Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DICE. 51

"Cathleen," panggil Gala pelan. "Kau ... serius?"

Cathleen sedikit menyibak jubahnya yang menyapu jalan bersalju itu. Ia berjalan memimpin di mana Gala hanya berjarak beberapa langkah di belakangnya. Kereta salju mereka ada di tepian hutan yang mana mereka masuk ke dalamnya lebih jauh.

"Serius mengenai apa, Tuan?"

"Bisa kah kau jangan memanggilku denga sebutan Tuan lagi?" Gala berdecak. "Tadi kau bilang, kau berusia jauh di atasku. Artinya secara teknis, kau lebih tua dariku."

Cathleen menoleh dan memberi pelototan tajam di mana pemuda itu terkekeh menghampirinya.

"Kau ini gampang sekali tersinggung. Apa yang kuucapkan ini kenyataan, kan?"

Gadis itu memilih mengabaikan Gala saja. Tuannya memang menyebalkan juga ... mendebarkan. Selain kedekatan mereka sepanjang jalan menuju tempat di mana sangat ingin ia kunjungi ini, berulang kali Gala menatapnya tanpa ragu. Menenggelamkan Cathleen pada bola mata hitam yang terkadang berubah jingga walau sekilas. Tak bisa dipungkiri oleh Cathleen kalau tuannya memang tampan. Sejak awal bertemu, seorang Galaksi Haidar hanya butuh sedikit saja untuk merawat dirinya. Setelahnya?

Mungkin Cathleen bisa kesal kalau tuannya terus menerus diperhatikan oleh orang lain terutama para gadis. Ia masih mengingat bagaimana tatapan lapar pada gadis terutama Selena di Metro Utara kala itu. Ingatan itu saja sudah membuat Cathleen menghela napas berkali-kali.

"Tuan, harap perhatikan langkah Anda. Jalan ini licin sekali." Cathleen berkata sembari memegangi tembok yang terbuat dari es alami ini. jalan masuknya agak curam dan terkesan sangat tertutup dari dunia luar. Diangkatnya sedikit jubah serta bajunya itu. Ia memejam sejenak, mau memarahi Gala karena membuatnya seperti ini tapi di sisi lain, ia sangat menikmati waktunya bersama Gala. Mungkin karena gembira yang ia rasakan, justeru dirinya yang tak berhati-hati melangkah. Dan sungguh, ia benci diperlambat seperti ini.

Tubuh dan jiwanya seperti sudah menyatu dengan kecerdasana buatan dari Xavier Horratio ini. yang dinamis, sistematis, juga ringkas dan tak merepotkan seperti tubuhnya sekarang. Namun ... ia memang merindukan bergerak di tubuh aslinya. Kendati bukan di saat seperti ini.

"Hati-hati, Cathleen. Kau hampir tergelincir." Gala cepat menarik lengan Cathleen. Memeganginya erat. Menatapnya dengan khawatir. "Aku saja yang di depan. Tunjukkan arahnya." Di mana sekarang Gala ada di depan Cathleen persis seperti yang ia katakana barusan. Tangan itu masih saling tertaut bahkan erat sekali Gala menggenggamnya. "Kau perhatikan langkahmu, Cathleen."

"Iya, Tuan."

"Sekali lagi kau memanggilku dengan sebutan Tuan, kau akan rasakan akibatnya, Cathleen." Gala berbalik cepat yang hampir membuat Cathleen kehilangan keseimbangan karena lorong gua es ini berbelok cukup tajam. Undakan yang terbuat dari es abadi itu memang cukup licin untuk dilintasi.

"Bisa kah Anda tak berhenti mendadak?"

"Bisa kah kau jangan memanggilku Tuan?"

"Dan panggilan apa yang sesuai, Tuan? Sementara aku ini memang diperintahkan un—"

Mereka terjeda dalam dua undakan es saja yang mana sekarang Gala naik satu undakan dan wajah mereka sejajar. Dengan cepat, Gala sambar bibir merekah merah itu. Membungkamnya dalam satu kecup singkat. "Satu kali, Cathleen. Yang kedua kalinya tak akan sesingkat ini."

Wajah Cathleen yang memang sudah agak memerah karena dingin, semakin memerah karena tingkah Gala barusan. Ia sampai tak berkedip dengan apa yang baru saja ia rasakan. Kecupan itu ... sungguh manis.

"Ayo." Gala kembali melangkah. "Terangi," perintahnya pada dadu dan segera saja sepanjang mereka berjalan menyusuri undakan es, keadaan di dalam gua terang bendera. Dinding es yang ada di kanan kiri mereka seolah seperti dinding yang tak akan luntur diterpa panas. Bayang mereka terlihat di sana di mana Gala bisa melihat Cathleen berjalan dengan wajah menunduk malu. Hal ini membuatnya tersenyum kecil sembari terus melangkah dengan langkah yang lebih riang lagi.

Mereka semakin turun ke dalam di mana undakannya makin melebar dan akhirnya ... mereka sampai di satu tempat yang sangat luas. Di mana samping kanan kirinya dinding es itu perlahan mencair dan makin lama mata mereka disuguhan pada air yang turun deras dari tepian bebatuan yang cukup rimbun daun di atasnya. Hal ini sungguh membuat Gala mengerutkan kening.

Terlalu ... menakjubkan.

"Tempat apa ini, Cathleen?" tanya Gala dengan nada penasaran. Genggaman tangan itu masih slaing tertaut di mana sekarang Cathleen yang memimpin jalan. Pijakan tempat mereka memang tak terlalu rata. Berbatu juga basah namun bisa dilaluin dengan perlahan. Agar tak terlalu membuat sulit gerak Cathleen, Gala melepaskan sejenak tautan tangan mereka.

"Bisa kah kau lebih pelan sedikit, Cathleen? Jalannya berbahaya," peringat Gala cukup keras. Cathleen jelas tak menghiraukan apa yang Gala katakan. Ia percepat langkahnya untuk masuk terus ke dalam gua yang mana mulai terlihat hutan yang rimbun di dalamnya.

"Apa-apaan ini?" tanya Gala bingung. Bukan kah tadi mereka melewati tumpukan es? Yang dinginnya saja sampai membuat tulang-tulang Gala hampir membeku dan sekarang? Di depannya berdiri aneka pohon rimbun juga tanah yang sangat lapang. Rerumputan tumbuh subur di sana juga banyak ditumbuhi bunga aneka warna. Juga ... sorot terang sekali dari satu titik di mana Gala mendongak, cahaya matahari terasa menyilaukan menimpa matanya.

"Ini adalah surgaku, Tuan. Tempatku kembali."

Cathleen berdiri tepat di tengah lapangan yang cukup luas itu. Merentangkan kedua tangannya. Jubah biru besar tadi sudah ia lepas entah sejak kapan. Rambutnya yang tergerai makin berantakan ditiup angina semilir. Cahaya matahari yang melewati beberapa celah di atas sana, mengenai kulit wajah juga tubuh Cathleen yang putih. Berkilauan.

"Aku tak mengerti, Cathleen."

Gadis itu hanya terkekeh lalu bersiul dengan kerasnya di mana suara siul itu menggema sempurna di dalam hutan entah ini hutan apa namanya. Di dalam gua ada hutan? Yang benar saja. Pikir Gala begitu. Siulan itu berhenti namun menyisakan tanya di benak Gala. "Siapa yang kau panggil, Cathleen?"

"Muezza."

Gala pikir, nama itu mengartikan sebuah burung, kucing, atau anjing besar seperti Siberian Husky tadi. Tapi dia salah. Mueeza yang dimaksud Cathleen adalah seekor black panther. Dengan mata jingga yang tajam menatap sekitar. Ia turun dari salah satu pohon besar yang ada. mendekat pada Cathleen yang merentangkan tangannya. Di mana segera saja hewan berbulu hitam itu menerjangnya dengan kuat.

"CATHLEEN!!!" teriak Gala panik. Ia pun segera mendekat dan berusaha melepaskan cengkeraman kepala hewan bertaring runcing itu. Namun ....

"Tak apa, Tuan. Muezza tak berbahaya. Aku merindukannya sama sepertinya yang merindukanku." Cathleen berusaha melepaskan diri. Diusapnya segera kepala hewan itu. duduk bergelung manja seperti kucing besar yang bertemu majikannya.

"Kau yakin?"

Cathleen tersenyum manis sekali. "Aku yakin, Tuan." Dikecupnya pelan kepala Muezza. "Beri sapaan pada sang Horratio, Muezza."

Hewan itu seperti mengerti apa yang Cathleen bicarakan. Ia bangun dan langsung bergerak menuju Gala yang masih terdiam memperhatikan mereka berdua. Lalu ia duduk patuh dengan kepala menunduk. sedikit mengeluarkan suara juga memperlihatkan taring-taringnya yang tajam sekali.

"Dia meminta maaf karena mengejutkan Anda, Tuan."

"Kau ... bisa Bahasa hewan, Cathleen?"

Gadis itu masih mempertahankan senyumnya. "Hanya hewan-hewan tertentu yang tau siapa aku, Tuan."

Walau Gala masih tak terlalu mengerti, ia mencoba memahami saja. "Aku menyentuhnya tak apa-apa, Cathleen?"

"Coba lah."

Perlahan Gala mengulurkan tangan. Kepala hewan itu yang tadinya menunduk, ia dongakkan. Membuat Gala berjengit kaget tapi karena tak ada ancaman yang dikeluarkan panther ini sehingga Gala kembali mengulurkan tangannya untuk sekadar memberi usapan pelan di kepalanya. Persis seperti yang Cathleen lakukan.

Semua tingkah Gala yang menurut Cathleen lucu sekali ini membuatnya bangun dari duduk yang tadi Mueeza buat. Terjangannya cukup membuat Cathleen berguling di rumput yang ada. Dirapikan ujung pakaian yang ia kenakan agar tak ada sisa rumput yang menempel. Dilepaskannya sarung tangan yang cukup menganggunya itu. Gerai rambutnya yang mungkin sudah acak-acakan, ia ambil jadi satu gelung. Menggunakan sarung tangan tadi, ia ikat rambutnya agar tak terlalu mengganggu.

Baik Mueeza juga Gala terlihat mulai saling menyamankan diri. Gala sudah mulai berani menyentuh bagian bawah mulut hewan hitam itu. Di mana apa yang Gala lakukan membuat Mueeza terpejam. Hal ini juga tak lupu dari penglihatan Cathleen.

"Tuan," panggilnya pelan sesaat setelah ia mendekat pada Gala. Panggilan dari Cathleen membuat Gala menghentikan kegiatannya. Matanya segera saja terfokuskan pada Cathleen yang kini duduk di salah satu akar pohon yang mencuat.

"Mau mendengar kisah mengenai seorang putri tidur?"

Gala mengulum senyum. "Apa putri tidurnya secantik Cathleen Rafael?"

untuk ke sekian kalinya dalam hari ini, Cathleen memutar bola mata jengah. "Mau tidak?"

"Mau."

***

Pemandangan di luar kaca jendela mobil yang tengah Alex tumpangi, berganti secara perlahan. Masuk dalam perbatasan Metro Timur setelah melalui serangkaian pemeriksaan. Sama seperti para pengunjung lainnya padahal Alex sudah mendapat izin khusus tapi ia tak mau membuat keributan tersendiri. Sementara Theo sudah sangat geram karena petugas Metro Timur sepertinya sengaja memperlambat mereka.

"Bersabar lah, Theo," kata Alex pada akhirnya melihat ketidak sabaran dari kaki tangannya itu.

"Mereka semua membuat darahku mendadak mendidih."

Alex terkekeh pelan lalu matanya kembali menatap pemandangan di luar. Hutan yang tadinya lebat juga berangin hangat perlahan mulai mendingin. Perjalanan darat yang mereka tempuh cukup jauh tapi ia tak peduli. Selama sudah diberikan izin maka tak peduli seberapa jauh pondok di mana Bellamie tinggal, ia akan menghampirinya. Seth hanya memberi arahan dari perbatasan melewati perbukitan pertama jangan keluar dari jalur yang sudah disediakan. Akan ada pondok yang tak jauh dari danau beku yang terkenal indah dan bisa dijadikan tempat bermain ice skating namun lokasi itu sangat terpenting. Tak ada yang boleh ke sana kecuali orang-orang tertentu.

Karena pondok itu adalah tempat singgah seorang Xavier Horratio.

"Tuan, menurut pengarahan yang ada, kita masih harus menempuh tujuh jam perjalanan lagi."

"Aku tau," kata Alex pelan. Ia melirik pada arloji yang selalu ada di sakunya. "Tiga jam dari sekarang, kita menepi. Dirikan tenda dan beri tanda menggunakan suar. Seth tak mau kalau kita berkeliaran tanpa diketahui di Metro Timur."

Andai saja bukan karena perintah serta tuannya yang terlihat sedih karena kehilangan nona Bellamie, Theo tak akan segan untuk membombardir mereka yang menghalangi. Lebih memilih juga menggunakan jalur udara ketimbang darat yang cukup melelahkan ini. namun sekali lagi ia melirik pada sosok di sampingnya. Yang biasanya terlihat tegas juga mengeluarkan aura yang sangat mengintimidasi, kali ini semuanya terlihat dan terasa biasa saja.

Sorot mata tajam itu berkurang jauh. Sikapnya seperti hanya mengikuti arah yang terbiasa ia lakoni. Tak ada gairah juga semangat menggebu seperti biasanya. Segala urusan di Vore pun Theo yang lebih banyak menangani. Bahkan perjalanan kali ini saja, Alex hanya berpesan jangan menimbulkan keributan tersendiri di sana. Ia juga tak pernah bertanya lagi mengenai upeti serta pajak-pajak di kalangan tertentu.

Benar-benar bukan seperti seorang Alexander Millian.

Apa ... jatuh cinta membuatnya senelangsa ini?

"Aku memperingatimu sekali lagi, Theo," Alex tiba-tiba bicara dan kali ini terdengar serius sekali. Membuat Theo yang tengah mengendarai mobil ini agar tak tergelincir walau sudah diberi pengaman pada masing-masing ban, ia harus tetap menjalankan dengan kecepatan stabil, menoleh segera.

"Ya, Tuan?"

"Kalau nantinya ada yang menodongkan senjata dan melukaiku dengan senjata apa pun, jangan pernah melindungiku."

"Ta-tapi, Tuan!" Theo terbeliak. Ia menggeleng cepat. "Tidak bisa seperti itu, Tuan!"

Alex hanya mengangkat tangannya segera. Tak mau dibantah. "Aku sudah memberimu perintah. Tak ada bantahan."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro