Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DICE. 6


"Kau sakit, Gala?" tanya Mr. Richard begitu melihat Gala menaiki tangga. Kemarin malam ia memergoki Gala yang berlari dan berwajah pucat. Bahkan ia menaruh sepedanya dengan kasar seperti orang gila. Belum lagi suara bantingan pintu flat Gala yang cukup memekak. Tadinya ia ingin meminta tolong tapi melihat keadaan Gala yang seperti itu, membuatnya urung.

"Tidak, Mr. Richard." Gala agak terkejut saat menoleh, pria tua itu menyapanya.

"Syukur lah. Apa harimu berat?"

Bagi Gala pertanyaan itu mengandung banyak perhatian. Di flat ini, hanya Mr. Richard yang sering menanyakan hal sepele seperti ini padanya. Sementara penghuni lain sepertinya justru berharap ia keluar saja. Gala kembali menuruni tangga, menahan diri untuk tak segera sampai di flatnya. Padahal tubuhnya hampir remuk karena pekerjaan di rumah Mr. Jian sangat bertumpuk.

"Tidak, Mr. Richard." Gala berusaha menampilkan senyum kecilnya. Padahal ia tak tau, wajahnya sudah mengerikan kalau dipandangi lewat cermin. Rambutnya berantakan, kemejanya lusuh sekali, belum lagi lembab karena keringat. Jangan tanya aroma tubuh Gala yang bercampur dengan bau busuk sampah sepertinya. "Ini sudah malam. Mr. Richard harus istirahat yang cukup."

"Harusnya itu kau ucapkan untuk dirimu sendiri, Gala," kata Mr. Richard dengan dengkusan. Tangannya menepuk bahu gala cukup kuat menimbulkan ringisan di wajah pemuda malang itu. "Sudah sana. Kau istirahat. Jangan lupa, liburmu untuk membantuku nantinya."

"Baik, Mr. Richard. Selamat malam."

Mr. Richard membiarkan Gala menaiki lagi tangga menuju flatnya. Menatap lurus punggung pemuda yang jauh lebih tinggi darinya. Mr. Richard mengenal Gala sejak ia pindah ke flat ini bersama ibunya. Mereka berdua orang baik, hingga tiba-tiba, Bellamie meninggalkan Gala begitu saja. Mr. Richard hanya dititipi pesan untuk mengawasi anaknya. Permohonan seorang ibu yang terlihat putus asa di saat malam badai itu.

Ia masih jelas mengingatnya.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" Mr. Richard bertanya penuh selidik pada Bellamie yang terisak di sofa ruang tamunya.

"Aku ... Xavier. Tapi ..."

"Ucapanmu mirip lebah, Bellamie. Yang jelas!"

"Aku harus mencari Xavier, Mr. Richard. Tapi ... tapi Gala tak bisa kubawa. Aku ..."

"Xavier?"

"Suamiku."

Ah, ayahnya Gala rupanya. Di awal kedatangannya, Mr. Richard piker Gala adalah anak tanpa ayah yang dibesarkan ibunya seorang diri. Tak perlu sosok lelaki dalam hidupnya karena selama tinggal di sana sepertinya Bellamie juga bocah kecil bernama Gala itu damai-damai saja.

"Saya mohon," pelas Bellamie. Matanya sudah meneteskan air mata sejak tadi. "Bantuanmu sangat berarti untukku, Mr. Richard."

Saat itu, Mr. Richard hanya menghela napas panjang. Kepergiaan Bellamie ia saksikan dari jendela flatnya. Seolah badai malam itu sama sekali tak bisa menghentikan keputusan wanita berambut pirang itu. Mengingat malam itu, Mr. Richard kembali merasa kasihan pada Gala. Sebesar apa pun tubuhnya sekarang, tetap saja anak itu seperti anak yang dibuang orang tuanya. Di mana sampai sekarang, tak pernah ada satu pun yang datang menjenguknya.

Sementara di kamarnya, Gala bergegas ke kamar mandi. Tubuhnya lengket sekali. Mandi dengan menggunakan sabun beraroma mint mungkin bisa membuat tidurnya lelap. Malam ini ia harus tertidur pulas. Besok akan menjadi hari yang panjang karena Mr. Kim bilang, besok ada pesta diskon di mana pastinya pengunjung makin banyak. Bayang piring kotor juga panci-panci berlemak yang berserak di sana sini ada di dalam pelupuk matanya.

Saat ia keluar kamar mandi, aroma harum masakan segera saja ia tangkap di indera penciumannya. "Dice?" Sembari menggosok rambutnya yang basah, juga sebagian tubuhnya yang masih menitikkan sisa air mandinya, ia berjalan ke dapur yang tak seberapa jaraknya. Ia bisa melihat gadis hologram itu memainkan semua alat dapur yang ada.

Masak.

"Dice?"

Dia menoleh. Matanya lurus menatap Gala. "Bisa kah Anda berpakaian? Walau aku tercipta dari alat canggih, tapi basic pembuatan jiwaku tetap perempuan. Aku masih memiliki malu, Tuan."

Seharusnya yang merona itu wajah Dice, bukan Gala. Di depannya, Dice hanya menatap lekat Gala sementara pemuda itu wajahnya sudah semerah tomat. Ia pun bergegas masuk ke kamarnya dan berpakaian. Tak butuh waktu lama untuknya mengambil kaus juga celana training untuk tidur. Koleksi pakaian layak pakainya pun sedikit. Ia bisa membeli atau bertambah koleksinya jika ada pemberian entah dari mana saja. Asal masih layak pakai dan menurutnya tidak terlalu sempit, Gala tak masalah.

Uangnya belum cukup kalau harus mementingkan penampilan.

"Apa alat canggih buatan Xavier seperti ini?"

Dice menoleh lagi. Kali ini, acara memasaknya sudah selesai. Sajian daging asap dengan kentang tumbuk juga beberapa potong buah segar ada di meja. Gala sampai menelan ludah berkali-kali saking inginnya ia memakan semua hidangan ini. Hingga habis tanpa sisa. Karena sepertinya lezat sekali. Aromanya saja membuat Gala tak mampu mengalihkan diri dari mana-mana.

Dulu Gala pernah makan di meja makan dengan menu selengkap ini. Bersama ibunya. Dengan banyak cerita juga kegiatan-kegiatan yang ia ingin lakukan setelahnya. Tapi ... itu dulu.

"Bisa, Tuan. Aku memang diciptakan untuk membantu, melayani, juga melindungi Tuan Xavier dan sekarang tugas itu dititik pusatkan pada Anda."

Gala berdecih pelan. "Hebat juga dia menciptakan alat sepertimu."

Dice diam saja. Memperhatikan Gala yang mulai bersiap makan. Mungkin karena kelaparan dan energinya banyak terkuras di luar, Gala makan sangat lahap. Memori Dice memutar ulang bagaimana dulu saat ia bersama Xavier sebelum pria itu bertemu Bellamie. Sama seperti Gala, terkadang Xavier kalau sudah kelelahan untuk lebih perlahan menikmati makannya.

Proporsi tubuh Gala juga mirip, mirip sekali malahan. Kulit putihnya yang pucat sebagai pembeda. Kalau Xavier berkulit putih cerah juga wajahnya yang bisa dibilang tampan. Sementara Gala? Sepertinya karena tak terurus makanya terlihat kusam juga kumal. Apalagi pakaiannya yang membuat Dice heran juga. Tapi setidaknya putra Xavier masih hidup.

Tujuannya ada masih bisa dilanjutkan oleh Gala. Walau sepertinya pemuda ini tak terlalu mengurusi masalah Metro. Hidupnya saja berbanding terbalik dengan Xavier. Tuannya itu gagah berani. Tak ada yang berani meremehkannya. Sekali ia mengeluarkan senjata, semua lawannya tunduk. Biarpun ada yang melawan, Xavier pastikan kalah. Petarung sejati. Begitu Dice beri julukan untuk tuannya.

Tak butuh waktu lama bagi Gala menyelesaikan makannya. Perutnya hampir meledak ia rasa. Semua yang Dice sajikan enak. Apa karena ia tak memiliki pembanding? Makanya masakan Dice bisa dibilang enak? Entah lah. Yang terpenting malam ini, ia tak kelaparan. Stok makanan yang berasal dari Mr. Jian tadi, sudah ia rapikan juga di kulkas yang masih belum ia percayai, kalau isinya memang penuh dan menggiurkan.

"Apa yang kau makan, Dice? Kulihat kau tak makan." Gala mengambil potongan apel.

"Semua makanan yang kumakan nantinya hanya akan mengotori lantai."

Gala tersedat. "Jadi kau transaparan?"

"Benar. Tapi aku bisa memegang benda padat. Seperti saat aku memasak tadi. Bukan kah Tuan melihatnya?"

Diingatkan pada kejadian tadi, Gala malu juga. "Lalu setiap harinya apa yang kau makan?"

"Di dalam dadu, aku mengisi energi."

"Listrik?"

Dice menggeleng. "Surya."

Gala tak paham maksud Dice apa, dia hanya memberi tatapan bodoh pada gadis hologram itu. "Apa aku bisa menyentuhmu?"

"Bisa. Hanya pemilik Dice yang bisa melakukannya. Kalau sang pemilik mengizinkan orang lain mengenalku, baru lah aku bisa disentuh."

Gala sangat penasaran akan hal ini. "Apa nantinya aku akan tersengat listrik?"

Dice tertawa kaku. "Tidak. Silakan kalau Tuan mau menyentuhku." Ia pun berdiri. Mendekatkan diri dengan sedikit menunduk. Biar bagaimana pun pemuda canggung di depannya ini adalah majikannya. Pemiliknya.

Pelan, tangan Gala bergerak mendekat pada tangan yang Dice ulurkan. Takut sebenarnya tapi ia penasaran juga. Tapi setiap kali Dice melakukan pekerjaan, seperti seorang manusia yang bisa menyentuh banyak hal serta benda di sekitarnya. Ketika permukaan tangannya menyentuh Dice, ada sensasi yang sangat aneh menjalari semua anggota tubuhnya.

Pendar jingga itu mengaliri tangannya tapi Gala tak fokus pada hal itu. Dalam bayang matanya, hamparan tanah luas dengan aneka bunga warna warni menyambutnya. Tangannya pun seperti ada yang menggenggamnya. Erat sekali. Bisa ia rasakan ada kehangatan di sana. Juga ... sosok wanita yang tadi pagi menjadi bahan pembicaraan. Ibunya.

Segera saja ia putus sentuhannya pada Dice. Cahaya jingga itu pun perlahan menghilang. Dada Gala berdegup keras. Matanya menyorotkan kebingungan. "Apa itu tadi?" lirihnya.

"Masa depan."

Gala menoleh, dipikirnya Dice tak mendengar ucapannya. "Apa?"

"Masa depan, Tuan," ulang Dice yakin. "Itu lah masa depan Anda."

"Bagaimana kamu bisa tau?"

"Potongan informasi mengenai masa depan itu bisa diperoleh dengan kecanggihan teknologi. Banyak dari penghuni di penjuru Metro yang sudah bisa mengakses hal ini tapi kebanyakan dari mereka, berakhir di rumah sakit jiwa. Bayang semu indahnya masa depan bisa juga memengaruhi apa yang terlihat seperti Tuan tadi. Hati Tuan masih tak direcoki bayang-bayang semu seperti itu."

Gala masih tak sanggup mencerna.

"Itu lah bayang sesungguhnya dari masa depan Anda, Tuan."

"Tak mungkin." Gala kembali berdecak pelan. Disambarnya gelas berisi air yang ada di meja. Meneguknya dengan rakus. Sisa air yang menempel di bibir, menggunakan punggung tangannya ia usap. Tak perlu menggunakan tisu. "Kau bilang ibuku di Metro Utara. Tapi bayang tadi?"

Dice tersenyum kaku. Kembali duduk tepat di depan Gala. "Anda bisa membebaskannya kalau mau."

"Apa?"

"Anda memiliki kuasa untuk membebaskannya?"

"Kau gila?"

"Tidak. Kenapa aku gila? Apa yang kukatakan adalah kesungguhan. Anda bisa membebaskan Nyonya Bellamie."

Setelah Dice mengucapkan hal itu, tak ada lagi yang bicara. Gala tenggelam dalam pemikirannya sendiri sementara Dice setia menunggu. Karena memang begitu lah ia diciptakan. Menunggu perintah, membantu, serta memastikan kalau sang pemilik baik-baik saja dan mulai menyusun rencana untuk mencapai tujuannya.

Menghancurkan Metro.

"Kau bilang, Xavier yang menciptakanmu."

"Benar."

"Apa kau mengenal ibuku?"

Dice menelengkan wajah. "Maksudnya?"

"Mengenal? Kau tau?" Gala menyugar rambut tebalnya. "Ibuku bisa melihat sosokmu?"

"Tidak. Nyonya Bellamie tak pernah diperkenalkan Tuan Xavier padaku. Aku hanya diberi tugas untuk menjaganya selama Tuan Xavier tak ada."

"Menjaganya?"

"Benar. Menjaga Nyonya Bellamie siapa tau berbuat atau mendapat masalah."

Gala terbeliak ketika ada sekelebatan pemikiran melintasinya. "Kalau kau bisa melindungi ibuku, kenapa kau biarkan ibuku pergi ke Metro Utara? Bukan kah di sana berbahaya?"

"Sudah kah Tuan Gala memahami? Aku hanya mengikuti perintah terakhir dari Tuan Xavier. Temukan anaknya dan semua kepemilikan serta kekuasaan Dice ada di tangan penerusnya."

Pemuda itu terdiam.

"Malam di mana Tuan Xavier mengalami kekalahan pertarungan besar, di saat itu lah beliau memberi pesan terakhirnya. Lalu melemparku sejauh mungkin hingga aku terdampar entah di mana. Jarak jangkauanku untuk mengawasi Nyonya Bellamie jadi terbatas. Aku tak bisa lagi menjalankan perintah menjaga Nyonya Bellamie."

Dice menatap Gala lekat-lekat.

"Butuh waktu lama untukku kembali berada di jangkauan lingkunganmu, Tuan Gala. Maaf, kalau kedatanganku terlambat."

***

Pagi ini Gala terbangun dengan pusing di kepalanya. Alarm jamnya memekak kuat sekali seolah bisa merobek gendang telinganya. Buru-buru Gala bangun dengan perasaan seperti terkena gempa. Semuanya bergoyang pelan. Membuatnya kembali duduk di tepi ranjang. Memijat pelipisnya pelan adalah hal yang biasa gala lakukan tapi cepat ia mengingat, kalau alarm berisik itu sudah berbunyi tandanya ia hampir terlambat.

Ia pun buru-buru melangkah dan seperti biasanya, ia kembali terjatuh karena kakinya masih tersangkut di selimut. Kepalanya menghantam tepian lemari. Kakinya agak terangkat karena lilitan selimut.

"Sial!"

"Tuan? Anda baik-baik saja?"

Gala mendongkak. Dice ada di ambang pintu. Kali ini cahayanya tak lagi biru, tapi kuning cerah.

"Apa warnamu berganti?"

"Iya. Setiap harinya. Tergantung suasana hati."

"Hati?" Gala menyingkirkan cepat selimut sialannnya itu. Tempat tidurnya sudah seperti kapal pecah tapi ia tak peduli. Ada yang lebih perlu ia buru sekarang. Waktu kedatangannya ke restoran. "Berengsek!" makinya lagi.

"Apa hari ini kau juga bekerja?"

Gala menyingkirkan Dice segera. Gadis itu ternyata memang seperti gadis pada umumnya. Seperti manusia. Bisa ia sentuh tapi di matanya hanya sepert bayangan. Aneh sekali alat canggih ini. Dikatakan robot, Dice menolak. Katanya, ia masih memiliki perasaan walau terbatas. Sedih dan senang bisa ia rasakan. Kecuali beberapa perasaan yang mungkin saja penciptanya terdahulu meniadakannya. Gala tak tau.

"Tuan?" Dice memastikan sekali lagi. Hari ini hari Sabtu. Biasanya pekerja libur di hari ini juga Gala. Ini minggu ketiga dalam satu bulan kalender di mana sejauh pengamatan Dice, hari ini jatah liburnya.

"Iya, aku bekerja hingga makan siang berakhir. Setelahnya aku di rumah Mr. Richard," teriak Gala dari kamar mandi. Acara menyikat giginya ia hentikan segera. Kenapa ia seperti tengah memberi tahu seseorang mengenai agendanya hari ini? Memangnya Dice ini siapa?

Hanya alat canggih milik ayahnya, kan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro