Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART. 8


Sejak pertama kali Xavier melihat Bellamie di lorong itu, ia tau dirinya sudah jatuh. Matanya yang cokelat terang itu selalu penuh dengan semangat dan rasa optimis yang tinggi. Dari ketinggian gedung yang ada di sekitar tempat tujuan Bellamie, pria itu sudah memperhatikannya. Padahal kalau memang gadis bersyal cokelat tua itu pintar juga bisa membaca situasi, ia tak akan melangkah ke lorong sepi yang bisa membuatnya terancam. Namun sorot mata itu sekali lagi mengganggu Xavier di mana ada semangat yang begitu tinggi diiring satu senyum menandakan kalau ia memiliki banyak harapan.

Netra Xavier berkhianat di mana sejauhnya ia tak perlu peduli, kan? Juga tubuhnya yang mengikuti Bellamie dari kejauhan. Dari sekian banyak wanita yang pernah ia temui selama ratusan tahun, kenapa justeru pada sosok perempuan ini ia seperti ditarik oleh medan magnet yang demikian besar? Padahal kalau ditelisik, wajah itu juga tak terlalu cantik juga tubuhnya bisa dibilang memiliki postur tubuh seperti wanita Metro Selatan kebanyakan.

Benar saja apa yang Xavier duga di mana di lorong itu kejahatan terjadi. Melihat hal itu ada di depan matanya, Xavier mana bisa diam saja dan melihat sampai mungkin saja, wanita itu jatuh terluka. Mengusir tiga pria kurang ajar itu taka da artinya bagi seorang Xavier. tanpa senjata pun mereka sudah lari tunggang langgang tak tentu arah. Menyisakan keduanya yang terdiam di mana Xavier tau, masih banyak ketakutan di benak sang gadis. Tak sampai hati, ia pun mengantarkannya pada tujuan. Tak banyak ucap karena memang Xavier tak terbiasa banyak bicara. hanya mengamati dan memberi komentar seperlunya.

Yang membuatnya tak habis pikir juga, ketika wanita itu masuk ke dalam gedung yang cukup tua itu, ia justeru kembali melangkah melangkah mendekat. Padahal keberadaan Xavier sudah ditunggu namun ia tak berdaya ketika kakinya justeru memilih untuk menunggu gadis itu hingga selesai urusannya. Tanpa kata, Xavier tau apa yang ingin gadis itu lakukan. Di mana setelahnya, hari-hari Xavier secara berkala berkunjung pada flat yang gadis itu tinggali. Sekadar memakan makan siang yang disajikan atau secangkir kopi yang disuguhkan oleh sang gadis.

"Ah." satu desahan lolos dari bibir Bellamie saat kecupan basah ia rasakan menyasar pada tengkuk Bellamie. Rambut panjangnya sudah terkumpul menjadi satu di sisi kanannya. Desahan itu membuar Xavier mulai sedikit menyingkirkan bayang masa lalunya di saat perkenalan pertamanya dengan sang wanita.

Tak ada yang berubah, sama sekali tak ada di mata Xavier. Wanita ini tetap wanita yang sangat ia cintai sejak awal. Segala hal dalam pertemuan pertamanya dulu sangat terkesan di hatinya. Apalagi ... sorot mata yang kini mulai berkabut dibakar gairāh. Punggung Xavier sedikit merasakan tajamnya kuku yang Belllamie punya saat ia bukan lagi melayangkan kecupan basah. Tapi menciptakan satu noda kemerahan yang mungkin esok paginya berubah keunguan.

Xavier paling tau di mana titik lemah Bellamie yang tak mungkin ia lupa sepanjang hidupnya.

Tangan yang ia gunakan untuk menahan Bellamie untuk tetap di posisinya, mulai meraba dengan gerak yang sangat lembut. Teramat lembut malah yang membuat Bellamie mendesis disertai matanya yang kini memejam. Kepalanya mendongak sedikit yang mana justeru membuat Xavier makin bersemangat. Leher istrinya yang jenjang serta sangat menggiurkan untuk disapa ujung ligah Xavier, maka itu yang dilakukannya sekarang. Sesekali ia gigit lembut di sana yang segera mendapatkan respon tak kalah menciptakan suara-suara erotis yang sangat syahdu diterima pendengaran Xavier.

Ia rindu wanitanya tunduk akan semua sentuuhan yang bisa diberikan.

Kembali jemari Xavier mulai meraba bagian pinggang kanan sang istri yang terasa lembut dan halus. Sampai pada satu gundukan kenyal yang masih tertutup pakaian tidur tipisnya. Sesekali kedua dada Bellamie memang bertubrukan dengan dada Xavier di saat sang istri menggeram tertahan karena isapan yang Xavier lakukan di sekitar bahu serta tengkuk Bellamie.

"Aku merindukan milikmu, Rose," lirih Xavier di mana tangannya sudah persis menangkup payudarā istrinya. Memijatnya lembut sementara tangan satunya masih ia gunakan untuk menahan pinggang Bellamie. Mereka masih dalam posisi duduk di sofa yang menghadap jendela besar yang menawarkan keindahan malam pekat bertabur bintang.

"Oh!" Bellamie menggigit bibir bawahnya sebagai rasa yang mengamuk di sekujur tubuhnya. Sentuhan itu demikian ia dambakan selama ini. "Kau bebas melakukan apa pun, Xavier."

Seringai kecil Xavier ciptakan di sudut bibirnya. "Maka itu lah yang akan kulakukan, Rose."

Bellamie mengangguk cepat. Tangan yang semula berada di punggung Xavier, ia gunakan untuk menangkup wajah suaminya. Menenggelamkan suaminya dalam sorot mata yang sudah berkabut. Napasnya pun sedikit terengah juga sesekali matanya terpejam apalagi saat ia merasakan pijatan yang teramat lembut diterima di sana. Juga jemari yang sedikit usil di mana memainkan ujung dadanya. Membuat Bellamie beberapa kali mendesis dan menggeram tertahan.

Ia pun melabuhkan satu ciuman panjang di mana tak ada satu pun di antara mereka yang mau mengalah. saling menyesap. Melumat pelan disertai dengan isapan lembut. Belum lagi terkadang saking tak tahannya Bellamie akan rasa yang terus membakar tubuhnya, ia gigit pelan belah bibir suaminya. Yang mana hal itu membuar Xavier makin menegakkan punggungnya mengimbangi gerak Bellamie yang semakin liar.

Pinggul istrinya sudah tak tau lagi berapa kali menggesek pangkal pahanya. Xavier bukan tak menyukainya, kalau boleh ia katakan, ia sangat menyukai apa yang Bellamie lakukan di atasnya. Ciuman yang semula lembut itu makin memanas seiring dengan tangan Xavier yang kini menggerayangi punggung Bellamie. Walau masih terhalang kain tipis lembut itu, tetap saja rasa yang diberikan akibat sentuhan yang Xavier lakukan membuat Bellamie menggila.

"Kau menyukainya?"

"Apa ..." Bellamie memejam sesaat. Mengambil pasok udara sebanyak mungkin karena kegiatan di atas Xavier ini sungguh membuat kerja paru-paru dan jantungnya ekstra terpacu. "Apa harus kau tanyakan?" tanya Bellamie dengan terengah. Dahinya cukup lembab karena peluuh mulai timbul di sana. Di mana membuat Xavier justeru semakin bersemangat.

"Aku belum memulai bagian yang menyenangkan, Rose."

"Maka lakukanlah." Mereka kembali saling menenggelamkan diri di antara tatapan yang sangat dipenuhi cinta itu. Jemari Xavier menghentikan geraknya. Ia gunakan untuk merapikan rambut Bellamie yang cukup berantakan jatuh mengganggu di sisi wajahnya. Pipinya yang merona karena dibakar hasrat, Xavier sentuh dengan segenap hati. Dibawanya pelan kepala istrinya mendekat. Satu kecupan mesra ia berikan di keningnya. Lalu turun pada kedua mata yang Bellamie pejamkan. Ujung hidung mancung istrinya pun tak luput ia sasar dan beri satu kecupan singkat. Agak lama ia tatap belah bibir yang sedikit membengkak karena ulahnya.

"Aku mencintaimu, Rose. Tak peduli apa pun yang sudah terjadi apalagi mengenai fisik yang sejak tadi kau keluhkan. Aku sungguh tak peduli."

Senyum istrinya terukir pelan di mana buncah bahagia Bellamie rasa sangat besar dan memenuhi relung hatinya. Bahkan ia merasa sesak karena terlalu banyak rasa yang Xavier beri padanya. "Aku juga mencintaimu, Xavier."

Perlahan, tangan Xavier meloloskan pakaian yang masih Bellamie kenakan. Di mana sekarang menampilkan tubuh istrinya tanpa sehelai benang pun. Sama seperti saat pertama kali Xavier melakukan dan melihat Bellamie yang dulu beberapa kali menutup bagian tubuhnya karena malu. Selalu menarik dan membuat Xavier tak bisa memikirkan hal lain selain dirinya juga Bellamie. Hanya Bellamie.

Matanya turun menatap seluruh permukaan tubuh atas istrinya dengan lekat. Ada beberapa gores luka yang sudah mulai membaik dan Xavier bersumpah, tak akan pernah melibatkan Bellamie atas pertarungannya lagi. Diusapnya pelan luka yang ada di pangkal lengannya. "Maafkan aku," lirihnya di mana membuat kening Bellamie berkerut.

"Untuk?"

"Atas segala luka, kesedihan, kekacauan, dan penderitan yang pernah kau rasakan, Rose. Aku paling besar andilnya di sini membuat kalian menderita."

"Tapi keadaan sekarang sudah jauh lebih baik, kan?"

Tanpa ragu Xavie mengangguk.

"Maka kita jalani hidup ini dengan damai. Menebus banyak waktu yang terbuang. Bukan hanya kau yang berbuat salah, aku pun sama. Terutama pada Gala."

"Kau benar," Diselipkan rambut Bellamie di cuping telinganya. "Kita akan hidup tenang dan memulainya kembali dari awal."

Senyum Bellamie makin merekah lebar. Mengangguk pelan sebagai jawabannya. Dikalungkannya pelan kedua tangan Bellamie pada leher Xavier. "Apa kita akan terus bicara sampai pagi menjelang?"

"Mungkin." Alis Xavier sedikit terangkat begitu tau Bellamie memggerakkan pinggulnya dengan amat pelan. Yang mana gerak itu justeru mengantarkan rasa yang lebih dari sekadar menggairahkan. Kernyitan di kening Xavier semakin membuat Bellamie bersemangat.

"Kau ... menyukainya?"

"Lebih suka lagi kalau aku berada di dalammu, Rose."

Bellamie terkekeh. Matanya mengerling nakal ke arah Xavier yang terlihat sedikit menggeram karena geraknya ini. "Aku tak pernah melarangmu untuk berada di dalamku, kan?"

Kata-kata itu serupa sihir yang mengafirmasi Xavier untuk segera bangkit. Membopong tubuh Bellamie yang sudah seperti kanguru yang menempelinya. Bergelayut mesra diiring pekikan kecil saat Xavier sedikit mengempaskannya di ranjang empuk yang sudah mereka tiduri beberapa hari belakangan ini. Tubuh mereka masih melekat satu sama lain. Bisa Bellamie saksikan sendiri dadanya turun naik karena menahan banyak hal yang berpusing di kepalanya. Juga ... denyut yang makin mendamba untuk disentuh yang mana Bellamie tau, pasti akan ia rasakan dan menakjubkan di bawah kendali seorang Dimitry Darrel Xavier yang menjadi suaminya.

"Kau cantik. Sudah kah kau dengar pujianku hari ini?"

"Belum. Dan kau baru mengatakannya."

Xavier terkekeh. "Kau selalu cantik di mataku, Rose. Sangat cantik."

"Kau jarang sekali mengatakannya," dengkus Bellamie tak suka. Jemarinya ia gunakan untuk menyusuri wajah sang suami yang selalu memenuhi ruang tersendiri di hatinya. "Padahal kau sering sekali mendengar pujian dariku."

"Aku menyadari beberapa hal yang menjadi kurangku, Rose." Dibawanya tangan itu dalam genggamannya. Dilabuhkan satu kecup masih di sana. "Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk banyak bicara denganmu. Mengatakan perasaanku padaku sampai rasanya kau akan bosan."

"Tidak akan." Bellamie menggeleng cepat. "Aku justeru ingin mendengar setiap hari."

"Baiklah. Akan aku penuhi," bisik Xavier teramat lembut. Juga satu tiupan yang membuat Bellamie memejam kuat saat embus itu menyapa tengkuknya. Dicengkeramnya kuat sprey yang melapisi ranjang mereka sekadar untuk Bellamie berpegangan karena sungguh, Xavier benar-benar membuatnya kacau.

Belum lagi sepertinya suaminya mulai membalas apa yang ia lakukan tadi. Pinggulnya bergerak menggesekkan sesuatu yang sudah sangat tegang di sana. Di mana Bellamie bisa merasakan bagaimana kalau apa yang Xavier miliki, memenuhi dirinya dengan sempurna. Tindakan Xavier ini membuat Bellamie mendesis kuat. Beberapa kali kepalanya menggeleng saking tak tahan dengan perlakukan Xavier. belum lagi ketika mulut Xavier mengulum tepat di atas ujung dadanya. Bergantian. Di mana yang satunya ia rasakan lemasan yang sangat lembut. Pijatan yang sangat sensual yang menciptakan harmoni tersendiri di tengah hasrat yang Bellamie rasakan.

"Xavier," lirihnya.

"Kenapa, Rose?" Xavier seolah mempermainkannya. Padahal pria itu tau kalau istrinya sudah bergerak gelisah mencari hal yang sangat ingin ia rasakan. Bukan hanya Bellamie, tapi Xavier pun sama. Namun untuk satu hal ini, ia masih bisa bersabar karena sungguh, ia merindukan setiap inchi lekuk tubuh istrinya. Semua yang pernah ia rasakan kini ada di bawahnya. Betapa waktu membuat mereka sangat berjarak dan hampir saja, tiap kali Xavier ingat mengenai pertarungan itu, akan ada satu celah di mana bisa memisahkan mereka.

Walau nyatanya ... waktu Xavier tak akan lama lagi. tapi setidaknya, ia akan berikan banyak kenangan indah untuk Bellamie. Apa pun yang ia inginkan, maka Xavier kabulkan. Apa pun itu.

Termasuk ...

"Ya Tuhan!"

"Apa ... menyakitkan?" tanya Xavier buru-buru. Ia lupa memberi tahu kalau dirinya sudah siap untuk memasuki Bellamie. Wajahnya terlihat khawatir menatap Bellamie yang masih terpejam. Bibir bawah istrinya digigit kuat di mana malah membuat Xavier makin bersalah. Segera saja ia memilih untuk mencabut dan mengakhiri pergumulan mereka.

"Kenapa kau cabut!!!"

Xavier mengerjap. "Kau ... sakit?"

"Kapan aku bilang sakit? Astaga!"

Xavier terkekeh. "Aku pikir kau merasa tak nyaman atau sakit."

"Aku akan mengatakannya jika merasakan hal itu, Xavier."

Senyum Xavier terkembang lebar. "Jadi ... kita lanjutkan lagi?"

"Ya-ya-ya."

***

Bellamie membuka matanya karena ia merasa silau yang sangat mengganggu mulai mengusik. Yang ia ingat dan rasakan, tubuhnya agak sedikit nyeri di beberapa bagian. Belum lagi ia merasa cukup lelah karena ... ah, ia ingat bagaimana semalam dihabiskan bersama Xavier. Seperti dua orang yang dimabuk asmara dan juga gejolak gairahnya tak tertahankan, keduanya terus melakukan pergumulan di mana saling meneriaki nama masing-masing dan memenuhi ruangan ini dengan banyak desah juga geraman tertahan. Sampai rasanya, tulang-tulang Bellamie terasa lepas dari engselnya.

Namun lepas dari semua itu, ia merasakan kebahagiaan yang sangat tinggi. Naik berkali-kali lipat ketimbang ia mengetahui kalau anak dan suaminya masih hidup dan sekarang bisa berkumpul bersama. Apa pun kondisi yang tengah mereka hadapi, setidaknya bukan dalam kondisis peperangan yang membuat kerja jantung Bellamie tak sehat. Belum lagi hidup tak pasti di bawah bayang ketakutan sert ancaman yang bisa menghilangnya nyawa.

Tidak. Bellamie tak ingin merasakan hidup seperti itu lagi. Ia sudah sangat bahagia seperti ini.

Saat ia menoleh dan meraba pada sisi kanannya, di mana ia ingat kalau jatuh tertidur pada pelukan Xavier yang hangat, ia tak menemui suaminya. Cepat, ia menyibak selimut dan mulai memunguti pakaiannya. Diliriknya jam yang ada di dinding ruangan yang cukup luas ini, sudah menunjuk pukul sepuluh. Kernyitan juga akhirnya kekehan lolos dari bibir Bellamie. Ternyata sudah sesiang ini. Belum juga ia memakai semua pakaiannya, pintu kamar itu terbuka yang mana membuat dirinya sangat terkejut. Yang bisa ia lakukan adalah berbalik menyembunyikan tubuhnya yang masih belum sepenuhnya tertutup pakaian.

"Kau sudah bangun?"

Bellamie menghela napas lega tapi juga kesal. "Kau tidak mengetuk pintu terlebih dahulu," rajuknya. Ia pun berbalik dan mulai mengenakan pakaian tidurnya lagi.

"Aku pikir kau masih tertidur, Rose." Xavier yang sejak tadi melihat bagaimana punggung mulus itu tercetak sempurna dengan lekuk tubuh yang indah, tak ia alihkan ke mana-mana selain memperhatikan pakaian yang ia lucuti semalam dikenakan oleh sang empunya. Trolley berisi makanan sudah ia singkirkan ke sudut ruangan. Langkahnya terus mendekat pada istrinya yang sepertinya belum menyadari kalau sang suami kini berdiri beberapa langkah di belakangnya.

"Aku belum pernah bertanya padamu, kan?" Xavier memerangkap tubuh sang di mana kedua tangannya menahan pinggul Bellamie. Menghidu aroma istrinya yang selalu ia ingat dan rindukan.

"Soal?" Gerak tangan Bellamie terhenti begitu saja saat punggungnya membentur pelan dada Xavier. Merasakan detak jantungnya yang bertalu cukup kuat di sana. Luka operasinya masih terlihat nyata apalagi saat ia menyusuri bekas itu dengan perlahan. Saat suaminya tepat berada di atasnya. Membuat Bellamie tak henti-hentinya bersyukur masih diberi kesempatan untuk ada di sisi Xavier.

"Rumah."

"Rumah? Kenapa rumah?" tanya Bellamie penasaran. Kali ini ia sudah berhadapan dengan Xavier yang menatapnya dengan penuh damba.

"Aku memiliki beberapa property di Metro Selatan. Nanti kalau keadaan sudah memungkinkan kita untuk ke sana, akan aku tunjukkan. Kau tinggal pilih mau menghabiskan waktu bersamaku di mana."

Mata Bellamie mengerjap pelan. "Benar, kah?"

"Bahkan di Metro Utara juga ada. Tapi kurasa lebih menyenangkan di Metro Selatan."

Senyum di wajah Bellamie kian lebar. "Aku tak sabar menanti hari itu tiba. Tapi aku ingin memastikan kalau Gala baik-baik saja."

"Itu pasti, Rose. Karena bagiku, kalian berdua sangat lah penting. ah, kurasa aku harus mengatakan kalian bertiga. Bersama Cathleen."

"Kau benar." Bellamie mengusap pelipis kanan Xavier lembut. "Gadis itu harus ada di tengah kita. Aku menyukainya."

"Aku yakin kau pasti menyukainya, Rose."

Istrinya mengangguk dengan banyak harapan di mana ia pun ingin segera bertemu dengan Cathleen. Agar gadis itu tersadar dengan segera dan bisa menghapus jejak kegelisahan di wajah putranya.

"Aku mencintaimu, Rose."

Untuk ungkapan kali ini, Bellamie tertawa cukup keras. "Jangan bilang kau menginginkan aku lagi?"

"Tidak boleh memangnya?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro