Dice. 21
"Dice, apa kau yakin aku bisa melakukan ini?" Gala terlihat kebingungan begitu di depannya justeru sudah tersaji arena tembak virtual buatan Dice. Pagi tadi, Gala bersiap untuk menjalankan rencananya. Berulang kali Dice bertanya tekadnya tapi Gala tak mau mundur sampai Gala sendiri kesal dengan tingkat kecerewetan Dice yang rasanya membuat perut Gala melilit.
"Aku hanya ingin memastikan apa yang Tuan ambil sebagai keputusan bukan karena semosi sesaat. Tapi memang timbul dari lubuk hati terdalam. Misi penyelamatan Nyonya Bellamie mengandung risiko tinggi. Anda tak dipersiapkan untuk bertempur juga bertahan dalam beberapa kondisi. Oleh sebab itu juga, aku harus memastikan Anda benar-benar siap."
Mengingat perkataan Dice sesaat sebelum mereka meninggalkan hotel ternyata ada benarnya juga. Mereka tak mengambil jalur darat, tapi membelah hutan perbatasan juga bukan tanpa sebab. Dice mengatakan sepanjang jalan menuju Metro Utara bisa dijadikan waktu serta ajang untuk melatih kemampuan Gala untuk menyerang juga bertahan. Dice yakin Gala butuh satu pemicu kuat agar dirinya bisa menunjukkan darah apa yang mengalir padanya.
Keturunan Horratio murni.
Dan menyelamatkan ibunya, bisa Dice kategorikan sebagai pemicu pertama. Dice butuh banyak perspeiktif baru mengenai keadaan Metro di luar sana karena Dice yakin, keadaannya sudah sangat berbeda dibanding saat mereka menjelajah dan menertibkan Metro kala bersama Xavier.
"Bisa, Tuan. Anda ingin senjata yang mana? Kalau bisa, dijadikan senjata utama di mana tak lepas dari jangkauan Anda."
"Apa harus seperti ini?" Gala melihat dirinya. Mengenakan pakaian seperti tentara berwarna hitam lengkap dengan atributnya. Yang mana terasa ringan juga nyaman padahal saat Gala kenakan, rasanya berat sekali. Belum lagi sepatu boots tinggi yang melindunginya. Jangan lupa kacamata yang kini dalam mode hitam karena pantulan sinar matahari di dekat area hutan setelah dua jam berjalan menjauh dari pusat kota.
"Harus, Tuan. Pakaian itu membuat Anda terlindungi. Setidaknya jika diberondong aero gun dari helicopter milik Alexander, kemungkinan Anda masih hidup dan utuh adalah 80%."
Rahang Gala hampir jatuh tapi Dice tak peduli. Ia contohkan cara memegang senjata laras panjang. "Perhatikan arah bidik, Tuan. Berat pada senjata ditumpukan persis di bahu. Sikap Anda saat menarik pelatuk pun harus diperlukan tapi mengingat kecepatan lawan mendesak Anda nantinya, Anda ingat satu hal saja."
"Dice, bisakan kau jangan membuat nyaliku kembali ciut?"
Dice menoleh pada Gala yang masih menatapnya dengan pandangan tak percaya. "Maksudnya, Tuan?"
"Hidup dan masih utuh?! Memangnya ... apa yang bisa terjadi?"
Arena tembak virtual terganti cepat dengan arena bertempur milik Xavier dalam hitungan detik. Di mana pria itu gagah berani mengangkat senjatanya mendesak barikade musuh yang ada di depannya. Tak kenal takut, seolah semua yang ada di depannya bergerak lambat sekali. Hingga ia tau semua pergerakan lawannya. Di samping kirinya, melayang pelan dadu berpendar jingga yang terang. Dice tepat di samping kanannya. Sesekali berbisik pelan pada Xavier yang fokusnya tak teralih ke mana-mana selain pada musuhnya. Tak sampai setengah jam, barisan pasukan musuh lenyap dan kemenangan mutlak mirip Xavier.
Gala melongo. Matanya sama sekali tak berkedip menatap apa yang baru saja terjadi. Lalu gambaran itu terganti dengan arena tembak kembali.
"Anda bisa melihat pergerakan musuh?"
Pemuda itu mengangguk pelan.
"Dadu dipergunakan Tuan Xavier untuk memperlambat waktu mereka. Dalam sekali gerak, Tuan Xavier bisa menghabisi puluhan musuh tapi beliau harus dalam akurasi tinggi membidiknya. Tugasku untuk membuat perlindungan tersendiri agar dirinya mengalami luka paling minimal tapi belum pernah sampai kalah total seperti ..." Dice mendadak menghentikan kata-katanya. Teringat saat terakhir kali ia melihat langsung, bagaimana pertahanan untuk melindungi Xavier jebol. Juga tuannya yang terluka parah. Lalu ... seluruh aksesnya menghitam dalam sekali perintah.
Dirinya tak tau lagi apa yang terjadi kecuali ia yang berada di dalam dadu.
"Seperti?"
Dice menoleh ke arah Gala yang tampak menunggu dengan raut bingung. "Seperti masa lalu. Di mana terakhir kali aku bersama Tuan Xavier. Beliau kalah."
Gala tak tau harus merespon bagaimana. Selama kedekatannya dengan Dice beberapa bulan terakhir ini, gadis hologram yang minim ekspresi itu memang banyak sekali membantunya. Walau baru perkara menyediakan makan, mengajaknya bicara, juga berkisah mengenai asal muasal dirinya. Dan banyak hal-hal yang tak Gala mengerti. Ia bisa sedikit merasakan kehilangan yang Dice rasa karena Xavier. Pun sama sepertinya yang berdiri di ambang pintu. Melambaikan tangan dengan semangat karena tau nanti malam, mereka akan kumpul bersama lagi di meja makan.
Akan tetapi ... ternyata itu menjadi lambaian tangan terakhirnya untuk sang ayah. Sejak saat itu, Xavier tak pernah kembali.
"Dice," panggil Gala pelan. "Ayo kita berlatih."
Senyum kaku Dice tertarik pelan. "Ayo, Tuan."
****
"Kau yakin?" Maverick memicing curiga. Terutama pada orang kepercayaannya yang menyerahkan banyak potret satu pemuda berkemeja petugas kebersihan. Ia terlihat menatap beberapa kali pada kamera pengawas di bagian lobby kiri. Hanya sebentar tapi timing-nya tepat sekali dengan saat direntasnya system keamanan yang mana Maverick merasakan keberadaan dadu itu.
"Yakin, Tuan."
"Sudah kau cari di berbagai penjuru?"
Russel kembali bicara, "Sudah. Dan kami kehilangan jejak di tepian hutan yang mengarah pada perbatasan. Sepanjang kamera pengawas, tak dijumpai sosoknya, Tuan. Hanya saat ketika dirinya keluar dari lobby Mercure Hotel."
Maverick mengerutkan kening. "Seluruh kamera pengawas?"
"Benar, Tuan."
"Periksa data pemesanan hotel Mercure sekarang."
Russel tak banyak bicara, segera melaksanakan titah tuannya. Ia sendiri sangat mencurigai pemuda berkemeja hitam itu. Tak mungkin kamera pengawas tak menangkap sosok pemuda itu, kan? Tapi ia sudah mengecek berulang kali dari semua penjuru CCTV di jalan utama Metro dan memang pemuda itu tak ada. Benar-benar menghilang dan ditemui justeru berada di tepian hutan. Membeli beberapa kaleng minuman.
Tangannya bergerak cepat meminta data di mana pemilik Mercure Hotel pasti memberi apa yang ia minta. Di Metro Selatan, Russel sudah dikenal sebagai kaki tangan kepercayaan seoragn Maverick Osmond. Dan benar saja, tak sampai lima menit data pengunjung yang membooking hotel di malam itu sudah ada di layar kerjanya.
Ada lima nama dan semua identitas pengunjung berasal dari Metro Selatan. Data rekaman CCTV yang dikirim pihak hotel menunjukkan pria berkemeja hitam itu mengeluarkan Code Person sebagai identitas di mana namanya tertera nama Galaksi Haidar. Tak ada yang mencolok dari data tersebut. Yatim piatu sejak berusia lima tahun. Di rawat di panti asuhan Lot 3. Bekerja sebagai buruh lepas pada salah satu restoran kecil di sana. Masih tinggal di panti dan membantu menghidupi anak-anak di sana. Mungkin sebagai balasan karena sudah diizinkan tinggal di sana.
Data diri, keuangan yang tak terlalu banyak, mengambil kamar pun yang tergolong biasa saja namun ... kenapa dirinya memesan makan banyak? Russel ingat, Lot 3 termasuk tempat yang bisa dibilang cukup jauh kemegahan serta gemerlapnya Metro Selatan. Tak ada yang patut dicurigai sebenarnya.
Dibawanya hasil penyelidikan Russel tadi pada Maverick. Dijelaskan sesuai dengan yang ia temui juga kecurigaan yang ditujukan pada pemuda itu. Tak ada yang aneh.
"Siapa namanya?"
"Galaksi Haidar, Tuan."
Maverick mengisap cerutunya dalam-dalam. Asap mengepul cukup tebal di ruangan itu. Russel berdiri dengan sedikit menunduk tak berani terlalu lama menatap tuannya. Agak lama sebelum Maverick memintanya pergi. Meninggalkannya sendirian dengan banyak pemikiran aneh seputar pemuda bernama Galaksi ini.
Di depannya, rekaman CCTV di siang hari itu terputar berulang kali. Di tiap sisi tak ada yang bisa menangkap jelas sosok itu berjalan entah ke mana. Bahkan saat terakhir ditangkap kamera di dekat tepian hutan, di mana stasius terakhir menuju luar kota, hanya menangkap dirinya yang berdiri menatap petunjuk arah. Setelahnya pembelian tiket atau keberadaannya hilang begitu saja.
Bagaimana bisa itu dilakukan seseorang? Tapi kalau dugaannya kuat di mana Galaksi ini memang memiliki dadu, tak menutup kemungkinan hal seperti itu bisa dilakukan. Maverick membuka data Lot 3 juga Lot 1. Seberapa jauh jarak serta kemungkinan laporan dua petugas keamanan di sana. Yang sampai detik ini pun tak ada perkembangan apa-apa.
"Siapkan tim investigasi untuk ke panti asuhan yang kuminta. Cari tau mengenai Galaksi Haidar," perintah Maverick segera. "Sekecil apa pun informasinya, kumpulkan segera."
***
Gala terus melatih kemampuan menembak jarak jauhnya. Entah kenapa, setiap kali matanya tepat menatap sasarannya, ia merasa semua adrenalin dalam tubuhnya terpacu kuat. Ia bisa memprediksi kemiringan sasaran serta ketepatannya membidik sasaran. Juga arah angin yang sedikit banyak mempengaruhi kecepatan tembaknya. Walau Dice bilang kemungkinan itu ekcil tapi tetap saja, Gala bisa merasakannya.
Ini sudah hari ke dua perjalanan darat mereka menuju Metro Utara. Hutan lebat yang sepertinya dijaga sekali keasriannya oleh pihak Metro Selatan sebenarnya membuat Gala betah. Malam hari, suara-suara binatang malam sebagai penemannya tidur. Dice membawa satu set perlengkapan berkemah lengkap. Bahkan ia bisa memasak dalam keadaan terbatas alat dapurnya. Gala takjub sekali. Ikan bakar yang baru ia tangkap di sungai, dilumuri entah bumbu apa yang Dice buat, sungguh ia merasa beruntung sekali.
Tak mengenal kelaparan selama ada Dice di sampingnya. Pendar yang Dice miliki seperti lampion cantik di malam hari yang pekat. Dice banyak berkisah mengenai perjalanannya dulu yang hampir sama seperti ini. Tak pernah Xavier diketahui keberadaannya karena setelah menggunakan alat masak yang mana bisa menimbulkan kecurigaan, Dice segera melenyapkannya. Lalu mendirikan tenda yang cukup jauh dari titik sebelumnya. Kadang Xavier tidur bergelantungan di pohon dengan kantung tidur yang nyaman. Dice juga sudah memberi penawaran tersebut tapi Gala menolak.
"Kalau tiba-tiba aku jauh? Kau ingin membunuhku, Dice?"
Gadis hologram itu tertawa akhirnya mendengar Gala yang terlihat konyol. Memastikan tuannya aman, nyaman, juga keadaan sekitar yang harus Dice perhatikan baik-baik adalah tugasnya. Menyalakan alarm tingkat tinggi akan keberadaan musuh dari berbagai penjuru pada dadu yang tak pernah jauh dari jangkauan gala. Selalu ia kalungkan karena Dice sendiri sudah memperingati jangan terlalu jauh dari dadu.
"Bagaimana latihaku, Dice?" tanya Gala setelah membidik sepuluh sasaran dan semuanya tepat di tengah. "Keren, huh?"
"Luar biasa, Tuan. Aku bangga dengan kemajuan Anda."
Gala tersenyum lebar. Menepuk dadanya pelan penuh bangga. Dua hari ia berlatih selama perjalanan di mana terkadang terhenti sejenak untuk berlatih. Tak banyak waktu yang diberi Dice mengingat perjalanan menuju Metro Utara cukup memakan waktu. gala sendiri juga khawatir jangan sampai kedatangannya terlambat.
"Artinya kita bisa mulai menentukan strategi memasuki tempat di mana ibuku disekap, kan?"
"Belum, Tuan." Dice menoleh yang mendapati Gala menatapnya dengan kerutan di kening. "Kita harus masuk dulu dengan aman di Metro Utara. Jangan sampai ada yang curiga."
"Tapi ... kita datang dari arah hutan, Dice. Artinya ..."
"Benar. Itu illegal. Membuat Anda disorot segera."
Gala terperangah. "Kenapa kau ajak melewati hutan, Dice?"
"Untuk melatih Anda, Tuan. Setelah Anda siap, setengah hari perjalanan kita ada di desa di tepian hutan. Tak jauh dari sana ada stasiun yang akan langsung menuju Metro Utara."
Gala benar-benar tak sanggup mengikuti pola pikir Dice.
"Aku ... benar, kan?"
"Terserah kau saja, Dice!"
***
Tomodachi no min'na gomen'nasai
Aku enggak sadar kalau sudah 6 hari enggak update 6 hari. Muahahahha. Pantas WP aku sepi. Sebagai gantinya aku update hari ini 6 bab langsung untuk menebus kesalahan aku kemarin.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro