Bab 1
Suara kegaduhan yang sedikit mengusik kelas sebelah dihasilkan oleh anak-anak kelas yang tidak bisa tertib di saat jam kosong. Banyak dari mereka yang mulai berteriak atau bernyanyi tidak jelas yang menyebabkan guru dari kelas sebelah yang tengah mengajar beberapa kali datang dan menegur. Tidak jarang pula, mereka kembali membuat kegaduhan sehingga sulit untuk dihentikan.
Di bangku ujung sana, salah satu siswa yang tampak tak berminat ricuh seperti teman-teman lainnya—tengah membaca materi yang diberikan sebelumnya oleh guru sejarah karena siang ini akan ada ulangan mingguan.
Kesya Adhiamita, anak sekelas tak ada yang memanggilnya Kesya ataupun Echa. Kebanyakan sering memberikan julukan-julukan aneh padanya yang sama sekali melenceng dari nama aslinya.
"Eh, gajah! Nanti pas ulangan lihat dong," seru salah seorang dari bangku depan yang kini melempar tatapan memohon pada Kesya. "Kita kongsi lah. Lo kan pinter, Jah. Gak boleh pelit loh sama temen sendiri, nanti kuburan lo sempit."
"Udah sempit lah! Lihat aja badannya segede gajah hamil, nanti diperluas aja sih liang lahatnya." Salah satu teman di sebelahnya berujar demikian membuat yang lain tertawa mendengar balasan yang sama sekali tidak lucu bagi Kesya.
"Maaf. Kalian belajar sendiri. Jangan terus terusan ngandelin aku," balas Kesya menutup bukunya.
Penolakan itu membuat mereka marah dan menghampiri meja Kesya. Salah seorang dari mereka menggebrak meja cukup keras, tatapannya menjadi kesal sekaligus emosi. Tidak terima jika Kesya—notabenya sumber contekan yang bisa diandalkan oleh kumpulan gadis-gadis tersebut menolak untuk dimintai kerja sama.
"Lo tuh ya—" Heshi, orang yang memintanya tadi menggengam tangan dan mempergakan tangan ingin melumat Kesya hidup-hidup. "Bisa gak sih, lo tuh gak usah sok di sini. Udah jelek, gak ada temen, sok banget lagi. Mending aja lo pinter bisa dimanfaatin. Seenggaknya ada kegunaan di sini daripada dijadiin sampah pajangan yang enek buat dilihat."
"Tapi aku yang udah belajar sungguh-sungguh buat ulangan, kenapa kalian enak banget cuman minta jawaban? Kalian memangnya gak belajar? Materi kemarin masih mudah loh diajarkan Pak Rahmat," balas Kesya.
"Emang kita peduli tuh guru ngejelasin gampang atau enggak? Kita cuman butuh nilai bagus!"
"Denger ya, jelek." Teman Heshi menepuk punggung Kesya cukup keras hingga terasa sakit. "Lo tuh bersyukurlah masuk ini kelas. Coba di kelas lain? Siapa yang mau nerima murid jelek, gendut, dan gak ada bakat kayak lo selain kita? Bersyukur aja deh!"
Rasanya Kesya mau tertawa sekaligus menangisi nasibnya setelah mendengar ucapan tersebut. Fakta yang selalu berhasil merobek perasaannya yang dia tahan selama ini. Benar, dia yakin kalau kela lain pasti tak ada yang mau menerima murid jelek, gendut, dan tidak ada bakat sama sekali kecuali kelebihan yang Kesya miliki hanyalah sebatas pintar dalam akademik.
Satu tahun, ternyata tak ada yang berubah daripada sekolah lamanya. Terasa sama; hambar dan pedih dalam satu waktu. Maka dari itu, Kesya selalu berdoa agar segera lulus dan menghindari orang-orang seperti ini dari kehidupan selanjutnya.
"Udah ya, jelek. Pikirin baik-baik aja perkataan gue tadi secara mateng. Enak loh. Nanti gue janji gak ejek lo, kok...." Heshi tersenyum, "tapi boong. Gak asik kalau gak manggil lu gajak atau jelek. Itu panggilan udah cocok banget buat lo."
Mata Kesya sudah panas ingin menangis namun dia masih harus tahan. Semakin dia menunjukan kelemahannya, semakin menjadi-jadi Heshi dan lainnya untuk menjadikannya bahan bual-bualan.
"Oke," final Kesya, "cuman kali ini aja. Aku mohon buat kalian kedepannya buat gak minta ini terus sama aku. Karena sama aja nanti kalian sia-sia belajar disini."
"Halah, bacot! Gak usah sok ceramah. Tinggal bilang oke aja, gak perlu tambahin kata-kata lain. Inget, di sini lo gak dianggep kecuali jadi mesin jawaban buat yang lain. Ngerti? Daripada lo banyak omong, mending urus tuh badan. Kasihan, nanti takutnya jadi perawan tua gara-gara gak ada yang mau sama cewek dengan badan kayak lo. Ups!"
Heshi dan lainnya sengaja tertawa lebih keras dengan nada mengejek. Setelah puas membuat Kesya setuju dengan ajakan meminta contekan, mereka semua pergi ke kantin sebelum waktu istirahat tiba.
***
"Jadi, hubungan antara garis AB dengan garis BC adalah saling berpotongan. Perhatikan bahwa kedua garis saling berpotongan di titik B. Maka dari itu, kunci agar tau kedua garis berpotongan adalah memperhatikan apakah ada titik yang sama dalam garis tersebut. Contoh lain yaitu, garis EG dan garis CG. Sampai disini, paham?"
"Paham, Miss."
Ruang 12-A terasa sedikit membosankan karena pengulangan materi Dimensi Tiga tentang hubungan antara garis dan garis sebelum menjawab soal utama.
Miss Erna, selaku tentor mata pelajaran Matematika masih mengulas soal dari salah satu siswa mengenai bab yang sedang dipelajari. Masih ada yang bingung bagaimana cara mendapatkan hubungan garis-garis tersebut, sehingga mau tidak mau harus ada pengulangan materi.
Setelah cukup menjelaskan, Miss Erna kembali melanjutkan dengan menjawab soal tersebut dengan perlahan-lahan serta memastikan siswa yang ada di kelasnya paham dengan cara yang dia berikan. Sebetulnya, cara yang dia ajarkan mirip dengan guru di sekolah Kesya namun jelas lebih santai karena Miss Erna menyelipkan sedikit guyonan.
Satu jam dengan pembahasan soal-soal pekerjaan rumah dan dilanjutkan dengan latihan soal untuk persiapan ujian nasional, akhirnya kelas dibubarkan dan semua berhamburan keluar kelas.
"Eh, Kesya!" seru Kevin dari arah belakang. Karena tidak direspon, Kevin ngambek dan kembali berseru, "Tengok sini dulu atuh ih. Masa mau diajak ngomong malah kacang sih."
"Naon sih, Vin? Biasanya juga langsung pulang bukan ngobrol kayak gini. Mau ngobrol apaan? Kalau gak penting mending pulang aja dulu," balas Kesya sedikit memelankan suara dan dia berjalan sedikit lambat agar sejajar dengan cowok tersebut.
"Mukanya pundung terus. Kunaon? Ada yang ngomongin?" tanya Kevin memandang wajahnya.
"Sok tau." Kesya memasang wajah ketus. "Pusing eta sama tugas, udah kelas 12 jadi banyak tugas dari guru. Mana mau praktikum."
Kevin awalnya tidak langsung mempercayai hal tersebut begitu saja. Tetapi, wajah Kesya juga terlihat seperti orang yang penuh beban karena tugas jadi dia percaya saja. Bukan seperti dia yang terlihat santuy padahal tugas sekolah menumpuk, ditambah dengan dia masih mengurus pengrekrutan siswa baru yang hendak mendaftar ke ekstrakurikuler musik.
Sementara Kesya merasa panik saat Kevin menatap dirinya dengan selidik. Wajah curiga atas reaksi gugup yang diberikan sebagai balasan. Dia tidak mau ketahuan oleh kembarannya ini kalau tadi siang dia diejek lagi dengan sebutan gajah dan jelek.
"Oh, ya udah. Itu muka jangan kusut dong! Senyum kek biar pahalanya nambah. Kan senyum adalah ibadah," celetuk Kevin tidak bermaksud melucu namun Kesya terkekeh karenanya.
"Pssst, itu kok Kevin mau deketan sama dia sih? Mereka udah kenal lama? Gue baru tau."
"Dia gak ngaca ya jalan deketan sama Kevin?"
Suara bisik-bisik tersebut begitu mengganggu Kevin yang tengah mengobrol santai dengan Kesya di parkiran. Begitupun Kesya yang mendengarkannya. Tidak, dia bukan terganggu lagi tapi itu sebuah sindiran yang ditujukan untuknya.
Tiga cewek tadi yang berbisik kecil di belakangnya langsung ditatap tajam oleh Kevin.
"Muka sok cantik aja belagu ngomongin orang. Emang good looking gak boleh apa temenan sama yang lain? Good attitude lebih penting. Cih! Mulutnya dibenerin lagi ya, Neng. Biar cantiknya gak luntur sama lambe sendiri," semprot Kevin tanpa ampun.
Kicep!
Mereka yang tadi membicarakan Kesya auto menoleh Kevin dan langsung menghindari cowok tersebut setelah sadar terciduk olehnya. Kevin tersenyum puas dan menepuk pundak Kesya. "Udah, lain kali jangan diem kek tadi. Mau balik sama Aa?"
"Balik dulu, Vin. Aku ... mau beli sesuatu," tolaknya untuk menghindari perhatian orang-orang.
"Gue anterin, Sya."
Kesya melotot. "Gak usah! Buruan sana balik."
"Iya deh, iya." Akhirnya cowok tersebut mengalah. Karena Kesya sudah menolak untuk diajak pulang bersama, Kevin pun mengenakan helmnya dan pulang terlebih dahulu.
Ini baru pertama kalinya mereka menyapa satu sama lain di tempat les. Sebelumnya, jadwal keduanya selalu berbeda hari sehingga Kevin hanya mengobrol di rumah saja. Di sekolah juga mereka hanya saling sapa. Jarak kelas mereka yang jauh antara IPA dan IPS serta kesibukan Kevin yang tidak sempat memperhatikan sang adik.
"Maafin aku ya, Vin. Aku belum siap aja kalau orang-orang tau kalau kita ini anak kembar."
***
Kesya baru bisa pulang ke rumah satu jam setelah Kevin pulang terlebih dahulu. Saking takutnya ketahuan dan dihina orang, dia rela berjalan-jalan di sekitar tempat lesnya agar tidak pulang dalam waktu yang sama dengan Kevin. Sampai detik ini, Kesya tidak mau kalau dia dan Kevin ketahuan sebagai anak kembar oleh orang lain.
Seusai mandi dan makan malam, rutinitas yang dia lakukan adalah belajar. Beberapa buku mata pelajaran besok sudah dibuka olehnya. Rajin? Kesya serajin ini sedari kecil, jadi jangan heran kalau dia memang pintar dalam bidang akademik.
Sayangnya, kegiatan belajarnya terganggu oleh suara-suara entah datang darimana memutar kilas dimana ia diejek oleh teman kelasnya. Tidak hanya teman kelasnya saja, bahkan anak lelaki dari kelas lain yang suka meledek bentuk tubuhnya tak elak selalu menghina dirinya dengan sebutan yang lebih parah.
Kesya mengeluh, "Huft, capek."
Matanya menatap kosong. Tangannya berhenti menggoreskan pena di atas kertas, lalu berganti menutup wajahnya yang terlihat sedih.
"Hai, Jelek! Si jelek pagi ini masih tetep jelek."
"Ehhh, betah banget sama itu badan kek combro."
"Udah jelek, gendut lagi. Hahahaha."
Kalimat serupa yang banyak dilontarkan sudah menjadi makanan sehari-harinya. Bisakah sehari saja dia tidak mendengarkan kalimat-kalimat itu? Sehari saja, setidaknya jangan mengganggu moodnya ketika sedang baik. Bahkan dihari minggu, mereka masih tetap melontarkan ejekan tersebut melalui chat.
"Kesya, jangan sedih! Ayo! Bentar lagi mau lulus, habis itu gak perlu ketemu mereka lagi." Ia menyemangati diri sendiri meskipun masih saja merasa sedih. "Nyanyi aja deh."
Tanpa perlu waktu lagi, ponsel yang terletak di samping tangannya langsung dia ambil dan mencari aplikasi spotify. Lagu Bruno Mars berjudul Don't Give Up menjadi kesukaannya. Kesya menyanyi dalam suasana sunyi di kamar, melantunkan setiap lirik yang begitu menusuk hatinya.
Don't give up, don't ever stop
Try and try and you'll come out on top
Don't give up
***
Terima kasih sudah membaca Bab 1 ^^
Semoga kalian suka dan betah dengan cerita ini > <
Jangan lupa tinggalkan jejak ☺️
Sampai jumpa di bab selanjutnya ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro