DICE. 91
Mereka kembali menempuh jalan berpasir setelah memastikan seluruh tempat untuk bermalam di antara bebatuan besar itu tak meninggalkan sisa. Bukan tanpa sebab semua dihilangkan jejaknya namun pertimbangan khusus di mana angin selalu datang dari arah yang tak tentu, bisa menyebabkan satu masalah di kemudian hari. Sesuai rencana yang sebenarnya Gala tak setuju tapi ayahnya meyakinkan ia untuk menuruti apa keinginannya itu. ditambah seorang Seth Rafael mendukung penuh dan akan ada di sisi ayahnya ketika pada akhirnya, sang ayah berdapatan sendiri dengan Gideon yang Agung.
Gala bukan tak percaya dengan semua kata-kata Seth namun ia masih memiliki kekhawatiran yang sangat tinggi mengenai risiko yang akan ayahnya hadapi. Berulang kali ia layangkan protes tapi selalu ditutup dengan tepukan serta senyum penuh arti dari ayahnya. Gala kalah mengeluarkan suara bahkan dengan konyolnya ia meminta bantuan Alex lewat sorot matanya agar menggagalnya rencana sang ayah, justeru ia mendapatkan hal yang sungguh membuatnya kesal.
"Turuti saja, Nak. Aku yakin ayahmu tau apa yang terbaik. Dia terkenal sekali dengan strateginya yang membuat kelimpungan pihak lawan. Aku tau itu."
"Kau memang penyindir ulung, Alexander Millian." Xavier mencibirnya telak. "Kau tenang saja, Gala. Ayahmu ini bukan sembarangan menginginkan sesuatu."
Pemuda berambut hitam itu sudah tak tau lagi harus menyanggah dengan kata apa.
Dadu itu dibuatkan duplikasinya dan sungguh itu nyata sekali. Tak terlihat bedanya kecuali pendar yang agak redup di mana dadu duplikat ada di tangan Gala. semua kembali ke pemilik asalnya. Gala tak jadi soal karena sebenarnya ia juga tak menginginkan memegang dadu itu terlalu lama. Seolah beban berat yang ada di bahunya terangkat dan membuatnya ringan. Toh pada kenyataannya, dadu itu milik sang ayah. Bukan apa, dadu itu menyimpan banyak kekuatan besar yang sungguh Gala takut jatuh ke tangan orang yang salah. Jikalau kembali ke pemilik asli, bukan kah ia paling tau bagaimana cara kerja dadu?
Gideon pasti menginginkan pertukaran di mana Gala yang terlebih dahulu diincar. Selama beberapa waktu belakangan, terutama pertempuran akhir-akhir ini terlihat jelas kalau Gideon sangat murka terhadap Gala yang memberi perlawanan dan bertahan sedemikian epik. Di mana belum ada lawan yang mampu imbangi intimidasi seorang Gideon yang Agung terkecuali Xavier. Lalu mendadak muncul anak yang dengan seenaknya memberi perlawanan bahkan sering kali mengecoh sang penguasa. Hal itu dimanfaatkan dengan baik dalam perencanaan menyelamatan Bellamie juga membuat Gideon menghentikan segala agresinya.
Sudah banyak kekacauan yang terjadi dan mereka tak ingin ada lebih banyak korban yang berjatuhan. Walau tak menyerang pusat kota tapi dampak yang timbul cukup berpengaruh padahal baru satu hari mereka melawan kekuatan sang penguasa.
Semilir angin yang terbang membawa butiran pasir kembali menerpa perjalanan mereka. Kali ini Gala memilih untuk melangkah bersama Xavier di mana Gala merasa seperti ditarik pada pertemuan terakhir mereka. Tak mudah bagi Gala untuk tak melirik ke arah ayahnya yang berjalan dengan langkah tegap. Matanya tak teralih ke mana-mana selain titik yang sebentar lagi akan mereka capai.
"Kau benar-benar sudah besar, Gala." Xavier sejak tadi tau kalau putranya sesekali melirik ke arahnya. Ia sendiri bukan pribadi yang banyak omong juga sedikit kebingungan untuk menentukan arah bicara. Xavier biasa bicara sepatah dua patah kata. Lalu bekerja dalam diam dan memperhatikan. Lebih banyak telinganya ia pergunakan untuk mendengar Bellamie bicara ini dan itu seputar rumahnya. Hanya sesekali saja ia tanggapi dan lagi-lagi memilih untuk diam.
Padahal hatinya rindu dan ingin sekali banyak berkisah tapi rasanya hampir semua cerita yang ingin ia bagikan, bergumpal jadi satu di ujung lidah. Bingung mana yang harus dikeluarkan terlebih dahulu.
"Aku sudah dua puluh lima tahun, Ayah." Gala terkekeh. Ia juga canggung menghadapi situasi ini tapi rasanya ada hangat yang terlalu banyak menyusup dalam benaknya. Di mana inginnya akhirnya tercapai. Ayahnya kembali dan sebentar lagi, walau ia harus melewati badai bom sekali pun, Gala yakin akan masa depan indah di depannya bersama kedua orang tuanya. Berkumpul bersama dan menghabiskan banyak waktu juga ... Dice.
"Apa Dice di dalam baik-baik saja, Yah?" Sejak dadu itu ditukar, Gala memang belum bertemu dengan gadis hologram itu setelah banyak sekali hal-hal yang mereka bicarakan. Baru lah gala diminta untuk menemui ayahnya membicarakan apa yang akan mereka lakukan untuk membebaskan ibunya. Lalu memukul telak Gideon agar tak lagi atau minimal membuat kesepakatan baru atas apa yang terjadi kali ini. Andaipun Gideon tak mau melakukannya, terpaksa mereka benar-benar melawan Gideon tanpa jeda. Walau harus ada yang kalah karena perang ini, sekali lagi, tak ada satu pun dari mereka yang berkumpul di api unggul dilatari bulan yang bersinar terang serta bulat utuh itu mau mundur.
Tak ada.
"Baik. Kuminta dirinya untuk terus memantau pasukan udara Gideon."
Gala mengangguk pelan sementara Xavier cukup menyadari kalau ada sesuatu di antara mereka.
"kau merindukannya?"
Pertanyaan itu jelas membuat Gala gelagapan. Ia terkejut mendapati ayahnya bertanya seterbuka itu. "Yah, kau tau." Gala menggaruk tengkuknya menutup canggung. "Aku mulai terbiasa berkomunikasi dengannya. Aku ... tak memiliki teman selama ini."
"Bagaimana kau selama ini memangnya?" Sungguh, meluncurkan tanya ini membuat tenggorokan Xavier tercekat. Sakit sekali. Membayangkan putranya hidup seorang diri. Bagaimana ia makan? Sekolah? Hidup dalam kesehariannya? Ya Tuhan, Xavier benar-benar tak bisa membayangkan. Karena ia tau sekali kalau Gala sangat dekat dengan ibunya. Berpisah sejenak saja, Gala sudah menangis keras. Apalagi kalau Bellamie kala itu meninggalkannya? Diembuskan napasnya yang panjang sekadar mengurangi sesak yang makin ditimbulkan oleh dadanya.
"Aku baik walaupun, yah ... harus pintar menjaga diri. Kau tau, Ayah, Metro Selatan cukup kejam."
Xavier mengangguk membenarkan. "Ayah minta maaf," lirihnya pelan. "Ayah ... yang paling bersalah dalam masa kecilmu yang sendiri itu."
Buru-buru Gala menggeleng. "Dice banya bercerita mengenai perjalanan Ayah. Juga tanggung jawab Ayah sebagai seorang Horratio. Awalnya aku sangat tak terima pujian Dice hanya untuk Ayah seolah Ayah sangat keren di matanya."
Xavier tergelak hanya karena ini saja? Astaga! Betapa menyenangkan bicara dengan sang putra ternyata. "Kau iri?"
"Bukan-bukan. Aku sama sekali tak iri. Hanya saja, terlihat keren sekali pekerjaan sebagai seorang Horratio tapi saat Dice memberi gambaran betapa mengerikan pekerjaan yang Ayah lakukan, sesaat aku berpikir betapa mengerikan menjadi seperti Ayah."
"Itu sebabnya kau menolak?"
Tanpa ragu Gala mengangguk. "Aku menggunakan dadu untuk menyelamatkan Ibu. Juga ..."
"Juga Ayah, kan?"
"Aku tak tau bagaimana bisa kami berada di sana. Seolah seperti ada yang menuntun padahal malam harinya, badai salju kuat sekali berembus."
Xavier tampak berpikir. "Aku pun berpikir seperti itu. Terakhir kali aku merasa antara hidup dan mati, aku berada di Metro Utara di hutan yang tak boleh didatangi sama sekali."
"Apa lukamu parah karena Tuan Alex?"
Ayahnya terkekeh pelan, mengingat kejadian yang sebenarnya tak pernah ia lupa. "Luka dari Alex bagi Ayah adalah hal biasa."
"Dia mengatakan banyak sekali serangan yang diberikannya pada Ayah." Gala melotot tak terima. Walau sebagian ia bersyukur tapi kenapa sepertinya Alex membesar-besarkan sesuatu? Astaga! Pria itu jauh lebih menyebalkan dibanding dugaannya. "Rasanya ingin kubungkam mulutnya yang banyak bicara itu."
Xavier makin tergelak jadinya. "Sepertinya hubungan kalian akrab?"
"Karena keadaan."
"Tapi kau tau, Gala," kata-kata Xavier membuat anaknya menoleh. Sorot mata sang anak hitam legam sama sepertinya. Rambutnya pun serupa dengannya tapi Gala mewarisi rambut ibunya yang lurus sementara ia agak ikal. Posrut tubuhnya pun tak terlalu tinggi tapi Xavier pun tak meragukan betapa bear kekuatan yang Gala miliki. Darahnya mengalir dalam tiap aliran syaraf yang Gala miliki. Di sampingnya berjalan dengan langkah pasti, adalah anak yang selalu menjadi kebanggaannya.
"Tau apa, Ayah?" tanya Gala penasaran. Sejak tadi ia menunggu kelanjutan ayahnya bicara tapi tak ada satu pun kelanjutannya. Ayahnya terlihat asyik memperhatikannya.
"Alexander Millian juga Maverick Osmond bukan penguasa yang mudah menurunkan egonya untuk menyokong seseorang. Tapi kemarin, Ayah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana mereka mendebatmu namun akhirnya sepakat untuk berjalan bersamamu."
"Padahal mereka itu menyebalkan."
"Kau di mata mereka juga sepertinya demikian, Gala."
"Ayah benar," Gala terkekeh. "Tak sekali dua kali aku dengar keluhan itu terutama dari seorang Tuan Maverick."
Untuk pertama kali dalam hidup Xavier, ia rangkul putranya untuk berjalan semakin dekat dengannya. Menepuk bangga bahu sang putra. Ingin sekali ia teriakkan dengan lantang betapa bangga dirinya memiliki Galaksi Haidar. Dulu saat pertama kali ia melihat putranya lahir, matanya tak berkedip sama sekali. Ia tak percaya kalau akhirnya memiliki seorang putra. Hidup panjangnya membuat hangat di hatinya perlahan beku tapi kehadiran dan kelembutan Bellamie membuat warna yang sangat berbeda dalam hidupnya. Walau ia tak merasakan terlalu lama berada di antara mereka berdua, tapi ia tak pernah menyesal mencintai seorang Bellamie. Memiliki putra seperti Gala. Dan sekarang, ia diberi kesempatan untuk menata dan mengisi kosongnya waktu yang terjeda.
Akan ia usahakan apa pun untuk mereka berdua. Tak peduli betapa bayang masa depan yang terlihat di depan matanya sangat menakutkan, tapi ia tak peduli. Andai masa depan itu memang terjadi, ia sudah menyiapkan satu tempat berlindung yang pasti membuat mereka nyaman dana man. Tak apa.
"Aku sangat bangga denganmu, Nak." Xavier tersenyum sangat lebar. binar matanya sangat menyoroti kebahagiaan tersendiri.
"Aku pun bangga memiliki ayah sekeren kau, Tuan Xavier Horratio."
***
Bellamie dipaksa keluar dari ruang sempit itu. Ia masih merasakan sakit pada punggungnya karena benturan yang beberapa waktu lalu terjadi padanya. sudut bibirnya sepertinya sudah mongering lukanya. Lengan yang terkena lilitan panas itu pun sudah mulai mongering walau rasanya membuat tubuhnya sedikit demam. Mungkin karena luka yang seharusnya diobati dan kini mulai terinfeksi bakteri membuatnya sedikit merasa pusing. Tidak. Bukan sedikit lagi, tapi ia merasakan sangat pusing sampai berdiri pun rasanya berputar kuat.
Sejenak ia memejam untuk menyingkirkan pening yang melandanya.
"Cepat keluar!!!" teriak salah satu pasukan yang berjaga di depan ruang ini.
Wanita itu berjalan pelan, sedikit menunduk, dan agak sempoyongan. Persis di depan pintu besi yang terbuka, wajahnya langsung ditarik paksa untuk mendongak. Di mana mata bening berwarna cokelat terang itu menatap salah satu pasukan penjaga.
"Kau sungguh cantik, Nona. Berdoa lah kemenangan di pihak kalian walau rasanya tipis sekali."
Bellamie menggeram pelan.
"Tak usah merasa seperti memiliki banyak kekuatan juga berpura-pura sakit. Tipu muslihat seperti itu tak akan mempan untuk kami." Penjaga itu sedikit mendorong wajah Bellamie dengan kasar. Membuat wanita itu meringis sakit pada bagian bibirnya yang terluka. Sepertinya bekas luka itu kembali terbuka karena gerak penjaga tadi. Belum lagi tangannya kembali dikaitkan dengan borgol besi lalu ia diminta untuk berjalan cepat di mana bagian punggungnya ditodong pistol laras panjang.
Kekehan demi kekehan ia terima dari para penjaga yang ia lewati sepanjang arah yang ditunjukkan juga perintah-perintah yang sangat kasar ia dengar. Sampai dirinya kembali bertemu dengan wanita berjubah merah di mana berdiri di samping Gideon yang Agung. Mereka berdua cocok sekali sebagai pasangan paling arogan di mana sorot matanya sama-sama melihat semua orang dengan pandangan meremehkan. Mungkin sekarang hanya tertuju pada Bellamie.
"Berlutut," perintah Gideon dengan segera di mana membuat Bellamie mendadak berlutut. Kedua kakinya menyentuh lantai yang ia pijaki dengan cukup kasar. Menimbulkan ringisan yang sangat ia tahan untuk lolos dari bibirnya.
"Begitu lebih baik." Gideon terkekeh. "Kau manusia rendahan sudah seharusnya seperti itu ketika bertemu dengan penguasa yang sebenarnya." Pria itu pun mendekat dan menarik dagu Bellamie dengan cukup kasar. Membuat wajah Bellamie merasakan embus napas Gideon yang makin mengintimidasinya. Ia harus kuat. Tak boleh mudah untuk menunduk kalah walau ia tak memiliki kekuatan apa-apa tapi setidaknya, ia punya harga diri yang tinggi.
"Jangan pernah memberi pandangan seperti itu, Bellamie," peringat Gideon tepat di telinga wanita itu. Serupa bisik yang sangat menegangkan juga membuat nyali ciut mendadak. Susah payah Bellamie menelan ludah karena intimidasi Gideon tak main-main kali ini. Kentara sekali kalau dirinya dibuat tak berdaya sampai semangat juga tekad yang telah ia pupuk untuk melawan penguasa itu makin habis terkikis.
"Ingat lah matamu yang tak akan pernah lagi memandang hal yang sama sesaat setelah kekalaha Xavier juga anakmu itu." Diempaskan cukup kuat wajah Bellamie ke samping kirinya. Sampai membuat dirinya hampir limbung karena dorongan Gideon barusan.
"Persiapkan semuanya. Sebentar lagi akan kita saksikan kemenangan mutlak dari penguasa sesungguhnya."
Yang Bellamie tau, ia kembali digiring paksa untuk masuk ke dalam satu ruangan yang menurutnya mirip sangkar burung. Di mana ia pun segera tau kalau mendekat pada salah satu besi yang mengelilinginya, bara panas menerpa tubuhnya dengan cepat. Pun ketika ekor matanya menangkap bagaimana wajah puas Freya yang masih mengenakan jubah dengan warna yang sama. Ia tak terlalu mengingat detail pakaian wanita itu. Tapi sepertinya mereka kompak mengenakan pakaian merah. Dengan symbol matahari melingkari lambang masing-masing wilayah Metro. Lambang yang kini ia hapal sebagai lambang dari penguasa seluruh Metro.
Bellamie duduk di tengah kerangka besi itu, berlutut tapi matanya tak akan menunduk kalah. Ia tatap dan perhatikan satu demi satu pasukan yang membawanya juga terlihat sibuk menyiapkan diri. Tangannya terikat di belakang dengan borgol yang ketat melingkari pergelangan tangannya. Seluruh tubuhnya terasa ngilu dan sakit tapi ia tahan. Tak akan lama lagi ia pasti bertemu dengan anak dan suaminya.
Ia sangat yakin akan hal itu.
Mereka semua turun dari pesawat yang ternyata sangat besar menurut Bellamie. Selama berada di ruang sempit itu ia tak bisa memperhatikan sekelilingnya. Juga terik yang mendadak menyapa penglihatannya membuat ia sedikit memicing. Embus angin dengan banyak pasir yang menerpa wajahnya membuat ia teringat gurun pasir wilayah Metro Barat. Artinya, ia masih berada di wilayah kekuasaan Kyler Lamont. Namun ... saat matanya mengedar cepat untuk melihat sekitar, hampir separuh pasukan Gideon yang Agung mengepung orang-orang yang ia kenal.
"GALA!!!" teriaknya kuat begitu matanya menatap sang putra yang berdiri santai di samping ayahnya. Banyak sekali senjata mengarah padanya. Titik merah yang mengarah pada mereka membuat bulu kuduk Bellamie meremang kuat. Satu demi satu orang yang ia kenali pun diperlakukan seperti itu. Ia yakin sekali dalam sekali tarik pelatuk yang mengarah pada mereka semua, nyawa mereka melayang. Tidak. Ya Tuhan!!! Jangan sampai hal seperti itu terjadi.
Dari posisinya sekarang, Bellamie sangat mampu melihat apa yang terjadi terutama saat Gideon melangkah mendekat kea rah Gala. Di mana tiap langkah pria berjubah putih dengan lambang besar di punggungnya itu membuat jantung Bellamie berdetak tak keruan. Dan saat Gideon berada tepat di depan sang putra, satu tembakan dilesatkan tepat di kepala anaknya.
"GALA!!!!!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro