Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DICE. 38


Maverick Osmond tak pernah mengalihkan fokus dari seluruh informasi yang didapat mata-matanya. Russel bilang, kekuatan yang menggempur pasukan Alexander Millian tak main-main juga pasukan khusus miliki Gideon yang Agung bahkan turut serta dalam pertempuran. Namun semuanya bisa dilibas begitu saja oleh satu orang yang memegang dadu. Ia meneliti dengan amat mengenai data diri yang tersisa dari pantauan sistemnya di Metro Selatan. Tapi percuma. Semuanya terbentur pada satu titik saja. Tak ada informasi tambahaN kecuali 2 nama yang semuanya dirasa hanya tipuan; Galaksi Haidar dan Ryu Warren.

Pria itu mengambil cerutunya, membakar ujungnya dengan pemantik dan segera saja ruang kerja di Falcy Building ini penuh dengan kepul asapnya. Semua orang yang bekerja di ruang yang sama dengan Maverick sudah sangat terbiasa dengan kelakukan penguasa atau bosnya ini. Tak ada yang berani protes atau menampilkan wajah tak suka. Kalau ada yang berani, maka takarannya hidup sengsara atau mati. Maverick Osmond tak pernah main-main dalam berkata.

Ia menyandarkan diri di kursi kebesarannya. Memejam sejenak sembari berpikir bagaimana cara merebut dadu itu tanpa timbul pertempuran. Perbandingan pasukan khususnya dengan milik Alexander hampir setara. Artinya kalau ia pun mengerahkan pasukannya, kekalahan juga pasti akan ia terima. Ia tak mau ambil risiko itu. Bukan berarti ia tak berani. Salah. Tapi ia masih harus memikirkan strategi lain.

Tapi apa?

Ia ingat pembicaraan tiga hari lalu dengan orang kepercayannya. Yang mana ini menjadi landasan keputusannya terbang menuju Metro Utara. Duduk bersandar pada kaca jet pribadinya. Menikmati pemandangan indah Metro Selatan yang ia kuasai. Juga perlahan berganti dengan hutan-hutan perbatasan kedua wilayah mereka. Ia memejam pelan, pembicaraan dengan Russel kembali terputar pelan dalam pikirannya.

"Tuan," Russel memanggil pelan. Saat masuk ke dalam ruangan Mavercik, tuannya terlihat tengah bersantai dengan sandaran di kursi tapi ia paham, kalau kepala bosnya itu penuh dengan pikiran mengenai dadu juga pria berkemeja hitam yang berbuat ulah di Attis kala itu.

"Kalau kau hanya menggangguku dengan informasi tanpa ujung, jangan munculkan wajahmu di depanku, Russel." Maverick berkata pelan tapi sungguh membuat nyali Russel ciut mendadak. Ditelannya ludah dengan pelan dan mata yang sedikit tertunduk. Disodorkan pelan satu benda yang sudah berisi informasi yang berhasil ia kumpulkan dari Metro Utara. Dan Russel berpikir kalau informasi ini bisa sedikit membuat tuannya tak lagi berwajah masam.

"Apa ini?" tanya Maverick hanya melirik sekilas benda hitam pipih yang baru saja Russel letakkan.

"Tuan bisa lihat informasi yang saya dapatkan."

Ada decih malas yang keluar dari bibir Maverick. Ia pun sedikit enggan bergerak tapi tetap saja mengambil benda itu dan memasangnya di salah satu computer kerjanya. Tak butuh waktu lama layar komputernya menampilkan bagaimana keadaan di Metro Utara tepatnya di gedung hitam milik Alexander Millian; Vore Club.

Pantauannya sampai di mana pemuda itu terhenti karena dihadang segerombol pasukan Alexander. Dan ...

"Astaga!" Maverick berdiri. "Dia ... Galaksi Haidar?"

"Tepatnya Proximarry Galaksi Haidar, Tuan. Sang Horratio terakhir."

Maverick terhenyak. "Berapa banyak kekalahan yang Alex terima."

Russel tak berani menjawab. Ia memilih menunduk.

"BERAPA!!!"

"Hampir keseluruhan pasukan dipukul mundur, Tuan. Bahkan pasukan Gideon yang Agung juga dibuat kewalahan."

Maverick menggeleng tak percaya. Sekali lagi ia banting dirinya ke kursi besarnya. Termangu. "Seberapa kacau?" lirihnya pelan. Ia menyugar rambut tebalnya. "Seberapa kacau di sana, Russel?"

Russel makin mneunduk tapi ia tak berani untuk menghindar atau malah tak menjawab pertanyaan tuannya ini. "Hampir sebagian besar hutan tempat pertarungan itu terjadi, hancur. Pasukan Tuan Alex banyak menderita kekalahan tapi jumlah korban jiwa kecil sekali. Berbeda dengan perang atau serangan Xavier Horratio lainnya. Dari data yang saya punya, Tuan, kalau Xavier Horratio le—"

"Aku tak peduli dengan Xavier!" desis Maverick kesal. Matanya kembali meneliti pantauan dari salah satu drone pengawas yang ternyata disadap oleh Russel ini. Setidaknya kaki tangannya bisa berguna di saat seperti ini. Terlihat pemuda yang terus saja ia pikirkan itu berdiri menantang Gideon yang Agung. Wajahnya terlihat jelas. Mengenakan kacamata bening tapi dari pantauan kamera atas pun terlihat bola matanya berpendar sama dengan dadu yang ada di dekatnya.

Jingga.

Juga tatapannya tajam sekali. Seperti petarung sejati yang siap menebas lawan-lawannya tanpa ampun. Pertarungan itu sengit sekali terjadi di mana sang pemuda menangkis banyak sekali peluru yang dilesatkan Gideon yang Agung ke arahnya. Juga cambuk-cambuk yang tiba-tiba dihujani Gideon untuk si pemuda itu. Dan sungguh, gaya bertarungnya bukan seorang amatir. Lihai sekali menghindar serta memberi perlawanan dan beberapa kali juga Gideon yang Agung sedikit mundur dari posisinya. Wajahnya kesal serta terlihat marah karena menemukan lawan yang seimbang.

Namun ... Maverick bisa jelas melihat kalau pertarungan itu terhenti sejenak. Yang mana kemudian, terlihat seperti mereka berbicara.

"Tak bisakan kau melacak pembicaraan mereka?" tanya Maverick gusar.

Russel hanya mampu menggeleng pelan karena hal itu sudah ia coba berkali-kali tapi hasilnya nihil. Begitu banyak suara ledakan juga teriaka kengerian di sana. Belum lagi perintah-perintah acak untuk bertahan dan menghindari serangan lawan. Belum lagi rentetan senjata yang sangat berisik sebagai latarnya.

Maverick berdecak makin kesal. Dilemparnya cerutu yang baru dua kali ia isap. "Jangan beri informasi setengah seperti ini, Russel!!!"

Makin jadi lah ia menunduk dan beringsut takut. "Maafkan aku, Tuan. Tapi ... mohon disaksikan hingga rekaman itu habis."

Maverick berdecak kesal tapi matanya kembali fokus pada rekaman ini. Di mana Alexander terlihat menghampiri dengan dua ekor kuda tapi ... ada yang aneh di sini. Kenapa tangan kanan penguasa Metro Utara itu terlihat ia tutupi dengan jubah besarnya. Dan saat ia berdiri di dekat sang pemuda, walau tak terdengar mereka membicarakan apa, tapi Maverick tau ada sesuatu yang tengah terjadi. Juga saat angin tanpa sengaja menerbangkan jubah yang menutupi tangannya itu.

Hitam.

Membuat kening Maverick berkerut dalam. Hatinya makin terliputi dengan banyak tanya. Dan juga saat seorang wanita berambut pirang di mana ia pause sejenak rekaman video ini. "Siapa dia?" Maverick sangat penasaran siapa wanita yang tiba-tiba ada di dekat si pemuda itu. Juga dihampiri secara terang-terangan oleh Alexander Millian.

Seorang Alexander tak akan sudi bertingkah seperti itu kecuali ada sebab tertentu.

"Wanita itu ... Bellamie Rosaline."

***

Alex menggoyang pelan gelas berisi cairan berwarna merah ini. Gagang gelasnya terlihat kecil sekali dalam genggaman tangannya. Di depannya tersaji aneka makanan yang sangat menggugah selera. Meja besar itu disiapkan di salah satu bagian mansion yang masih bagus dari segi bangunan juga pemandangan. Beberapa bagian yang rusak sedang dalam pengerjaan perbaikan. Ia tak mau terlihat kalah dari pemuda bertubuh kurus itu.

Dibanding dirinya?

Jauh sekali tapi kekuatan mereka jauh di atas rata-rata. Ia masih ingat bagaimana tangan itu mematahkan Honji kesayangannya. Ia sudah menghubungi ahli pedang dari Metro Barat tapi sayangnya, Honji tak bisa diperbaiki. Ia kesal sekali karena mengingat banyak hal yang sudah ia lakukan bersama pedang kembar itu. Sekarang pedang itu menempati salah satu sudut kamarnya di mana sekarang ia tinggal. Di kamar yang dulunya ada Bellamie yang setia menunggunya kembali.

Teringat sosok wanita itu membuat Alex makin tak berselera makan. Sorot matanya makin sendu seperti kehilangan setengah jiwanya. Ia tak peduli dengan yang terjadi di sekitarnya. Mengenang Honji Mashimura saja rasanya tak sesedih ini padahal semua orang tau betapa Alexander Millian adalah ahli pedang paling terampil seantero penjuru Metro. Pedang itu terkenal sekali dan sekarang hanya lah nama. Namun mengenai Bellamie?

Ia tak tau kenapa rasanya seperti ini.

Mendesah pelan, ia teguk lagi cairan yang ada di gelasnya. Entah sudah berapa kali ia minum tapi rasanya masih belum mampu menghilangkan bayang Bellamie dari pikirannya. Terutama sorot terakhir yang wanita itu beri di saat terakhir kali mereka bertemu. Di mana Bellamie akhirnya tau, dia lah yang membunuh Xavier. Kalau saja ia bisa memohon maaf pada wanita itu, pasti sudah ia lakukan tapi keadaan di area perang kemarin sangat mendesaknya untuk bertindak cepat dan buru-buru.

Bahkan mengucapkan selamat tinggal saja ia tak bisa.

"Apa seperti ini seorang Alexander Millian jika tengah patah hati?"

Alex hanya menoleh sekilas. Berdecih pelan lalu menatap lagi pada hutan yang menawarkan kecantikan luar biasa yang kini dihujani mentari sore. Suara kicau burung yang berkeliaran bebas terdengar sebagai latar yang seimbang sekali di sana. Embus angin yang membelai rambut perak Alex terasa dingin dan menusuk tapi bagi Alexander, itu semua hanya sekelibatan saja.

"Perjalanan jauh, Mave?"

Maverick tergelak. Duduk di salah satu kursi yang sudah disediakan. Menerima satu gelas yang isinya sama dengan tuan rumah yang ia tatap dengan pandangan konyol.

"Kau tau? Seth terkejut mengetahui apa yang terjadi di hutan Metro Utara."

Alexander hanya terdiam, kembali meminum gelas yang hampir kosong itu.

"Kau tak ingin bertanya apa yang kudapat dari Seth?"

"Keberadaan wanita itu?" tebak Alex cepat. "Aku tau di mana dirinya tinggal sementara waktu."

Hal ini jelas membuat Maverick tergelak tak percaya kalau apa yang Alexander perbuat sampai sejauh ini. "Jatuh cinta memang semenyakitkan itu, huh?"

"Tutup mulut besarmu, Mave. Aku menerima kunjunganmu untuk bisnis, bukan untuk menertawakan apa yang terjadi padaku."

Makin jadilah Maverick berderai tawanya. "Bisnis di saat Horratio terakhir muncul? Kau ini gila atau sudah tak waras?"

"Dua kata itu memiliki arti yang sama, Mave." Alex menegakkan punggung. Tangannya yang menghitam terlihat jelas tapi tak terlalu dipedulikan. Rasanya masih seperti terbakar. Sengatan dari dadu itu kadang masih sering menghantuinya karena sungguh, itu menyakitkan.

Seluruh penguasa Metro pernah disumpah dan tau sejarah mengenai keberadaan dadu itu. Benda berusia ribuan tahun itu dibuat khusus sebagai senjata tersendiri yang diturunankan pada Horratio. Memberantas kejahatan yang ada di jagad Metro. Di mana empat penguasa Metro diminta tunduk pada apa yang diminta Horratio. Dulu system yang berlaku memang seperti itu tapi seiring berjalannya waktu, banyak pelanggaran diam-diam dilakukan dan lebih mengerikan ketimbang yang terang-terangan dilakukan.

Ini membuat Xavier selaku Hooratio saat itu, tak pernah main-main menggunakan dadunya. Hanya mungkin karena keberuntungan tersendiri bagi Alex di mana ia bisa memukul mundur dan membuat kekalahan telak pada posisi Xavier. saat itu perlawanan yang ia berikan dalam tahap maksimum. Tapi kalau membandingkan belasan tahun berlalu dengan saat ia menghadapi Gala, ia merasa ada jurang perbedaan yang besar sekali.

Seolah Alex sengaja dibuat menang dan membuat dirinya bisa mengumumkan diri kalau Xavier Horratio kalah telak. Walau dadu itu menghilang entah ke mana, tapi tak pernah ada lagi yang menganggu empat penguasa Metro melakukan kejahatannya. Kendati demikian, masing-masing dari mereka selalu bersikap waspada. Mereka semua percaya, akan datang di mana Xavier mungkin kembali bersama dadu.

Karena selama Xavier tak ada, dadu itu tak pernah menunjukkan keberadaannya. Signalnya hilang begitu saja sampai kedatangan Gala yang membuat mereka terkejut. Sangat terkejut.

"Jadi ... apa yang akan kita lakukan?" tanya Maverick pelan tapi mampu membuat Alexander menoleh. Memberi atensi penuh pada Maverick yang menatapnya tanpa ragu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro