DICE. 5
Di sela istirahat makan siang yang bisa dikatakan bukan istirahat karena singkatnya waktu yang diberikan, Gala masih bisa bersyukur ada kesempatan mengganjal perut. Walau kali ini perut yang biasa menahan lapar tak seperih biasanya. Entah Gala mesti bersyukur atau bagaimana yang jelas, hari ini Gala seperti dijatuhi lebih dari sekadar kesialan.
Atau justeru kebalikannya?
Beruntung?
Gala tak tau apa ini disebut keberuntungan atau musibah yang dibalut kegembiraan di pagi harinya tadi. Di mana ia tengah menyantap aneka makanan yang tersedia di meja. Nanti. Nanti akan ia pikirkan dari mana semua ini berasal. Tetangga di flatnya tak ada yang terlalu baik. Semuanya biasa saja bahkan lebih seringnya menambah daftar sial yang Gala punya.
Namun ...
Gala tersedak hebat saat baru saja mengunyah potongan ayamnya tanpa peduli, dari mana asal semua makanan yang ada di kulkas serta meja makannya. Lapar membuat otaknya makin kecil untuk berpikir. Apalagi perutnya segera memberontak kuat minta diisi karena sejak kemarin, makannya sangt sedikit. Buru-buru ia tenggak air yang ada di meja, hampir setengah jar minum yang kali ini ada isinya. Biasanya tak pernah ada. Matanya mengerjap berulang kali, diusapnya dengan kasar karena ia takut, apa yang ada di matanya sekarang adalah kebohongan.
Bayang gadis tadi ada lagi. Kali ini duduk tepat di depannya. Tersenyum walau kaku. Gerak wajah serta tubuhnya mirip robot tapi Gala tak yakin.
"Tuan menyukai masakanku?"
Ya Tuhan! Kegilaan apa lagi yang terjadi dalam hidup Gala? Apa gadis hologram bisa memasak? Tak mungkin!
"Kamu siapa?!" Gala mendorong kursinya dengan cepat. Ayam yang ada di tangannya bernasib sama menggenaskan sepertinya. Saking kagetnya tadi, ia lempar begitu saja ke arah gadis itu. Bunyi gesekan ujung kursi dengan lantai dapurnya yang sempit itu beradu kuat. Menimbulkan suara yang cukup mengganggu sebenarnya. Yang terlintas dalam benak Gala adalah pisau dapur. Di mana ia menyimpannya? Laci? Rak atas? Kulkas?
Semua tempat yang terlintas di kepalanya sudah ia geledah tapi nihil. Benda tajam itu tak ada di sana. Tak peduli kalau apa yang ai lakukan menimbulkan kegaduhan di dapur.
"Tuan cari apa?"
Gemetar pada tubuh Gala mulai merayap. "Tolong, pergi," ia putus asa. Pisaunya tak ada. Sekadar untuk jaga diri saja ia tak bisa. "Jangan ganggu aku," pelasnya.
"Mengganggu Tuan? Siapa?"
Gala tak berani melangkah, seinci pun ia tak bergerak. Memilih merapatkan diri pada dinding di dekat kulkas. Jantungnya makin berdebar keras ditambah keringat dingin mulai berkuasa di dahinya. "Ja-jangan mendekat." Matanya sudah basah air mata, peluhu di keningnya makin jadi. Apalagi ...
Gadis hologram itu bergerak sejak menanyakan siapa yang mengganggu Gala. Matanya menatap Gala tanpa ekpresi apa-apa padahal tadi pemuda itu sempat melihatnya tersenyum. Walau rasanya seperti hanya ditarik terpaksa sudut bibirnya itu.
"Siapa yang mengganggu Tuan?"
"Pergi!" Dalam sisa keberanian yang Gala punya, ia sedikit berteriak. Tak pernah dalam hidupnya ia menemui hal seperti ini. Apa ini yang sering kali orang lain katakana? Hantu wanita penasaran? Dari mana asalnya? Bukankah seingat Gala dalam cerita yang pernah ia dengar, hantu-hantu penasaran berasal dari pemakaman? Ia tak pernah melewati area pemakaman selama ini. Tapi kenapa Gala yang disasar?
Gala tak memiliki apa-apa kecuali kesialan.
Dice terdiam, menelengkan wajahnya sedikit. Berpikir. Geraknya mendekati Gala sudah tak ia lakukan. "Bagaimana cara aku pergi, Tuan? Sementara sekian belas tahun aku menunggu hari ini?"
"A-apa maksudmu?"
"Tuan sudah bisa diajak bicara?"
Gala tak berani bersuara.
"Tuan? kalau bisa, duduk dan nikmati sarapannya. Dan aku akan menceritakan siapa diriku ini."
"Hantu?"
Kernyitan di kening Dice makin jadi. "Hantu? Apa itu hantu?"
"Jadi kamu bukan hantu?"
Dice menggeleng kaku. "Aku teknologi berbasis kepintaran manusia. Tak ada yang memerintahku kecuali sang pemilik dadu."
Gala mulai sedikit menurunkan tingkat waspadanya. "Pemilik dadu? Jadi ... kamu ada yang punya?"
Gads hologram itu mengangguk cepat.
"Ta-tapi?" Gala kehabisan kata-kata karena semuanya makin tak masuk akal. Kalau saja gadis hologram itu mengatakan dirinya hantu, mungkin akal Gala masih bisa menerima. Tapi sekarang? "Apa ada hal seperti itu di dunia?"
"Tuan bisa duduk?"
"Tapi ... tapi kamu tak akan menjahatiku, kan?"
Dice tersenyum kaku. "Tidak. Anda majikan saya. Kata-kata Anda adalah keharusan untukku."
"Majikan?" Gala terperangah.
"Benar. Anda majikan saya. Pemilik dadu yang semalam Anda sentuh untuk membuat saya terbebas."
"Gila," rutuknya pelan. "Ini tak mungkin."
"Mari kita bicara, Tuan."
Lalu perlahan dengan langkah yang sesekali melirik ke arah gadis itu, Gala akhirnya kembali menyeret kursinya. Kali ini dengan gerak pelan. Tak terlalu menimbulkan derit yang menganggu. Agak lama Gala memberi perhatian pada gadis itu. Turun naik untuk sekadar memastikan kalau matanya bukan sebatas menangkap ilusi semata. Gadis di depannya ini memang terlihat ada tapi ...
"Jadi ... katakan siapa dirimu?"
Dice mulai menceritakan asal muasal dirinya dibentuk. Teknologi yang membuatnya sudah melebihi kecanggihan teknologi yang ada saat ini. Dibuat untuk tujuan tertentu tapi hanya bisa terbuka oleh orang yang memiliki darah tertentu. Dadu tempatnya bersemayam selama pencarian—dalam hal ini mencari Gala—bisa mengindentifikasi semua informasi mengenai sang pemilik sah.
Hanya ada satu orang yang bisa membukanya. Memerintahkan. Meminta apa pun padanya. Sang pencipta Dice; Xavier Horratio.
Gala terperanjat mendengar hal tersebut. "Xa-Xavier?"
"Benar, Tuan. Ayah Anda adalah penciptaku dan aku dititipkan untuk mencari keberadaan putranya di bagian Selatan. Butuh belasan tahun untuk mencari Anda."
Pemuda itu bedecih keras, bahkan sampai meludah. "Aku tak memiliki ayah bernama Xavier."
"Data dalam memoriku masih bagus dan sangat akurat mengenai Anda, Tuan. Anda lahir 02 Februari 2100 dengan tanda lahir tepat di pangkal paha. Berwarna hitam tapi mungkin sudah mulai memudar seiring bertambahnya usia. Anda lahir di saat orang tua Anda dipenuhi cinta. Keluarga harmonis. Ibu Anda, Bellamie Rosaline, wanita berhati lembut juga penuh kasih sayang. Mengasihi Anda sedemikian rupa."
Gala mengepal kuat. Rahangnya mengetat. Bayang ibunya yang pergi begitu saja saat ia berusia sepuluh tahun, masih nyata sekali di pelupuk matanya. Berulang kali ia bertanya apa salahnya, tak pernah ada yang bisa menjawab karena ibunya yang memang memiliki jawaban. Ia pun harus menerima banyak olokan serta cemooh yang mempertanyakan serta melabeli dirinya anak sial. Ditinggal ibu dan ayahnya entah ke mana.
Hanya flat yang ia tinggali dengan uang yang entah kenapa bisa cukup untuknya hidup hingga lulus pendidikan dasar.
Ada hari serta malam-malam tertentu di mana ia sangat merindukan kehadiran ibunya. Mendengar gadis hologram ini bicara mengenai keluarganya, membuat Gala memutar keeping-keping memori mengenai arti keluarga dalam hidupnya yang sial. Saat ia kecil dulu, ada pria dengan perawakan tinggi besar yang ia panggil dengan sebutan ayah. Sering kali Gala diajak ke taman sekadar membeli gulali. Saat itu, kalau ibunya tau, pasti lah Gala dimarahi.
Kadang mereka pergi berenang bersama, belanja buah di market yang ada di tengah kota, berkeliling menggunakan sepeda di mana Gala duduk di belakang ibunya.
Lalu ... kenangan manis itu berakhir. Di saat pria bertubuh tegap itu pergi. Ibunya beralasan, ayahnya bekerja. Tapi hingga ia pun ditinggalkan sang ibu, pria itu tak pernah kembali.
Dice masih melanjutkan ceritanya mengenai latar belakang Gala. Mulai dari sekolahnya, kegiatannya selama di sekolah, hingga teman-temannya yang hanya segelintir itu. Lalu saat ia terakhir kali menginjakkan kaki di tempat yang bernama sekolah. Semua Dice katakan dengan lancar karena sistem dalam kepalanya memroses demikian cepat informasi tersebut.
Hingga saat Dice mnegulas mengenai pekerjaannya, Gala tersadar kalau gadis hologram ini banyak tau dan bicara.
"Stop," kata Gala demikian dingin. "Jangan teruskan."
Dice langsung menghentikan semua informasi yang akan ia bacakan.
"Semua benar," lirihnya. "Kau memang alat yang canggih."
"Aku diciptakan lebih dari sebatas mencari dan mengumpulkan informasi."
Entah kenapa, mungkin karena perasaan sentimentil yang ia punya, ditambah ingatannya akan sang ibu kembali terbayang, ia meluncurkan satu pertanyaan yang entah harus ia sesali kini atau tidak. "Di mana ibuku kalau memang kau alat yang canggih?"
Dalam sekali klik, gambaran wanita yang butuh waktu lama untuk Gala perhatikan, apa benar itu ibunya. Tapi saat melihat sorot mata serta cara wanita itu menatap, akhirnya Gala menyadari kalau itu benar ibunya.
"Ibu," lirihnya pelan. Sosok itu tengah duduk di sudut ruangan. Wajahnya tirus sekali. Makanya Gala harus berkali-kali menegaskan penglihatannya untuk memastikan, kalau itu adalah ibunya. Tapi ada yang aneh dengan ibunya.
"Ibu?" panggilnya lagi. "Ibu!"
"Nyonya Bellamie tak akan bisa mendengar Anda, Tuan."
Dadanya bergemuruh kuat, napasnya jadi tersengal karena emosi yang ia miliki memuncak. Kepalanya terus saja terbayang sosok ibunya. Yang sebenarnya sangat ia rindukan juga marah di saat yang bersamaan.
"Di mana ibuku?" tanya Gala tak sabar. Diusapnya ujung hidung Gala yang ternyata basah.
"Metro Utara."
Gala terperangah. Tubuhnya sedikit kaku karena ucapan gadis hologram itu barusan. "Bagaimana bisa?" ia pun menggeleng cepat. "Apa yang ia lakukan sekarang?"
"Informasi itu tak bisa diakses, Tuan. Ada system yang memblokir tujuan dari orang tersebut ada di Metro Utara."
Gala menggeleng pelan. Semuanya masih tak masuk akal menurutnya. Bagaimana bisa ibunya ada di Metro Utara? Untuk apa? Dan tadi, wajahnya seperti orang yang terhimpit beban banyak. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa ada kaitannya dengan alasan ibunya pergi?
"Lalu ... Xavier? Orang yang kamu bilang adalah ayahku?" Gala cukup penasaran untuk hal ini. "Ada di mana dia?"
"Tuan Xavier menutup semua akses informasi mengenai keberadaaannya setelah berpesan padaku untuk terakhir kalinya. Temui anaknya, Galaksi Haidar. Lalu meneruskan sisa pekerjaannya."
"Hah?"
"Tuan Xavier memiliki tugas penting, Tuan. Ia tak bisa meneruskan entah apa alasannya tapi yang terpenting, kami, aku dan dadu yang semalam kamu sentuh, sudah sah kepemilikannya berpindah."
"Aku tak mengerti maksudmu."
Dice mengangguk pelan, paham atas kebingungan yang Gala alami ini.
"Dadu ini dibuat dengan teknologi paling canggih dan dikunci kepemilikannya oleh Tuan Xavier Horratio."
Sontak, Gala melirik pada benda hitam berbentuk kotak tersebut. Tak ada yang aneh sebenarnya, mirip seperti pajangan biasa tapi ia tak menyangka kalau ada hal seperti ini di dunia.
"Hanya Tuan Xavier yang bisa memindahkan kepemilikan kami dan juga harus pada keturunannya yang sah yaitu Anda, Tuan."
"Untuk apa?" sela Gala cepat.
"Menghancurkan Metro. Seluruhnya. Membuat tatanan baru di mana semua system yang telah berjalan, hanya tunduk pada satu perintah. Pemilik Dice. Anda."
***
"Bisa kah kamu tak sembarangan menampakkan diri? Orang lain bisa melihatmu!" Gala benar-benar dibuat gila oleh kelakuan gadis hologram ini. Berkali-kali ia keluar membantu pekerjaan Gala dan membuat beberapa orang menatapnya dengan curiga. Hari ini tak ada satu pun kesalahan yang Gala perbuat. Semua pekerjaannya beres dan juag tertata rapi.
Mr. Kim sampai mengerutkan keningnya yang bertumpuk lemak itu karena janggal tak ada kegaduhan yang Gala ciptakan di dapur. Tapi ia cukup senang akan hal itu. Mungkin sudah saatnya Gala tak seceroboh biasanya.
"Tak ada yang bisa melihat kecuali Anda memperkenalkanku pada orang yang Anda inginkan."
"Benar, kah?" Gala sama sekali tak memercayainya. "Tapi ... tapi kau seperti hologram."
Dice mengangguk pelan.
"Aneh sekali. Bagaimana bisa kau membantuku? Sementara kamu seperti bayangan? Transparan?"
"Berapa kali saya jelaskan? Kalau saya dibuat dengan tekonologi paling canggih?"
Gala menepuk jidatnya pelan. Langkahnya menyusuri lorong tempatnya menemukan benda aneh berkilauan ini karena tujuan setelah pulang kerja adalah kediaman Mr. Jian. Ia tak mau mengecewakan orang yang telah berbaik hati beberapa bulan terakhir ini.
"Apa namamu memang aneh?"
"Ya, Tuan?"
"Namamu. Dice. Aneh sekali," gerutu Gala. Langkahnya pelan sembari mendorong sepedanya. Ia persis seperti orang yang tengah bicara seru dengan kekasihnya. Sang pria mendorong sepeda, sementara wanitanya berjalan di sisinya. Tapi kali ini? Gadis yang berjalan di sampingnya adalah hologram. Konyol sekali.
"Database Internal Central Energy. Itu namaku, Tuan."
Gala berdecak pelan. "Tetap saja aneh."
Dice memilih diam.
"Kembali lah. Aku harus bekerja."
"Aku tak akan mengganggu, Tuan."
Gala tak mau ambil risiko hampir ketahuan bicara sendiri karena tadi, saat ia mencuci perlengkapan masak sebagai penutup hari ini, Luke memperhatikannya. Bertanya dengan nada mengejek dengan siapa Gala bicara. katanya, "Gala sudah mulai gila ternyata."
Pengendalian Gala juga sikap masa bodonya terhadap Luke sudah berada di titik tertinggi. Semua ucapan Luke sudah seperti pantulan yang ada di telinganya. Tak pernah ia cerna.
"Masuk, Dice," perintahnya. Tadinya ia merasa janggal sekali memanggil gadis hologram ini dengan Dice. Tapi mau dibilang apa? Namanya memang seperti itu dan ternyata itu adalah singkatan.
Tak butuh waktu lama, Dice menghilang dari pandangannya. Dadu itu pun kehilangan pendarnya. Hanya titik-titik di tiap sisi yang makin mencolok warnanya. Tadinya dadu itu sebesar kepalan tangan Gala tapi ternyata bisa fleksibel bentuknya. Kali ini, Gala meminta Dice utnuk membuatnya seperti bandul. Agar bisa ia kenakan pada lehernya sebagai kalung dan bisa ia sembunyikan di balik kerah kemejanya.
Malam yang kelam pun kembali menemani Gala menuju rumah Mr. Jian. Aroma busuk dari sampah-sampah di lorong yang Gala lewati, makin menusuk hidung. Gala tak peduli. Inginnya ia segera menyelesaikan pekerjannya dan pergi tidur.
Hari ini melelahkan.
Apalagi ia mengingat mengenai sosok ibu juga ayahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro