Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DICE. 12


Semalaman Luke tak terpejam lelap. Ia gelisah. apalagi saat ia sudah tiba di restoran. Ketakutannya makin jadi ketika Gala masuk dari pintu belakang. Tatapan mereka bertemu sesaat, Luke langsung buang muka dan menghindar sejauh mungkin. Pikirannya penuh pada sosok Gala yang berubah menyeramkan semalam. Apalagi caranya menatap. Seperti pemburu yang bersiap sekali menerabas mangsanya. Senjatanya juga sangat siap untuk menghabisi Luke saat itu juga.

Benar yang ia duga kalau gala menyembunyikan sesuatu.

Sepanjang mengenai pemuda ceroboh itu, Luke selalu merasa menang atasnya. Gala tak pernah membantah jika diomeli Mr. Kim padahal belum tentu kesalahannya. Selalu saja mengalah apa pun yang dilakukan rekan kerjanya untuk menjahili Gala. Pecundang. Begitu kata yang pantas untuk Luke panggil pada Gala. Tapi semalam, Luke sepertinya harus memiliki keberanian baru untuk membuntuti Gala.

Apa yang ia lakukan.

Benar kah seperti yang Hanry katakana kalau dirinya bekerja ekstra di luaran sana.

Atau mungkin kah Gala terlibat perdagangan senjata karena Luke tak pernah lupa bagaimana orang yang sering kali ceroboh dan juga kikuk itu memegang pistol. Tak ada keraguan sama sekali dari sorot matanya. Apalagi Gala menembak udara yang membuat Luke berpikir, Gala tak dalam kondisi main-main.

Kalung itu. Benar. Kalung itu yang ia rampas seenaknya dari leher Gala dan dari sana lah semua bermula.

"Luke?" panggil Beno cepat. "Kau mendengarku? Di mana topping pudingnya?"

Beno, sesame bagian yang mengurus dessert di mana mango pudding dengan topping aneka buah sebagai sajian penutup andalan pada restoran Mr. Kim ini. Beno bekerja lebih lama dari Luke. Dua tahun lebih lama Beno bekerja di sana, disusul Hanry lalu Timmy, dan Luke. Kemudian Gala yang terakhir menjadi bagian di mencuci piring juga kebersihan untuk semua area dapur. Timmy bisa dibilang asisten Hanry di dapur.

Dalam hidupnya bekerja di sini, Luke tak pernah terpecah atau teralihkan fokusnya. Sekali dua kali ia dengarkan arahan, sisanya ia bisa diandalkan. Dibanding Gala? Bagai langit dan bumi. Akan tetapi kali ini, piring dessert yang tengah ia tata untuk menyiapkan sajian penutup, meluncur begitu saja dari genggamannya.

Bunyi piring yang hancur menjadi beberapa bagian segera saja membuat semua kegiatan di dapur terhenti. Semua tatapan yang ada di sana mengarah pada Luke yang terperangah karena piring yang jatuh tadi.

"Luke?" tanya Beno pelan. "Kau ... baik-baik saja?"

"Apa yang terjadi?" Mr. Kim membuka pintu ruangan dengan tergesa. Saat matanya menatap piring yang ada di lantai, beserta Luke yang tampak terdiam tapi matanya tak dialihkan kecuali menatap pecahan piring yang ada di sana, membuat pria bertubuh tambun itu sedikit kesal. "Kenapa kamu diam saja, Luke? Cepat bereskan! Kau juga, Gala. Kenapa malah diam saja?"

"Ti-tidak, Mr. Kim. Ini kesalahanku. Aku yang akan membersihkan. Jangan Gala," kata Luke cepat. dirinya bergegas mengambil peralatan untuk membersikan kekacauan yang ia perbuat.

"Cepat! sajikan pesanan yang sudah masuk!"

Beno segera saja mengambil alih tugas Luke walau ia sendiri kebingungan karena baru kali ini Luke bersikap cerorob. Ditambah ia terlalu banyak melamun. Apa yang sedang ia pikirkan?

Sementara Gala tetap bersiap membantu Luke. Ia masih ingat, wajah ketakutan Luke semalam. Hampir sama persis seperti saat ini.

"Biar aku yang membersihkan, Luke. Kau kerjakan saja bagianmu," kata Gala yang sudah setengah berjongkok untuk membantu Luke memunguti pecahan piring tadi. Luke segera mendongak dan geraknya begitu cepat. Mundur hingga membuatnya menabrak rak besar di depannya. Di mana Beno berdiri tak jauh darinya. Karena gerak Luke yang terburu-buru ini, justeru menimbulkan efek tersendiri. Beno hampir jatuh berikut sajian yang akan ia keluarkan untuk para pelanggān di depan.

Entah kenapa, Gala seperti melihat gerak slow motion yang sangat jelas di mana ia bisa menyingkirkan tangan Beno yang akan menyenggol piring berisi aneka sajian yang sudah ia susun apik. Juga Luke yang tampak ketakutan karena Gala yang tadi ingin membantunya. Cepat sekali gerak Gala untuk menghindari kekacauan selanjutnya.

"Luke!" pekik Beno. "Astaga! Apa yang kau pikirkan, hah?" Beno mendelik marah. Beruntung sekali sajiannya terselamatkan. Ia merasa ada yang mendorongnya ke arah lain dengan cepat. Beno tak sanggup membayangkan kalau sampai piring ini jatuh. Bisa ia bayangkan kemarahan Mr. Kim yang akan ia hadapi.

"Ma-maaf!" Luke bangkit, segera melepas apron yang ia kenakan. Berlari cepat keluar area dapur menuju tempat beristirahat bagi karyawan, di mana ada lemari khusus tersendiri bagi masing-masing personil. Di sana, ia duduk melipat lutut. Dadanya bergemuruh kuat. Keringat dingin sudah menguasainya sejak tadi.

Ia takut ... Gala kembali menodongkan pistolnya.

Di sisi lain, Gala yang kembali berjongkok di dekat piring pecah tadi, hanya menggeleng pelan. Setidaknya ada yang bisa ia lakukan walau ... aneh sekali. Kenapa ia bisa melihat hal seperti ini? Kenapa juga refleksnya seperti kecepatan cahaya? Mendadak ia mengusap dadu yang kini sudah terpasang kembali di lehernya. Walau tak ada pendar jingga seperti biasanya, Gala tau, Dice ada di dalamnya. Entah semacam ada ikatan khusus yang membuat Gala tau, kalau Dice tak jauh keberadaannya dari dirinya sekarang.

"Anda tak perlu khawatir. Itu reaksi umum karena Anda seorang Horratio."

Gala mendesak pelan. Berusaha bersikap senormal mungkin dan sepertinya ia juga harus bicara dengan Luke. Sepertinya pria itu sangat ketakutan, seolah Gala ini adalah hantu paling menyeramkan seantero jagad Metro Selatan.

Sarapan tadi pagi penuh dengan obrolan yang membuat Gala pening mendadak. Mimpi itu terasa nyata sekali. Hangat sarung tangan yang ia kenakan juga genggaman dari wanita yang entah kenapa justeru tak bisa ia lihat. Tapi suaranya sangat familier. Dice hanya mengatakan itu kilas-kilas masa depan yang bisa saja terjadi. Tidak seratus persen itu adalah masa depan yang Gala jalankan. Atau malah, bisa jadi itu kilas masa lalu yang Gala tak ingat.

"Semalaman Tuan menggenggam dadu. Dan juga ... aku tengah kacau untuk mereset kembali programku," kata Dice dengan wajah tertunduk. Hal ini jelas membuat Gala penasaran. Kunyahannya ia perlambat padahal sarapan ini sungguh lezat. Apa karena dirinya lapar?

"Apa karena pertanyaanku, Dice?"

Gadis itu terdiam yang memberi arti kalau apa yang Gala tanyakan semalam, membuat Dice kacau. Ia urungkan semua niatnya bertanya mengenai asal usul Dice. Yang ia tau, dia adalah alat canggih buatan Xavier. Dan sepertinya, cukup itu saja yang Gala tau. Tak bisa bertanya lebih jauh.

Xavier. Ah, bicara mengenai nama pria itu.

"Dice, kenapa aku seperti ada di sebuah pertarungan besar?"

Untuk pertanyaan kali ini, Dice mnendongak lalu tersenyum kaku. "Mungkin itu bayang masa lalu Tuan Xavier yang masuk ke dalam alam mimpi Anda, Tuan."

"Bagaimana bisa?" Beruntung Gala tak tersedak kunyahannya sendiri.

"Tuan menggenggam dadu sepanjang malam. Bisa jadi, kilas itu adalah miliki Tuan Xavier."

"Saat dia menjadi Horratio?"

"Benar."

Gala bergidik ngeri membayangkan apa yang pria itu lakukan. Ia bukan tak ingin memanggilnya dengan sebutan 'ayah'. Semua hal yang Xavier lakukan sudah membuatnya berada dalam puncak tertinggi dari marah yang ia punya. Rasanya ia tak butuh memiliki ayah seperti Xavier apalagi, pekerjaan yang ia lakukan.

Sungguh mengerikan.

"Dan sekarang tugas itu ada di bahu Anda, Tuan."

Pemuda itu menoleh cepat dan terkekeh. "Kau gila, Dice? Setelah aku melihat apa yang telah Xavier lakukan?" Gala pun tertawa miris. "Hanya orang bodòh yang mau melanjutkan tugasnya. Aku? Biarpun terlihat bodòh tapi setidaknya aku masih memiliki hati nurani." Gala mendorong pelan kursi makannya. Menghabiskan gelas susu keduanya. Tak peduli kalau Dice masih menatapnya lekat. Ia memilih bersiap saja bekerja.

Bergumul dengan aneka piring kotor juga bau, serta minyak yang menempel pada permukaan alat masak, ataupun sampah-sampah sisa makanan yang bertumpuk. Ketimbang mengangkat senjata dan melenyapkan banyak nyawa.

***

"Apa hari ini Tuan bekerja di rumah Mr. Jian?" tanya Dice yang memainkan warna dari tubuhnya. Sebenarnya kemarin saat mereka bersama melewati lorong gelap ini, Dice ingin menghibur Gala. Ia tau sudah keterlaluan saat menodongkan senjata ke arah majikannya. Walau ia tau, batas waktu bagi Gala untuk menerima takdirnya semakin tipis. Dice tetap tak bisa memaksa.

Warna-warna yang Dice keluarkan membuat suasana di lorong seperti berada di tengah kelab malam. Pendar lampu berkilau sebagai pusatnya. Suara ingar bingar yang terdengar nyaring menjadi latarnya. Gala pernah membayangkan dirinya ada di sana. Menggerakkan tubuhnya seiring musik yang ia dengar. Tapi ... untuk mendapatkan tiket masuk ke sana, Gala harus berpikir ratusan kali.

"Tidak. Tadi Mr. Jian mengabarkan kalau ada pekerjaan ke luar kota."

Dice mengangguk kaku. "Sepertinya Luke sudah tak akan mengusili Anda lagi."

Gala terkekeh. "Kurasa."

Mereka terdiam menikmati lorong yang memang jarang sekali terlihat ada kehidupan.

"Tapi aku cukup penasaran, Dice. Apa kemarin Luke melihatmu?"

"Lupa kah Anda kalau aku bisa terlihat kalau Anda memperkenalkanku pada orang yang Anda inginkan?"

Gala mendesah lega. "Artinya dia tidak melihatmu, kan?" Gala harus memastikan hal ini.

"Tidak, Tuan. Anda jangan khawatir."

"Tadi kau bilang, itu reaksi umum karena aku seroang Horratio. Apa maksudmu?" Gala mengarahkan sepeda usangnya ke kiri. Tinggal satu blok lagi untuknya tiba di flat. Hari ini ia tak terlalu lelah. Mungkin karena porsi kerjanya sedikit berkurang karena ia tak harus ke rumah Mr. Jian untuk beberapa hari ke depan. Di kepala Gala, sudah memikirkan rencana untuknya menonton serial yang sudah sangat ketinggalan untuknya. Mungkin ditemani segelas susu atau ... kopi?

Sebenarnya ia trauma meminum kopi. Semalaman ia bisa terjaga dan menyebabkan kemarahan Mr. Kim karena ia terus menerus melakukan keteledoran. Kantuk yang menyerangnya di siang hari, sangat menganggu. Itu lah kenapa ia sangat menghindari kopi agar ia tak terlalu banyak menerima amarah Mr. Kim.

"Benar, Tuan. Aku dan dadu ini satu kesatuan untuk mendukung tugas Anda sebagai Horratio."

"Koreksi, Dice. Itu tugas Xavier. Bukan aku. Aku hanya pengepul sampah di restoran."

Dice tak menanggapi. "Sebenarnya Anda bisa melatih diri menggunakan apa yang kami miliki. Tuan Xavier hampir setiap hari berlatih senjata karena musuh-musuh yang akan ia lenyapkan juga memiliki persenjataan lengkap juga canggih."

"Aku tak mau. Itu bukan tugasku," tukas Gala dingin. Ia terbayang asap hitam pekat yang segera memenuhi langit yang ia tatap semalam. Bau daging yang terbakar hangus juga ikut serta menyapa penciumannya.

"Tuan Xavier mengangkat senjata ada sebabnya, Tuan. Bahkan burung yang terbang bebas di udara sangat ia jaga kelestariannya."

Gala berdecih tak percaya.

"Beliau hanya memusnahkan apa yang menurutnya bisa merusak keseimbangan. Peredaran narkoba jenis terbaru yang membuat penggunanya sangat ketergantungan. Perdagangan manusia yang sangat menyalahi norma yang ada. Korupsi di beberapa sektor utama sebelum semua yang disetorkan para penduduk Metro sampai ke penguasa tertinggi; Gideon Yang Agung.

"Aku tak percaya, Dice. Semua ucapanmu itu sangat berbanding terbalik dengan apa yang kualami."

"Horratio diutus untuk memberi keseimbangan. Ratusan tahun Tuan Xavier membuat semua itu agar tercipta kedamaian. Di bawah komando Gideon Yang Agung tapi sayangnya, makin lama semuanya menurut Tuan Xavier sudah sangat jauh melenceng. Aku sudah menceritakan bagian ini, kan, Tuan?"

Gala diam saja. menatap lurus ke lorong di mana ujungnya sudah terlihat cahaya dari rumah-rumah yang ada di pinggir jalan.

"Anda tidak tau betapa system pemerintahan di setiap Metro sangatlah kacau."

"Bukan urusanku, Dice."

"Urusan Anda karena Anda adalah keturunan Horratio."

"Xavier masih ada, kan? Kenapa bukan dia yang melanjutkan? Kau hanya diberitugas untuk menjagaku. Iya, kan?"

Dice menatap Gala dengan pandangan tak suka. "Tuan lupa, apa yang pernah aku katakan."

Pemuda itu tak pernah lupa apa yang Dice katakana sejak awal. Semuanya. Termasuk apa yang ditugaskan Dice dari Xavier. semua itu membuat Gala pusing sebenarnya. Niat untuk melempar dadu itu sejauh mungkin beserta Dice di dalamnya sangat lah kuat. Semakin hari ia bersama Dice, semakin banyak kebingungan dan hal aneh yang ia alami. Gala rasa makin lama otaknya tak lagi bodòh melainkan mendekati gila.

Gala yang terdiam karena sibuk dengan pemikirannnya itu, tak pernah menyangka kalau ada segerombolan pria mabuk yang menghadang langkahnya. Cahaya Dice menghilang saat itu juga. Menyisakan temaram di sekitar lorong yang Gala lewati ini.

"Ada mangsa baru," kata salah satu di antara mereka. Gala tak terlalu bisa melihat jelas tapi arah suaranya berasal dari samping kirinya.

Mereka tertawa. Dari suara tawa itu, Gala bisa memperkirakan ada tiga orang yang menghadangnya. Dua di antaranya memegang botol minuman beralkohol. Dari jarak sedekat ini, aroma alkohol tercium dan membuat Gala mengernyit tak suka.

"Malam keberuntungan kita."

Gala berdecih pelan. "Minggir." Ia merasa dadu itu berdenyut pelan. "Jangan halangi jalanku." Gala memejam sejenak dan saat membuka matanya kembali, ada rasa panas di sekitaran matanya. Ia bisa melihat jelas ketiga orang yang menghadang di sana. Semua terlihat terang benderang sekarang. Jalan mereka yang terhuyung juga tatapan lapar menatap Gala seolah Gala ini buruannya.

"Kau ini sombong sekali, Bocah!" hardik orang yang berada di tengah. Botol yang tadi ia pegang, ia bating hingga menimbulkan suara pecahan kaca yang cukup dramatis. Masih memegangi leher botol, di mana pecahan tajamnya ia arahkan pada Gala, ia kembali berkata, "Kau mau aman, kan? Serahkan dompet serta harta benda milikmu. Cepat!"

Gala bergeming di bawah ancaman yang ada. Pria yang ada di samping kanannya berdecak kesal. Dikeluarkannya pisau lipat dari balik kemejanya. Diacungkan pisau itu pada Gala sembari ikut mengancam.

"Kalu kalah jumlah, Bocah," katanya sembar menyeringai.

Mendapati hal itu, Gala menyeringai kecil. Tatapannya semakin berubah menjadi jingga terang. Dadu di lehernya, entah kenapa ia ambil dan melemparnya ke udara seraya berbisik, "Lumpuhkan mereka."

Lalu ... cahaya jingga itu makin terang namun bukan berasal dari Gala. Dari dadu yang berada di atasnya. Suara ledakan cukup keras mengiring kepul asap yang tiba-tiba memenuhi lorong. Sama persis seperti mimpinya semalam namun ia tak mencium aroma hangus terbakar.

Matanya mengedar cepat, tiga orang tadi duduk di sudut dengan tangan terikat satu sama lain. Wajahnya babak belur. Sudut bibirnya Gala lihat ada yang sobek cukup besar. Mereka silih berganti meringis kesakitan. Tak lagi menatap Gala dengan tatapan penuh ancaman. Justeru sekarang tak mau menatap Gala karena ketakutan.

Tangan Gala menengadah udara. Dadu yang tadi ia lempar, perlahan turun dan menyentuh telapak tangannya. Pendar dadu itu berwarna warni sesuai dengan mata dadu yang ada. Agak lama Gala menatap dadu itu.

"Apa yang telah kulakukan?!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro