Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DICE. 97


Napas Gala terengah di mana ia berdiri agak kesulitan setelah tendangan yang diarahkan Gideon tepat mengenai lambungnya. Punggungnya pun menghantam salah satu bebatuan yang cukup membuatnya merasa ngilu. Juga tangannya yang terkena ujung tombak saat ia menghadang ketika Gideon melucuti pedangnya. Luka itu cukup menganga lebar juga karena kondisi gurun yang makin terik juga berpasir, membuat luka itu seperti membakar lengannya dengan kuat. Belum lagi beberapa bagian tubuhnya yang mulai merasa nyeri di beberapa titik.

Tak ubahnya seperti keadaan Gala, Gideon pun terengah sembari meremas ujung jubahnya. Dalam sekali tarik, jubah itu terbuka dan membuatnya hanya mengenakan kemeja putih yang sudah tak terlihat bersih. Banyak cipratan darah di sana juga pasir yang menempel di sana. Juga beberapa sobekan jelas terlihat dan ia dapatkan karena bocah itu sungguh tak pernah main-main melesakkan senjata ke arahnya. Ia belum pernah melihat pedang itu tapi sepertinya cukup berbahaya karena setiap kali Gideon mencoba mematahkan serangan Gala, justeru ia sedikit terhuyung seperti pedang itu dialiri listrik.

Sama seperti cambuknya yang sudah dibuat tak lagi bisa berfungsi oleh Gala. Anak ini benar-benar tak bisa diremehkan begitu saja. Tak ubahnya seperti sang ayah yang cukup membuatnya kesal, ternyata anaknya pun sama. Bahkan lebih menyebalkan dan terlihat sekali kalau Gala ini memiliki sikap yang sombong menurutnya.

"Kau masih sanggup berdiri, Gala?" Gideon berdecih kuat. Ia meludah kuat di mana sebenarnya ada perih yang cukup mengganggunya. Rahangnya ia gerakkan pelan di mana ada nyeri yang cukup hebat di sana. Ia ingat, sebelum menendang bocah itu sampai tersungkur, satu bogem mentah memang sudah menyapanya terlebih dahulu. Sial sekali. Padahal ia sudah memperhitungkan kalau tangan Gala yang sibuk dengan dua pedangnya, tak akan bisa melesakkan tinju ke mana-mana.

Gideon lupa kalau Gala ternyata taktis sekali dalam bergerak. Kendati demikian, pukulan yang wajahnya terima bisa cepat ia balas dan ia cukup puas dengan hasilnya. Gala masih terlihat meringis dan mencoba bangkit. Kondisi mereka hampir sama. Banyak luka juga goresan di mana darah mulai mengering tapi belum ada satu pun yang berniat untuk menyudahi pertarungan ini.

"Bukan kah pertanyaan itu harusnya ditujukan untukmu, Gideon?" Gala menyeringai dengan sorot mata yang kembali tajam. Pedang yang semula ia jadikan tumpuan berdiri, ia acungkan dengan lurus dan sedikit rendah. Walau kakinya gemetar menahan sakit karena beberapa kali tombak Gideon menyasar ke sana dan memberi pukulan dengan telaknya, tapi Gala tetap tak menggubris terlalu banyak.

Ia tak boleh kalah.

Dadu di dekatnya masih melayang pelan di mana Gala tak banyak melakukan permintaan apalagi sampai mengeluarkan senjata dari sana. Ia yakin, Gideon akan menyadari begitu dadu itu tak seperti biasanya. Bahkan Gala mulai khawatir kalau-kalau Gideon menyadari dadunya tak lagi sama. Walau cukup berbeda dari versi yang Gala tau, dadu tetap lah dadu. Di mana kalau sampai ia berada di tangan yang salah, maka kehancuran akan tercipta di dekatnya. Maka Gala tetap mempertahankan dirinya agar dadu tetap di dekatnya. Tak masalah kalau sampai dirinya terluka parah.

Asal ... Gideon bisa diringkus dengan cepat tapi sepertinya kekuatan mereka sama.

Gala harus segera mencari akal bagaimana melumpuhkan Gideon. "Dice," panggilnya pelan. Sejak ia memerintahkan Dice menghubungi ayahnya, Gala memang memutuskan untuk fokus melawan Gideon saja. "Pindai kekuatan Gideon dan titik lemahnya. Sepertinya semua seranganku bisa dimentahkan begitu saja."

Dice terkekeh pelan. "Sebenarnya titik kelemahan dari Gideon adalah kakinya namun sepertinya pria itu mengenakan pelapis di mana Anda sukar untuk menembusnya."

"Selain itu?" Gala berdecak pelan di mana matanya masih terfokus pada Gideon. Ia bisa melihat Gideon melangkah mendekat dengan tertatih tapi matanya menghunus tajam seolah siap sekali menerkam Gala. Tak peduli keadaannya seperti apa pun sama seperti Gala yang juga mulai bergerak. Ia tak peduli kalau semua bagian tubuhnya hampir copot dari engselnya. Ia paksa kembali untuk bergerak.

"Dice?" panggil Gala pelan.

"Aku ... aku sudah tak bisa mengakses dadu, Tuan."

DUAK!!!

Satu hantaman telak mengenai bahu Gala ketika pemuda itu benar-benar kehilangan konsentrasinya mendengar suara Dice yang putus asa. Matanya nanar menatap sekitar di mana ia melihat birunya langit tapi teriknya yang segera saja membuatnya memicingkan mata. Lalu ia teringat kalau barusan tombak yang Gideon pakai untuk melawannya, mengenai bahunya. Saat matanya terbuka, jelas sekali ia lihat kalau ujung trisula itu mengarah tepat ke lehernya.

Cepat, ia menahan dengan tangannya. Pedang yang tadi ia genggam terlempar jauh di mana kilaunya bisa terlihat karena pantuan matahari. Sukar ia jangkau di mana membuat Gala tersengat kuat oleh aliran listrik mengaliri pada tombak yang makin mendesaknya.

"Hari ini sudah cukup kau berbuat ulah, Gala. Kekalahanmu di depan mata!" Ujung tombak itu makin ia lesakkan pada pemuda yang sangat ingin ia habisi nyawanya sekarang. Apalagi melihatnya ada di bawah tepat di ujung senjatanya. Tak berdaya untuk membalik serangannya.

Dadu yang berpendar jingga itu sejak tadi memang Gideon amati karena Gala tak biasanya membiarkan benda itu hanya bergerak mengitarinya. Hanya sekali ia gunakan itu pun kalau Gideon tak salah mengingat, simbol-simbol tua itu pernah ia lihat di salah satu buku kuno. Belum lagi cahaya putih yang mengitari Gala walau pemuda itu terlindungi tapi tetap saja ada yang aneh dengan pergerakan dadunya.

Ia terus mendesak Gala bukan tanpa alasan. Ia sembari berpikir bagaimana merebut dadu yang terlihat di matanya pun berbeda. Dunia cermin yang tadi ia masuki bersama Xavier sepertinya memberi dampak yang cukup signifikan. Tapi apa? Gideon belum menemukan jawabannya. Kembali ia memfokuskan diri untuk mendesak Gala yang terlihat terus berupaya menahan dan melolokan diri darinya. Tapi tak akan Gideon biarkan karena kesempatan ini sangat jarang terjadi. Ia tak melihat pergerakan lainnya karena bagi Gideon, itu semua tidak lah penting.

Kekalahan Gala adalah awal permulaan rencana besarnya nanti.

Tak peduli kalau nantinya ia dihadang Dewan Penasihat di Dunia Beku, toh mereka hanya sekumpulan orang lama yang sepertinya bagus sekali kalau Gideon mengganti dengan generasi yang lebih baru dan mendukungnya. Bekerja di bawah dan di sekitar orang-orang yang mendukungnya lebih baik ketimbang bekerja dengan arahan yang kolot dan menyebalkan. Padahal dirinya berkuasa mutlak tapi tetap saja harus mengikuti sebagian arahan mereka.

"Menyerah lah, Gala!" Ditekannya kembali trisula itu dengan kekuatan penuh. Pemuda ini benar-benar tangguh dan tak bisa dianggap sepele.

Gideon cukup terkejut ketika pendar cahaya jingga itu benar-benar memudar dan mulai menunjukkan cahaya biru. Perlahan cahaya itu makin kuat dan membuar Gideon kehilangan fokusnya. Hal ini dimanfaatkan Gala dengan menyingkirkan tombak itu dengan segera. Hal itu segera saja membuat Gideon murka dan kembali mendesak Gala yang cepat sekali mengambil pedang yang terlempar tadi. Menggunakan pedang itu, ia menahan gerak Gideon dengan kuatnya. Tenaganya seperti habis terkuras tapi bukan hanya Gala, Gideon juga. Pemuda berambut hitam itu bisa melihatnya dengan jelas kalau masing-masing dari mereka pun terkuras tenaganya karena duel sengit mereka ini.

Megumpulkan sisa tenaga yang ada, Gala menepis dan membuat tombak itu terlempar dari tangan Gideon. Pria itu terperanjat kaget tapi matanya bukan lagi tertuju pada Gala. Mendadak hal itu membuat Gala khawatir.

"Dice," panggilnya pelan.

Tak ada jawaban.

"Dice!" Gala mulai ketakutan di mana ia pun mulai mengikuti arah pandang Gideon di mana tertuju pada dadu yang baru ia sadari kalau sudah tak berputar di dekatnya. Cahayanya pun bukan lagi jingga melainkan kebiruan. Gala segera bangkit di mana Gideon pun melakukan hal yang sama. Gala melirik pada Gideon yang cepat sekali bergerak. Ia pun menggunakan bahunya untuk menjegal gerak Gideon.

Hal ini membuat pria bertubuh kekar itu menggeram kesal. Matanya melotot marah ke arah Gala yang kini mulai melesakkan tinjunya. Gideon pun membalas tak kalah kuat dan dialiri amarah. Seharusnya sedikit lagi dadu itu ada di tangannya tapi karena Gala, kembali usaha itu digagalkan. Sial sekali!

Mereka bergumul di pasir dengan sesekali terdengar erangan sakit juga hantaman tinju yang mengenai tulang. Belum lagi sorot mata yang terlihat tak akan melepaskan satu sama lain karena duel dengan tangan kosong ini sangat memacu adrenalin mereka. Kendati demikian, Gideon terus mengingat dadu yang berubah warnanya menjadi biru.

Itu ... warna dasar dadu sebelum ia serahkan pada Xavier dulu sekali.

Ia pun tak mengerti mengapa seiring berjalannya waktu, dadu itu mulai kehilangan pendar birunya. Berganti dengan jingga yang menyilaukan namun tersimpan banyak sekali kekuatan dan semangat yang tak pernah redup. Biru adalah lambang kedamaian dan ketenangan di mana dadu itu dibuat untuk menciptakan hal itu sebenarnya. Namun keinginan Gideon juga memiliki alasan tersendiri walau tadinya sedikit yang menentang tapi yang paling serius menyuarakan ketidak sukaannya adalah Xavier. Dukungan pun berdatangan untuk pria yang dijuluki Horratio itu.

Dan sekarang, kenapa dadu itu berubah?

Apa ...

Gideon berbisik lirih sekali di mana wajahnya baru saja terkena pukula dari Gala. "Alexis Gideon Langham."

Dadu itu pun ... meluncur padanya.

Sontak hal ini membuat Gala terkejut luar biasa. Matanya terbeliak hampir lompat dari cangkangnya. Ia tarik Gideon agar menjauh dari arah datangnya dadu namun justeru tubuh Gala yang terlempar jauh. Punggungnya kembali merasakan nyeri yang amat karena menghantam bebatuan yang jauh lebih besar ketimbang sebelumnya. Kilat bahagia serta penuh kemenangan bisa terlihat dalam sorot mata Gideon.

Satu hal yang membuar Gala berpikir cepat. Tak peduli betapa sakit punggungnya, ia menekan telinganya di mana earbud tak pernah lepas dari sana. "Dice!" panggil Gala. Tak ada jawaban di mana membuar jantung Gala bertalu kuat.

"Dice! Ya Tuhan! Jawab aku!"

Satu tarikan pada tangannya membuat Gala berjengit kaget. Ia sudah bersiap menerima satu pukulan dari Gideon tapi ternyata yang datang membangunkannya bukan sang penguasa. Melainkan ayahnya. Segera saja ia memeluk sang ayah cukup erat.

Xavier yang segera menemukan Gala dalam keadaan cukup menggenaskan sudah bersiap untuk menyerang Gideon namun saat ia melihat dadu itu melayang di sekitar sang penguasa, Xavier tau sudah cukup terlambat untuk mendesak Gideon agar menyerah. Pendar biru itu makin kuat.

"Bagaimana bisa?"

"Sepertinya ada kerusakan system saat berada di dunia cermin." Xavier sangat menyesal mengenai taktik yang ia pakai.

"Dice bilang kau bisa menemukan dan mengembalikan. Karena ada satu kode akses yang harus Dice susupi agar dadu kembali?"

Xavier menatap putranya penuh lekat. "Akses?"

"Oh, ayo lah!" desak Gala tak sabar. "Aku yakin kau tau, Ayah. Ini situasi sangat urgent. Kalau sampai dadu itu digunakan oleh Gideon maka habis lah kita."

Sang Horratio tau kekhawatiran apa yang melanda anaknya. Bukan hanya Gala yang merasakan takut, bukan karena kematian. Andai mereka mati di sini untuk melindungi orang lain yang sepatutnya mereka lindungi pun, tak masalah. Hanya agar kedamaian segera tercipta tapi ...

Sementara di seberang sana, Gideon mengerjap tak percaya. Disentuhnya perlahan benda yang berputar itu. "Kau kembali akhirnya." Ia pun terkekeh dan menyeringai puas. "Kau lihat!!!" Ia pun berteriak dengan lantangnya di mana hampir semua mata tertuju pada Gideon yang kini mengangkat dadu itu tinggi-tinggi.

Seth yang masih berusaha untuk melumpuhkan pasukan Gideon, menghentikan serangannya. Matanya terbeliak kaget dan tak percaya atas apa yang ia lihat. Begitu juga Maverick dan Russel. Mereka tak menyangka kalau Gideon medapati keinginannya.

"Tangkap dan bawa semua pengkhianat itu ke sini!!!!"

Tak ada yang bisa melawan perintah Gideon sekarang. Bahkan saat Gala mencoba melawan, dengan mudahnya serangan itu dipatahkan oleh pasukan elite Gideon. Mungkin karena tenaga yang Gala miliki pun sudah habis terkuras juga banyaknya senjata yang kini mengarah padanya. Di mana ia tak memiliki perlindungan apa-apa.

Maverick berdecak kesal saat dirinya ditodong dan dipaksa berjalan cepat menuju tempat Gideon berdiri. Sama halnya dengan Seth yang menggeram kesal karena mereka semua dibuat bertekuk lutut. Bersamaan. Satu demi satu mereka saling menatap dan berdecih pelan.

"Kau ...kacau, Bocah Menyebalkan," bisik Maverick yang memosisikan dirinya di samping Gala.

"Bicara lah dengan cermin, Tuan. Kau lebih kacau lagi." Sebenarnya Gala tak ingin berseloroh tapi melihat Maverick juga Seth ada di dekatnya tanpa kurang apa pun, walau banyak luka yang mereka derita, setidaknya Gala masih bisa melihat mereka semua ada di dekatnya.

Hanya ...

"Di mana Tuan Alex?"

"Di saat seperti ini lebih baik kau khawatirkan nyawamu, Nak," peringat Seth yang disambut kekehan remeh dari Maverick.

"Aku harus berterima kasih, Papa Seth. Setidaknya dia yang mengeluarkan ibuku dari kurungan sialan itu."

"DIAM KALIAN SEMUA!!!" Gideon terteriak dengan mata yang melotot tak suka. "Oh, seharusnya aku biarkan kalian bicara karena detik selanjutnya, kalian akan bertemu kembali di neraka."

Maverick meludah kuat di mana satu pukulan telak ia terima tepat di tengkuk. Membuatnya tersungkur kuat tapi bukannya kesakitan, Maverick malah tertawa kuat. Dalam satu tarikan, tubuhnya diangkat oleh pasukan Gidoen. Tangan mereka sudah terikat dengan rantai khusus yang tak mudah dibuka.

"Siapa yang lebih dulu merasakan kemarahanku?" tanya Gideon pelan. Suaranya terdengar menyeramkan serta penuh penekanan di sana.

Gala tak peduli apa yang Gideon lalukan. Ia terus berupaya memanggil Dice dan sesekali menoleh ke arah ayahnya yang menunduk. Matanya terlihat sendu. Ada apa?

"Dice?"

"Ya, Tuan. Maafkan aku. Aku harus memasukkan kunci aksesnya."

"Ya Tuhan! Kupikir aku tak lagi mendengarmu!" Gala menghela napas penuh lega. Matanya awas mengawasi Gideon yang masih bicara ini dan itu. "Apa yang terjadi?"

"Aku sudah diberikan izin untuk memasukkan kode akses oleh Tuan Xavier."

"Kode? Bagus kalau begitu." Gala menatap penuh minat pada dadu. Berbisik sangat lirih, "Return." Tak ada pergerakan. Kening Gala berkerut tapi ia mencoba kembali. "Return." Sama sekali tak bergerak mendekat padanya dadu yang berpendar biru itu. "Kenapa tak berfungsi, Dice?"

"Kode itu bukan untuk mengembalikan dadu pada Anda, Tuan."

Mata Gala mengerjap pelan. "Maksudnya?"

"Kode yang aku masukkan untuk memusnahkan. Tinggal membutuhkan satu akses lagi dari Anda. Aku sudah pernah memberitahu kata kuncinya, Tuan."

"Aku tak mengerti maksudmu, Dice."

"Hanya aku yang bisa membuat Gideon kalah, Tuan. Kalau sampai ia memutar dadu ke udara dan mengambil kesempatan untuk mengeluarkan banyak senjata dari dalamnya, kita sudah tak memiliki kesempatan untuk mengalahkannya."

"Ta-tapi itu penuh risiko, Dice."

"Aku tau, Tuan."

"Tidak!" Gala menggeleng kuat. "Aku tak akan memberikannya!"

"Jangan sampai kau sia-siakan kesempatan ini, Tuan."

"Tapi artinya aku ... aku ... Ya Tuhan!!!"

"Tuan, bisa segera? Kau bisa lihat Gideon mulai menggunakan dadunya."

Gala menatap satu demi satu pria yang ada di dekatnya terutama sang ayah. Di mana netra ayahnya sudah menatapnya dengan perasaan yang berkecamuk hebat. Lalu ... pada Seth yang kini tersenyum. "Aku ..."

"Lakukan, Gala. Lakukan." Seth menggumamkan kata-kata yang Gala tau sekali apa yang ia ucapkan. "Katakan padanya, aku menyanyanginya, Gala."

Mata Gala berkaca-kaca dan dalam sekali kedip, air mata itu tumpah.

"Tuan, bergegas lah."

Di sana, Gideon mulai meraih dadu itu di mana Gala bisa melihat dengan gerak yang sangat lambat. Dice keluar dari dadu itu dan melayang pelan. tersenyum ke arahnya juga pada Seth. Bibir gadis itu bergerak pelan. "Aku mencintaimu, Papa."

"Tidak, Cathleen! Kita masih punya acara."

"Tidak ada, Gala. tidak ada." Bukan suara Dice yang membuatnya menoleh melainkan ayahnya. "Aku sudah mencoba berbagai cara untuk membuat dadu itu kembali. Sepertinya saat tadi dadu itu bersentuhan dengan Gideon, di mana pertahanannya melemah, ia memprogram sistemnya sendiri dan mengembalikannya pada setelan semula. Di mana Gideon adalah pemiliknya."

Gala menggeleng kuat.

"Aku ... tepat ada di hatimu, Tuan. Tak akan pergi ke mana-mana. Kumohon ... lakukan lah."

Bahu Gala terkulai lemah. "Dice ..."

Gideon melempar dadu itu ke udara di mana ia sangat menunggu moment ini datang dalam hidupnya ratusan tahun lalu. Seharusnya ia tak pernah menyerahkan dadu ini pada Xavier.

"Aku ... Ya Tuhan, Cathleen! Aku tak ingin kehilanganmu."

"AKu tak pergi ke mana-mana. Sungguh."

"Aku mencintaimu. Sungguh. Aku cinta kau, Cathleen. Kembali padaku. Mari kita selesaikan."

"Aku mencintaimu, Tuan. Sangat."

"Maka kembalilah!"

Dice menggeleng. "Sekarang, Tuan. Kumohon," pelasnya.

Gala menangis, berteriak kuat di mana ia merasa ada satu pukulan yang mengarah padanya.

"PROXIMARRY GALAKSI HAIDAR!!!"

Napasnya menderu kuat lalu kembali ia berkata lantangnya. "KEMBALI, CATHLEEN!!! KEMBALI!!!

Dadu itu ... mengeluarkan cahaya yang sangat kuat. Lalu ... lenyap.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro