DICE. 17
Perjalanan kali ini, dinikmati dengan penuh suka cita oleh Gala. Sudah lama sekali ia tak menghirup udara sebebas ini. Tanpa ada yang meneriaki betapa payah dirinya dalam bergerak. Juga tatapan aneh yang kini tak terlalu banyak Gala dapatkan. Terutama dari Luke. Tak pernah Gala lewatkan satu inchi perjalanan bus yang membawanya ke stasiun bawah tanah nantinya. Di dalam kereta nantinya ia yakin, tak ada pemandangan yang bisa ia lihat kecuali lorong gelap. Suara musik yang Dice nyalakan masih mengalun membuat Gala cukup senang. Tak ada pembicaraan lagi di antara mereka. Dice juga walau tak bisa dilihat orang lain, tak mau membantah perintah tuannya.
Tiba di stasiun, Gala bergegas mengejar kereta yang akan berangkat tak lama lagi. Tak membutuhkan banyak waktu memang untuk menunggu kereta berikutnya tapi tetap saja Gala harus menghemat waktunya. Code Person-nya sudah lolos pemeriksaan. Betapa kartu berisi informasi serta data sang pemilik dibutuhkan untuk melakukan banyak perjalanan ke mana pun yang diinginkannya. Hal ini menjadi pertanyaan tersendiri untuk Gala.
"Dice," panggil gala berusaha sepelan mungkin padahal Dice sudah memberitahu cara kerja alat ini.
"Ya, Tuan?"
"Apa ... Xavier juga memiliki Code Person?"
Dice tertawa pelan. "Tidak."
"Ya?"
"Tidak, Tuan. Tuan Xavier tidak memiliki Code Person. Seorang Horratio memiliki kendaraan sendiri. Bebas dikendarai di mana saja dan tanpa batasan akses di berbagai perbatasan. Tapi biasanya, Tuan Xavier menggunakan kendaraannya untuk pertemuan resmi. Kalau beliau tengah berkelana, lebih sering menggunakan kakinya berjalan."
"Kaki? Berkelana?"
"Benar, Tuan. Keberadaan Tuan Xavier itu sangat ditakuti juga disegani baik musuh atau pun kawan. Jika beliau sudah memberi peringatan tapi diabaikan, Tuan Xavier menggagalkan semua rencana kejahatan atau hal-hal yang menyimpang dengan berjalan kaki."
"Astaga!" Gala sungguh tak percaya informasi ini.
"Tapi Tuan Gala tak perlu khawatir. Sepatu yang Tuan Xavier kenakan juga berteknologi canggih." Dice terkekeh pelan. "Tuan mau mencoba?"
"Tidak. Tidak. Terima kasih."
Gala berjalan ke arah gate keberangkatan. Beberapa orang tampak melirik Gala dan memberi tatapan aneh. Pemuda itu bersikap setenang mungkin padahal ada ragu yang banyak menyelimuti hatinya. Ia belum pernah sekali pun menaiki kereta bawah tanah ini. Suara bising serta tekanan rem yang ditimbulkan saat kereta itu datang, cukup membuat Gala mengernyit. Tapi ia segera mengikuti langkah orang lain untuk naik dan mencari tempat yang sesuai dengan tiketnya.
"Anda beruntung mendapatkan seat ini."
"Benar kah?" Gala berusaha menyamankan diri. Membuka hoddie yang sejak tadi melindungi kepalanya. Rambutnya yang sudah cukup panjang tampak menganggu penglihatannya. Tapi Gala abaikan, justeru malah semakin mengacaknya.
"Perjalanan ini cukup panjang, Tuan. Anda bisa beristirahat tanpa terganggu orang lain yang melintas nantinya."
Gala sedikit memperhatikan tempatnya duduk saat ini. Apa yang Dice katakan benar adanya. Ia mendapatkan seat tepat di sudut. Terseyum kecil, Gala pun kembali menyamankan diri. Memejam menikmati perjalanan yang tak bisa ia nikmati pemandangannya karena jalur bawah tanah ini, adalah tranportasi paling cepat untuk ke pusat kota. Jika menggunakan jalur kereta express di atas, di mana ia bisa menikmati sebagian besar perjalanan mulai dari asal tinggalnya, Lot 1, hingga pusat kota, Gala tak memiliki cukup uang. Harga tiket sekali perjalanan cukup untuk ongkos Gala pulang pergi menggunakan kereta bawah tanah.
Pilihan yang tepat, kan?
Saat tuannya benar-benar terpejam, Dice keluar dari dadunya. Matanya berkeliling mengamati sekitar. Tak ada yang mencurigakan tapi Dice tetap harus waspada. Alarm peringatan yang sejak pagi menyala, menandakan ada bahaya yang tengah mengintai tapi apa? Dice belum bisa menebaknya.
Ia sudah berusaha maksimal untuk tak terlalu mencolok sampai Gala mau menerima tugas yang diembannya. Selama masa berkelana dengan Xavier, tuannya selalu mengunci akses agar mereka tak bisa diketahui dan itu hanya bisa dilakukan oleh Horratio. Dirinya kini dalam keadaan bebas walau bertuan. Tapi kunci untuk menutup segala akses belum Gala berikan padanya.
Pusat kota Metro Selatan sangat Dice kenali walau sudah lama ia tak berkunjung langsung. Bersama Xavier jika ada pertemuan khusus di mana dirinya juga disembunyikan kaberadaannya oleh sang tuan. Hanya dadunya saja yang terlihat jelas berada di telapak tangan Xavier yang membuat benda kecil itu menjadi rebutan. Kebanyakan dari para penguasan empat Metro hanya tau, kalau dadu itu benda yang sangat canggih dan bisa memusnahkan musuh dalam sekejapan mata saja.
Entah apa yang akan terjadi kalau mereka tau, ada system yang lebih canggih lagi di dalamnya yang dikelola oleh Dice. Di mana terkadang, Dice harus mengalami banyak kendala karena dadu itu bukan murni buatan Xavier. Tetapi alat yang diberikan Penguasa Langit agar negara di bawah kekuasaannya tunduk. Dimodifikasi dengan banyak perubahan untuk menemani Zavier berkelana. Walau masih ada beberapa hal yang tak bisa Dice pungkiri, terkadang dadu menunjukkan kepemilikan aslinya.
Milik Gideon Yang Agung.
Tatapan Dice mengarah pada jendela yang cepat sekali bergulir di bagian luar. Kereta yang Gala tumpangi ini memang cepat juga suasananya tepat sekali membuat tuannya tertidur pulas. Dice tersenyum kaku. Berdiri tak jauh dari Gala duduk. Tak ada penumpang lain di depan Gala, kendati demikian tak membuat Dice ingin duduk di depannya. Ia memilih menikmati sisa perjalanan ini dengan kewaspadaan tingkat tiggi.
Entah kenapa Dice merasa, hari ini Gala akan mengangkat senjatanya tanpa sengaja.
Menit berlalu cukup cepat di mana Gala benar-benar memanfaatkan waktu untuk tidur hingga cahaya cukup menyilau membuat keningnya berkerut. Saat ia membuka mata, Dice yang ada di sampingnya berdiri kaku. Pendar cahaya biru darinya lah yang membuat Gala terbangun.
"Tuan?" panggil Dice pelan. "Saya mengganggu?"
"Apa yang kau lakukan?" Gala sedikit bergeliat. Tubuhnya terasa lebih ringan. Padahal ia tertidur dalam posisi duduk, dengan kepala terkulai ke dekat jendela. Akan tetapi, kualitas tidurnya benar-benar baik. Ia tak lagi bermimpi buruk. Sekelebatan ingatan-ingatan aneh yang beberapa hari belakangan tak pernah bisa Gala singkirkan, justeru siang ini tak ada dalam mimpinya.
Rasanya ... menenangkan.
"Menjaga Tuan." Dice berkata dengan senyum canggung. "Aku kembali ke dalam kalau begitu."
"Jangan. Di sini saja." Gala menunjuk kursi yang ada di depannya. "Kurasa kursi ini memang tak memiliki pemesan. Kau duduk saja di situ."
"Aku seperti penumpang gelap."
Gala tertawa, mengacak pelan rambutnya yang sedikit lembab. "Berapa lama lagi kira-kira?"
"Tiga puluh menit lagi kurang lebih."
Mata pemuda itu mengerjap pelan. Ia merasa tertidur sangat lama juga lelap sekali. "Begitu rupanya."
Dice tak menyahuti apa-apa. Membiarkan tuannya menatap jendela yang gelap memantulkan dirinya. Wajah tuannya cukup tampan kalau ia mau merapikan dirinya. Sayangnya, ketampanan sang tuan tertutupi dengan ketidakrapihannya berpakaian. Di mata Dice, walau Xavier ini berkelana membelah hutan, penampilan tuannya masih tergolong luar biasa.
"Di Metro Selatan, sepengetahuanku mencari banyak informasi kemarin. Banyak tempat-tempat menjual pakaian serta kebutuhan Anda, Tuan. Tidak kah Anda tertarik?"
Gala menoleh, menatap Dice dengan kernyitan, lalu tergelak. "Apa kau gila? Aku tak memiliki banyak uang, Dice. Keinginanku ke Metro Selatan hanya untuk melihat gedung di mana terakhir kali ibuku terlihat. Bukan untuk berbelanja."
Dice mengangguk pelan.
"Entah kenapa," Gala kembali memperhatikan jendela gelap itu. "Aku merasa memiliki kaitan dengan gedung itu. Sudah kau cari informasinya?'
"Sudah, Tuan. Gedung itu bernama Facly Bulding. Milik Maverick Osmond. Penguasa Metro Selatan."
Gala terperangah.
"Untuk memasuki gedung itu, Tuan tak bisa berpenampilan seperti ini."
"Aku tidak ingin masuk. Hanya ingin melihatnya, Dice," dusta Gala. Padahal jauh di lubuk hatinya, keinginan untuk masuk ke dalam gedung yang terlihat megah di mana saat itu ibunya berulang kali menoleh ke belakang dan seperti tengah membuat pertimbangan, sangat lah besar.
"Baik, Tuan." Dice menyembunyikan sisa senyum kakunya. Agar tuannya tak merasa tersinggung padahal ia tau dengan pasti, betapa Gala sangat penasaran dengan gedung paling tinggi di pusat Metro Selatan ini. Hanya saja memang tak banyak yang bisa Dice beri mengingat pengamanan di gedung itu sangat lah ketat.
Xavier pernah memasuki gedung itu. Bertemu Maverick dan bicara cukup lama. Dice bisa mendengar jelas apa percakapan mereka walau dirinya berada di dalam dadu.
"Kenapa kau datang memperingati, Xavier?"
pertanyaan itu meluncur saat Xavier sedikit lagi mencapai pintu keluar. Ruangan itu besar, Dice masih mengingat jelas detail ruangan itu. Yang paling menarik perhatiannya, kaca jendela besar di mana terlihat jelas sekali daerah kekuasaan Maverick di Metro Selatan.
"Aku datang karena tak ingin jatuh banyak korban kalau kau melawan."
Dadu yang ada di tangan Xavier, ia lempar ke udara. Melayang dengan pendar jingga yang cukup mencolok di dalam ruangan. Semua yang ada di dalam ruangan ini bersiap mengarahkan senjatanya pada dadu serta Xavier. tapi pria itu tak gentar sama sekali. Ia hanya menyeringai. "Jangan pernah abaikan peringatanku, Maverick."
Dice ingat, saat itu peredaran narkoba berada dalam puncak tertinggi. Banyak kalangan bawah yang menjadi korbannya. Efek yang terjadi timpang di beberapa sisi termasuk ekonomi. Belum lagi para penguasa yang ada di bawah kendali Maverick mulai berlaku licik. Sementara Maverick hanya memperhatikan tanpa mengambil tindakan. Upeti yang ia terima jauh berlipat besarnya ketimbang biasanya.
Itu yang menyebabkan Maverick mengabaikan.
Akan tetapi, kedatangan Xavier secara terang-terangan membuat nyalinya cukup ciut. Apalagi di depannya sekarang, dadu itu berputar pelan. Dan dalam satu kali perintah, Maverick yakin, gedung ini akan hancur berkeping-keping. Juga tiga wilayah lainnya tau kalau gedung kebanggaan Maverick hancur dalam sekali serang. Begitu dadu dilempar disertai kocokan di mana mata dadu diperlihatkan, dentang lonceng peringatan keras berbunyi ke seluruh penjuru Metro. Bahkan hingga ke sela terkecil sekali pun, bunyi lonceng itu pun terdengar.
Pertanda ... Sang Horratio datang dan memberi hukuman. Pilihannya hanya melarikan diri atau mati tanpa nama.
"Kita sampai, Dice?" tanya Gala yang membuat Dice menoleh. Ingatannya tadi lenyap begitu saja berganti dengan dirinya yang segera berdiri dan memperhatikan skitar.
"Benar, Tuan."
"Masuk lah kalau begitu."
Dice mengangguk, pendar biru itu pun lenyap dari pandangan Gala. Menarik napas pelan, Gala menyusuri koridor kereta, turun perlahan dari kereta cepat tadi dan berjalan sembari memperhatikan papan petunjuk arah. Beberapa orang yang ikut turun di stasiun tujuan yang sama dengan Gala, terlihat lebih buru-buru ketimbang dirinya yang menikmati suasana stasiun bawah tanah pusat kota Metro Selatan. Designnya lebih unik juga tertata apik.
Gala membenahi alat hitam yang terpasang di telinganya. "Dice," panggilnya.
"Ya, Tuan."
"Tunjukkan arah di mana aku bisa membeli beberapa pakaian. Sepertinya ... apa yang kau bilang benar."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro