Bullet 5 : "Reborn"
Sebelum membaca, saya akan memberitahu satu hal.
Bagian ini 'cukup' panjang, kurang lebih 5000 kata―yang saya buat mengikuti episode pertamanya.
Saya tidak akan memaksa pembaca sekalian untuk terus membaca. Jika pembaca sanggup, saya berterima kasih karena telah membaca fanfic tidak jelas ini. Jika pembaca tidak sanggup, saya tidak mempermasalahkannya.
•••
Dibantingnya pintu besi itu hingga engselnya hampir terlepas dari tempatnya. Sosok dalam temaram api obor itu memasuki ruangan yang gelap. Suhu dingin menyapa kulitnya yang terbalut jaket oranye. Kakinya berjalan menelusuri ruangan yang bahkan ukurannya jauh lebih sempit dari kamar tidurnya.
Tubuhnya berhenti bergerak ketika melihat sesosok tubuh terbaring di sudut ruangan. Dengan tergesa-gesa, ia berjalan mendekati tubuh yang tampak kaku itu. Mata hazelnya terbelalak mendapati genangan darah yang berasal dari tubuh itu.
Dan ia menyadari, tubuh yang bersimbah darah itu adalah adiknya sendiri.
.
.
.
Mendadak ia duduk di kasurnya. Rambut caramel-nya basah karena mandi keringat. Nafasnya memburu hingga ia terlihat hampir sesak nafas. Tangannya terangkat untuk mengusap peluh, matanya terpejam, dan nafasnya berangsur normal.
Hela nafas lolos dari mulutnya. Manik hazelnya menatap tangannya yang gemetar, kemudian ia kepal dengan kuat untuk menenangkan diri.
"Mimpi itu..."
Different Sky
Bayi itu menatap sebuah rumah sederhana yang berdiri dengan megah. Ia berjalan menuju kotak surat dan memasukkan sebuah amplop ke dalamnya.
Sebelum pergi, ia menatap papan nama bertuliskan kediaman 'Sawada' itu.
Senyuman terlukis di wajahnya.
###
"Kaa-san, pagi."
Sawada Nana menatapnya dan tersenyum, "Pagi, Tsu-kun."
Tsuna menatap ibunya yang terlihat gembira setiap hari itu, "Kaa-san, kau terlihat sangat senang, ada apa?"
"Ara, ara, lihat ini."
Tsuna mengambil kertas pemberian Nana dan membacanya. "Saya akan mengajar anak Anda menuju puncak tertinggi, menjadi Bos pemimpin terbesar di dunia." Sontak Tsuna facepalm dan menatap Nana yang tersenyum sangat senang karenanya.
"Pagi, Kaa-san..."
Hide muncul dari balik pintu. Matanya menatap Tsuna yang juga ikut menatapnya. Perasaan was-was meliputi dadanya. Teringat akan kejadian kemarin, saat di mana dirinya mengatakan hal yang seharusnya tidak ia ucapkan.
"Aku benci Onii-san."
Sejak kemarin, Hide selalu menghindari kakaknya itu. Ketika mereka bertemu di jalan saat pulang sekolah―yang di mana akhirnya ia memutuskan untuk pulang setelah bertemu Shoichi, saat di rumah, bahkan ketika makan malam.
Nana memang menyadari adanya keanehan di antara kedua anaknya, namun ia menganggap hal wajar bagi saudara yang sedang betengkar. Karena Nana tahu, Tsuna tersayangnya bisa menyelesaikan masalah ini.
"Oh, Hide? Selamat pagi."
Hide sedikit terlonjak mendengarnya. Tsuna menyapanya dengan biasa seakan tidak ada konflik di antara mereka berdua. Hide meringis dalam hati, memang masalah yang mereka rasakan...atau mungkin hanya dirinya(?) hanyalah hal sepele. Lontaran kata 'benci' mungkin berefek untuknya, tapi tidak bagi Sawada Tsunayoshi.
Lihat, bahkan kakaknya itu dengan santainya menatap kertas di tangannya.
"Uhm, pagi, Onii-san."
Hide duduk di kursinya dengan kepala tertunduk, tak berani untuk mengangkat kepala dan berakhir dengan menatap Tsuna yang duduk tepat di hadapannya. Hide merutuk dalam hati, seharusnya ia memikirkan tindakannya terlebih dahulu kemarin.
Hening di antara keduanya. Hanya suara bising dari tempat Nana memasak sarapan. Hide masih menunduk menatap kakinya yang ia silangkan di bawah meja. Sementara Tsuna menatap lembaran kertas yang berisi iklan jasa mengajar privat secara gratis.
Jengah dengan suasana yang menurut Hide canggung, dengan memantapkan diri ia menatap Tsuna yang tampak berpikir dengan isi kertas itu.
"Ano, Onii-san..."
"Hm?"
Mulut Hide tertutup kembali. Entah mengapa kalimat yang sudah ia siapkan tadi tertelan oleh lidahnya. Reflek manik coklatnya kembali tertunduk.
Hide membenci dirinya yang seperti ini.
"Hide?"
Tubuhnya menegang. Rasanya setiap kali kakaknya menyebut namanya, ia seperti dipaksa untuk berhadapan dengan sosok yang memiliki aura pemimpin besar.
Dan Tsuna memiliki aura itu.
Hide terlonjak ketika merasakan sentuhan di keningnya. Kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya, membuat dirinya rileks dan tenang secara bertahap. Ia kembali menatap Tsuna yang telah melakukan semua itu dengan wajah khawatir. "Kau sakit?"
Dengan pelan kepala sang adik menggeleng, "A-aku baik."
Tsuna melepas sentuhannya. Tangan Hide terangkat untuk menyentuh tempat di mana kehangatan itu berasal. Walau tangan Tsuna tidak lagi di keningnya, rasa hangat tetap dapat ia rasakan mengalir di setiap saluran nadinya.
Kehangatan itu menjadi satu dengan dirinya.
"Kau merasa baikan?"
Entah trik apa yang dilakukan kakaknya itu, Hide tetap berterima kasih. Karenanya, ia tidak lagi merasa canggung di dekat Tsuna.
"Ya, terima kasih."
Tsuna menghela nafas lega. Ia telah mengeluarkan sedikit kekuatannya untuk disalurkan ke adiknya itu. Sifat kekuatannya memang bukanlah Hujan yang bisa menenangkan hal apapun di sekitarnya, tapi setidaknya itu membantu untuk mengurangi stres yang diakibatkan pikiran berkepanjangan.
Ah, mendadak Tsuna menjadi seorang dokter.
"Jadi, Onii-san. Itu tugas lain dari Hibari-san?"
Tsuna memiringkan kepalanya, berusaha mencerna maksud perkataan Hide. Dari tatapan mata adiknya, itu mengarah pada secarik kertas yang berada di tangannya saat ini.
"Oh, ini. Iklan tentang guru privat khusus yang mengajar secara gratis," jawabnya sambil menyerahkan kertas itu pada Hide.
"Gurunya masih muda dan sangat tampan, lho. Dia akan mengajar secara gratis jika kita memberinya tempat tinggal dan makan," timpal Nana tiba-tiba yang juga menyajikan sarapan di atas meja makan. Hide mengernyit, "Tapi, bukankah ini mencurigakan?"
Nana hanya berlalu menuju dapur, sementara Tsuna terdiam memikirkan sesuatu.
Suasana dan kata-kata ini, deja vu? pikirnya yang mencoba untuk mengingat kejadian di kehidupan sebelumnya.
Hide hanya menggelengkan kepalanya pelan. Memikirkan tingkah ibunya yang sepertinya sudah merindukan sang Ayah yang jarang pulang itu. Matanya melirik pada Tsuna yang sejak tadi hanya diam mendengarkan. "Onii-san, ada apa?"
"Ah? Tidak, tidak ada. Hanya terpikir kalau iklan itu bisa saja palsu. Sebuah kebohongan maksudku," ucap Tsuna sambil meminum teh hangatnya. Hide tersenyum senang, ternyata kakaknya memikirkan hal yang sama dengannya.
"Aku sudah menghubunginya, dan dia akan datang sebentar lagi," Nana berkata tiba-tiba dari ruang tamu membuat Tsuna hampir tersedak.
"Me-menghubungi?! Sejak kapan?!"
"Baru saja."
Tsuna hanya menganga mendengarnya, tak pernah menyangka jika ibunya bisa senyali itu melakukannya. Otaknya kembali berpikir tentang kejadian yang sudah pernah ia 'alami' sebelumnya.
"Tunggu, siapa yang akan di bimbing? Aku atau Onii-san?" Hide menyela, namun itu tepat seperti apa yang ingin dikatakan Tsuna. Tanpa sadar, kertas yang telah kembali di tangan sang kakak telah kusut karena Tsuna meremas terlalu kuat. Nana meletakkan jari telunjuk pada dagunya, "Kalau tidak salah, dia mengatakan anak kedua."
"Eh?! Aku?!"
"Itu benar, kau adalah 'target'ku."
Sontak Tsuna menegang mendengar suara yang tidak asing lagi di telinganya. Ia menatap pada sosok bayi yang entah sejak kapan masuk ke ruang makan.
"Ba-bayi?"
Nana berjalan mendekatinya, "Ara, apa kau tersesat, 'nak?"
Hide menatap bayi itu lekat-lekat, tampak berpakaian dewasa. Topi fedora hitam dengan seekor chameleon hijau dan setelan hitam khas orang-orang berada. Ia mencubit pipi kenyal itu, "Apa yang kau lakukan di sini, 'nak? Masuk tanpa izin, di mana orang tuamu?"
Sementara Tsuna hanya menatap ngeri perlakuan Hide pada sang bayi yang siap menjitak si rambut pirang itu.
"Kau tidak sopan pada gurumu."
Dan Hide hanya bisa tersungkur dengan sebuah benjolan di kepalanya. Tsuna hanya bisa mengasihani nasib Hide mulai sekarang. Ditatapnya sang bayi yang ukurannya hanya sebesar kepala itu.
"Ano, siapa namamu?" tanya Tsuna canggung, berusaha tersenyum. Sang bayi mengalihkan pandangannya menatap Sawada sulung, kemudian mengeluarkan sebuah kartu nama dan memberikannya pada Tsuna.
"Ciaossu, namaku Reborn. Aku guru privat (tutor) untuk Sawada Hideyoshi."
Hening di antara keempatnya. Tsuna menghela nafas karena sudah menduganya, Nana berlalu menuju dapur sambil bersenandung ria, Reborn dengan senyum misteriusnya, dan Hide satu-satunya orang yang memecah keheningan.
"Guru privat? Di usiamu ini? Jangan bercanda, deh!"
Tsuna hanya memejamkan mata, tidak ingin melihat Hide yang akan melihat 'neraka' tak lama lagi. Sekarang, Hide telah menggali lubang kuburannya sendiri.
Reborn mencubit telinga Hide tanpa prikemanusiaan dan prikeadilan(?).
"Jangan menilai dari luarnya, Baka-Hide.
"Ba-baka?!"
Tsuna menahan tawanya, merasa nostalgia mendengar panggilan itu. Jika dirinya Dame, maka adiknya di dunia ini Baka. Artinya memang berbeda, namun Tsuna merasa kembali ke masa lalu.
"Walau begini, aku seorang hitman nomor satu di dunia."
"Hahaha, imajinasimu berlebihan, lho."
Dan Tsuna hanya bisa menutup telinga mendengar teriakan kesakitan Hide karena tangannya yang dipelintir oleh bayi bernama Reborn itu.
Sementara Nana kembali melanjutkan acara memasak sarapannya, menganggap semuanya hanya permainan anak-anak.
Different Sky
Hide menghela nafas, bertanya-tanya pada diri sendiri, mengapa ia harus berakhir seperti ini?
Pertama, ia kedatangan tamu 'aneh' yang mengaku bahwa dirinya seorang 'tutor' dan hitman. Kedua, sang kakak pergi mendahului karena Hibari Kyoya menyuruhnya bekerja dua kali lipat. Ketiga, karena kehadiran bayi bernama Reborn, ia 'hampir' terlambat berangkat sekolah. Dan terakhir, mengapa si bayi mengikutinya ke sekolah hari ini?
"Menjauhlah dariku."
"Aku gurumu, maka aku harus selalu bersamamu."
Hide menatap ngeri pada Reborn, membayangkan hari-harinya bersama sang bayi.
"Tidak! Menjauhlah dariku! Pulang ke rumah dan minum susu sana!"
"Walau begitu, aku sudah dewasa, lho."
"Memangnya kau Boss Baby?!"
Tunggu, mengapa Author mengingatkan Hide pada film yang muncul di bioskop itu? Ah, lupakan itu. Hide menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tidak mungkin bayi bersikap seperti orang dewasa ada di dunia ini. Hahaha, lelucon yang tidak lucu.
"Hmm, mungkin saja aku memang Boss Baby."
Hide sweatdrop mendengarnya, Dia tidak membantahnya? batinnya.
Hide berhenti berlari dan Reborn pun berhenti juga. Ia menganga, bayi bisa mengikuti cepat larinya orang yang lebih besar darinya? Tidak mungkin!
"Tidak ada yang tidak mungkin bagiku, Baka-Hide."
Hide terdiam, apa pikirannya bisa ditebak? Atau bayi itu bisa membaca pikiran orang lain?
"Apa yang kau pikirkan sangat mudah untuk ditebak, Baka-Hide."
Hide mengepalkan tangannya kuat-kuat, diangkat sejajar dengan kepalanya disertai perempatan kedutan di sekitarnya. "Jangan panggil aku 'baka'! Aku tidak bodoh! Nilaiku di atas rata-rata!"
"Tapi di mataku kau itu orang bodoh. Kau tidak bisa menipuku dari mata hebatku ini," balas Reborn dengan sebuah lup yang entah darimana ia mendapatkannya. Hide menepuk dahinya, sia-sia berbicara dengan bayi ini. Ia menatap jam tangannya, "Sial! Aku bisa mati!"
Reborn tampak tersenyum penuh misteri mendengarnya.
"Kau tidak ingin terlambat ke sekolah?"
"Hah?! Jelas saja, iya!"
Hide menatap bingung Reborn yang memegang pistol dan mengarahkannya tepat pada kepala Hide.
"Kalau begitu, matilah."
Different Sky
Laki-laki dengan jiwa semangat bagai matahari itu masih berolahraga seperti biasanya. Ia menoleh ke belakang, di mana adik perempuannya berlari menyusulnya.
"Yo, Kyoko! Kau harus Extreme!"
Sasagawa Kyoko hanya menghela nafas dan tersenyum melihat tingkah sang kakak, Sasagawa Ryohei. "Tunggu aku, Onii-chan."
Ryohei yang berlari lebih dulu terhenti ketika mendengar suara tembakan yang terdengar tak jauh dari posisinya. Dengan cepat, ia kembali berlari menuju asal suara meninggalkan Kyoko yang menatapnya bingung. Langkahnya terhenti ketika melihat sosok bayi 'aneh' memegang pistol dengan pemuda yang terbaring di jalan tak sadarkan diri.
"A-apa yang terjadi?"
Ryohei menatap sang bayi, kemudian beralih ke pemuda, dan kembali pada sang bayi. Otaknya mulai berpikir dengan keras untuk memproses kejadian di depan matanya.
Namun, tak lama pemuda itu bangkit berdiri dengan perlahan. Ryohei bisa melihat sebuah api yang berkobar di dahi pemuda itu, merasa aneh melihatnya.
"AKU AKAN DATANG KE SEKOLAH TEPAT WAKTU!"
Sebelum Ryohei menyadarinya, pemuda itu lenyap dari pandangannya. Ia menoleh ke belakang, di mana pemuda itu berlari dengan cepat menuju ke sekolah.
"Anak itu..."
"Ah, Onii-chan!"
Ryohei memutar kepalanya, menatap sang adik yang terengah-engah mengejarnya.
"Tadi itu Sawada-kun, 'kan?"
Ryohei memiringkan kepalanya, "Sawada?"
"Iya, Sawada Hideyoshi-kun. Kakaknya, Sawada Tsunayoshi-senpai adalah Sekretaris Komite Disiplin di sekolah."
Ryohei menggaruk pipinya, tidak mengerti. Ia menoleh pada tempat di mana pemuda itu pingsan, hanya kehampaan yang ada.
Tunggu, sepertinya ada yang kurang.
"Bukankah ada bayi di sana?"
"Bayi?"
Ryohei menggeleng, sepertinya salah melihat.
"Tidak apa. Ayo pergi, Kyoko."
Different Sky
Kusakabe Tetsuya hanya berdiri menikmati sejuknya udara pagi. Baginya, berpatroli di pagi hari adalah hal menyenangkan kedua setelah membantu Hibari Kyoya. Sesekali ia merapikan rambut model jambulnya sebagai ciri khas dari anggota Komite Disiplin. Yah, semua anggota kecuali sang Ketua, Hibari Kyoya dan Sekretarisnya, Sawada Tsunayoshi.
Membayangkan kedua orang itu menggunakan rambut model jambul saja hampir membuatnya tertawa.
Tetsuya tersenyum, tak pernah menyangka bahwa dirinya juga diberikan kesempatan kedua untuk hidup. Padahal, ia sudah menerima kematiannya yang mati demi melindungi Ketuanya.
Ah, kenangan itu kembali memasuki pikirannya.
"GWAAAAAAAAAA!"
Tetsuya menoleh ketika mendengar suara itu. Dari jauh, terlihat kepulan asap dan seseorang yang berlari dengan sangat cepat.
"Itu−"
Orang itu berlari melewatinya yang beruntung berada di pinggir jalan. Tetsuya menyipitkan matanya supaya melihat dengan lebih jelas sekaligus menghalau mata dari debu yang beterbangan.
"−Sawada Hideyoshi?!"
Walau hanya sekelebat bayangan, Tetsuya yakin di bahu adik dari Tsuna itu terdapat sosok bayi yang menyeringai. Bayi itu...Tetsuya sangat mengenalnya.
"Reborn-san?!"
Different Sky
Kyoya menatap datar pada anak-anak sekolah yang satu per satu memasuki gerbang. Beberapa dari mereka ketakutan mengetahui yang menjaga gerbang hari ini adalah sang penakluk Namimori. Kyoya menghela nafas, anak-anak zaman sekarang sudah berbeda generasi dari zamannya dulu. Jika dulu, berangkat dan pulang sekolah dengan jalan kaki ataupun sepeda kayuh, sekarang sudah banyak yang menggunakan sepeda motor, bahkan mobil sekalipun.
Kyoya teringat tentang Sawada Tsunayoshi yang setiap ingin pergi ke mana pun harus dikawal oleh salah satu guardian dan menaiki mobil limusin.
"GWAAAAAAAA!"
Kyoya menoleh, di mana kepulan asap yang tebal dengan cepat menuju sekolah. Ia menatap tidak suka dan menyiapkan tonfa miliknya yang entah dimana sang karnivore menyimpannya.
Kyoya menyipit untuk melihat dengan jelas, di balik kepulan asap penuh debu itu Sawada Hideyoshi berlari dalam kecepatan yang melebihi pelari marathon terhebat. Ketika Hide berhenti tepat di depan gerbang, angin pun berhembus kencang membuat para gadis berusaha menutupi bawahan rok mereka
A/N : -_-
Kyoya berjalan mendekati Hide, seakan tidak merasa terganggu dengan angin kencang sekalipun. Walau hanya beberapa detik, ia yakin melihat api di dahi sang Sawada bungsu itu. Kini, api itu lenyap tanpa meninggalkan bebas.
"Eh? Ini...sekolah?"
Kyoya menatapnya tajam ketika mendengarnya dan dengan cepat ia menghantam benda besi di tangannya pada punggung Hide.
"Aw! Sa-sakit hei, dasar ora−"
Hide terdiam seribu bahasa dan berkeringat dingin mendapati aura membunuh dari Ketua Komite. Ia segera berdiri tegak begitu melihat tonfa yang berkilau di bawah cahaya mentari pagi.
"Masuk sekarang."
Walau perintahnya tidak jelas, tapi dengan cepat Hide mengerti maksudnya.
"Ba-baik!"
Kyoya menatap kepergian adik dari Sawada Tsunayoshi itu, kemudian mata birunya beralih ke sosok bayi yang tersenyum entah pada siapa.
Kyoya menyeringai dan berjalan memasuki gerbang sekolah.
Different Sky
Hide membasuh wajahnya dan menatap pantulan bayangan diri di cermin.
"Apa aku bermimpi?"
Ia mematikan keran air dan merapikan seragam sekolahnya, "Apa yang dilakukan bayi itu, sih?!" gerutunya kesal. Segera ia berbalik menuju kelas karena tidak ingin terlambat, namun dikejutkan dengan kehadiran Reborn yang menggantung di pintu dengan sebuah tali yang entah didapat darimana.
"Reborn!"
"Uhum, aku hanya membantumu."
Hide memiringkan kepalanya, tak lama perempatan imajiner mencuat di pelipisnya. "Membantu darimananya coba?"
Reborn mengambil sesuatu dari kantung celananya dan menunjukkannya pada Hide. "Ini adalah Dying Will Bullet. Jika tertembak peluru ini, maka apa yang diinginkan sebelum mati akan dilakukan," jelasnya pada Hide yang menatap sebuah peluru berwarna merah. Hide mengernyit tidak mengerti. "Hah?!"
"Artinya, penyesalanmu sebelum mati akan kau lakukan."
Hide terdiam dan mencoba memahami maksudnya. Ingatannya melayang pada kejadian sebelumnya. Sang bayi, Reborn tiba-tiba menembaknya dan entah mengapa ia menjadi begitu semangat untuk ke sekolah tepat waktu.
Namun, di saat yang bersamaan ia merasa merinding mengingatnya. Saat di mana Reborn menodongkan pistolnya pada dahinya, entah mengapa sekelebat bayangan muncul di benaknya. Bayangan itu tampak buram, kemudian acak dan terus berganti seperti tayangan televisi yang rusak.
"Kau Langit yang Berbeda."
*Deg!
Apa maksudnya?
.
.
.
"Baka-Hide!"
*Pletak!
Hide mengelus kepalanya yang sakit karena Reborn memukulnya tepat di ubun-ubun. Sawada bungsu itu menatap tajam pada si pelaku yang tidak tahu sopan santun pada yang lebih tua. "Apa-apaan sih, Reborn?!"
Reborn hanya menatapnya, "Kau melamun, Baka-Hide. Memikirkan sesuatu?"
Hide terdiam. Entah mengapa setelah Reborn bertanya kepalanya tiba-tiba pusing. Matanya berkunang-kunang, dan keringat dingin membasahi seragamnya.
Yang diingat Hide hanyalah rasa sakit di kepalanya, lantai yang dingin, dan kegelapan.
.
.
.
"Hide! Oi, Baka-Hide!"
Hide mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia mendongak, menatap Reborn yang entah sejak kapan duduk di atas kepalanya.
*Plak!
Sebuah sandal jepit yang entah didapat darimana memukul wajahnya. Siapa lagi kalau bukan Reborn yang melakukannya. Hide menyingkirkan sandal jepit yang membuat bekas kemerahan di wajahnya dan menatap sengit Reborn yang hanya menatapnya dengan senyum penuh misteri.
"Reborn! Apaan sih?"
"Salahmu kalau aku menjelaskan tidak didengarkan. Hukumannya adalah tamparan sandal jepit."
Hide hanya sweatdrop mendengarnya. Terbesit dalam benaknya tentang apa yang terjadi sebelumnya.
Huh? Apa yang terjadi sebelumnya?
Hide menatap sekitarnya, masih di kamar mandi. Reborn sudah turun dari kepalanya beberapa saat yang lalu. Hide bingung dengan yang terjadi pada dirinya. Ingatan itu masih segar dalam otaknya. Saat di mana samar-sama ia melihat bayangan yang buram, saat di mana ia merasa pusing dan jatuh menghantam lantai, dan kemudian ia justru tersadar dari lamunannya karena teriakan Reborn.
Ini aneh. Sangat aneh menurutnya.
"Hei, kau sudah terlambat masuk kelas sekarang."
"Eh? APA?!"
Different Sky
Tsuna menghela nafas menatap tumpukan kertas di hadapannya. Sekali lagi, ia harus menggantikan Kyoya untuk mengerjakan tugasnya.
"Aku merasa sial sekarang."
Tidak ada yang menanggapi. Tsuna menatap ruang Komite yang sepi. Hanya berisikan dirinya dan tumpukan kertas tak berguna...baginya.
"Aku ingin bebas dari semua ini. Seandainya sebuah kejutan datang menghampiriku..."
"Kau Sawada Tsunayoshi, 'kan?"
Tsuna terdiam, perlahan menoleh menatap sosok bayi yang entah sejak kapan berdiri di tepi jendela.
"Re-Reborn?!"
"Oh, kau sudah tahu namaku."
Tsuna menutup mulutnya. Karena terkejut, tanpa sadar ia menyebut nama sang bayi yang sudah ia kenal sangat lama itu. Otaknya berpikir untuk menemukan alasan dari pernyataan Reborn.
Ah, benar juga.
"Kau menunjukkan kartu nama sebelumnya, jadi aku tahu."
Tsuna tersenyum tipis, merasa nostalgia dengan semua suasana ini. Lupakan tumpukan kertas, hanya dirinya dan Reborn sudah cukup sebagai hadiah kejutan untuknya.
"Reborn!"
"Dame-Tsuna...pergilah..."
Tsuna terlonjak. Ingatan itu terbesit dalam benaknya. Memori pahit disaat tragedi 'itu', di mana Reborn dalam kondisi antara hidup dan mati. Tragedi yang membuatnya terus menyalahkan diri.
Tidak, itu memang salahnya sendiri.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Tsuna menaikkan sebelah alis matanya, tidak biasanya Reborn menanyakan hal seperti itu. Ah, ya, dia adalah Reborn di dunia ini. Reborn di dunianya yang sebelumnya tentu saja berbeda...mungkin?
"Mengerjakan tugas Komite. Yah, lebih tepatnya 'menggantikan' tugas Ketua Komite," jawabnya sambil menyingkirkan beberapa kertas di meja. "Dan kau?"
"Hanya berkeliling. Sebagai tutor Hideyoshi, aku harus mengenali setiap bagian yang pernah dialaminya."
Tsuna tersenyum, kemudian mengangkat cangkir, "Mau teh?" tawarnya. Reborn duduk di atas meja sambil melipat tangan di dada, "Tidak, aku lebih suka espresso."
Tsuna hanya facepalm mendengarnya, "Maaf, tidak ada kopi di sekolah."
Walau di tolak, kakak dari Sawada Hideyoshi itu tetap menyuguhkan teh pada gurunya terdahulu. Reborn menerima dan menyesap sedikit aromanya. Mata hitam legamnya menatap teko yang diletakkan tak jauh dari cangkir-cangkir teh berada.
"Apa Hibari Kyoya yang membuatnya?"
"Tidak, dia sedang patroli sekolah hari ini. Jadi, aku yang membuatnya."
Tsuna meminum tehnya, sedikit melirik pada Reborn yang juga meminum tehnya. Ini mengingatkannya pada saat ia masih dalam kehidupan pertamanya. Ah, sungguh ia ingin mengulang waktu dan menikmati setiap detiknya saat ia betengkar dengan Reborn...dulu.
"Ini tentang adikmu."
Tsuna menghentikan aksi minum tehnya, diturunkannya cangkir dan menatap langsung pada bayi di hadapannya. "Hide? Kenapa?"
Tsuna ingin bertanya lebih lanjut, namun terhenti karena ponsel pintarnya begetar, sebuah message baru saja ia terima.
"Ah, dari Kyoya."
Tsuna membacanya sebentar, kemudian menghela nafas.
"Maaf, Reborn. Ketua memanggilku, tidak masalah aku tinggalkan kau di sini?"
Reborn terdiam sebentar, kemudian tersenyum penuh misteri.
"Ya, lagipula aku tidak akan tersesat."
Tsuna berjalan menuju pintu, menatap sejenak Reborn yang masih tersenyum misteri padanya. Mereka saling berpandangan selama beberapa detik sebelum akhirnya Tsuna memecah keheningan yang tadi tercipta.
"Omong-omong, Reborn."
"Ya?
Tsuna terdiam, kemudian tersenyum, "Aku menitipkan Hide padamu."
"Hm?"
Reborn menatap kepergian kakak Hideyoshi yang telah menutup pintu, masih tetap dengan senyum misterinya yang seakan tak pernah pudar.
"Serahkan saja padaku."
.
.
.
.
"Ada apa, Kyoya?"
Kyoya mengeluarkan tonfanya, mengarahkan pada Tsuna yang mengerti maksud si pecinta Namimori itu memanggilnya ke atap.
"Betarung denganku."
Tsuna mendengus dan menyiapkan posisi betarung dengan tangan kosong.
"Oke, tapi jangan kamikorosu orang lain kalau sekolah ini hancur."
Kyoya melesat dengan cepat ke arah Tsuna. Seringai terlukis di wajahnya.
"Kau yang akan ku kamikorosu."
Different Sky
"Hide!
Dengan cepat yang dipanggil menoleh, "Ya?"
Teman sekelasnya itu terengah-engah, seakan telah mencari dirinya ke pelosok sekolah. Yah, tak bisa Hide salahkan juga karena sekarang waktu istirahat sekolah. Dirinya bisa berada di mana saja, kecuali kau bertanya pada orang yang pernah melihat dirimu di tempat terakhir kali kau berada.
"Kakakmu, Tsunayoshi-senpai bertarung dengan Hibari-senpai!"
Dengan sigap Hide berdiri dari bangku duduknya, menatap tak percaya dengan kata-kata temannya. "Bertarung?"
"Ya, di atap sekolah. Walau aku tidak melihatnya secara langsung, bukti adanya anggota Komite Disiplin di sana sudah pasti!"
Hide tidak lagi peduli dengan kalimat selanjutnya, ia berlalu dengan cepat menuju atap, tak peduli jika ia menabrak orang lain atau dianggap aneh.
"Hide, tunggu! Aku ikut!"
Ia melirik ke belakang, di mana sosok Yamamoto Takeshi mengikutinya. Takeshi menatap Hide yang tidak membalasnya, menganggap jawaban itu 'ya'.
"Kau ingin menghentikannya lagi, ya?"
"Tentu saja, aku tidak bisa membiarkan Onii-san terus bertarung seperti ini."
Takeshi terdiam. Ia jelas sangat tahu alasan Hide ingin menghentikan Tsuna sampai seperti ini. Bukan karena status mereka yang 'bersaudara', tapi alasan lain. Sayangnya, Takeshi tidak tahu alasan yang dimaksud.
Hide menggigit bagian bawah bibirnya, Karena aku telah berjanji pada diri sendiri, aku yang akan bertarung untuk melindungi...menggantikan Onii-san.
"Oya, oya, kau ingin ke sana?"
Hide berhenti dan menatap Reborn yang entah sejak kapan berdiri di depannya, menatapnya dengan mata hitam yang menusuk jiwa itu. Hide mengangguk yakin, "Kau mengerti, 'kan?! Menyingkir!"
Takeshi tersenyum menatap pertengkaran antar murid dan guru itu, tidak peduli jika ia hanya pajangan di antara keduanya. Toh, ini mengingatkannya pada Tsuna dan Reborn...dulu.
"Katakan alasanmu."
Hide tersentak mendengarnya, matanya bergulir ke bawah. "I-itu karena..."
"Kalau begitu, matilah demi melindungi keluargamu."
Takeshi sedikit terkejut mendengarnya, kemudian menyunggingkan senyum.
Suara tembakan menggema di koridor, dengan cepat peluru itu melesat ke kepalanya.
Different Sky
Tsuna dengan mudah menangkis setiap serangan dari Kyoya yang gesit menggerakkan tubuhnya.
"Tubuh anak muda memang bagus, ya?"
"Kau sudah mengatakan itu berkali-kali, Omnivore."
Tsuna kembali menangkis serangan tonfa Kyoya dari kanan, kemudian memegang tangannya dan memutarkan diri hingga ke belakang tubuh lawannya.
"Aku menang."
Tsuna menyikut kepala Kyoya, namun dengan cepat monster Namimori itu menunduk dan menyerang Tsuna dengan kakinya. Tsuna terpukul mundur, tapi tidak terlihat kesakitan.
"Baiklah, apa yang ingin kau bicarakan, Kyoya?"
Tsuna tahu Kyoya tidak hanya memanggilnya ke atap untuk bertarung, tetapi sesuatu hal yang ingin disampaikan.
"Tidak ada."
Tsuna memasang wajah bodoh, "Sungguh?" tanyanya memastikan. Sepertinya dugaannya salah.
Kyoya melompat dan memutar tubuhnya ke atas, bersiap melakukan pukulan tonfa. "Kau pikir siapa diriku?"
Tsuna berdecak lidah dan menghindari serangan. Pukulan tonfa itu memukul lantai menciptakan retakan pada beton atap.
"Wow, itu pasti menyakitkan."
"Ya, dan seharusnya kau yang kena."
Tsuna melompat mundur beberapa langkah, "Sungguh tidak ada laporan?" tanyanya entah yang keberapa kali. Kyoya melesat ke arah Tsuna dengan tonfanya yang berkilau, "Jangan alihkan fokus."
Lawannya menyeringai, "Oke, tapi jangan mengamuk karena aku tidak serius."
Tsuna melesat ke arah Kyoya dengan kepalan tinju, siap menghantam Awannya. Namun, suara teriakan keras dan seseorang yang dengan cepat menghentikan serangan membuat mereka terkejut.
Kyoya menepis dan mundur, begitu juga dengan Tsuna yang sedikit menyingkir untuk melihat dengan jelas orang yang menghentikan serangannya.
"Hide?"
Different Sky
Takeshi tersenyum kaku melihat adegan yang terjadi. Seperti yang ia tahu, Reborn tidak kenal ampun dalam membunuh. Setidaknya, hanya dirinya yang menyaksikan kejadian 'tragis' ini. Bahkan, ia tidak tahu harus bersikap apa setelah melihatnya.
Easy-going saja seperti biasanya?
"Eh, ano..."
Takeshi meringis, ia sendiri tidak tahu berkata apa. Jika dulu ia menganggap ini hanyalah permainan anak kecil, sekarang ia sudah bisa berpikir ini bukanlah permainan anak-anak. Jadi, tidak mungkin ia hanya berdiri, menonton dalam diam begitu saja, 'kan?
"Apa kau membunuhnya?"
Itu komentar yang konyol, namun setidaknya ia bertindak. Berharap jika ia tidak menjadi sorotan perhatian dari hitman yang dikutuk menjadi Arcobaleno itu.
"Hm? Ya, aku membunuhnya."
Takeshi menghela nafas, Reborn memang selalu ke intinya, namun ia tidak pernah mengelaknya. Kecuali jika membahas tentang Arcobaleno. Yah, itu cukup sensitif dibicarakan di hadapan Reborn, Takeshi tahu itu.
"REBORN!"
Hide bangkit dengan api di dahinya. Yah, seperti Tsuna dulu, namun keuntungan di sisi Hide adalah bajunya tidak robek setelah bangkit dari kematian. Ah, itu mengingatkan Takeshi pada kenangan yang cukup lucu untuknya.
"AKU AKAN HENTIKAN PERTARUNGAN ONII-SAN DENGAN HIBARI-SAN SEKARANG!"
/AN : capslock rusak, awas mata sakit :v\
Kemudian dengan cepat berlari meninggalkan Takeshi yang facepalm dan Reborn yang masih tersenyum misteri.
"Omong-omong, Yamamoto Takeshi."
Takeshi menoleh menatap Reborn yang juga menatapnya tajam.
"Dari data yang ku dapat, aku penasaran bagaimana kau bisa kendo di usia enam tahun."
Takeshi terdiam, memilih tidak membalas. Reborn akan semakin curiga jika ia banyak berbicara, terutama terbongkarnya 'misi'.
"Yah, aku hanya penasaran. Tidak perlu tegang seperti itu, sampai jumpa," ucap Reborn yang pergi menyusul Hide menggunakan jetpack dari perubahan wujud chameleonnya. Takeshi mendengus, tak perlu memikirkan kalimat Reborn sebelumnya. Kini, ia harus menyusul Hide secepatnya.
.
.
.
Takeshi berhenti ketika sampai di tangga, menatap Hide yang mencoba masuk walau ia dihadang anggota Komite.
"Menyingkir! Aku harus menghentikan pertarungan Onii-san."
"Maaf, ini perintah Hibari-sama untuk tidak membiarkan orang lain masuk."
Takeshi menggelengkan kepalanya melihat aksi Hide yang tampak konyol itu. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari seseorang yang dikenalnya adalah bagian dari Komite Disiplin.
"Oh, Takeshi-san, ada apa Anda di sini?"
Takeshi menoleh menatap Tetsuya menaiki tangga.
"Panjang tangan!"
"Umm, mungkin maksud Anda panjang umur, Takeshi-san?"
Takeshi tertawa renyah. Ia sengaja mengubahnya karena membaca sebuah cerita menarik di salah satu aplikasi yang terpasang di ponselnya. Cukup sudah, Author kebanyakan iklan.
"Kusakabe-san, bisakan kau biarkan kami masuk?"
Tetsuya menatap Hide yang masih berusaha menembus pertahanan anggota Komite Disiplin.
"Baiklah."
Tetsuya memberi isyarat pada bawahannya dan mereka mematuhinya. Dengan cepat Hide membanting pintu dan menatap pertarungan yang dengan berlangsung.
"GWAAAAA!"
Hide berlari ke pertarungan dan menangkap tonfa Kyoya yang dilayangkan padaa Tsuna yang juga bersiap meninju.
Takeshi segera menyusul untuk memastikan keadaan.
"Hide?"
Dpat ia lihat wajah terkejut Tsuna dan wajah Kyoya yang tidak suka karena pertarungannya diganggu oleh pihak luar.
"Hibari."
Kyoya menoleh menatap Takeshi yang melambai ke arahnya, kemudian berjalan menjauh dua bersaudara itu seakan mengerti maksudnya.
Tsuna menatap Hide yang dalam kondisi Dying Will Flame mulai menghilang. Hide mengerjapkan matanya beberapa kali dan menatap sekitarnya. "Ini...atap?"
Ia menatap Tsuna yang tampak cemas, "Onii-san?"
Tsuna menghela nafas, sepertinya adiknya baik-baik saja.
"Kerja bagus, Baka-Hide."
Serempak mereka berempat menoleh ke asal suara, di mana Reborn berdiri di atas pintu tanpa rasa takut.
"Reborn?!"
Dengan mudahnya Reborn mendarat sempurna di antara mereka berempat, kemudian menatap anak didiknya. "Kau berhasil menghentikan pertarungan, Baka-Hide."
"Benarkah?"
Hide menatap Tsuna yang hanya mengangguk. "Mengapa kau lakukan itu?"
"Eh?'
Tsuna berjalan mendekati Hide, mencengkram etat kedua bahunya. "Mengapa kau ingin menghentikan pertarungan kami?"
Hide terdiam, matanya bergulir ke arah lain. "Aku hanya ingin Onii-san berhenti bertarung, Walau pulang tanpa cedera, tapi aku tidak ingin Onii-san dalam bahaya."
Tsuna menghela napas mendengarnya. "Hide, bukan berarti aku menyukai pertarungan agar ditakuti, atau menerima tantangan Kyoya. Tapi, ini juga untuk dirimu."
Hide menatap kakaknya yang masih lanjut menjelaskan alasannya. "Aku tidak ingin siapapun terluka lagi, terutama dirimu. Itu sebabnya, aku bertarung untuk menjadi lebih kuat lagi."
Hide terdiam mendengarnya. "Aku juga ingin kuat sepertimu, Onii-san."
Tsuna menggigit bibirnya, namun sedetik kemudian ia tersenyum.
"Kalau begitu, berlatihlah supaya bisa menandingiku," ucapnya dan mengusap rambut pirang sang adik.
Sementara Reborn mengernyit mendengarnya.
"Aku tidak ingin siapapun terluka lagi, terutama dirimu..."
"Tadi dia bilang...'lagi'?"
.
.
.
Beberapa jarak dari lokasi mereka, sosok berambur perak memperhatikan dari jauh. Anggota Komite telah pergi meninggalkan tempat atas perintah Kusakabe Tetsuya.
Sosok itu menatap salah satu dari mereka dengan tajam.
"Jadi dia...calon Vongola Juudaime."
Different Sky
"Hah? Boss mafia?"
Hide menatap tak percaya pada Reborn yang duduk di ranjangnya itu.
"Lebih tepatnya, kau akan menjadi Bos Vongola Famiglia kesepuluh."
Hide memiringkan kepalanya, "Tapi, kenapa aku? Umumnya, hal seperti itu jatuh pada anak pertama, 'kan?" tanyanya mencoba untuk mengubah pikiran Reborn yang masih memasang senyum misterinya.
"Itu karena permintaan dari Bos Vongola Famiglia kesembilan."
"Kyuudaime?!"
Reborn turun dari ranjang. "Ya, dia memintaku datang dan melatihmu menjadi penerus selanjutnya," jelasnya yang senyumannya kini digantikan seringai, membuat Hide merasakan firasat buruk tentang 'latihan' yang dimaksud. Reborn berjalan ke kopernya dan mengambil sesuatu di dalamnya, kemudian menunjukkannya pada Hide.
Itu sebuah kertas yang warnanya menguning dengan sebuah gambar silsilah keluarga tertera di dalamnya.
"Bos pertama dari Vongola Famiglia pensiun, kemudian pindah dan menetap di Jepang. Ia berganti marga menjadi 'Sawada'. Singkatnya, dia kakek buyut-buyut-buyut mu."
Hide mengambil kertas itu dan melihatnya tak percaya.
"Karena itulah, kau punya darah Vongola di urat nadimu. Kau adalah kandidat legal untuk menjadi Bos selanjutnya."
Hide beralih menatap Reborn. "Aku tidak pernah tahu yang seperti ini!"
Reborn kembali berjalan menuju ranjang, entah sejak kapan ia berganti pakaian menjadi piyama tidur. "Jangan khawatir, aku akan melatihmu menjadi Bos mafia yang hebat," ucapnya sambil membaringkan diri di atas kasur.
"Hei, jangan tidur di kasurku!"
"Ini waktunya tidur, sampai jumpa besok."
Different Sky
Sejujurnya, Hide ragu untuk melakukannya. Terakhir kali ia tidur bersama adalah delapan tahun silam, walau ia tidak yakin ingatan itu benar atau tidak. Futon cadangan miliknya sudah ia berikan ke tetangga sebelah, sementara kasurnya dipakai Reborn yang entah sejak kapan memasangi granat di sekitarnya. Tidak mungkin ia tidur di lantai yang dingin ataupun tidur bersama ibunya. Ia tidak ingin tidur di kamar tamu yang disediakan khusus untuk orang luar.
Lalu, mengapa Reborn tidak tidur di kamar tamu saja? Alasannya simpel, "Karena aku tutormu.". Hide menggelengkan kepalanya mengingat kalimat terakhir Reborn sebelum masuk ke alam mimpi.
Dan di sinilah ia berdiri, di depan pintu kamar sang kakak, Tsunayoshi. Sepertinya, tidak masalah jika ia tidur dengan sang kakak seperti dulu, hanya perlu izin dari pemilik kamar pun sudah cukup.
Atau kalau Tsuna punya Futon lain, itu jauh lebih baik.
Ia mengetuk pintu kayu itu, berharap Tsuna belum terbaring di ranjangnya. Cukup lama, belum ada jawaban. Hide menghela nafas, sepertinya Tsuna sudah tidur. Tidak ada pilihan selain tidur di lantai kamar yang dingin.
"Ya, ada apa?"
Hide terlonjak mendengar ucapan tiba-tiba di depannya. Tsuna tanpa aba-aba muncul begitu saja, tidak ada suara derit pintu ataupun kenop terbuka. Hide menghentikan degup jantungnya yang berpacu cepat, hampir mengira hantu yang menjawabnya.
Tsuna masih senantiasa menunggu, walau ia tertawa dalam hati melihat adiknya yang terkejut seperti itu. Ah, andai ia membawa ponselnya untuk memotret wajah lucu Hide, mungkin akan ia tunjukkan pada Reborn nanti.
"Onii-san, jangan mengejutkanku!"
"Bukankah kau yang mengetuk duluan? Aku sang pemilik kamar tentu harus menjawabnya. Kau saja yang tidak fokus, minum 'Akua' sana," tutur Tsuna yang menyebut merek iklan luar negeri atas saran Author. Hide memutar bola matanya malas, kakaknya kalau bercanda tidak berubah.
"Jadi, ada apa?"
Hide gelagapan setelah ditanya. "Ano, boleh aku tidur bersamamu, Onii-san?"
Tsuna mengernyit mendengarnya, meminta penjelasan.
"Ah, itu, Reborn tidur di kasurku."
Tsuna mengangguk mengerti. Sama seperti dirinya dulu, Reborn mengambil alih kamarnya sehingga dirinya hanya bisa tidur di lantai beralaskan Futon. Dan sekarang, ia tahu Futonadiknya sudah diberikan ke tetangga sebelah, termasuk miliknya.
Tsuna menghela nafas, "Masuklah."
Hide terlonjak girang mendengarnya, sang kakak mengizinkannya. Ia melangkahkan kaki memasuki kamar yang sudah lama tidak ia kunjungi itu. Tidak banyak berubah, hanya ada satu set kasur berukuran sedang, rak buku besar, almari, dan meja belajar.
Hide duduk di kasur dan bersipa untuk tidur, ia tidak dapat menahan kantuknya. Sejenak melihat Tsuna yang entah melakukan apa di meja belajar.
"Onii-san, kau tidak tidur?"
Tsuna menoleh, "Nanti saja, kau tidur duluan. Sisihkan tempat untukku karena futon ku juga sudah diberikan ke tetangga. Sekarang, aku masih banyak pekerjaan."
Hide mengerti maksudnya, tugas Komite lagi. Ia menguap dan kemudian dengan cepat terlelap masuk ke dunia mimpi.
Tsuna menatap adiknya yang kini sudah tertidur, kemudian membuka laptopnya yang sebelumnya tertutup.
"Jadi, kita lanjutkan, adikku yang manis?"
Tsuna memutar bola matanya, malas mendengar panggilan dari orang yang melakukan videocall ke laptop pribadi miliknya.
"Jangan panggil aku seperti itu, Dino-san."
"Hahaha, jangan begitu pada seniormu ini. Aku merindu−"
"Aku tutup, sudah malam. Bye."
Dan tatap muka itu berakhir dengan Tsuna yang memutus panggilan. Ia menatap datar laptopnya.
"Setelah ini...Hayato, ya?"
To Be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro