Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

06 • Ocehan Pagi

Pagi ini seluruh murid kelas XI IPS 1 berkumpul di lapangan lengkap dengan seragam olahraga. Semuanya tengah melakukan pemanasan sebelum benar-benar melakukan aktivitas pembelajaran. Matahari pagi ini cukup terik, membuat mata menyipit karena silau. Semuanya kepanasan, bahkan buliran keringat mulai muncul di permukaan wajah.

"Ah, gerah banget!" Clara mengusap wajahnya yang sudah memerah akibat kepanasan.

"Aduh, harusnya gue bawa kipas tangan! Sumpah ini panas banget. Kenapa olahraganya nggak sore aja, sih!" Seperti biasa, Natasha ngomel-ngomel kalau dirinya merasa tidak nyaman dengan kondisi dan keadaan sekitar. Ia mencak-mencak dan cemberut sepanjang waktu. Tampangnya sungguh menyebalkan.

"Pak! Cari tempat yang ademan kek, di sini panas banget! Pas banget mataharinya ke arah sini!" Natasha mengeluh pada guru mata pelajaran.

Pak Satria mengarahkan pandangnya pada Natasha dan mendengus pelan. "Sinar matahari pagi itu bagus buat kesehatan."

"Tapikan panas banget, Pak. Gerah!" Natasha masih tak menyerah dan terus ngoceh pada guru yang usianya sudah mencapai kepala empat.

Kesal mendengar ocehan Natasha, akhirnya Bevan angkat bicara. "Sha, nggak usah ngedumel mulu bisa gak? Emangnya lo doang yang ngerasa kepanasan? Yang lainnya juga sama, kali!"

"Tau nih." Yang lainnya menyahut.

"Gue ini alergi panas, oke? Kulit gue bakal merah-merah kalo kepanasan!" Natasha melotot.

"Berisik!" Alfi jengah mendengar Natasha. "Kalo gak mau ikutin peraturan sekolah buat olahraga di sini, mending lo pulang aja. Pindah sekolah sekalian! Banyak mau banget. Pengen gaya kayak princess tapi gak pantes. Lo pikir gaya lo itu keren? Lo pikir lo cantik? Muka full of make-up itu lo anggep cantik? Nggak usah ngarep ketinggian. Mendingan lo coba belajar gimana caranya terima keadaan seburuk apapun. Kena panas matahari aja bacotnya naudzubillah. Pengen gue tebas tau gak muka lo? Pengen gue jedotin kepala lo ke tembok biar sadar kalo lo itu nggak--"

"Al, udah!" Keenan menarik tubuh Alfi menjauh dari Natasha, bermaksud agar Alfi berhenti melempar kalimat-kalimat penuh amarah pada Natasha.

Mata Natasha jelas memerah dan berkaca-kaca setelah mendapati ucapan pedas dari Alfi. Napasnya memburu dan kedua tangannya mengepal kuat. Ia menatap Alfi dengan tajam, rasanya ingin menabok Alfi habis-habisan. Sementara itu, murid yang lainnya terdiam melihat kejadian tadi. Bahkan, Pak Satria pun ikut bergeming.

"Gue nggak suka dibilang kayak gitu!" Natasha teriak. Ia tak kuasa menahan tangisnya, hingga kini air matanya mengalir turun ke pipi. "Kenapa sih lo jahat banget sama gue?!"

Keenan melirik Alfi lalu menyikut perutnya. "Nangis kan tuh anak orang ...."

Tangis Natasha semakin menjadi saat Alfi enggan menoleh ke arahnya. "Gue ada salah apa sih sama lo, Al? Kenapa lo benci banget sama gue?!"

"Sssh, udah, Sha ..." Clara mengusap bahu Natasha dan mendekatkan dirinya pada sahabatnya itu. "Omongan Alfi jangan dimasukin ke hati. Dia mah emang kayak begitu kalo ngomong ..."

"Tapi gue kesel, Ra!" Natasha menjerit.

"Sudah, sudah. Jangan ribut lagi." Pak Satria berucap lantang, tak mau suasana menegangkan ini berangsur panjang. "Gak usah ada yang nangis lagi. Nangisnya dilanjutin nanti aja. Sekarang kita pemanasan dulu, oke?"

Baru saja Pak Satria akan memulai gerakan untuk pemanasan. Gerakannya lantas terhenti ketika seseorang baru saja muncul dengan tergesa-gesa.

"Pak, maaf, saya telat!"

Semua mata langsung tertuju ke arah dia, cewek yang datang telat dengan wajah penuh keringat dan kaos kaki yang lebih tinggi sebelah. Pipinya merah, menandakan ia kecapekan. Napasnya terengah alias ngos-ngosan. Bisa ditebak bahwa ia baru saja lari-larian.

"Saya boleh ikutan joget?" Alana berucap kikuk pada Pak Satria yang sedang menatapnya penuh kebingungan.

"Joget pala lo meledak!" Keenan terbahak keras. "Ini lagi pemanasan, Alana Sayang!"

Alana menoleh ke arah Keenan dan seketika pipinya semakin bersemu merah. Ia juga baru menyadari bahwa hanya dirinya yang mengenakan seragam putih abu-abu. Ia mengusap wajahnya dan menghela napas berat, kemudian kembali menatap Pak Satria.

Guru itu bertanya, "Kamu anak baru ya?"

Alana mengangguk. "Iya--"

"Iya, Pak. Cantik banget kan?!" Bevan menyahut dengan penuh semangat. Ia bahkan langsung mendapati sorakan dari teman-temannya.

"Ish, Alana punya gue!" Seru Keenan, bermaksud bercanda.

Bevan membalas, "Punya gue!"

"Punya gue!"

"Punya gue!"

"Punya gue!"

Alfi berdecak. "Terus aja saut-sautan sampe meteor jatoh niban lo berdua."

Keduanya seketika berhenti merebutkan Alana. Sementara itu, Alana cengo menonton Keenan dan Bevan yang tadi saling sahut-menyahut dengan menyebut namanya. Alana menggeleng samar lalu terkekeh.

"Siapa namamu?" tanya Pak Satria.

Yang ditanya menjawab, "Alana."

Pak Satria paham dan mengangguk, lalu beliau menyuruh Alana untuk gabung di barisan. Alana menurut, mencari orang yang ia kenal. Dan yang menjadi sasarannya adalah Keenan.

Alana jalan mendekati barisan Keenan. Tapi, ketika ia ingin melangkah sekali lagi, tiba-tiba ia terjatuh akibat tali sepatu kanannya lepas dan tak sengaja ia injak dengan kaki kirinya.

"Adoh!" Alana mengaduh ketika dengkulnya mencium lantai lapangan dengan mesra.

Alfi refleks menunduk, lebih tepatnya menatap Alana yang jatuh tepat di dekatnya. "Bangun sendiri, jangan manja," cetus Alfi.

Mendengar suara Alfi, Alana pun bangkit dan kembali berjalan mendekati barisan Keenan yang hanya terdiri dari empat orang. Alana berdiri di belakang Keenan, tapi langsung Keenan suruh untuk pindah posisi ke depan barisan. Jadi, Alana berdiri di depan Alfi.

"Aduh, sakit banget lutut gue." Alana mengeluh kesakitan. Ia menunduk, menatap luka di lututnya. "Berdarah ..."

"Lo niat sekolah gak sih?" Alfi tiba-tiba berucap sambil menatap kepala Alana dari belakang. "Dateng telat setengah jam, nggak pake seragam olahraga, tali sepatu nggak diiket. Masih beruntung Tuhan bikin lutut lo cuma berdarah. Kalo Tuhan bikin tulang lutut lo retak, gimana?"

"Ih, jahat banget sih ngomongnya!" Alana memutar tubuhnya ke belakang dan langsung menabok dada Alfi. "Orang mah temennya jatoh ditolongin. Lo malah ngeliatin doang."

"Emangnya lo temen gue?" ceplos Alfi.

Alana cemberut. Ia memutar kembali tubuhnya ke depan dan mencoba fokus pada Pak Satria yang tengah memperagakan suatu gerakan pemanasan. Tapi, hati Alana masih dongkol sama Alfi. Betapa teganya cowok itu membiarkan dirinya terjatuh dan tidak ada niat untuk membantu.

"Dasar, nyebelin," umpat Alana.

Alfi mendengar umpatan itu, tapi ia tak merespon seperti tak mendengar ucapan Alana. Ia berdeham lalu tersenyum miring.

Sedetik setelah itu, yang terjadi selanjutnya adalah ...

Alana pingsan.

"Astaghfirullah!" Fino memekik kaget saat Alana jatuh ke kakinya. Ia melompat ke depan dengan gerakan spontan. Melihat itu, anak-anak kelas XI IPS 1 segera mengalihkan perhatian mereka pada Alana.

"Alana!" Keenan lompat ke dekat Alana dan langsung mengguncang bahu anak itu. "Alana, kok lo malah pingsan sih?!"

Dalam hitungan detik, Alana telah dikerumuni oleh banyaknya manusia yang penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi. Semuanya terkejut dan panik. Semuanya berharap Alana baik-baik saja.

"Pak, ini gimana?" Bevan berteriak. Geraknya terlalu lambat untuk dijadikan seorang pemimpin kelas. Ia malah gigit jari, pusing sendiri.

Alfi yang daritadi hanya menatap Alana dengan tatapan datarnya, kini ia berjongkok di dekat anak itu dan menepuk sekali pipi Alana, berharap anak itu bangun. Tapi, yang ada malah sama saja. Alana tetap bergeming dengan mata terpejam rapat.

Akhirnya, Alfi menyelipkan tangan kanannya di lekukan kaki Alana serta tangan kirinya berada di punggung cewek itu. Ia menggendong Alana. Perlakuan Alfi terhadap anak baru itu jelas membuat teman-temannya melongo.

"Saya bawa dia ke UKS ya, Pak," ucap Alfi pada gurunya.

Ia pun pergi ke UKS sambil membawa Alana di gendongannya. Badan Alana tak begitu berat. Tubuhnya yang mungil tak menjadi masalah bagi Alfi yang memiliki lengan kekar. Ia menatap wajah Alana. Dalam hati ia berucap, Ini cewek beneran pingsan gak sih?.

Alfi menggeleng samar, kembali fokus dan meluruskan pandangannya ke depan. Ia hanya ingin segera tiba di UKS dan menyerahkan cewek ini pada pengurus kesehatan, lalu dirinya bisa bebas dan kembali ke lapangan untuk berolahraga.

Tanpa sepengetahuan Alfi, Alana diam-diam membuka sedikit matanya hanya untuk memadang wajah Alfi dari sisi bawah.

Ganteng banget!

Ia merasa bangga karena dirinya sedang digendong oleh seorang Alfi, si kasanova sekolah. Rasanya itu dag-dig-dug-serr dan bikin jantung jadi jedag-jedug.  Lalu sekarang Alana menahan senyum. Pipinya mengembung dan memerah. Dan hal itu tanpa sengaja tertangkap oleh mata Alfi.

"Lo pura-pura pingsan, ya?!" semprot Alfi, dengan kejamnya ia langsung melepas genggaman tangannya pada tubuh Alana hingga mengakibatnya cewek itu jatuh ke lantai dengan sempurna.

"Ya Allah!" Alana histeris sambil menyentuh bokongnya. Matanya terbuka lebar, ekspresinya benar-benar terkejut. Lalu ia mendongak dan menatap Alfi yang tengah melotot ke arahnya. "PANTAT GUE SAKIT, SETAN!!"

Dan Alfi pun semakin kejam dengan meninggalkan Alana sendirian terkapar di lantai.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro