Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dice. 22


Bellamie berjalan dua langkah di belakang Alexander. Tubuh tegap menjulang itu berjalan dengan angkah konstan dengan mata waspada pada sekitar. Di tangannya terdapat busur yang siap dilesatkan kapan saja ia butuhkan. Rambut keperakan milik Alexander makin terlihat berkilauan seperti ditaburi berlian. Terik matahari siang ini cukup menyengat tapi karena perjalanan mereka memilih jalur tepian hutan yang rindang.

Hari ini Alexander mengajak wanita yang selama ini hanya berdiam, berkegiatan, serta dijadikan tawanannya tanpa disadari oleh wanita itu. Pikir Bellamie, ia ada di mansion Alexander Millian karena kesalahannya mencoba kabur. Biar saja seperti itu, Alex tak peduli. Baginya yang paling penting, saat pulang dari melakukan perjalanan ke luar kota atau pun di sela kesibukannya menguasai dua kehidupan di Metro Utara, ada Bellamie yang menyambutnya.

Ada beberapa hal yang mulai berubah dari Bellamie padanya. Alex merasa, wanita itu mulai mau banyak bicara termasuk menanyaninya beberapa bagian yang disukai termasuk makanan.

"Apa kau bisa memasak?" tanya Alexander suatu kali. Mereka duduk di balkon yang disulap sebagai meja makan karena begitu banyak hidangan yang dibuatkan koki mansion untuk mereka berdua.

"Bisa, Tuan. Menu favorit andalanku ayam panggang."

Alex terkekeh, disapunya pelan sudut bibir wanita berkulit putih itu karena berlumuran saus. "Kau ini berusia beberapa tahun di atasku, Bella. Tapi setiap kali melihat caramu makan, aku merasa seperti mengasuh bayi."

Wanita itu mengerjap pelan. Sudut bibirnya tadi tanpa sadar ia sentuh. Matanya tak dialihkan ke mana-mana selain pada Alex yang tampak santai menyantap sajiannya. Merasa diperhatikan, Alex hanya menyeringai. "Makan yang banyak, Bella. Pelayan bilang akhir-akhir ini kau hanya menyantap buah."

"Entah kenapa rasanya menyegarkan makan buah yang baru saja dipetik dari kebun belakang."

"Asal kau tetap perhatikan makanmu, Bella. Aku tak ingin meniduri tulang berdaging tipis."

Mengingat hal itu saja, bagi Alex sangat berharga. Apalagi Bellamie tak banyak membantah lagi, senyumnya mulai sering hadir, rona wajahnya makin bersemu merah muda, juga ... semakin cantik dan memikat hatinya. Alex menggeleng segera atas pemikiran itu. Tak mungkin ia terpikat. Benar. Ia tak mungkin terpikat pada wanita yang seharusnya tetap ia jadikan tawanan sampai Xavier kembali. Akan ia jadikan alat pertukaran yang seimbang dengan dadu.

"Anda lelah, Tuan?"

Langkah Alex terhenti seketika. Menoleh pelan di mana wanita yang sejak tadi memenuhi rongga pikirannya. Ia kenakan pakaian panjang menutupi seluruh tubuhnya yang seputih pualan. Rambut pirangnya ditempa cahaya mentari siang membuatnya makin bersinar. Seolah usia bukan hal yang mampu membuat wanita itu terlihat tua tapi justeru semakin terpancar kecantikannya. Tulang pipinya makin terisi dengan lemak mungkin karena Alex memastikan dirinya tak kekurangan makan. Dibanding saat pertama kali mereka bertemu, kondisi Bellamie saat ini jauh lebih baik.

Jubah besar yang terbuat dari kulit rubah berbulu hampir sewarna dengan rambut wanita itu, menjaga suhu tubuh Bellamie tetap aman karena terik matahari ini hanya sebatas terik. Udara yang berembus cukup membuat kebekuan di ujung jemari.

"Tidak. Justeru pertanyaan itu harusnya untukmu."

Bellamie tersenyum lebar. Giginya yang putih terlihat jelas. Matanya saja bahkan hampir tenggelam karena senyumnya itu. Yang membuat Alex tanpa sadar bergerak mendekat.

"Tidak, Tuan. Aku menyukai perjalanan ini. Sepatu yang kau berikan melindungiku dari batu-batuan yang sejak tadi cukup menyulitkan gerak langkahku."

Mata mereka bertemu dalam jarak yang makin tipis. Embus napas Alex sudah sejak tadi terasa di pipi Bellamie yang makin merona karena udara di sekitarnya makin rendah saja.

"Apa kau tengah menggodaku, Bella?" Menggunakan jemari telunjuknya, Alex mulai menyusuri pipi Bellamie yang kemerahan. Bagian awal yang paling pria itu sukai. "Katakan padaku, apa yang kau pikirkan?"

"Tidak, Tuan. Aku bukan menggoda Anda. Ini ketulusan hati yang kumiliki atas kebaikan Tuan Alex." Bellamie bukan wanita yang pandai menutup perasaan dirinya akan sesuatu. Selama ada di kamar Alex, walau tak diperbolehkan ke mana-mana. Tapi pria berambut perak itu dari hari ke hari memperhatikannya dengan sangat baik. Tak ada lagi sikap kasar, memerintah, serta arogansi yang ditunjukkan di depan Bellamie seperti saat mereka bertemu.

Bellamie tak tau sudah berapa lama menjadi tawanan Alex. Mungkin jalan hidupnya sudah seperti ini. Ia tak bisa meminta atau berjuang untuk keluar dari sini. Bukan tak ingin, risikonya besar sekali. Anjing-anjing penjaga Alex benar-benar tak pernah segan melakukan semua perintah tuannya. Sekali dua kali Bellamie diperlihatkan kekejaman Alex yang membuatnya berpikir ulang untuk kabur dari sini.

Akhirnya wanita itu putuskan, menjalani hidup di sini dengan sebaik mungkin. Tak masalah apa pun yang Alex lakukan tapi makin hari juga ia rasa, Alex berubah. Membuat hatinya mulai dipenuhi pemikiran lain. Ada rasa kehilangan yang mendadak muncul tiap kali Alex meninggalkan kamarnya untuk bepergian.

Pernah suatu kali ia menahan langkah Alex dengan berani walau setelahnya Bellamie menunduk dalam. Tangan yang tadi ia gunakan untuk menahan Alex pun sudah gemetar. Padahal tangan yang sama juga lah yang sekehendak hatinya menyentuh tubuh Alex saat pria itu mengukungnya dengan kuat.

"Kenapa?" tanya Alex pelan. Membuat Bellamie justeru gemetar makin ketakutan. Menggeleng segera juga mundur beberapa langkah adalah tindakan yang Bellamie lakukan sekarang. "Kenapa?" ulang Alex tapi kali tangannya cepat sekali menarik dagu wanita yang sudah dua hari ini menemaninya. Membuat netra Bellamie tepat menatap matanya yang tajam. Diteliti pelan seluruh wajah Bellamie seolah belum jua puas memandanginya akhir-akhir ini.

"Bisakah ... bisakah Tuan."

"Bicara yang jelas, Bella," sela Alex cepat.

"Bisakah sehari kau tunda keberangkatannya?" Bellamie sungguh ingin merutuki bibirnya. Ia sebenarnya tak memiliki nyali juga keberanian yang banyak. Tapi ... entah kenapa hari ini ia ingin Alex lebih lama lagi bersamanya.

"Ada apa memangnya?" Alex melangkah maju, membuat Bellamie mundur perlahan. Wajahnya masih mendongak karena tangan Alex menahan wajahnya agar terus bersitatap. "Katakan padaku, ada apa."

Begitu kakinya menyentuh tepian ranjang, Bellamie kehilangan keseimbangannya. Ia memekik kaget juga refleks menarik kerah jubah Alex yang mana membuat mereka berdua terjatuh di atas ranjang yang sudah rapi dibersihkan.

"Apa ini maksudnya, Bella?" Alex berkata dengan dinginnya. Matanya tajam menelisik pada Bellamie yang tampak makin ketakutan. Rona di wajahnya sudah tak ada lagi. Wajahnya yang putih makin pucat dibuat oleh Alex. Juga berkali-kali pria itu lihat Bellamie menelan ludah. Matanya tak terlalu fokus menatap dirinya lagi.

"Aku ... masih merindukan kehadiran Tuan di sini." Bellamie berkata dengan mata yang tertutup. Akumulasi semua rasa takut, intimidasi, keberanian yang tersisa sangat secuil, juga harapannya. Bukan ia lupa dengan masa lalunya. Anaknya. Cintanya pada Xavier. tapi sekarang, siapa dirinya?

Hanya seorang wanita yang mendapatkan diri tengah dihukum karena kesalahannya. Tak ada yang bisa membebaskannya. Berharap pada siapa ia sekarang sementara selama bertahun-tahun mengembara mencari keberadaan Xavier, justru dirinya berakhir di sini. Hal terbesar yang paliing ia sesali kini adalah Gala. Bagaimana nasib anaknya itu?

Mungkin ... mungkin saja di masa depan nanti, Alex mau berbaik hati mengizinkannya pulang sesaat. Hanya untuk melihat anaknya. Tak apa seandainya Bellamie tak bisa memeluknya, menyapanya, atau sekadar menanyainya kabar. Tak apa. Asal ia bisa melihatnya walau hanya lima menit.

Bersama Alex di sini, Bellamie mulai menemui kenyamanan tersendiri. Sungguh, Alex tak semenyeramkan apa yang dikatakan semua pelayan di mansion mewah ini.

"Kalau memang kau rindukan aku, Bella, apa yang kudapat kalau aku menunda keberangkatan?"

Embus angin yang menerpa wajah Bellamie makin terasa menusuk. Matahari yang tadinya terang juga cukup menyilaukan sudah terganti dengan awan mendung. Entah sudah berapa lama mereka saling menatap. Mengunci satu sama lain tanpa berniat mengalihkan ke mana-mana.

"Akan ada badai, Bella. Kita bermalam di sini." Alex melepas enggan tangannya dari dagu milik wanita yang semakin hari semakin memengaruhinya.

"Di sini?" Bella membeo.

"Di sana ada satu pondok yang memang dikhususkan untuk bermalam, Bella."

"Milikmu?"

Alex mengangguk dengan pandangan geli pada Bellamie yang masih menatapnya tak percaya.

"Apa kau sengaja membawaku keluar untuk ini, Tuan?"

"Untuk apa?" Tangan Alex terulur segera. Yang mana membuat Bellamie termangu. "Cuaca tak bisa diprediksi, Bella. Aku memang mengajakmu berburu di sini. Kalau kau pandai memasak ayam panggang, entah kenapa justeru aku menginginkan rusa panggang."

Perlahan, tangan Alex mendapat sambutan dari Bellamie. Selama melakukan perjalanan sejak tadi, tak pernah ada sentuhan fisik apa-apa dari Alex. Bellamie hanya berjalan mengikuti langkah tuannya. Sesekali bertanya megenai wilayah Metro Utara. Juga menimpali ucapan Alex sepanjang mencari buruan entah apa. Dan baru Bellamie ketahui apa yang ingin Alex buru; rusa.

"Tapi aku belum pernah memasak rusa panggang."

Bellamie mengerjap pelan saat untuk pertama kalinya, Alex tersenyum lebar. Merapikan rambut pirangnya yang berantakan karena embus angina. Hampir sama dengan rambut perak Alex yang juga bertiup ke sana kemari tapi ia tak merasa terganggu sama sekali. "Sepertinya rusa itu tau, kalau koki khususku tak bisa memasak rusa panggang."

Bellamie tertawa kecil. "Apa di pondok itu dapurnya lengkap?"

"Kupastikan seperti itu, Bella."

"Tapi tuanku belum mendapatkan buruannya. Aku tak tau harus memasak apa," keluh Bellamie pelan.

"Kau tau, Bella," Dalam satu kali gerak Bellamie sudah ada dalam gendongan Alex. "Kau buruanku."

***

Badai yang terjadi siang menjelang sore ini cukup membuat Bellamie beringsut takut. Suara ranting pohon yang berjatuhan di sekitar pondok makin membuatnya ngeri. Perapian yang dinyalakan Alex sejak awal kedatangan mereka di pondok ini, beberapa kali hampir padam karena kuatnya angin yang berembus. Belum lagi petir yang menyambar bersahut-sahutan.

Ia sontak teringat malam badai di mana ia memutuskan untuk meninggalkan Gala. Bercampur air hujan yang membasahi wajahnya, ia menangis kuat. Ditahan segala sesak yang melandanya. Setiap kali ada badai, dalam tahun-tahun pencariannya akan sosok Xavier, ia ketakutan. Pikirannya kacau karena teringat Gala.

Sama seperti sekarang.

"Kau benar-benar ketakutan, Bella." Alex menyelimuti Bellamie yang duduk meringkuk di sofa. Tubuhnya gemetaran.

"Suara petir itu, Tuan, sungguh mengganggu," cicitnya.

Alex mendekat, menatap iba pada wanita yang tampak kacau ini. Malam malam mereka berlangsung menyenangkan. Hujan yang turun tak terlalu mengamuk seperti sekarang ini. Malah terdengar menambah suasana menjadi lebih intim dari pada sebelumnya. Menu ikan panggang yang bisa dibuat Bellamie sungguh lezat. Alex merasa kalau kemampuan memasak Bellamie ini ada di atas kepala koki di mansionnya.

Lalu tak lama, suasana makin gelap dan badai benar-benar terjadi dengan dahsyatnya. Bangunan ini kokoh, tak akan mudah ambruk karena terpaan badai hari ini. Tapi Bellamie?

Ditutupnya telinga Bellamie dengan kedua tangannya. Menggantikan tangan kecil milik Bellamie yang sejak tadi digunakan wanita itu untuk mengurangi kuatnya suara petir di luar sana. Bellamie mengedip berulang kali. Di depannya Alexander Millian menatapnya penuh kasih. Sorot mata elangnya berganti dengan penuh kelembutan, menawarkan banyak kehangatan juga sisi lain yang tak pernah Bellamie lihat sebelumnya.

"Sudah lebih baik?" tanyanya pelan.

"Terima kasih, Tuan," ucap Bellamie dengan setulus hati. "Anda ... baik sekali."

Alex hanya tersenyum kecil. Ingin sekali mengatakan, "Hanya padamu, Bella." Tapi kepalanya segera teringat akan keberadaan dadu. Memastikan Bellamie dalam keadaan baik walau dirinya sering sekali memanfaatkannya, ia tak peduli. Ia menegaskan dalam hatinya walau mulai meragu apakah nantinya, entah kapan karena hingga detik ini Xavier sama sekali tak diketahui keberadaannya.

Apa nantinya ... mereka berdua benar-benar akan dijadikan alat pertukaran?

Sementara nanti yang dimaksudkan kapan? Sepuluh tahun lagi? Dua puluh tahun lagi?

Dan selama mereka menghabiskan waktu bersama, apa hatinya masih tetap menginginkan pertukaran?

Alex tak mampu menjawab semua pertanyaan yang muncul di kepalanya. Silih berganti membuatnya pusing. Sampai ia merasa bibirnya mendapat satu sentuhan sangat lembut. Bergerak pelan dengan cara yang sanggup membuat seluruh pemikiran Alex luntur. Berganti dengan sosok Bellamie yang kini duduk di pangkuannya.

"Sebagai rasa terima kasihku, Tuan." Tutup Bellamie di akhir ciuman yang membuat seluruh syaraf Alex lumpuh. Ciuman ini terasa sangat berbeda. Caranya menyentuh, menyusuri, sedikit mengisap, juga menggigiti bagian bibirnya, benar-benar tak pernah Alex rasakan.

"Kau ... menggoda sekali, Bella."

"Kau suka?"

Seringai kecil ditampilkan wajah Alex sekarang. "Bagaimana kalau kita bersatu dengan badai? Agar kau lupa, semenakutkan apa badai malam ini dengan semua sentuhanku?"

"Kalau nantinya ada badai lagi?"

"Maka hanya diriku yang mampu membuatmu lupa badai itu apa."

Bellamie sedikit memiringkan wajah. Rambut pirangnya bergerak seiring gerak kepalanya. Tangannya sudah sejak tadi terkalung pada leher Alex yang sudah melepas jubah kebesarannya. "Kalau begitu, kumohon berjanji lah. Jika ada badai, maka Tuan yang akan menenangkanku."

"Aku berjanji, Bella." Bibir yang baru saja meminta Alex untuk mengatakan hal yang tak biasa ia lakukan mendapat sapaan lembut. Membalas kelembutan yang tadi ia peroleh. Suara badai di luar sana, petir yang masih saling bersahutan, mengiring dua insan menyatu entah dalam perasaan seperti apa. Saling menuntut pelepasan satu sama lain. Tak ingin terpisahkan hingga pagi menjelang. 



****

Tapi koment di tiap bab yaaa. Jangan lupaaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro