kata yang penting pake stabillo dan semuanya bakal beres dalam waktu beberapa detik," tutur Alana, "Gue kalo jadi lo sih mending pake stabillo."

"Oh, atau mungkin itu PR ya?" Alana membulatkan bibirnya. "Ih, kok nggak ngasih tau gue kalo ada PR?"

"Bawel!" Alfi menghentikan aktivitas nulisnya dan sekarang ia menatap Alana. "Kenapa sih lo cerewet banget? Nggak inget sama apa yang gue bilang ke lo waktu lo pertama kali dateng ke kelas ini dan duduk di samping gue?"

Alana terdiam, mengingat-ingat kejadian yang terjadi di beberapa hari lalu. "Lo bilang ... Lo nggak suka duduk sama orang bawel."

"Nah. Kalo lo masih bawel dan berisik, pindah aja ke kelas lain!" bentak Alfi.

"Ih, enggak mau!" Alana menghentakkan kakinya.

"Kalo nggak mau, kurang-kurangin bawel lo selama lo duduk sama gue." Alfi menajamkan matanya pada Alana.

"Ih, enggak mau!" Alana mengulang ucapannya, bikin Alfi pengen marah-marah dan mengeluarkan kata-kata kasar.

"Nggak mau apaan lagi, sih!"

"Nggak mau jauh-jauh dari Alfi." Alana berkedip imut. "Hehe."

"Najis."

"Bercanda," sahut Alana.

"Gue anggep serius," balas Alfi.

"Ih, Alfi baperan."

"Bacot."

* * *

Di jam istirahat, Alana tidak pergi ke kantin sebab ia dibuatkan bekal oleh ibunya. Bekal yang ia bawa kali ini adalah sandwich dengan variasi rasa yakni cokelat, vanilla, sweet strawberry, dan keju. Semuanya enak dan bikin makin laper hanya dengan mencium aromanya. Ditambah lagi, Alana membawa dua susu kotak rasa vanilla dan stroberi sebagai minumnya.

Senyuman Alana merekah. Dengan lahap, ia memakan sandwich itu penuh sukacita. Yang pertama ia makan adalah rasa sweet strawberry kesukaannya. Mamanya memang pengertian banget. Di saat Alana menginginkan sandwich, permintaannya itu langsung dikabulkan.

"Alana!" Keenan datang, bersama Alfi yang baru kembali dari kantin. Mereka membawa minuman dan wadah berisi makanan milik masing-masing.

"Hai!" Alana tersenyum manis. "Sini sini, makan bareng."

Alfi duduk di bangkunya, sedangkan Keenan duduk di bangku Bevan dan memutarnya ke belakang. Jadi, mereka bertiga makan bersama di meja milik Alfi dan Alana.

"Apaan tuh, Na?" tanya Keenan sambil melirik kotak makan milik Alana.

"Sandwich. Mau?" Alana menawarkan.

Keenan menggeleng. "Enggak. Lo kan masih sakit, harus banyak makan."

"Alah, sok perhatian," ceplos Alfi.

"Alah, gengsian," balas Keenan menyindir, disusul tawa.

Alfi tidak menyahut lagi. Ia menyendok nasi gorengnya lalu memakannya. Akhirnya perutnya yang keroncongan itu bisa diisi kembali. Kasihan, sejak pagi Alfi menahan lapar.

"Gue sama Alfi tuh sempet dateng ke rumah lo buat ngejenguk. Tapi, kata Satpam, lo lagi berobat." Keenan berucap seraya menyendok nasi ke arah mulutnya.

"Iya, Pak Satpam bilang kok ke gue. Katanya ada dua cowok dateng ke rumah, tapi pulang lagi gara-gara guenya nggak ada." Alana terkekeh kecil. "Ternyata itu kalian."

"Iya, Na. Si Alfi tuh yang maksa gue buat nemenin dia jenguk lo." Keenan fitnah dan tentunya Alfi tidak terima.

"Bohong! Lo yang maksa gue buat anterin lo ke rumah Alana," sahut Alfi, "Babi."

Keenan terbahak. "Slow down, Al, kayak lagu Selena."

"Gak jelas." Alfi bete.

Alana yang mendengarkan hanya diam sambil asik mengunyah makanannya. Ia kini menatap Keenan yang juga sedang menatapnya.

"Lo demam gara-gara apa sih, Na?" tanya Keenan. "Gara-gara jatoh di lapangan? Nggak mungkin gara-gara itu, kan?"

Jantung Alana seperti terbanting ke bawah dan tubuhnya terasa membeku dalam beberapa saat. Entah mengapa, pertanyaan se-sepele itu mampu membuat hati Alana sakit dan rasanya ia ingin menangis.

"Gu-gue ..." Tenggorokan Alana tercekat. Nafsu makannya seketika hilang, dan sekarang sebulir air mata jatuh menetes di pipinya.

"Eh, Na, kok nangis?" Keenan panik.

Alfi ikutan menoleh ke Alana dan memastikan bahwa anak itu beneran nangis. Dalam beberapa detik ke depan, tangis Alana semakin menjadi. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan tertunduk dalam.

"Yah, Na, kok nangis sih?" Keenan mendekati Alana, lalu menatap Alfi. "Al, gimana nih?"

Alfi cuma bisa ngeliatin Alana tanpa bicara sepatah katapun. Alfi tau, daritadi Keenan cuma bertanya mengapa Alana bisa demam. Dan respon Alana malah seperti itu. Malah nangis seakan-akan dirinya tersakiti oleh pertanyaan Keenan.

"Alana ..." Keenan mengguncang bahu Alana. Ia merasa bersalah telah membuat Alana nangis. "Udah dong, jangan nangis ...."

"Mampus lo." Alfi malah bikin Keenan makin panik. "Gue nggak ikutan yak."

Dan setelah itu, Alfi kembali memakan nasi gorengnya dengan anteng tanpa mempedulikan Alana yang menangis tersedu-sedu. Tega.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro