Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART. 9


Tak ada yang lebih Maverick sukai ketimbang hari-hari belakangan ini. Dirinya masih suka menyendiri memperhatikan dri ketinggian bagaimana keadaan Metro Selatan yang mulai bergeliat kembali. Sembari mengepulkan asap dari cerutunya juga sesekali diganggu Russel karena laporan yang cukup menyita tapi sungguh, lepas dari apa pun yang kini kembali ia jalani, Maverick menyukainya. Bukan tanpa sebab, ia seperti menemukan semangat baru untuk membuat Metro Selatan makin maju. Dalan segi apa pun. Bahkan kalau bisa menyaingi seorang Alexander Millian.

Asap yang ia keluarkan karena cerutu, sudah kembali memenuhi ruangannya. Sudah beberapa belas menit berlalu di mana ia memang tak melakukan apa-apa kecuali menatap pemandangan yang indah dari posisinya sekarang. Laporan yang Russel beri akhir-akhir ini juga menunjukkan banyak hal yang membuat Maverick tersenyum lebar. Sampai ...

"Apa kegiatanmu hanya seperti ini, Mave?" Pintu ruangannya terbuka lebar di mana sosok penganggunya datang dengan seenaknya. Berjalan tanpa merasa berdsa atau bersalah sama sekali. Jubah putihnya mengikuti gerak kaki yang melangkah dengan gerak konstan.

"Apa tak ada kegiatan yang bisa kau lalukan selain merecokiku, Alex?"

Pria itu mendengkus tak suka. Ditariknya kasar salah satu kursi yang ada di sana lalu duduk tanpa diminta. Bersandar dengan segera di kursi yang cukup untuk dilesakkan tubuhnya yang kekar itu. Ada decit yang terdengar cukup mengganggu tapi diabaikan olehnya. Malah ia menjentikkan jemarinya meminta disiapkan satu botol anggur terbaik yang Maverick punya.

"Bahkan kau berani memnta orangku untuk menyediakan minum?" Maverick tak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Bagaimana bisa seorang Alexander Millian berubah menjadi semenyebalkan ini. "Aku rindu sosokmu yang kaku dan dingin."

"Aku ke sini bukan untuk mendengarkan ungkapan rindu yang menjijikan darimu, Mave." Alex menopang wajahnya dengan salah satu tangannya. Walau terlihat malas tapi sorot matanya tajam menatap Maverick yang masih tak bergeming dari tempatnya. "Apa Erick menemuimu akhir-akhir ini?"

"Hampir setiap waktu," dengkus Maverick tak suka. Apalagi kalau mengingat wajah Dewan Penasihat itu yang terbayang di pelupuk matanya. rasanya ingin sekali satu bogem mentah Maverick layangkan padanya agar tak terus menenus mengusiknya. Padahal jelas apa yagn dikatakan Maverick ada sebabnya. Kenapa orang-orang di pemerintahan Jagad Metro ini tak mengerti dan memahaminya? Apa bahasa Maverick sangat berbelit sampai tak bisa dimengerti? "Kau sendiri?"

Obrolan ringan itu terinterupsi dengan kedatangan pelayan yang tadi diminat Alex untuk menyiapkan minum. Bukan hanya minum ternyata tapi juga hidangan makan siang yang terlihat lezat dan menggugah selera. Potongan daging steak yang masih mengepulkan asap ditambah saus yang siap untuk disiram di atasnya. Belum lagi kentang tumbuk juga beberapa salad sebagai pelengkap.

"Kebetulan yang sangat menyebalkan, Alex." Maverick menyeringai dan berdecak akhirnya. "Tepat di mana aku akan menyantap makan siangku ini."

"Sangat kebetulan kalau steak yang tersaji ada dua porsi, Mave. Terlalu kentara kalau kau menungguku." Alex berkata sembari memperhatikan bagaimana beberapa pelayan itu menyajikan dan menyiapkan meja untuk mereka berdua. Ucapan Alex barusan membuat Maverick makin kesal tapi setelahnya ... ia pun terkekeh.

"Russel melaporkan kau ada di perbatasan Metro Selatan dua puluh menit lalu. Akan konyol rasanya kalau aku tengah menyantap makan siang, kau hanya melihatku seperti orang bodoh."

"Kau memang pantas dijuluki orang paling menyebalkan."

"Ah, julukan itu hanya milik Gala. Kau tau itu dengan pasti." Maverick mulai memotong bagiannya setelah semuanya siap. Para pelayan itu berada tak jauh dari mereka yang kini mulai menyantap hidangan yang tersaji.

"Kau belum menemukan informasi apa pun?" tanya Alex dengan sedikit lesu, padahal di ujung garpunya sudah ada potongan daging berlumur saus barbeque yang lezat. Mendadak ia kehilangan selera makannya. Padahal akhir-akhir ini nafsu makannya tinggi sekali. Ia persis seperti orang yang tak mengenal waktu makan.

Entah mungkin karena pengaruh obat yang Kyler beri, atau memang karena kondiri yang tengah mereka hadapi dengan damai dan tenteram, nafsu makan Alex meningkat tajam. Ia berkonsultasi pada dokter yang datang berkunjung secara berkala di mana dokter itu adalah orang suruhan Kyler. Ia pun mengatakan seluruh keadaan dirinya karena Kyler bilang, racun ini sangat berbahaya. Kalau ada satu efek yang ia rasakan, apa pun itu, Alex harus bicara.

Termasuk perubahan pola makannya.

"Sepertinya pengaruh obat untuk menambah nafsu makan masih harus dikaji dulu, Tuan." Dokter Tom mengatakan hal itu setelah mencatat semua keluhan dan laporan mengenai kebiasan yang kini Alex jalani. "Akan tetapi selama kua tak lagi merasakan sesak juga kulit yang seperti terbakar, kurasa itu tak menjadi masalah. Atau bekas luka tusuknya, masih ada sisa nyeri?"

Alex menggeleng sembari mengenakan kemejanya lagi. "Tidak ada."

"Artinya pengaruh racunnya sudah mulai terkikis. Dan kurasa Anda sudah bisa melakukan aktifitas seperti sebelumnya.

Sebenarnya Alex tak ingin banyak merepotkan tapi Kyler meminta khusus padanya untuk terus melaporkan diri. Mungkin karena jenis racun ini cukup membuatnya penasaran maka Alex tak jadi soal kalau dirinya dijadikan bahan penelitian. Apalagi setelah apa yang dilakukan pria itu padanya. Tangannya yang menghitam pun sudah mulai kembali normal. Geraknya pun sudah tak terlalu kaku juga nyeri. Setidaknya pengobatan yang Kyler beri padanya cukup menimbulkan efek yang baik.

"Belum. Bocah itu seperti menghilang ditelan bumi, Alex."

Ucapan Maverick membuat lamun dan pikiran Alex terpecah. Kembali pikirannya terpusat pada ucapan Maverick barusan. "Kau benar. Theo yang kuminta untuk mencari ke seluruh penjuru Metro Utara pun tak menemui hasil. Rasanya perlu pencarian yang lebih luas lagi, Mave."

"Maksudmu?" tanya Maverick sembari memasukkan potongan daging yang sudah ada di ujung garpunya. Mengunyahnya dengan penuh selera. Rasanya ia seperti hidup kembali karena mendapatkan banyak anugerah salah satunya, makan dengan tenang tanpa mendengar bunyi desing pesawat tempur lagi. Atau memikirkan untuk mengarahkan moncong pistol ke lawannya yang terus berusaha mendesaknya agar kalah.

Setidaknya situasi itu tak akan ia alami lagi untuk waktu yang lama. Semoga saja.

Pria berambut putih meletakkan peralatan makannya. Memilih menghabiskan gelas yang berisi air putih sebagai penutup makan siang yang tak lagi menggugah seleranya. "Aku ingin melakukan pencarian hingga Metro Barat."

"Apa dirinya penting untukmu, Alex?" tanya Maverick cukup penasaran. Dari sekian banyak hal yang sebenarnya hanya ia jadikan olokan, tapi untuk hal yang satu ini, Maverick tak bisa begitu saja membiarkan. Walau jelas, Maverick pun turut mencari dan pencarian tim yang ia kerahkan bukan main-main. Sampai ke pelosok pedesaan pun ia menyisir dan memang hasilnya tak ada.

"Bagiku ..." Alex menerawang jauh. "Dia penting. Entah kenapa aku merasa dirinya harus aku ketahui keberadaannya. Keadaannya. Atau malah setidaknya suaranya." Sebelum Maverick mulai menyela, Alex kembali melanjutkan kata-katanya. "Jangan kau tanya kenapa aku seperti ini? Seperti seorang ayah yang kehilangan putranya. Aku sendiri tak punya jawaban dan masih bertanya-tanya kenapa hatiku segelisah ini."

Maverick melihat kesungguhan Alex di sana. Sebenarnya sejak olokan itu ia luncukan dan ditujukan pada Alex, Maverick sudah mulai menyadari kalau ada sesuatu yang spesial di antara mereka berdua. Bagaimana Gala yang mencoba untuk melindungi sosok pria yang ada di depannya. Walau ia pun merasakan perlindungan serta perhatian dari orang lain di mana ternyata mampu menembus hati tuanya ini.

Sesi makan siang berakhir dengan baik di mana Maverick meminta untuk disiapkan makanan penutup. Membiarkan satu demi satu pelayan itu merapikan meja makan dan menuang anggur pesanan Alex tadi.

"Kita butuh persetujuan Kyler kalau begitu. Kau bisa mengetahui sendiri bagaimana peringainya kalau wilayah gurunnya itu diacak-acak orang yang tak dikenal."

Alex terkekeh membenarkan. "Kembali pada soal Erick. Apa dia menanyakan sesuatu yang aneh?"

"Kurasa tidak." Maverick mencoba mengingat-ingat. "Kebanyakan pertanyaan itu seperti sebuah kuis. Menjebak dan memuakkan. Jelas kalau aku tak ingin menggantiakn Gideon. Yang benar saja," decih Maverick kemudian. "Sudah kukatakan berkali-kali juga kalau yang pantas berkuasa adalah Xavier. Kalau ia tak bisa membujuk Xavier untuk ada di sana, kenapa aku harus direcoki? Memangnya aku bisa membujuk pria yang tak kalah menyebalkan dari putranya itu?"

Rentetan kata-kata Maverick menjadi hiburan tersendiri bagi Alex. Di mana akhirnya mereka berdua tertawa bersama, menertawakan hal yang terjadi beberapa hari belakangan ini di mana hampir serupa mereka alami.

"Tapi aku yakin, kalau Xavier bukan orang yang mau ada di kekuasan tertinggi." Maverick memberi pandangannya. "Kau tau itu dengan jelas, kan? Dia petarung sejati. Tugasnya melindungi walau sebenarnya kapasitas untuk menjadi seorang pemimpin tak bisa diragukan lagi. walau sebenarnya ... ada yang lebih dari Xavier untuk posisi itu."

"Aku setuju denganmu dalam hal ini dan itu lah tujuanku ke sini. Menanyakan apa Erick bertanya sesuatu mengenai Galaksi Haidar?"

Agak lama Maverick terdiam. Digoyangnya pelan isi gelas yang berwarna merah pekat ini. matanya tampak menimbang sejenak sebelum akhirnya ia pun bicara. "Erick menanyakan mengenai keberadaan Gala. Kau benar."

"Dan?"

"Aku katakan aku tak terlalu mengenalnya walau seperti yang kubilang, ia ajukan pertanyaan yang banyak dan memuakkan. Tapi sepertinya, Erick tak akan kembali ke sini."

Alex mengangguk cepat.

"Apa ... kau juga ditanya?"

"Kurasa setelah mengunjungi Metro Selatan, iringannya datang ke tempatku. Banyak hal yang ia tanya tapi aku memblokir semua akses yang Erick coba susupi dalam pikiranku."

"Apa dia mencoba membuar aliansi baru?"

"Dengan Gala sebagai pemimpin?"

***

Gala baru menyelesaikan sarapannya. Pagi ini bukan ibunya yang menyiapkan tapi Gala tak menjadikan itu soal. Ia hanya butuh kewajiban mengisi perutnya agar bisa terus bertenaga. Ia tak boleh jatuh sakit selama menjaga Cathleen yang belum mau membuka matanya. Pikir Gala sekarang, gadis cantik ini tengah bermimpi indah sekali sampai enggak bangun dan menyapanya. Atau berbagi banyak kisah yang ia jalani selama di mimpinya itu. Tak mengapa. Gala sabar menunggu. Karena ia yakin sekali, penantiannya tak akan sia-sia.

Sebelum dirinya memasuki kamar mandi yang tersedia, matanya sempat mengawasi semua selang juga kabel penunjang kehidupan sang gadis. Tak ada yang berubah. Layar monitor yang ada di sisi kanan ranjang pun tak menunjukkan perubahan yang signifikan. Hal itu membuat Gala menghela pelan. Sekali lagi ia tumpuk banyak harapan di mana akan datang hari ketika Cathleen akhirnya tersadar.

Sekadar menghilangkan lengket serta menyegarkan tubuh di bawah kucuran air yang tersedia di ruang ini, membuat Gala cukup rileks. Beberapa hari belakangan memang dirinya terlalu banyak yang ia pikirkan. Beruntung ia terus didukung oleh ibu dan ayahnya. juga Seth Rafael yang sesekali berkunjung ke sini karena tak mungkin bagi Seth meninggalkan Metro Timur terlalu lama. Padahal Gala setiap malamnya bicara melalui sambungan video di mana ia biarkan ayah dari gadis yang ia jaga ini untuk memandangnya sepuas mungkin. Lalu bicara mengenai banyak hal yang cukup membuat hati Gala agak ringan. Terutama kisah masa kecil Cathleen.

Saat Gala baru saja keluar dari kamar mandi, suara ketukan di pintu utama ruangan ini terdengar beberapa kali. Membuat Gala mengernyit bingung. "Masuk."

Ibunya datang dengan nampan berisi sup yang aromanya tercium segera. Lezat dan pastinya enak. Tapi ... ini sudah di luar jam sarapan. Hal itu membuat Gala mengerutkan kening semakin dalam. Di mana ibunya masuk ke dalam dengan canggung. "Kau ... sudah sarapan?"

"Sejak tadi."

"Ibu sepertinya terlalu telat mengantarkan sarapan untukmu, Gala."

Pemuda itu terkekeh lalu menghampiri ibunya. "Kurasa Ibu tak perlu terlalu mengkhawatirkanku. Di sini hampir semua pelayan Tuan Kyler melayaniku dengan baik."

Bellamie setuju atas hal itu.

"Tapi kurasa supmu ini enak sekali. Aku ingin mencobanya."

Senyum di wajah ibunya terbit makin lebar. "Coba lah. Ayahmu sangat menyukainya. Hampir dua porsi ia melahapnya."

Kalau saja bukan dalam keadaan seperti ini, Gala yakin sekali, bayang masa kecil di mana ibunya sibuk di dapur dan ayahnya yang setia menunggu di meja makan bersama Gala pasti terulang. Ayahnya memang tak banyak bicara tapi sorot matanya tak pernah dialihkan ke mana-mana selain mengikuti ibunya ke mana pun menjelajah dapur. Semakin bertambah usia Gala, dan kini ia tau apa maksud tatapan ayahnya itu pada sang ibu.

Rasanya ... kalau boleh egois, ia ingin merasakan memori manis itu lebih lama. Mengingat akan hal itu membuat Gala tersentak dan seolah tersadar akan sesuatu. Waktu mereka tak banyak, kan? Ia tak boleh egois hanya menunggu Cathleen saja. akan ia tempatkan orang yang paling Kyler percaya untuk menjaga Cathleen selama dirinya bersama sang ayah. Tak akan ke mana-mana kecuali menjelajah hutan buatan Kyler yang terlihat rimbun di bawah sana. Pasti ide itu terasa menyenangkan, kan?

"Duduk lah. Sejak tadi kau melamun." Bellamie menyentuh bahu Gala pelan yang membuat pemuda itu tersenyum kecil dan menyambut mangkuk yang tadi ibunya bawakan. Duduk di salah satu sudut sofa yang mana TV layar datar yang menjadi peneman Gala selama di sini, menyala dan menampilkan serial yang tak terlalu Gala pahami jalan ceritanya.

"Au tak melamun, Bu. Aku memikirkan kalau menghabisan banyak waktu bersama Ayah. Menurutmu?"

Sorot mata Bellamie berbinar cerah sekali. Bahkan ia sampai menutup mulutnya saking tak percaya mendengar ucapan anaknya barusan. "Itu ... itu ide yang bagus, Gala."

"Kurasa setelah menyantap sarapan yang sangat kesiangan ini aku ingin bertemu dengan Ayah. Apa beliau ada pertemuan mendadak?"

"Tidak ada."

Pemuda itu mengangguk pelan. Mulai menyantap sedikit demi sedikit sup buatan ibunya. Menikmati tiap sendok yang masuk ke dalam mulutnya itu. "Ini sangat enak, Bu," puji Gala dengan tulusnya. "Pantas kalau Ayah sampai menghabiskan dua porsi. Seperti tak pernah mengenal makan kurasa."

Bellamie tertawa.

"Makan malam nanti, kita makan bersama, Bu. Aku rindu makan bertiga dengan kalian."

"Ada permintaan khusus?" Bellamie sangat antusias mendengar permintaan Gala barusan. "Ayam panggang?"

"Aku ingin ikan. Sepertinya enak. Tapi apa pun yang Ibu masak, pasti aku habiskan. Aku selalu kelaparan apalagi kalau menikmati makanan yang lezat. Entah itu buatan Ibu atau Cathleen." Mata Gala melirik pada gadis yang dadanya turun naik teratur namun masih memejamkan matanya.

"Baik lah. Ibu cek persediaan di dapur setelah kau menyelesaikan santapanmu."

Bellamie sangat senang mendapati Gala yang sangat lahap menyantap sajiannya. Sesekali berdecak dengan pujian yang membuat Bellamie merasa kalau Gala ini pintar merayu nantinya.

"Dan ... boleh kan aku meminta bantuan?" Mangkuk sup itu sudah kosong.

"Apa pun, Nak."

"Tolong jaga Cathleen selama aku bersama Ayah. Nanti akan kupasang alarm siapa tau ada yang berniat buruk pada kalian."

"Apa ... hal itu mungkin terjadi lagi?" Bellamie mendadak ketakutan. Sorot matanya terlihat khawatir karena di tempat ini pula, dirinya dipisahkan paksa dengan Xavier yang baru saja sadar dari tidurnya yang panjang. Masih tersisa rasa trauma yang cukup dalam di hati Bellamie walau ia berusaha menepis sekuat hati tapi tetap saja, rasa khawatir itu masih sering muncul.

"Tidak. Aku yakin sudah tak ada lagi ancaman. Hanya berjaga, Ibu."

Bellamie mendesah pelan walau khawatir itu tak lagi terlalu besar. "Kuharap seperti itu."

"Ibu tenang saja. Selama ada aku, kalian semuanya aman."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro