DICE. 93
"Tidak ada orang lain yang akan merecoki pertarungan kali ini, Gideon." Xavier berkata tepat di atas kereta yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Landscape kota Metro Selatan seolah berada di bawah kakinya. Pun posisi matahari yang terbalik membuat ia harus segera membiasakan diri. Dadu membawa mereka dalam dunia cermin di mana semua posisi dan tata letak serta apa pun benda yang bergerak di dunia yang seharusnya, justeru berlawanan arah.
Xavier pernah sekali memasuki dunia ini untuk menemui Cathleen sebelum dirinya jatuh tak sadarkan diri di mana menurut Kyler gadis itu seharusnya sudah meninggal. Namun entah apa yang menahannya sampai terpejam hampir tiga tahun lamanya itu. Ia harus segera mencari jawabannya di masa lalu yang hanya bisa ia masuki melalui dunia seperti ini. Ditambah waktunya yang sangat singkat. Untuk itu lah sebelum Xavier memasuki dunia cermin ini, ia harus benar-benar menghapal pada bagian mana dirinya akan melewati dan bertemu dengan Cathleen kala usianya 17 tahun kurang lebih.
Seorang kakek tua dengan penampilan yang cukup eksentrik di mata Xavier justeru yang ia temui. Bukan Cathleen padahal waktunya hanya tersisa lima menit sebelum ia ditarik kembali ke laboratorium Kyler saat itu.
"Siapa Anda?" Xavier berkali-kali melirik pada arloji lamanya.
"Kau mencari Cathleen?"
Pria itu tertegun lalu mengangguk pelan sebagai jawabannya.
"Gunakan ini." Satu kotak kecil ia berikan pada Xavier di mana matanya memicing curiga. Bagaimana tidak? Kotak itu berlapis emas yang sangat berkilau belum lagi berhiaskan banyak pertama di sekitarnya. Cantik sekali dan ia yakin itu bukan kotak sembarangan.
"Cepat lah sebelum kau sangat terlambat menyelamatkannya, Xavier Horratio."
"Kau ... yang menungguku?" Xavier cukup terkejut mendapati jika pria tua berjubah serba putih ini mengetahui namanya.
"Bisa dibilang kau nyaris terlambat. Aku tak bisa menunggu terlalu lama untuk kedatanganmu mencari Cathleen."
"Bisa Anda jelaskan apa ini?" Xavier tak menghiraukan kata-kata barusan. Matanya masih ia tujukan pada kotak yang baru saja ia terima.
"Kau akan tau gunanya nanti. Jangan pernah serahkan kunci ini pada orang lain selain saatnya tiba di mana ia harus kembali." Lalu pria itu mendorong Xavier cukup keras yang mana saat itu dirinya tak siap mendapati gerak dari sang pria tua. "Dari gadis ini lah akan lahir para pemimpin besar di mana kedamaian tercipta untuk waktu yang tak terhingga. Ingat itu, Xavier. Jaga ia dengan nyawamu."
Dunia itu kembali berputar membuat Xavier merasa mual dan sakit dadanya akibat tekanan yang ia rasakan. Kepalanya pun ia merasa seperti dihantam banyak hal yang mendadak berjatuhan di dekatnya. Sesekali ia menghindar tapi tetap saja banyak yang menimpanya. Ia berusaha menggapai apa pun tapi tiap kali tangannya menyentuh, tak ada yang bisa ia jadikan pegangan. Hanya kotak itu yang ia jaga jangan sampai terlempar ke mana-mana. Tak butuh waktu lama ia jatuh bersimpuh di mana lantai yang menjadi pijakannya segera saja beraroma obat-obatan juga agak anyir.
Ia terbatuk kuat dengan mata terselubung cairan yang menganggu.
"Kau tepat waktu, Xavier." Kyler tergopoh menghampiri pria yang masih mengalami distorsi waktu. Bahkan untuk sekadar mengangkat matanya saja ia masih belum mampu. Terbayang semua hal yang baru saja ia masuki harus berputar dan terbalik.
"Kau menemukannya?" tanya Kyler lagi dan kali ini ia tak sabar.
"Entah lah. Tapi ada seseorang yang memberikanku ini." Disodorkannya pelan kotak yang baru saja ia terima namun saat Kyler akan mengambilnya, Xavier tak lantas memberikannya. "Bisa kau beri tau sebenarnya ada apa?"
"Kau melintasi masa lalu untuk mengambil bagian yang terpenting dari tubuh gadis ini. Tanpa bagian ini, aku tak bisa menyelamatkannya. Namun ada satu hal yang mesti kau tau untuk kebangkitannya."
"Ia butuh waktu yang lama menyesuaikan diri?"
"Bukan itu saja. saat akan membangkitkannya pun kau butuh tubuh yang utuh. Yang murni. Juga tanpa cacat. Sedikit pun." Kyler menekankan sekali kata-katanya. "Waktu kita terbatas. Kau akan menyerahkannya atau kita berhenti di sini?"
Xavier bangkit perlahan dan menatap gadis yang sebagian tubuhnya sudah tak lagi mengenakan pakaian. Bekas sayatan besar terliihat di bagian dadanya. "Lakukan." Ia pun menyerahkan kotak itu pada Kyler dan mulai memperhatikan segalanya berjalan. Di mana kunci kotak itu selalu ia simpan dan kotak emas berlapis mutiara itu ada pada Kyler.
Mereka menyepakati untuk membangunkan gadis ini kembali, harus ada kotak yang sama di mana bagian yang sengaja disimpan dan diamankan di dalamnya. Jantung sang gadis. Dan mereka masih harus melakukan banyak hal karena ini sama saja menentang garis takdir sang gadis namun kebangkitannya diperlukan untuk masa depan. Xavier selalu bertanya-tanya apa sebenarnya yang akan terjadi di masa depan? Walau ia bisa melihat sekilas tapi tetap saja ia tak menemukan gadis itu dalam sekelebatan masa depan.
Ia hanya bisa menyaksikan dirinya yang dikelilingi orang-orang yang ia sayangi. Terutama Bellamie juga putranya. Lalu matanya terpejam untuk selamanya di ranjang besar dengan banyak ornament megah yang ia tak tau ada di ruang mana. Sementara keberadaan gadis ini pun tak terlihat olehnya. Lantas masa depan apa yang akan terjadi di mana gadis ini awal kebangkitan kedamaian?
Mengingat akan hal itu membuat Xavier termenung sesaat dan mungkin saat itu lah Gideon tau memanfaatkan situasi. Satu peluru nyaris saja membuat Xavier limbung ke sisi kanan di mana kereta yang bergerak berlawanan arah ini melibas tubuhnya. Kembali ia berkonsentrasi untuk memenangkan pertarungan dengan Gideon yang memburu mengejarnya. Ia yang menarik Gideon ke sini dengan sengaja.
"Dice, persentajai aku dengan sangat lengkap." Xavier menyeringai kecil menatap Gideon yang terengah mengejarnya. Lompatan yang ia lakukan kali ini untuk menghindari kereta tadi, membuat jarak yang demikian lebar pada mereka berdua. Tak butuh waktu lama dari perintah itu datang, senjata otomatis yang bisa melemparkan hampir dua puluh proyektil di saat bersamaan ada di tangannya.
Di tangan Gideon, sebuah cambuk yang selalu ia bawa pun ia jadikan tameng tersendiri melawan Xavier. Mereka berdua memiliki tingkat ketangkasan yang sama besarnya mengingat masa kecil serta pengawasan mereka ada di bawah guru yang sama. Namun sepertinya, karena Xavier lebih banyak bertugas dengan aneka senjata, ia lebih unggul dari Gideon. Hanya saja, Gideon sebagai sang penguasa memang memiliki kelebihan tersendiri yang bisa membuat Xavier sedikit kelimpungan mengimbangi.
Xavier terus memberondong Gideon dengan senjatanya. Sesekali juga ia mengumpat karena cambuk yang Gideon arahkan padanya membuat pijakannya hancur. Berganti dengan tempat lain yang bergerak sama cepatnya dengan lari serta serangannya pada Gideon. Beberapa kali juga ia dengar Gideon meneriaki namanya dan kembali menepis semua yang Xavier lontarkan padanya.
"Menyerah lah, Gideon."
"Dadu itu milikku!!!" Dalam sekali sentak, cambuk itu mengeluarkan cahaya biru yang sangat terang. Di mana tepat sekali mengarah pada kaki Xavier dan membuatnya jatuh tersungkur. Senjata otomatis itu jatuh begitu saja tanpa sempat ia ambil karena pergerakan di sekitarnya yang sangat cepat. Ia berusaha melepaskan diri namun tarikan Gideon cepat sekali juga ia merasa panas menjalari tubuhnya dengan sangat cepat. apa Xavier menyerah? Tidak.
Diambilnya tali bercahaya biru itu dengan kuat di mana membuat Gideon tertarik dan terjatuh. Berusaha sekuat tenaga untuk mengambil senjata milik Gideon tadi. Cukup banyak perlawanan yang Xavier beri hingga muncul satu kesempatan di mana pukulan telaknya di perut Gideon membuat cambuk itu terlepas. Dilemparnya menjauh cambuk itu.
Xavier berdecih pelan, mengusap ujung bibirnya yang berdarah. Jangan tanya bagaimana gerak pipinya sekarang. Agak kaku juga pastinya lebam. "Tanpa senjata."
Ucapan Xavier ditanggapi dengan seringai licik dari Gideon. "Aku tak pernah takut untuk meremukkanmu, Xavier!"
Mereka kembali saling beradu. Pukulan demi pukulan Xavier layangkan juga mendapat balas yang seimbang dari Gideon. Sudah lama sekali mereka tak adu tinju bersama di mana beberapa kali Xavier mengenai wajah Gideon dengan telak. Tapi juga beberapa kali ia meringis karena hantaman tangan penguasa itu mengenai perutnya. Mereka sudah tanpa senjata di mana ketangkasan dan kekuatan mereka diadu. Gedung yang ada di sekitar mereka mulai runtuh karena hantaman serta pukulan dari mereka berdua.
Dunia cermin sangat lah rapuh juga menipu.
"Kau pikir dengan membawaku ke sini kau bisa mengalahkanku, Xavier?" Gideon menarik tangan Xavier yang hampir meraih pepohongan yang tumbang untuk berpijak dan menggapai gedung yang ada di sebelahnya. Hal itu membuat Xavier kembali jatuh tersungkur dan saat ia menoleh, satu kereta api yang demikian cepat kembali muncul. Matanya dengan cepat menatap senjata otomatis yang tadi terjatuh. Cepat, ia menendang Gideon tepat di wajah. Melompat dengan ketepatan yang sangat akurat di mana ia kembali memegang senjatanya. Berpijak pada kereta yang bergerak sangat cepat ini membuat Xavier agak limbung apalagi ia sempat merasakan kalau kakinya terkena tendangan cukup kuat dari Gideon.
Senjata itu kembali siap dipergunakan di mana saat matanya mengedar mencari sosok Gideon, pria itu ternyata ada di atasnya. Melompat dengan cepat dan kalau Xavier tak segera menghindar, mereka bisa bergumul di atas kereta yang juga sama berbahayanya. Bisa membuat mereka terjatuh ke dasar dunia cermin di mana tak akan ada yang bisa kembali. Ia berguling cepat di mana ternyata gerak itu terbaca oleh Gideon. Entah dari mana datangnya cambuk itu namun sekarang sudah kembali berada di tangan Gideon. Dalam sekali gerak, Gideon menangkap Xavier. Cambuk itu tak lagi bercahaya biru melainkan merah yang sangat terang. Lilitan pada tubuh Xavier membuat gerak pria itu sangat terbatas dan tak bisa lagi memegang senjatanya yang mana dengan seenaknya ditendang begitu saja oleh Gideon.
"Kau tak akan bisa melawanku, Xavier!!!" bisiknya pelan namun kentara sekali kepuasan di sana. Belitan pada tubuh sang Horratio makin jadi ia buat. Tapi sialnya, ia tak mendengar ringisan apa-apa yang keluar dari mulut Xavier. padahal ia ingin sekali mendengar penderitaan yang ia ciptakan untuk Xavier. Ah ... atau nanti. Sebentar lagi akan ia saksikan betapa pertunjukan sangat menyenangkan akan terjadi.
Diraihnya satu belati berlambang penguasa seluruh jagad metro dan dilemparnya dengan kekuatan penuh pada langit dunia cermin ini. keretakan besar pun terjadi dan ia mulai menemukan cahaya yang mengepulkan asap hitam. Itu lah jalan keluarnya. Ia pun meloncati banyak hal untuk menggapai sebelum dirinya tertimpa banyak reruntuhan di mana tangan satunya menahan tubuh Xavier dengan kuat. Cengkeramannya pada cambuk merah itu makin jadi karena tak akan ia biarkan Xavier ada di dalam dunia cermin.
Sebelum melempar Xavier ke salah satu dimensi, ia menginginkan babak penyiksaan atas segala amarah yang diawali dengan Xavier. Andai saja ia menuruti apa keinginannya, Gideon yakin mereka berdua adalah kolaborasi yang sangat tepat untuk mengatur seluruh metro.
"Hentikan semuanya!!!" teriaknya begitu keluar dari kepul asap yang sangat tinggi barusan.
***
Gala meringis begitu melihat luka yang ia derita. Menarik napas pelan karena belati yang mengenai bahunya cukup dalam di mana ia tau sang pelempar cukup ulung menggunakan kekuatannya. Dicabut belati itu dengan segera dan saat ia menoleh, didapati seorang wanita berjubah merah juga beberapa orang dengan senjata yang sama menatap penuh kebencian pada Gala. Tak lupa sikapnya yang waspada memperhatikan tiap gerak Gala.
Belati itu dijatuhkan pelan di sisi kiri Gala. ia pun berdecak pelan sembati menyugar rambutnya yang agak berantakan. "Menyerang ketika lawan tak berhadapan langsung?" Ia pun bergerak mendekat dengan langkah pasti. Ada sedikit gerak mundur yang Gala lihat dari pasukan yang mengelilingi sang wanita. Beberapa di antaranya segera membuat perlindungan tersendiri untuk sosok cantik dengan mata menyorotinya dengan sangat tajam itu.
"Hal itu bukan bagian dari seorang prajurit." Gala menarik pedang yang masih belum kering darah di salah satu sisinya. Pedang itu jatuh terkulai karena gerak yang sangat disengaja oleh Gala. bunyi derit yang beradu antara ujung pedang dengan tanah berpasir menimbulkan suara yang cukup membuat bulu kuduk meremang. Sepertinya bukan karena bunyi itu saja namun gestur tubuh Gala yang terlihat makin menyeramkan itu lah yang membuat nyali mereka mendadak ciut.
Mereka makin mundur perlahan di mana sosok wanita itu justeru terlihat menantang. "Kau ... pasti Galaksi Haidar?"
"Kau mengenalku, Nyonya?"
Freya berdecih lalu menyingkirkan pasukan yang melindunginya ini. berjalan pelan tanpa ada ketakutan untuk menghadapi pemuda yang merupakan anak dari Xavier. Kalau saja ia tak teringat mengenai Bellamie, mungkin ia bisa menjatuhkan kagumnya pada sosok Gala. beberapa kesamaan di wajah pemuda itu berasal dari sang ayah. Membuat Freya tak bisa menyingkirkan dengan cepat bayang Xavier. bersabar lah sebentar lagi, Freya. Ia yakin, sebentar lagi Xavier akan menjadi miliknya.
"Siapa yang tak mengenalmu sekarang?" Jemari lentik itu hampir menyentuh sisi wajah Galaksi Haidar namun kecepatan tangan yang memegang pedang tadi sudah menghentikan gerak Freya. Di mana ia merasa lehernya disapa permukaan pedang yang sangat tajam dan sedikit berkilauan terkena cahaya. Juga ada percikan darah di sana yang membuat bau anyir itu terhidu perlahan olehnya.
"Jangan pernah menyentuhku, Nyonya. Tangan Anda aku yakin sekali sudah membuat ibuku menderita. Bahkan rasanya ... sekali tebas untuk menghilangkan nyawa Anda bagiku tak jadi soal."
Freya terkekeh dan makin lama kekehan itu menjadi tawa yang meremehkan. "Maka lakukan lah."
Gala menggeram kesal namun ia masih mendengar ibunya meneriaki namanya. Ia masih mengingat jelas bagaimana wajah ibunya tadi. Ada lebam di pipi baik kanan juga kirinya. Juga wajahnya yang sembab karena tangis. Gala bersumpah akan membalas semua perbuatan yang mereka lakukan pada sang ibu. Bahkan kalau ia harus menjadi pembunuh sekali pun, ia tak mengapa. Baginya, Bellamie Rosaline adalah ibu dan segalanya untuk hidup Gala sekarang.
Ia makin mendesak Freya di mana Gala tau, banyak senjata yang diarahkan padanya. Namun tak jadi soal karena ia pun bisa berkelit dan membalas mereka semua. Tawa yang keluar dari bibir wanita itu makin membuat muak Gala di mana amarahnya sudah memuncak siap untuk menebas kepala sang wanita. Apalagi saat ia berkata, "Kau tak tau betapa tangan ini mengenai wajah ibumu dengan sangat keras? Juga ... rambutnya. Ah ... helaiannya sudah aku buang ke tempat sampah. Mengotori tanganku." Freya makin jadi mengejeknya. "Jangan lupakan banyak pria yang menatap ibumu penuh minat. Apalagi saat Gideon menyapanya sebentar. Aku tak tau apa yang mereka la—"
"KAU!!!" Gala tak tahan membayangkan semua ucapan Freya. Ditekan sekali lagi pedang itu di mana ada sedikit goresan yang makin membuat tetesan darah di sana. Tangannya gemetar ditambah hatinya bergemuruh hebat.
"Lakukan apa yang ingin kau lakukan, Gala," bisik Freya.
"Hentikan semuanya!!!"
Teriakan itu membuat Gala menoleh karena ia sangat mengenai baik-baik suara itu. Di mana ada buncah kemenangan yang akan menghampirinya, namun ...
"Kau ingin mengucapkan salam perpisahan pada ayahmu, Gala?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro