DICE. 81
"Masih ingin menangis?" tanya Xavier pelan. Usapannya pun terasa lembut di kepala Bellamie di mana sebenarnya Xavier sendiri masih agak kaku untuk menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Ia memperhatikan dengan saksama gerak kakinya, tangannya, seluruh sendi yang coba ia gerakkan seiring dengan kesadarannya kembali. Terutama apa yang manik matanya tangkap; Bellamie Rosaline.
"Sepanjang kau meninggalkanku, Xavier, mataku tak pernah lelah menangisi keberadaanmu."
Xavier tersenyum sendu. "Seharusnya jangan kau lakukan itu."
Bellamie berdecak kesal. Diusapnya kasar air mata yang masih membuat lembab pipinya. Tak ia pedulikan betapa kacau penampilannya sekarang. "Bisa-bisanya kau katakana hal itu?" Matanya menatap Xavier dengan nyalangnya. "Kau benar-benar mirip Gala. Ah, aku salah. Gala benar-benar menurunkan sikap menyebalkannya darimu!"
Atas ucapannya ini, Xavier tersenyum riang. "Gala? Anakku. Bagaimana ia sekarang? Di mana dia, Rose? Aku ... merindukannya." Cepat ia sibak selimut yang masih menutupi sebagian tubuhnya. Mencabut satu demi satu kabel yang terpasang di tubuhnya juga, meringis karena ada beberapa jarum yang sepertinya cukup panjang menembus lapisan kulitnya.
"Berhenti, Xavier!" Bellamie menghalangi apa yang Xavier lakukan. "Astaga! Kau ini baru terbangun!"
"Aku ingin bertemu Gala. Di mana dia?"
"Sebelum kau bertemu dengannya, bisa kah kau ceritakan apa yang kau sembunyikan? Terutama ... dadu?"
Gerak Xavier melepas selang yang berisi tetesan darah di lengan kanannya terhenti. Matanya memandang takjub pada Bellamie yang menatapnya tak putus. Seolah mengerti kalau istrinya tak akan meminta untuk kedua kalinya, Xavier menghela napas pelan. Dihentikan semua kegiatannya melepas apa yang menancap di tubuhnya itu.
"Dari mana kau tau mengenai dadu, Rose?"
"Bisa kah bercerita, Xavier? bukan bertanya lagi? karena aku sungguh terlalu pusing untuk mencerna semua yang terjadi beberapa bulan terakhir ini."
Bukannya merasa khawatir, Xavier malah tersenyum sangat lebar. "Dice berarti melakukan apa yang kuminta."
"Dice? Dadu?"
Xavier menggeleng pelan. "Dice, orang kepercayaanku yang sengaja aku taruh di dadu. Untuk menjaganya hingga saatnya tiba. Dan kurasa ini lah saatnya."
"Saatnya tiba? Apa maksudnya, Xavier? kau justeru membuatku pusing. Sejak aku bertemu dengan Gala kembali, di mana aku sangat senang mengetahui kalau putraku masih hidup, aku seperti dikejar bom berkekuatan super. Di mana selalu ada tembakan, lontaran peluru, belum lagi ancaman dari berbagai sudut. Apa itu karena dadu?"
"Aku minta maaf karena telah melibatkanmu seperti ini. Tapi ... bertemu Gala? Maksudnya?"
"Itu bukan hal yang penting sekarang, Xavier." Bellamie mengibas tangannya pelan. "Sungguh bukan hal yang penting." Dalam sekali pindai, ia bisa melihat kekhawatiran yang besar di mata Xavier.
"Tidak. Ini bukan perkara biasa, Bellamie. Bagaimana kalian bisa terpisah?"
Bellamie menelan ludah gugup.
"Aku yakin sekali ada sesuatu yang terjadi di antara kalian." Xavier menyelipkan anak rambut Bellamie yang sedikit berantakan. Di mana mata sang istri tak lagi menatapnya. "Katakan, Rose."
Sepanjang ingatan Xavier di saat terakhirnya melempar dadu sekuat dan sejauh mungkin dari jangkauan Alexander Millian, pesannya hanya dua. Temukan Galaksi Haidar dan lindungi istrinya. Apa telah terjadi sesuatu selama ia tertidur panjang? Mengingat betapa besar pengaruh dadu bagi kelangsungan hidup di Metro ini.
"Dua tahun setelah kepergianmu, Xavier," Bellamie mulai bercerita. Di mana kembali ia diingatkan pada malam badai besar yang menjadikan dirinya seperti seorang ibu yang sangat keji. Meninggalkan anaknya sendirian dengan hipotesa di mana ia tak bisa melindungi anaknya. Juga berbagai indikasi kalau Gala bisa celaka jika ada di dekatnya. Ia meyakini kalau pergi dan mencari Xavier di mana suara-suara itu sangat jelas, baik di mimpinya juga saat ia tengah melamun. Terutama suara sang suami yang meminta pertolongannya. "Aku mendengar kau meminta tolong. Tadinya aku hanya seperti tengah berhalusinasi tapi makin hari, semuanya makin nyata."
Xavier mendengarkan dengan saksama. Ia butuh benang rajut tak kasat untuk menghubungkan semua yang terjadi terutama setelah ia menyerahkan dadu pada Dice. Hanya ia yang dipercaya Xavier dan tak akan mungkin gadis itu berkhianat. Selama ratusan tahun bersama, Xavier tau kualitas dari harga kepercayaan itu. Bahkan saat tau kala istrinya tengah hamil, yang sering sekali bertanya mengenai perkembangan kandungan Bellamie adalah Dice.
"Apa kau tidak penasaran dengan masa depan, Tuan?" tanyanya suatu kali. Di mana saat itu, Xavier tengah mengasah pedangnya. Pedang berujung runcing dengan sisinya yang sangat tajam. berkilauan. Juga berbau ... anyir.
"Untuk apa?"
"Siapa tau Anda ingin tau jenis kelamin calon anakmu, Tuan."
Xavier terkekeh. "Itu tak penting, Dice. yang terpenting bagiku, mereka berdua selamat. Kau ... adalah orang yang akan kuserahi untuk melindungi mereka berdua nantinya."
Gadis itu mengangguk cepat. "Akan kulakukan semuanya untukmu, Tuan."
Dan masih banyak lagi perlindungan yang Dice beri untuk Bellamie juga Gala. Maka ia sangsi kalau Dice yang melakukan ini tapi ... bagaimana mungkin ada yang bisa masuk ke dalam pikiran Bellamie?
"Berkali-kali aku hindari diri dari kecelakaan yang sangat tak masuk akal, Xavier. Aku katakan berkali-kali karena sungguh, aku merasa seperti dihimpit tekanan di mana kalau aku bersama Gala dan tidak segera mencarimu, maka di antara kami ada yang mati."
Xavier mengangguk pelan. "Lalu apa yang kau lakukan?"
"Kuikuti ke mana kepalaku bicara, Xavier. Saat itu tujuanku Metro Utara. Kalau tidak salah, salah satu taman di pinggir kota tempatku pertama kali singgah. Tapi ternyata ... aku tak bisa menemukanmu selama apa pun aku mencari. Seluruh kota Metro Utara aku jelajah dengan keterbatasan yang ada. Hingga aku berakhir ..." Bellamie memejam kuat. Tangannya terkepal sampai rasanya ada perih yang menyapa telapak tangannya. Ia yakin pasti kukunya lah yang menggores dalam di sana. Rasanya perih tapi lebih perih lagi disertai kelu yang sangat untuk melanjutkan bicara.
"Berakhir di mana?" tanya Xavier dengan lembutnya. "Apa ada yang menyakitimu?"
Bellami menggeleng lemah. Kepalanya tertunduk. Matanya basah dan ia yakin, dalam sekali kedip, air matanya kembali tumpah.
"Katakan, Rose?"
"Aku berakhir di Voil Mansion. Milik ..."
"Alexander Millian. Apa dia melukaimu?"
Sekali lagi, Bellamie menggeleng kali ini jauh lebih lemah ketimbang sebelumnya. Bahunya bergetar, isakan kecil pun lolos dari bibirnya. "Maafkan aku, Xavier. Maafkan aku."
Minta maaf? Untuk apa? Tapi kalau bellamie disekap di mansion mewah milik Alexander Millian, artinya pria berambut perak itu tau, siapa Bellamie. Akan ia buat perhitungan khusus dan mungkin menghajarnya habis-habisan. Apalagi sampai membuat istrinya menangis seperti ini. Apa yang telah ia lakukan, hah? Xavier menggeram kesal jadinya. Namun sebelum ia laksanakan semua pembalasan untuk orang-orang yang menyakiti istrinya, ia butuh tau satu hal.
"Kau ingat suara yang menyuruhmu meninggalkan Gala? Untuk menyelamatkanku?"
Bellamie berkedip berkali-kali karena kebingungan atas pertanyaan Xavier barusan. "Kau ... pasti marah dan kecewa denganku, kan?"
Mereka bersemuka kembali. Di mana Xavier perlahan menghapus air mata yang membasahi pipi Bellamie. "Justeru aku marah pada diriku sendiri, Rose. Aku adalah orang yang memiliki kuasa dan bisa melindungi kalian tapi aku tak sanggup melakukan itu. Membuat kalian justeru menderita."
Bellamie menggeleng kuat. "Tidak. Tidak. Aku yang terlalu bodoh karena percaya dan sepertiny asaku untuk bertemu kembali denganmu telah habs. Aku tak pernah tau kalau kau ... seorang Horratio. Gala yang mengatakan padaku. Berkisah mengenai dadu. Juga Seth yang mengatakan betapa kau sangat mengagumkan. Tapi ..." Ia kembali terisak hebat. "Tapi aku ... ya Tuhan!"
Xavier segera merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan erat. Berbagi tangis di mana kepalanya segera merangkai banyak kejadian sesaat sebelum ia dimatikan dan tak lama setelah suara itu hilang, tubuh kakunya merasakan dingin yang teramat sampai rasanya kebekuan mendadak menguasainya. Dan ia harus mencari tau, apa yang sebenarnya terjadi setelah ia terpejam. Namun sebelumnya ia harus menenangkan istrinya terlebih dahulu.
"Apa ... kau ingat suara yang memerintahkanmu?"
Tidak mungkin bagi Dice untuk mengkhianatinya, kan?
"Kurasa ... masih."
Xavier mengembuskan napas lega. Ditepuknya bahu Bellamie dengan penuh lembut. "Maka kita cari tau apa yang terjadi selama aku tak ada."
"Bisa kah ..." Bellamie menggigit bibir bawahnya penuh khawatir. "Bisa kah setelah ini, ada kedamaian? Aku benci setiap kali Gala menggunakan dadunya. Sorot matanya sama dengan dadu itu. Belum lagi, aku merasa Gala bukan putra kita lagi, Xavier. Aku ... aku ..."
"Kau tak perlu khawatir, Rose. Aku yang akan menyelesaikan tugas terakhirku. Dan setelahnya, kedamaian akan tercipta."
Bellamie mengerjap pelan. senyumnya mulai tertarik perlahan. Matanya masih sedikit berkaca-kaca tapi ia merasa kehangatan lain saat matanya kembali ternggelam dalam sorot mata hitam kelam milik Xavier.
"Jadi ... di mana Gala?"
***
Mendengar tuannya bertanya dengan sangat santai di mana kondisi mereka harus segera memilih karena rudal itu sudah menentukan titiknya, maka yang bisa dilakukan Dice hanya berdecak dan menggeram kesal. "Anda ... bisa kah serius sedikit?"
"Aku tengah serius, Dice. kenapa tidak serius? Kondisi kita bukan tengah bermain-main, kan?"
Dice masih belum mau menurunkan kekesalannya. "Aku sudah kirim koordinat terbaru tiga penguasa. Pantauanku baru saja melaporkan kalau Tuan Kyler dan tunggangan kesayangan Anda meninggalkan area pertempuran."
Gala mengangguk pelan. Ia masih melayang di udara yang cukup panas ini.
"Pesawat kargo Gideon yang Agung pun bergerak dan aku tak bisa melacaknya. Sepertinya ia mengaktifkan mode siluman, Tuan."
"Menurutmu ..." Gala menutup tangannya yang terentang. Membuatnya meluncur tajam menuju daratan. Radar di kacamatanya mengatakan kalau kecepatannya turun sungguh di luar kendali ditambah Gala memilih untuk menggunakan pendorongnya.
"Tuan," peringat Dice. "Yang kau lakukan sungguh berbahaya!" Dice terkejut dengan manuver yang baru saja Gala lakukan. "Apa Anda berniat membakar diri?"
Gala terkekeh. "Tampilan titik temu di mana aku sebagai sentralnya untuk tiga rudal yang mengarah pada tiga titik tadi. Perbesar perlindungan untukku, aktifkan mode malam dan persentajai aku dengan rudal balasan. "
Dice bertanya-tanya tapi tetap saja ia lakukan apa yang Gala perintahkan.
"Ikuti terus pergerakan Gideon yang Agung. Aku tak suka menyerangnya dari belakang."
"Tapi, Tuan."
"Bisa kah jangan ada kata tapi? Itu terdengar pesimis, Dice."
Gadis hologram itu berdecak sebal. "Kau tau, pergerakan Gideon itu diawasi. Kalau aku turut serta, bisa-bisa mereka tau keberadaan Anda. Aku bisa saja mengirimkan banyak rudal untuk mereka dan menghalangi aar tujuannya tak tercapai."
"Maka lakukan lah."
"Kau bilang tak menyukai pengerangan dari belakang!" protes Dice dengan cepat.
"Itu kalau aku yang memerintahkan. Tapi kau yang memunculkan ide itu, kan?"
Dice tergelak akhirnya begitu menyadari apa keinginan tuannya itu. "Aku benar-benar baru menyadari betapa manipulatifnya Anda memilih kata."
"Untungnya," Gala memutar tubuhnya dengan cepat di mana ia berada di titik yang diminta. Tepat berada di tengah di mana ia bisa melihat dengan jelas arah rudal berisi nanomite yang akan diluncurkan dalam ... dua menit lagi? kenapa cepat sekali? Pengatur waktunya sudah ia setel mengikuti dengan pergerakan nanomite yang semakin meningkat partikel ledaknya saat mendekati waktu peluncuran. "Aku tak pernah menggunakan kata-kata manis untuk menjeratmu, Dice."
Gala terbang melayang dengan posisi berdiri di mana Dice tak jauh di sampingnya. Pendar jingga itu serupa dengan teriknya mentari gurun Evermoon. Satu basoka besar ada di bahu Gala dan siap untuk dibidik. Sementara Dice masih bergelung dengan layar yang menampilkan banyak pantauan yang ia sebar di beberapa titik.
"Bersiap untuk pesta kembang api, Dice?"
"Sayangnya ini bukan malam hari, Tuan."
Gala terkekeh. "Tapi ini tak kalah memukau, Dice. kau bisa menyaksikannya."
"Tapi impianku sejak lama, melihat pesta kembang api dari ketinggian gedung pencakar langit."
"Kau?" Gala terperangah. "kau serius?"
Dice menoleh dan mengangguk. "Kapan aku tak pernah serius, Tuan."
"Itu kata-kataku, Dice."
Gadis itu hanya tersenyum kecil dan kembali mengarahkan senjata pada rombongan Gideon yang terlihat di pantauannya.
"Tapi tenang, lah. Akan kupinjam Vore Club di Metro Utara untuk membawamu melihat kembang api."
"Kenapa Vore?"
"Di Falcy Building aku bisa dikenakan tarif yang sangat tinggi. Kau tau, Maverick Osmond itu licik. Aku bisa jatuh miskin karenanya."
Mereka tertawa bersama akhirnya.
"Siap, Dice?"
"Selalu siap, Tuan."
"Maka ... sekarang!"
Tiga kali tembakan dilontarkan Gala bertepatan dengan munculnya rudal nanomite yang dikirimkan Gideon untuk menghancurkan titik di mana tiga penguasa itu tengah bertarung dengan pasukannya. Sementara Dice pun memulai keesenangannya. Rentetan senjata yang ia jatuhkan dari udara membuat pasukan Gideon cukup kewalahan.
Sampai Dice menghentikan searangannya. Ia terpaku.
"Dice?"
"Ayah Anda ... tersadar."
Gala tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. "Itu ... bagus, kan?"
"Tapi sayangnya, markas Tuan Kyler hancur karena serangan pesawat jet milik ..."
"Milik siapa, Dice?" tanya Gala dengan paniknya. Ledakan di atas sana menjadi latar betapa ia takut akan kehilangan ibunya. "Ibuku, Dice. Lacak ibuku."
Dice segera mematuhi apa yang Gala minta.
"Dice?"
Gala tak sabar jadinya. "Dice, laporkan situasinya dengan segera."
"Mereka ... tertangkap."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro