DICE. 33
Sejenak, Gala menengadah ke langit malam yang indah ini. Suara-suara hewan malam menjadi latar yang membuat suasana di tepian hutan kali ini tampak lebih syahdu dari malam-malam sebelumnya yang pemuda itu lewati. Banyak bintang bertaburan di sana juga bulan yang bulan sempurna. Sepanjang matanya menatap langit, seluruhnya gelap tapi menawarkan keindahan tersendiri.
Ia tak tau sudah berapa lama terdiam menikmati langit malam. Udara yang berembus dingin tak membuatnya menyerah untuk masuk kembali ke dalam tenda yang didirikan secepat kilat beberapa jam lalu. Api unggun yang ia buat dan nyalakan sebagai penghangat juga untuk keperluan membuat makan malam tadi, masih menyala dengan kobar pelan. Membuat kehangatan tersendiri pada Gala yang tak mau beranjak sama sekali dari posisinya.
Tangannya terdapat luka gores yang sudah dibalut perban. Bahunya ia rasakan ada nyeri yang cukup kuat mungkin karena menahan beban senjata yang melontarkan banyak peluru saat digunakan belum lama ini. Benaknya masih memutar betapa mengerikan serangan semalam tapi ... kenapa rasanya ringan sekali ia bertindak? Tak ada beban. Semuanya terlihat seperti latihan menembak yang sering dilakukan bersama Dice. Tak seperti ketakutannya akan sergapan yang ia khawatirkan.
Bisa dibilang persentase kemenangan Gala tadi mendekati serratus persen. Pasukan Alexander bisa ia pukul mundur tanpa menimbulkan korban jiwa. Data dari kacamata yang Gala kenakan mengonfirmasi akan hal itu. mereka yang tertembak hanya mengalami luka tembak di kaki atau sekitaran paha. Tak menimbulkan serta mengakibatkan luka terlalu serius sampai harus kehilangan nyawa.
Gala memang menyetting seluruh jangkauan tembaknya dalam mode melumpuhkan, bukan membinasakan. Ia tak mau ada korban jiwa dalam serangan kemarin. Tapi tetap saja, ia merasa ada keanehan tersendiri seolah Gala ini sudah sangat terlatih memegang senjata. Mengatur beberapa alat tempur lainnya seperti ia terbiasa melakukan semua ini.
Apa ... karena dadu?
Tak ada yang terlupakan dari tiap detail yang terjadi tiga jam lalu. Termasuk tangannya yang mematahkan pedang milik Alexander Millian. Tangan yang ia gunakan untuk mematahkan pedang besar itu ia tatap lekat. Tak ada sedikit pun luka gores di sana padahal Gala tau, tajam sekali pedang itu. Kilau juga desing sangat bertubrukan dengan tanah di mana jejak goresannya kentara sekali sudah cukup membuatnya yakin, pedang itu bukan sekadar pedang biasa.
Tapi ia mudah sekali mematahkannya. Persis seperti ia mematahkan ranting yang menghalangi jalannya. Wajah Alexander yang berdiri tak jauh jadinya pun pias. Matanya melotot tak percaya pada apa yang Gala lakukan pada pedangnya. Belum lagi saat ia menyebut nama Bellamie Rosaline. Pria berambut putih itu justeru mundur dan pergi dengan cepatnya.
Gala tinggal diam? Tidak. Ia meminta salah satu drone mengikuti sampai kehilangan jejak karena ditembak jatuh oleh pengiring dari Alexander Millian. Tapi setidaknya, Gala sudah mendapatkan visual ke arah mana Alexander melarikan diri. Gala sendiri tak tau bagaimana bisa ia berjalan demikian cepat menyusul Alex. Di mana kacamata itu sepanjang jalan menampilkan begitu banyak kekacauan yang ditimbulkan penguasa Metro Utara ini.
Ia tak menyangka kalau pelanggaran terselubung ini memang benar terjadi. Semuanya mulai terasa saling berhubungan dengan apa yang Dice jelaskan. Siapa yang akan percaya dengan ucapan gadis hologram yang keluar dari dadu aneh? Walau ia sedikit banyak memanfaatkan untuk mencari ibunya. Dan mulai merasa kalau semuanya ini bukan perkara main-main lagi. Apa yang Xavier Horratio lakukan itu kenyataan. Bukan sebatas mencari perang semata tapi ada yang memang harus dibenahi.
"Tuan, Anda tidak beristirahat? Sebentar lagi pagi menjelang. Perjalanan kita masih panjang untuk pulang."
Gala menoleh pelan. Dice ada di sampingnya. Pendar birunya temaram dan terlalu mencolok membuat Gala cukup nyaman. Ia beringsut pelan ke arah salah satu akar pohon yang mencuat di sekitarnya. Duduk di sana dengan mata yang masih menikmati kelamnya langit bertabur bintang ini.
"Kantukku hilang, Dice."
Gadis hologram itu tak mengatakan apa-apa lagi. Sama seperti tuannya, ia memilih menengadah menatap langit. Di mana ia sebenarnya ingin bertanya bagaimana bisa Gala mau menyerahkan dadu walau ... bisa dibilang itu pengalihan. Dice benar-benar kalut saat itu. ia lupa kalau dadu itu memiliki autentifikasi khusus dalam hal penyerahan kepemilikannya. Tak bisa sembarang orang memegangnya ketika dalam keadaan aktif. Kecuali Dice mematikan system dari dadu itu sendiri. Seperti dulu saat ia mengembara dan menjadi koleksi orang-orang bermandikan gold.
"Bisa kah kau katakan apa yang terjadi padaku, Dice?" tanya Gala pelan. Banyak sebenarnya yang ingin ia tanyakan dan mungkin saking banyaknya sampai Gala kebingungan mulai dari mana. Ia tau kalau Dice tak beranjak menjauh tapi memilih menemaninya.
"Apa yang ingin Tuan tau?"
Gala mendesah berat. "Dice, aku benar-benar ingin tau apa yang sebenarnya terjadi. Aku merasa tadi itu bukan aku yang bertindak." Matanya terpejam kuat. "Jangan ada satu pun yang kau tutupi, Dice."
Dice mengangguk pelan. "Akan menjadi penjelasan yang panjang. Tuan yakin ingin mendengarkan? Anda terlihat lelah, Tuan. Lebih baik Anda beristirahat."
"Jangan kau tunda penjelasan itu untukku, Dice."
Gadis hologram itu menarik sudut bibirnya pelan. "Baik, Tuan." Dia berjalan sedikit ke depan di mana makin terlihat jelas langit biru gelap yang mulai tampak warna jingga di ujung jauh di sana. Meninggalkan tuannya yang masih duduk di salah satu akar pohon itu. "Dadu bekerja sebagaimana mestinya, Tuan. Memberi begitu banyak perlindungan dan saat Anda menggunakannya, Anda tak bisa lagi memungkiri siapa diri Anda yang sesungguhnya."
"Tapi aku tak gunakan dadu, Dice."
Dice terkekeh sembari menoleh pelan sekadar menatap tuannya yang terlihat kebingungan itu. Ah, bukan bingung. Tapi tak sadar atas tindakannya beberapa jam lalu. "Lupa kah Anda saat mengocok benda itu? Menampilkan tiga titik di mana ada beberapa yang Anda minta?"
Gala terperangah membuat Dice melanjutkan ucapannya. "Saat itu lah semua perlindungan dadu untuk Anda aktif 100% dan Anda sah menjadi pengganti Xavier Horratio."
"Aku seperti dijebak, Dice." Gala menggeleng berulanng kali. Kepalanya makin jadi memutar semua yang telah terjadi padanya ini. Termasuk bayang kelam perang yang Xavier lakukan. Suara-suara mengerikan yang berteriak minta tolong agar dibebaskan dari cengkeraman pada penguasa yang seenaknya berbuat, juga para pasukan yang tiba-tiba menghilang begitu saja karena ulah Xavier. dan akibat-akibat yang terjadi setelah penyergapan yang Xavier lakukan.
Semua itu berputar terus di kepala Gala. Membuatnya merasakan sakit yang cukup kuat dan berdenyut nyeri di sekitar pelipis. Gala memijat pelan untuk mengurangi rasa sakitnya tapi tetap saja semua itu terasa sia-sia.
"Tak ada yang menjebak Anda, Tuan. Ini memang takdir Anda."
Gala terdiam sejenak. Napasnya mulai tak stabil. Matanya juga sedikit berbayang saat menatap Dice. "Tapi setiap kali kugunakan dadu, apa memang memberi efek tersendiri bagi tubuhku?"
"Maksudnya?"
Gala memilih bersandar dengan mata terpejam "Aku merasa seperti memiliki kekuatan super, Dice. Dan rasanya itu sangat tak realistis."
"Tuan, Anda lelah. Anda sebaiknya istirahat dulu." Dice mendadak khawatir dengan kondisi tuannya. "Tolong, bekerja sama lah," pinta Dice pelan.
Gala keras kepala kali ini. Ia menggeleng tegas. "Cepat katakan, Dice."
Yang bisa Dice lalukan hanya menjawab semua pertanyaan ini. "Bukan kekuatan super, Tuan. Tapi itu memang kekuatan yang Anda miliki. Hanya saja aku tak sangka kalau Anda jauh di luar ekspektasi aku, Tuan."
Kening Gala berkerut dalam. Pejam itu ia sudahi. Punggungnya kembali menegak. Dice tau kalau tuannya kebingungan. Bukan hanya tuannya, Dice sendiri pun tak menyangka begitu Gala menerima takdirnya, kekuatannya jauh-jauh lebih besar dari seorang Xavier. tuannya dulu dianugerahi kecerdasan di atas rata-rata. Ahli perang yang sangat kompeten. Semua jenis persenjatan ia kuasai dan dalam modifikasi khusus agar tak terlacak bagaimana seorang Xavier bisa menggempur musuhnya dengan telak. Belum lagi tingkat adaptasinya terhadap lingkungan baru yang demikian cepat.
Beda dengan Gala.
"Apa ... berbahaya, Dice?"
"Tidak, Tuan. Selama Anda bisa mengontrol semua hal yang terjadi di dalam tubuh Anda. Apa Anda merasa ada sesuatu yang berbeda sekarang?"
Gala menggeleng cepat.
"Artinya kalau Anda berada dalam posisi bertempur, kekuatan Anda baru lah muncul."
Gala mengangguk pelan. Di ufuk sana, cahaya jingga mulai menampakkan dirinya. Bersatu dengan biru langit yang kelam tapi perlahan terlihat cerah seiring dengan cahaya jingga itu makin terang. Sama seperti dadu yang kini terpasang kembali di leher Gala. Pendarnya makin terang.
"Dice, kenapa dadunya seperti ini?"
"Aktifkan mode ilusi," kata Dice cepat. Dice langsung menarik Gala mendekat pada tenda. Api yang menyala tadi langsung lenyap begitu saja. Gala menatap Dice dengan kebingungan.
"Ada apa?" Gala menyempatkan diri melirik pada dadu yang makin menyala terang jingganya. Dilepaskannya pelan kalung itu dan dadu pun terlepas dari kaitannya. Melayang pelan di atas telapak tangan Gala. "Dice?"
"Aktifkan mode tempur."
Lalu di sekeliling Gala terdapat layar yang begitu lebar. Mencakup seluruh hal yang bisa ditangkap dan diamati dari jarak sedemikian dekat tapi daya jangkaunya sangat jauh. Sampai pada titik di mana gerbang mansion yang semalam Gala rubuhkan terlihat. Padahal Gala sudah membawa mereka semua menepi pada hutan yang cukup jauh dan ia rasa aman untuk bermalam sejenak.
"Apa apa, Dice?" tanya Gala masih penasaran.
"Anda bisa amati sendiri, Tuan."
Mata Gala langsung menatap layar dan terlihat titik-titik dari arah barat mulai bergerak. Titik itu banyak sekali. Gala menyentuh layar di mana titik itu timbul. Memperbesarnya. Dan terperangah begitu melihat titik itu adalah satu gerombolan pasukan di mana mereka dipersenjatai dengan sangat lengkap. Termasuk ... tank.
"Ini gila."
Dice hanya terkekeh. "Kita tak bisa lolos begitu saja kecuali semalam kita melewati perbatasan dan menuju Metro Timur."
"Kau gila, Dice? Ada ibuku." Gala meraup wajahnya kasar disertai dengkus frustrasi. Masa iya ia harus bertempur lagi? Setelah kekacauan di luar nalarnya. Tidak. Tidak.
"Justeru ini pasukan Metro Utara mengarah ke sini karena ibu Anda, Tuan."
"Hah?"
"Anda harus bersiap dalam dua puluh menit. Ibu Anda juga harus menggunakan pakaian khusus. Ini bukan sebatas pertempuran biasa."
"Dice!" sentak Gala cepat. "Bisakah kau bicara dengan bahasa yang kumengerti?" teriaknya dengan nada setengah frustasi.
"Aku tak tau ada hubungan apa antara Nyonya Bellamie dengan Alexander Millian tapi ini kuat sekali kaitannya."
"Aku sungguh tak paham, Dice. Memangnya apa yang telah terjadi? Aku tak mungkin bertanya sekarang, kan? Situasinya sangat aneh, Dice. Aku ... aku ..."
"Apa yang ingin kau tanyakan, Gala?"
Gala menoleh cepat. "Ibu?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro