Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DICE. 8

"Tuan?"

Decak kesal Gala terdengar. "Apa lagi?"

"Biar saya bantu. Agar segera selesai, Tuan."

Gala biasanya tak terpancing marah juga kesal tapi sejak tadi, saat ia merapikan area dapur yang mirip kapal pecah—hampir sama seperti dapurnya tapi saat ini pemandangan di sana tak lagi membuat sakit mata. Entah apa yang Dice lakukan tapi dapur serta area meja makan tampat lebih rapi dan hidup. Kadang Gala bingung mengatur waktu untuk merapikan flat yang luasnya tak seberapa ini. Dia sudah seperti karyawan yang sangat sibuk dengan banyak tugas padahal tugasnya menggeret sampah dan mencuci segunung panci juga piring.

"Masuk," perintah Gala. Kali ini ia tak menolerir semua ucapan Dice di dekatnya. Ia sangat beruntung Mr. Richard sedang mengunjungi anaknya. Ia bebas mengeluarkan Dice dari kotak yang kini selalu terkalung di lehernya.

"Tapi, Tuan." Dice sekali lagi bicara. Matanya menatap Gala dengan sedikit permohonan. Sejak tadi ia perhatikan, tuannya tak mengeluh sama sekali dengan pekerjaan yang ada di depannya. Di restoran juga sama. Dalam penglihatannya, Gala sudah tak terlalu banyak memiliki tenaga tapi ia tetap mengerjakan apa yang diperintah untuknya.

"Masuk." Gala berdiri tepat di depan Dice yang masih menatap Gala. Wajahnya hanya bergerak sedikit, tatapannya juga dingin, lalu Dice mengangguk kaku.

"Baik."

Hari ini, cahaya yang ada di sekitar Dice berwarna biru. Tadi pagi dia bilang, warnanya tergantung dengan suasana hati. Gala cukup penasaran suasana hati apa yang sebenarnya dimiliki Dice. Biru itu melambangkan ketenangan, kan? Dice bukan sekadar tenang, tapi dingin juga kaku. Tanpa ekspresi.

Mungkin kalau wujudnya benar-benar ada seperti dirinya, Gala yakin tak banyak orang yang mau ada di dekat Dice. Malah melabelinya sebagai gadis hantu. Belum lagi pakaian yang Dice kenakan. Entah kenapa di mata Gala mirip gaun tidur. Sebatas lutut juga berlengan sesiku. Tak ada hiasan apa-apa di baju yang Dice kenakan itu. Jangan lupa rambutnya yang panjang walau tak pernah dilihat berantakan yang mana semakin membuat Dice patut dibilang gadis hantu.

Setelah ia membiasakan diri karena cahaya biru itu tak lagi memenuhi ruang dapur Mr. Richard, Gala kembali bekerja. Sebelum terlalu larut dan ia memang butuh sekali merebahkan diri. Besok waktu liburnya. Mungkin seharian bergumul di kasur adalah pilihan yang tepat. Ia percepat kerjanya. Mr. Richard bilang, saluran pembuangan di dekat area mencuci piringnya tersumbat. Jelas saja, semua isinya sampah dan kotoran.

Gala sudah sangat terbiasa dengan bau-bau busuk dari sampah juga serangga yang berkeliaran di sana. Belum lagi tiba-tiba ujung kakinya dilewati tikus entah dari mana. Masalah tikus memang menjadi pekerjaan tersendiri karena sangat mengganggu. Di flat Gala pun seperti itu. Entah sudah berapa banyak barang yang rusak karena serangan tikus. Kalau mau membeli lagi, Gala harus berpikir ribuan kali.

Dirasa cukup dan sudah bisa digunakan seperti sedia kala, Gala mulai membersihkan kekacauan yang diperbuat. Setidaknya dapur Mr. Richard lebih baik ketimbang saat pertama kali Gala masuk ke dalam. Ia sering berkunjung ke sini, kalau tak anaknya yang menyebalkan. Gala mengenal Mr. Richard sejak usia delapan tahun di mana ia dan ibunya pindah ke wilayah Lot 1 ini. Lot di mana kebanyakan berdiri flat tua dan tak terlalu mentereng seperti di tengah kota Metro Selatan. Cukup jauh juga jarak Lot 1 dengan pusat kota.

Gala belum pernah ke sana. Bermimpi untuk mengunjunginya saja Gala tak sanggup. Rasanya seperti kilau cahaya yang jauh sekali untuk ia jangkau. Ia hanya berharap bisa segera mlunasi hutang ibunya, mungkin setelahnya ia mencari pekerjaan baru yang lebih layak tapi apa? Entah lah Gala belum coba untuk berpikir.

Ditulisnya pesan besar untuk Mr. Richard kalau semua yang ia keluhkan sudah Gala rapikan. Sebagai rasa terima kasih karena upah yang Gala terima kali ini cukup besar ditambah satu kantung buah walau tak terlalu segar tapi cukup untuk persediaan di kulkas, yang Gala lakukan adalah menyapu ruangan yang sama dengan flatnya. Tak terlalu besar ini.

Setidaknya saat Gala hendak menutup pintu, ruangan yang Mr. Richard tempati lebih layak sekarang.

Tiba di dalam flatnya, ruangan masih agak gelap.

"Keluar lah," bisik Gala. Ia melepas sepatu boots baunya juga kaus kaki yang sobek pada bagian ujung. Belum lagi elastisnya sudah tak terlalu kuat mencengkeram kakinya. Cahaya biru itu perlahan menerangi ruang tamu kacau milik Gala. Berbeda dengan tadi yang sudah Gala sempatkan untuk merapikannya.

"Tuan lapar?"

Gala bergerak malas ke arah sofa reot miliknya. Banyak tambalan yang Gala lakukan di hampir setiap sudutnya agar busa di dalam sofa tak mencuat ke sana kemari. "Terserah. Aku lelah." Ia merebahkan diri dengan posisi menelungkup. Bau apak segera saja menyapa penciuman Gala tapi ia tak mau peduli. Yang ia butuhkan hanya tidur.

Tubuhnya remuk seperti ditinju para pemain tinju professional di TV. Jemarinya agak kaku saking banyaknya hal yang ia kerjakan seharian ini. Belum lagi kakinya keram karena terlalu lama berdiri di restoran. Tulang ekornya sedikit nyeri. Mungkin karena ia lupa untuk minum jadi memiliki efek seperti ini.

Matanya terpejam, sayup-sayup ia dengar Dice berkata mengenai menu yang ingin dimakannya. Gala masih ingat ia mengangkat tangannya pelan, tanda tak ingin diganggu. Lalu ... kegelapan menyapanya. Tenang serta damai.

Melihat tuannya jatuh tertidur di sofa, membuat Dice mengedikkan bahu. Ia hanya perlu bekerja cepat untuk menyiapkan makan malam bagi sang tuan. Antara Xavier juga Gala sangat lah berbeda. Xavier lebih menyukai pekerjaan di balik layar. Mengurung diri di ruang pribadinya sembari terus mempercanggih Dice dengan banyak teknologi buatan. Sesekali Dice mengajak Xavier bicara tapi pria itu hanya mengangguk atau menggeleng saja. Berbeda dengan Gala yang kadang cukup banyak bicara.

Seperti ... kesepian?

Di akhir eksperimen yang Xavier lakukan pada Dice selain sudah memrogramnya dengan segala macam kebutuhannya akan senjata, ia juga menyisipkan sedikit jiwa pada Dice. Di mana ia bisa merasakan perasaan lawan bicaranya walau tanpa ekspresi.

"Sebenarnya aku terbuat dari apa, Tuan?" tanyanya kala itu. Xavier yang tengah menyisipkan aneka kode dan mengunduhnya pada program Dice termangu.

"Aku tidak tau."

Lalu semuanya tampak sama untuk beberapa tahun kemudian. mengikuti ke mana pun Xavier pergi berkelana. Setiap kali Dice bertanya tujuannya, Xavier hanya mengedikkan bahu. Mata Dice bisa untuk memindai semua informasi yang dimiliki lawan bicara. Siapa saja. Bahkan hingga denyut jantung serta gerak yang sangat lambat kalau-kalau lawan yang ada di depannya adalah musuh Xavier. Mungkin karena itu juga, Xavier selalu memenangkan pertempuran.

Akan tetapi hal itu tak berguna di depan Xavier. Akses Dice untuk mengetahui lebih jauh mengenai tuannya sudah diblokir. Hidup dengan Xavier untuk waktu yang lama membuat Dice akhirnya memahami kalau Xavier ini memiliki tugas yang cukup berat. Dalam kegelapan yang ada, ia terabas pelanggaran yang terjadi di seluruh Metro. Menggertak dengan berani para petingginya untuk tunduk pada aturan yang sudah disepakati ribuan tahun lalu.

Xavier pemegang kunci yang ada di seluruh Metro. Dirinya hanya sendiri tapi yang mengincarnya mati ada ribuan karena cara kerjanya yang tak kenal belas kasih. Apalagi ia dilengkapi dengan dadu kecil yang selalu bisa diandalkan untuk membantunya bertempur. Sekali Xavier mengocok dadu dan memilih senjata, pilihannya hanya melarikan diri atau mati. Selama ada Xavier, Metro cukup terarah walau belum maksimal. Sejauh yang Dice tau juga, pekerjaan Xavier ini selalu saja dituntut untuk lebih lagi.

Pikir Dice kala itu, pastilah Xavier mau melakukan penghancuran apalagi peringainya keji juga terkenal kejam saat menghabisi lawannya. Ternyata tidak. Xavier masih memikirkan penghuni lain yang tak terjun dalam kelamnya Metro. Ia masih memiliki hati.

Hingga ... Xavier bertemu Bellamie. Dice tak yakin apa nama perasaan itu tapi Xavier terlihat sangat menyayangi Bellamie. Dice yang memperhatikan hal itu, merasa senang. Akhirnya Tuannya tak lagi sendirian berkelana. Menetap dengan kehangatan yang sudah lama Xavier inginkan. Makin jadi lah ia menentang penghancuran besar-besaran yang diperintahkannya. Belum lagi musuhnya bertambah banyak membuatnya terpojok. Terpaksa membuat sebuah pilihan yang sangat sulit.

Dice tau itu.

"Kalau saja Tuan Xavier tau, hidup Gala seperti apa pasti beliau sangat sedih," katanya pelan. Masakannya selesai ia buat, tersaji di meja dengan asap masih banyak mengepul. Diliriknya pemuda itu yang rasanya makin pulas tertidur. Tapi Dice harus membangunkannya. Gala belum makan sejak sore tadi. Tuan barunya ini bisa sakit kalau tak makan malam.

"Tuan," panggilnya pelan. Tak ada respon. "Tuan, bisa kah bangun? Makan malam sudah siap." Kali ini Dice sedikit menyentak kaki Gala yang membuat pemuda itu mengerang pelan. mengerjap sedikit sembari menggaruk wajahnya. Lalu kembali terpejam. "Tuan. Jangan salahkan aku kalau Anda terkejut nantinya."

Ia menyentuh kaki telanjang Gala. Sedikit cahaya keluar dari ujung jemarinya. Lalu ...

"ARGH!!!" Gala bangkit segera. Tubuhnya terhuyung hingga jatuh di dekat meja sofa. Di mana di dekat meja sofa, ada lemari berisi banyak pajangan usang juga berdebu yang mulai berjatuhan menimpanya. "ASTAGA!"

Dice hanya menatap Gala tanpa berniat membantunya. "Tuan baik-baik saja?"

"Apa kau sengaja?"

Wajah gadis hologram itu dimiringkan sedikit. "Sengaja? Apa yang aku sengaja?"

"Menyetrumku?! Kau gila!" Gala bangkit buru-buru, tak peduli kalau kepalanya terkena gelas keramik kecil koleksi ibunya dulu. Ia raba sedikit, ada benjol yang tampaknya cukup membuat Gala mengernyit kesakitan. "Sial," rutuknya pelan.

"Tuan harus makan dulu."

Gala mendengkus tak suka, matanya tajam menatap Dice tapi begitu ia mengarahkan pandangan ke dapur, kesal yang tadi ia punya hilang sudah. Aroma lezat daging panggang juga kentang tumbuk ditambah aneka salad yang tersaji di depannya sudah membuat perutnya keroncongan.

Segera ia menyantap makan malamnya di mana Dice berdiri tak jauh darinya.

"Tuan menyukainya?"

Mulut Gala penuh, ia tak berniat menjawab sekarang mengenai pujian yang akan ia keluarkan untuk Dice. Rasa masakannya memang enak. Gala hanya merespon dengan mengacungkan jempol tangannya. Lalu kembali melanjutkan makannya.

"Kau sungguh tidak makan makanan seperti ini, Dice?"

Dice menggeleng segera.

"Tapi kenapa kau pandai memasaknya?"

"Tuan Xavier yang mengajarkanku memasak aneka jenis masakan."

Daging yang Gala kunyah sedikit tersangkut di tenggorokan. Pembahasan mengenai ayahnya memang membuatnya kesal tapi Dice ia rasa bicara dengan kejujuran. "Ceritakan mengenai Xavier yang kau tau."

Dice sedikit menatap Gala tak percaya. Tapi ia tetap mengangguk. Ucapan Gala sekarang adalah apa yang harus ia kerjakan dengan segera.

"Tuan Xavier hidup sudah lama, Tuan. Mungkin kalau dihitung secara usia tahun berjalan, berkisah 800 tahun."

Gala tersedak hebat. Apa katanya? 800 tahun? Ayahnya ini manusia atau hantu? Buru-buru ia sambar gelas yang berisi air yang Dice sediakan di meja makan. Hingga tandas, hingga dirasa tenggorokannya sedikit lebih lega juga matanya tak terlalu berair karena potongan daging tadi.

"Jangan bicara sembarangan, Dice."

"Aku? Bicara sembarangan? Di bagian mana? Semua yang aku bicarakan berdasarkan fakta."

Bicara dengan Dice memang terkadang menyulut emosi Gala.

"Tuan Xavier adalah Horratio murni. Darah penjaga mengalir dalam tiap nadinya, Tuan Gala. Ayah Anda keturunan orang hebat."

"Berbeda denganku yang pecundang."

"Anda bukan pecundang, Tuan. Anda orang hebat."

Gala berdecih. "Apa yang kau lihat dariku dan melihat hebat? Apa?" Pemuda itu pun terkekeh. "Tapi aku cukup penasaran, apa Horratio itu memang berumur panjang? 800 tahun?"

Dice mengangguk yakin. "Benar. Dan kemungkinan Anda pun demikian walau darah Anda tak murni."

"Maksudnya?"

"Anda special, Tuan. Keturunan Horratio baru kali ini berdarah campuran. Tapi keberadaan Anda memang tak diketahui. Tuan Xavier memblokir seluruh akses untuk orang lain tau mengenai keberadaan Anda."

Gala mengerjap pelan. "Kau tau karena apa?"

"Tuan Xavier pernah bilang, cintanya pada Anda demikian besar, Tuan. Saat bertemu Nyonya Bellamie, Tuan akhirnya memiliki tujuan pasti. Bahagia bersama dengan wanita yang ia kasihi. Sayangnya ... itu tak mudah."

"Posisinya semakin terjepit baik dari Penguasa Langit juga empat penguasa Metro."

"Aku tak mengerti, Dice."

Dice hanya menoleh sekilas, lalu kembali melanjutkan bicaranya. Sedikit banyak mulai memahami kalau Tuan barunya berbeda mengenai daya tangkap. Ia teringat mengenai satu nasihat di mana saat itu mereka tengah membelah hutan menuju Metro Barat.

"Sepertinya Gala ini agak lambat menerima informasi. Atau karena ada sesuatu yang harus menjadi pemicu agar dirinya bisa tumbuh normal?"

"Aku tak memahami hal itu, Tuan."

Xavier berdecak pelan.

"Bantu dia, Dice, di masa depan. Bersabar lah sedikit menghadapinya."

"Baik, Tuan."

Dice segera menyingkirkan memorinya bersama Xavier. Melanjutkan pembicaraan dengan Gala yang harus detail dan menyeluruh agar pemuda itu paham. "Horratio memang sebagai perisai dari Penguasa Langit di mana tatanan semua Metro ada di bawah kendalinya. Anda pernah mendengar mengenai Penguasa Langit?"

Gala melongo, mulutnya terbuka sempurna. "Gideon Yang Agung?"

"Benar. Gideon Yang Agung adalah penguasa utama dataran Metro tapi masih membutuhkan banyak nasihat Xavier sebagai seorang Horratio."

"Kenapa aku tak tau siapa itu Horratio?"

Dice mencoba tersenyum dengan kaku. "Memang sosoknya disembunyikan karena seorang penjaga tak harus tampak di depan, kan? Terutama Anda."

Gala terdiam. Mengingat-ingat sosok Xavier yang juga ayahnya. Apa mereka orang yang sama? Atau berbeda? Kedengarannya sangat berbeda. Xavier yang ia ingat sebagai ayahnya berwajah cukup hangat dengan banyak senyum setiap kali Gala melakukan sesuatu yang dirasa lucu. Atau banyak bicara mengenai ini dan itu.

"Lalu?" Gala cukup penasaran mengenai sosok ayahnya yang memiliki sisi lain ini.

"Aku dibuat untuk mempersenjatai Tuan Xavier menghancurkan Metro. Sudah lama Metro banyak melakukan pelanggaran yang tak bisa ditoleransi lagi oleh Penguasa Langit. Tapi Tuan Xavier selalu menundanya. Malah membuatku berada di bawah perintahnya tanpa bisa disusupi lagi oleh Penguasa Yang Agung." Dice melirik sedikit pada Gala yang wajahnya makin terkejut mendengar ceritanya.

"Itu benar, Tuan. Tuan Xavier selain pandai dan ahli strategi juga pintar dalam hal teknologi. Bertahun-tahun beliau menyempurnakanku di dalam kotak dadu yang kini ada di tangan Anda. Beliau tak ingin dirinya menjadi mesin pembunuh karena ternyata di Metro banyak orang lain yang tak tersentuh hal-hal yang melanggar tadi."

Gala setuju mengenai hal itu walau ia tak tau, apa ha-hal yang dikatakan sebagai pelanggaran.

"Penghancuran yang diminta Penguasa Langit bisa menyebabkan kerusakan total, Tuan."

"Tapi kau bilang, tugasku menghancurkan Metro. Maksudnya apa?" cela Gala cepat.

"Itu benar. Tugar Horratio memang seperti itu. Tugas Tuan Xavier pun sama."

"Tapi Xavier tidak melakukannya, kan?"

Dice mengangguk. "Itu lah yang membuatnya memiliki banyak musuh. Dari para penguasa empat Metro nyawanya diancam sementara dari Penguasa Langit, dirinya juga dijatuhi hukuman mati."

"Apa Xavier sekarang sudah ..." Gala tak sanggup melanjutkan ucapannya. Pikirannya selama ini selalu penuh kalau ayahnya bekerja tak kembali. Entah di mana tapi masih hidup hanya saja tak bisa kembali. Mungkin seperti ibunya?

"Aku tak tau, Tuan. Seperti yang tadi kukatakan, untuk sosok Tuan Xavier semua akses yang bisa aku cari sudah diblokir olehnya sendiri. Berbeda dengan Anda juga Nyonya Bellamie."

"Kapan terakhir kali kau bersamanya?"

Dice mengerjap pelan. "Tujuh belas tahun lalu, Tuan."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro