DICE. 46
Gala kembali memakai helmnya. Memutar arah menuju White House dengan segera. Ia sangat khawatir dengan keadaan ibunya. Hanya ditinggalkan satu pelindung kecil yang mana pastinya bisa segera dilumpuhkan oleh Gideon yang Agung. Mengingat sebenarnya kekuatan penguasa tertinggi Metro ini sangat lah besar. Namun geraknya terhenti mendadak. Gala merasa kebekuan menjalari seluruh syarafnya.
"DICE!" geramnya karena tau siapa yang melakukan hal ini padanya.
"Tunggu sebentar, Tuan. Aku yakin kedatangan Gideon yang Agung kali ini punya maksud dan itu berhubungan dengan dadu."
"Aku tak peduli," desis Gala. Ia mencoba sekali lagi mematahkan semua yang Dice lakukan tapi tak bisa. Kuat sekali ikatan tak kasat mata yang membelenggu dirinya ini "Dice! Ayo lah! Aku butuh bertemu ibuku!"
Dice tak peduli. Ia segera mencari informasi jelas dan segera menampilkan visual di mana ibu Gala ada di ruang khusus. Ia menghela napas lega. Sangat lega. "Anda bisa menyaksikan sendiri kalau Nyonya Bellamie aman."
Gala sedikit kesulitan untuk melihat apa yang Dice lakukan. Kacamatanya ia lepaskan dan tersimpan rapi di kanung jaket. Mengenakan helm full face membuatnya tak bisa bebas mengenakan kacamata. "Dice, kau ingin menguji sabarku?"
Dice menoleh dan terkekeh. Dimatikan system untuk menahan Gala dengan segera. "Maafkan aku, Tuan. Anda sekarang lebih menyeramkan ketimbang sebelumnya."
Gala berdecih. Segera mendekat pada Dice yang kini mengawasi ibunya dari jarak cukup jauh ini. "Apa kau yakin ibuku aman?"
Gadis hologram itu mengangguk. "Tingkat keamanan White House lebih dari sekadar Falcy Building juga Vore Club. Tak mudah untuk menyusup dalam system mereka apalagi saat Tuan Seth mengaktifkan pengamanan total. Banteng besar yang terbuat dari es uga dilapis dengan baja khusus membuatnya tak mudah ditembus. Bisa mengurangi begitu banyak tekanan dari pasukan luar. Lingkaran yang melintasi bagian udara Metro Timur juga sama. Bedanya aktif jika ada pasukan musuh dalam radius 5 kilo meter," terang Dice yang membuat Gala takjub.
"Kau atifkan mode siluman untuk kita, Dice. Apa karena Gideon masih menginginkan dadu?"
"Selalu, Tuan." Dice menoleh dan mengangguk pelan. "Gideon yang Agung ingin dadu itu kembali seperti yang ia katakan kemarin, kan? Sayangnya Anda pemilik sah biarpun Gideon yang Agung penciptanya."
Gala memfokuskan diri menatap tampilan di mana ibunya duduk dengan gelisah. Sendirian di ruang yang nyaman juga beberapa camilan. "Ibuku sendirian, Dice. Di mana Seth?"
Layar itu terbelah jadi dua di mana sisi satunya menampilkan Seth juga Gideon yang Agung. Di ruang yang sama di mana tadi Gala disambut secara khusus olehnya. "Bisa aku dengar mereka bicara apa, Dice?"
"Aku sedang mencobanya, Tuan. Kuharap masih dengan kode yang sama."
Untuk hal ini Gala sedikit curiga. Ditatapnya gadis hologram itu yang dengah sibuk memasukkan banyak sandi di layar kecil di mana dua kamera pengawas tengah mereka nikmati ini. "Kau bilang White House tak bisa ditembus system keamanannya, tapi kenapa kau bisa merentasnya, Dice?"
Dice tak menjawab pertanyaan itu, hanya menatap Gala sekilas lalu kembali sibuk. Membiarkan Gala keheranan sendiri dan setelahnya ... mereka bisa mendengar pembicaraan di sana.
"Jadi apa yang membawa Tuan Gideon yang Agung berkunjung tanpa pemberitahuan ini?" tanya Seth dengan tenang. Wajahnya terlihat berbeda dari sebelumnya. Sorot matanya tajam, gestur tubuhnya yang duduk santai sembari memainkan jemarinya tak terlihat sesantai itu. Ada sikap waspada di sana. Termasuk beberapa pengawalnya yang berdiri tak jauh darinya. Mereka semua menunduk tapi matanya awas mengawasi sekitarnya.
Sementara Gideon duduk dengan angkuhnya. Jas hampir menyentuh lantai yang terbuat dari kain cukup tebal sebagai pelapis kemeja putih yang selalu ia kenakan itu. kepalanya ditopang dengan tangan kirinya. Walau terlihat malas menatap lawan bicaranya, mata itu tajam sekali mengawasi pergerakan Seth yang terkesan santai itu. beberapa berkas berserak di mejanya pertanda penguasa Metro Timur itu tengah bekerja.
"Tidak kah kau tau apa yang terjadi di Metro Utara?"
Seth mengangguk pelan. "Bahkan sebelum Alexander menghubungiku, orang-orangku sudah tau apa yang terjadi."
"Dan?"
"Apa yang kau harap dariku, Tuan?" Seth sedikit memiringkan wajah. Tersenyum kecil lalu mengambil gelas minumnya.
"Di mana dadu itu, Seth." Belum selesai Gideon bicara, ia sudah mengibas pelan tangannya ke udara. "Bukan hanya dadu, tapi anak itu."
Seth menatap Gideon dengan wajah polosnya. "Anak? Dadu?"
Hal ini membuat Gideon marah. Ia hanya sedikit memutar tangannya di mana hal itu membuat Seth seperti kehilangan jalur napas. Ia mendongakkan wajah dengan mata hampir terbeliak tapi tak ada satu pun permohonan untuk dilepaskan ia luncurkan dari bibirnya. Ia biarkan Gideon melakukan apa pun padanya.
"Jawab, Seth!" desis Gideon yang segera melepaskan cengkeramannya dari leher Seth. Ia biarkan pria itu terbatuk serta menarik napas kuat-kuat.
"Apa yang mesti aku jawab, Tuan? Bukan kah Anda yang paling tau, di mana keberadaan dadu itu? Bahkan saat pertarurangan itu hampir berakhir, peluit panjang dari dadu itu berbunyi nyaring. Sangat nyaring yang membuat kami di sini pun bersiap. Karena dadu itu tak main-main memberi hukuman."
Gideon berdecak kasar. Apa yang Seth katakan memang benar. Dia yang paling tau dan bisa merasakan keberadaan dadu itu tapi setelah pertarungan di Metro Utara, dadu itu kembali menghilang. Seolah lenyap ditelan bumi. Setelah pertarungan beberapa waktu lalu, Gideon harus memulihkan dirinya dulu. Bertarung dengan Gala yang cukup lihai menangkis juga memberinya tekanan cukup banyak membuatnya kehilangan energy.
Mungkin benar kekuatannya besar tapi tak sebanding dengan usianya yang memang sudah sangat tua. Ada titik di mana dirinya memang lemah dan pertarungan itu menguras sekali. Kunjungan atau bisa dibilang pencarian ini baru ia lakukan ke Metro Timur. Entah kenapa ia merasa yakin kalau Gala dan ibunya itu melarikan diri ke sini. Sial sekali kalau mengingat bagaimana bisa pemuda itu membodohinya?
Tangannya terkepal kuat. Ia pun berdiri dengan segera. Tanpa menoleh sama sekali pada Seth yang masih menatapnya itu. walau Gideon tau, Seth masih mencoba menguasai keadaan. Cekalannya pada leher Seth tepat di jalur napasnya. Sedikit lagi ia keras dalam hal menekan, bisa dipastikan kalau Seth Rafael tewas ditempat. Biasanya ada perlawanan tapi Gideon tau, para penguasa Metro sebenarnya takut dengannya. Selain takut, mereka juga tau berurusan dengan siapa kali ini.
Gideon punya kuasa tertinggi.
"Kalau aku tau kau menyembunyikannya, Seth, maka kehancuran total untuk Metro Timur adalah balasannya," kata Gideon yang Agung dengan pelan namun masih bisa Seth dengar ucapannya itu. Lalu Gideon kembali melanjutkan langkahnya. Pergi dari Metro Timur dan perjalanannya menuju Metro Utara segera dilakukan.
Sepeninggalan Gideon yang Agung, Seth menghela napas lega. Ia sambar ponsel yang ada di dekatnya. Bukan ponsel dalam mode canggih tapi ini dibuat khususu jikalau ada panggilan-panggilan tertentu termasuk bahaya yang akan mengancam. Di mana sekarang, biarpun Seth sangat membenci Alexander, ia masih membutuhkan pria berambut perak itu. hubungan bisnis dengan Alex lebih menguntungkan ketimbang dengan Mavercik Osmond. Ia turunkan semu egonya demi rakyat Metro Timur. Padahal rasanya tangan yang Seth punya ingin sekali ia gunakan untuk membunuh Alexander.
"Gideon yang Agung sepertinya menuju ke Metro Utara."
"Apa Bellamie dan anaknya aman?"
Seth berdecih. Sorot matanya terlihat sekali kebencian di dalamnya.
"Seth, kumohon katakan," pelas Alex di sana.
"Baik. Dan kuharap kau tepati kata-katamu."
"Tak akan kupungkiri, Seth. Dan ... terima kasih sudah menjaga Bellamie juga Gala."
"Kulakukan bukan untukmu, Alex. Tapi demi sahabatku. Xavier!"
***
Gala segera memarkirkan motornya begitu Dice bilang aman untuk kembali ke White House. Selama menuju pulang, badai yang terjadi cukup besar. Angin sempat membuat Gala terhenti tapi kemudian kembali bergerak karena ia sangat mengkhawatirkan ibunya. Saat akan memasuki lobby utama di mana Gala sempat terpukau tadi, dua orang pengawal mendatanginya.
"Anda sudah ditunggu, Tuan."
Gala mengikuti gerak mereka yang berjalan hampir seperti berlari. Gala menahan diri untuk tak bertanya apa-apa pada mereka berdua karena selain ia tau ibunya baik-baik saja, ia pun tak punya bahan obrolan dengan orang lain. Gala bukan orang yang mudah sekali bicara. sifat dasarnya yang kaku memang sepertinya sudah mendarah daging.
"Tuan Gala," panggil salah satu dari mereka yang membuat Gala menatapnya cepat. "Anda hebat mengendarai motor. Persis seperti Tuan Seth jika tengah bersantai."
Pemuda itu hanya terkekeh kecil. "Kuanggap itu pujian dan terima kasih."
Dan setelahnya tak ada lagi yang bicara sampai mereka tiba di pintu besar yang Gala tau, di baliknya adalah ruang Seth yang tadi ia masuki itu. Saat pintu itu terbuka, di sana duduk ibunya yang terlihat baik-baik saja. Gala setengah berlari menyongsongnya. Mengamati ibunya lekat-lekat.
"Aku baik-baik saja, Nak." Bellamie tau kenapa putranya begitu khawatir. Diusapnya pelan rambut tebal milik Gala yang kini jatuh di pangkuannya. Mata sang putra terpejam. Meresapi pelan usapan yang Bellamie beri itu. "Kau sendiri? Jiro bilang kau menantang badai?"
"Tidak." Gala mendongak. "Aku masih sayang nyawa."
Seth tergelak dengan pengakuannya diikuti dengan Bellamie yang menggeleng pelan sembari tersenyum. "Kau menipu kami setelah melumpuhkan Jiro juga David? Kau ini."
Gala akhirnya tak bisa bersembunyi lagi. "Yah, menantang badai ternyata cukup seru kecuali keseruan itu terhenti karena ada kunjungan mendadak." Ia pun bangun dari posisi setengah berlututnya di depan sang ibu. Menarik salah satu kursi yang ada di dekat sang ibu. "Maafkan aku, Papa, atas pengawalmu yang kulumpuhkan tadi."
"Tak jadi soal." Seth mengibas pelan. "Aku yang terlalu meremehkan kemampuanmu."
"Papa?" tanya Bellamie yang segera saja menatap Gala bingung. "Kenapa kau panggil Seth dengan sebutan Papa?"
"Aku yang meminta, Bellamie," sela Seth cepat. "Jangan marahi anak itu. Dia anak yang patuh."
Itu bukan jawaban yang ingin didengar Bellamie. Wanita berambut pirang itu masih memberi tatapan heran pada Gala.
"Sejak masih dalam kandunganmu, Bellamie, Gala sudah kuanggap sebagai anak. Dan saat Xavier memintaku untuk menjaga kalian, perasaan itu makin jadi. Izinkan aku dipanggil Papa olehnya, Bellamie. Hanya itu permintaanku yang paling sederhana."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro