Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DICE. 11


Gala menggigil kedinginan. Kilas ingatan tadi membuatnya sangat ketakutan. Belum lagi wajah Luke yang melotot seolah Gala ini pencabut nyawanya. Selalu terbayang dalam kepalanya sampai ia tak bisa tidur malam ini. Berulang kali ia minum, pikirnya, agar hal tadi bisa larut seiring dengan air yang melewati tenggorokannya. Tapi ternyata semuanya tak ada gunanya.

Bahkan Gala melewatkan makan malamnya. Ia biarkan Dice berbuat semaunya dengan dapur yang ia rasa, agak berantakan. Kehadiran Dice ternyata memang cukup berguna dan membuat perutnya tak terlalu keroncongan.

Sejak memasuki flat kecil yang Gala tempati, Dice tau, tuannya mengalami kekalutan. Sepanjang jalan ia meracau, tangannya gemetaran, belum lagi ekpsresi wajahnya yang seperti orang linglung. Dice ingin bicara tapi ia urungkan niatnya. Percuma. Gala tak fokus seperti ini, bisa-bisa ia tambah syok mendengar penjelasannya.

Membiarkan Gala masuk ke kamarnya tanpa berganti pakaian. Meliriknya sekilas untuk mengetahui apa yang tuannya lakukan. Ternyata bergelung di bawah selimut tuanya. Tubuh Gala yang cukup tinggi membuat kasur itu terlihat kecil, di mana kakinya pun terjuntai di tepian ranjang. Masih mengenakan sepatu kerjanya yang kotor. Sama sekali tak berniat pemuda itu untuk melepas semuanya dan berganti yang lebih bersih.

Tak butuh waktu lama bagi Dice untuk menyiapkan makan malam. Ia terbiasa harus bekerja cepat; menyiapkan semua kebutuhan Xavier selama berkelana beratur-ratus tahun lamanya. Sampai ia hapal kapan Xabier harus tidur di atas pohon juga kapan ia tinggal dan singgah lama di satu daerah. Sembari terus mempercanggih semua yang ia butuhkan di dalam dadu kecil itu.

"Tuan," panggil Dice pelan. "Aku tau Anda belum tertidur. Perut Anda lapar. Tenaga Anda banyak terkuras. Makan malam sudah aku siapkan."

Gala tak bergerak, mendengar suara Dice saja tiba-tiba ia ingat, bagaimana dirinya mendadak seperti algojo. Apalagi ia tak segan mengarahkan mulut pistol pada Luke. Ya Tuhan! Arahnya pun tepat sekali di mana sekali ia tarik pelatuk, maka Luke hanya tersisa namanya saja.

"Kalau Tuan penasaran kenapa seperti orang lain, aku bisa menjawabnya. Asalkan An—"

"Asalkan apa?" sela Gala cepat. selimutnya ia sibak segera. Rambutnya berantakan. Wajahnya berkeringat. Jantungnya berdebar keras ditambah napasnya yang turun naik tak beraturan. Seperti habis marathon sepanjang hari.

"Asalkan Anda makan malam terlebih dahulu. Survey yang pernah masuk dalam programku mengatakan, jika dalam keadaan lapar, informasi apa pun yang akan disampaikan tidak gampang dicerna. Karena otak memikirkan bagaimana memenuhi kecukupan di dalam tubuhnya."

Gala berdecak pelan. Membuka segera kancing kemejanya. Ia merasa tubuhnya panas sekali. Padahal pendingin di kamarnya sudah menyala di mana biasanya ia kedinginan. Bodohnya Gala! Sejak tadi ia bergelung rapat di dalam selimut! Melempar asal kemeja serta seragam kerjanya. Menyisakan dirinya yang bertelanjang dada. Celana panjangnya masih ia kenakan berikut sepatu kotornya. Gala mengernyit heran. Bagaimana bisa ia lupa kalau masih mengenakan sepatu?

Dice langsung meninggalkan Gala begitu tersadar, kalau Tuannya tengah berganti pakaian. Kenapa juga ia menikmati Gala yang setengah telanjang? Tapi ... Dice seharusnya tak memilik rasa penasaran seperti ini, kan? Segera ia menggeleng, menepis keras pemikiran anehnya barusan. Berdiri tepat di sebelah kursi yang biasa Gala duduki saat menikmati sajian yang ia buat. Tak lama Dice menunggu, Gala keluar dari kamarnya.

Mengenakan kaus tanpa lengan juga celana pendek yang membuat Gala malah terliihat berbeda ketimbang mengenakan seragamnya yang kebesaran itu. Rambutnya berantakan khas orang bangun tidur. Wajah takut Gala sudah tak terlalu kentara. Berganti dengan kerutan penasaran apalagi saat ia benar-benar sudah duduk di kursi biasanya.

"Kadang aku berpikir, kau ini seharusnya menjadi koki saja, Dice. Masakanmu enak," puji Gala setulus hati. Suapan demi suapan sejak tadi ia masukan ke mulutnya. Mengunyah cepat dan terus saja melahap apa yang Dice sajikan.

"Terima kasih tapi tidak, aku tak berminat menjadi seorang koki."

"Apa dulunya kau ini manusia, Dice?"

Pertanyaan itu meluncur begitu saja. Tanpa beban. Tanpa ada pemikiran macam-macam di kepala Gala karena ia bertanya pun sembari mengunyah. Tapi efek yang Dice rasakan sangat luar biasa. Ia sampai membeku dan melotot menatap Gala tak percaya.

"Dice?" Gala menoleh. Saat mendapati Dice yang termangu juga wajahnya yang lebih kaku dari biasanya. Sperti robot. "Kau ... tidak apa-apa?"

"Jangan pernah bertanya seperti tadi, Tuan. Itu kode rahasia nomor satu." Dice menoleh kaku. Matanya yang biasanya sewarna dengan seluruh tubuhnya yang abu-abu karena seperti hologram, kali ini berwarna jingga terang. Wajahnya pun mulai menunjukkan rona seperti gadis yang tengah menikmati musim semi yang ada di taman. Warna hologram tadi mulai memudar diganti dengan jingga yang membuat Gala terbeliak dan dicekik rasa takut.

"Dice? Dice?" Gala menutup matanya, menghalau segera sinar jingga yang makin membuatnya pusing. Terlalu terang hingga rasanya ia bisa meledak kapan saja. digunakan punggung tangannya untuk membantunya menghindari sinar jingga ini. Tapi percuma. Sinar itu kian jadi nyalanya.

"Dice, hentikan!" teriak Gala di sisa kekhawatirannya. Kalau memang pertanyaan itu rahasia, kenapa juga Dice tak memperingatkannya sejak awal? Dan apa yang terjadi? Aura yang Dice keluarnya sungguh membuat Gala diliputi ketakutan yang jauh lebih besar dari pada todongan senjata Dice beberapa waktu lalu.

"DICE!"

Lalu ... cahaya itu hilang. Cepat sekali Gala rasa. Meninggalkan pening yang ternyata cukup kuat mencengkeram kepalanya. Dirasa ia bisa mulai mengedarkan pandangannya ke sekitar ruang makan, ia pun mencari sosok Dice yang menghilang itu. Dadu yang tergeletak di meja makan sudah tak lagi ada warnanya. Biasanya masih ada pendar jingga atau bergantian dengan warna yang Dice keluarkan setiap harinya. Tapi sekarang tidak. Hanya gelap. Rantai kalungnya rusak karena tarikan Luke tadi. Niat Gala setelah makan ia akan membetulkan talinya tapi justru sekarang ia kebingungan.

"Dice?" panggil Gala pelan. Suasana di ruang makannya sunyi sekali. "Kau ... di dalam?" Gala mengangkat dadu tersebut. Berbisik pelan dengan mata yang menatap lurus pada dadu tadi. Diletakkannya dadu itu di tangan. Ia ingat, saat pertama kali bersentuhan dengan dadu ini, ada rasa aneh serta hangat yang membuat seluruh aliran darahnya berdesir kuat. Bahkan saat Luke mengembalikan dadu itu ke tangannya, ia masih merasakan sensasi itu. Seolah dadu yang bersentuhan dengan kulitnya itu adalah benda bernyawa.

Kali ini, tidak ada.

Benda itu dingin dan ia tak merasakan apa-apa.

"Dice?" panggilnya lagi. "Bisa kah jangan membuatku takut? Sudah cukup dengan semuanya!" Gala berkata dengan cukup keras. Di dalam hatinya memang ketakutan yang tiba-tiba hinggap, terasa nyata. Apa karena pertanyaan tadi membuat Dice lenyap? Tapi kenapa? Dice belum memberitahu diriya kenapa ia bisa dengan cepat memilih senjata. Belum lagi bergerak cepat juga seperti tangan serta refleksnya sudah terbentuk untuk menyesuaikan diri dengan apa yang ada di genggamannya. Itu tak seberapa dibanding dirinya yang seolah tau, apa yang lawannya rasakan.

Lalu sekarang?

Rasanya Gala hampir gila kalau seperti ini terus.

"Dice!" panggil Gala cukup keras.

Hingga Gala kembali ke kamarnya, dengan dadu yang kini ada di genggamannya, Dice belum jua menampakkan diri.

***

"Bu, kenapa daun itu berjatuhan terus? Apa nantinya pohon itu akan mati?" tanya Gala. Tangannya yang mengenakan sarung tangan orange mencolok menggenggam erat tangan wanita yang ia panggil 'ibu'. Wanita itu menoleh, tersenyum, walau wajahnya tak terlalu jelas tapi Gala bisa merasakan kehangatan senyumnya di sana.

"Ada saatnya daun meninggalkan ranting-ranting pohon besar itu, Gala. Nantinya tunas daun baru akan tumbuuh. Kehidupan baru pun berjalan lagi."

"Pohonnya tak jadi mati?"

Sang wanita menggeleng. "Kecuali seseorang menebangnya."

"Ah, itu kejam."

Lagi-lagi wanita itu menggeleng. "Pohon pun berguna untuk kehidupan manusia. hanya saja, terkadang mereka menginginkan hal-hal yang berlebihan. Metro Selatan masih indah untuk kita nikmati, Gala. Ada tempat yang lebih indah lagi. Metro Barat. Suatu saat, mungkin kau ingin berkunjung ke sana?"

Gala mendongak, menatap ibunya dengan bingung.

"Nanti kita ke sana bertemu dengan banyak hal yang membuatmu lupa, kalau asalmu dari ..."

Kening Gala berkerut dalam. Jantungnya berdebar dari teratur lambat laun makin kencang. Apa yang ia alami barusan berganti dengan cepatnya. Kali ini, ia sendiri tak tau ada di mana.

"Dice, apa semua aman?"

"Aman, Tuan. Anda bisa masuk ke dalam."

Saat Gala melangkah, entah satu atau dua pasukan dengan senjata lengkap menghadang. Senjata mereka segera saja tertuju pada Gala di mana kali ini ia sendirian. berdiri tanpa ragu.

"Menyingkir Xavier!"

Suara itu bergaung keras sekali.

"Nyawamu tak akan kuampuni jika berani melangkah mendekat."

Gala ... atau siapa? Xavier? Ia tak peduli. Langkahnya mantap mengarah mendekati pasukan berseragam hitam ditambah senjatanya itu. Dalam sekali tarik, entah berapa belas peluru bisa bersarang padanya. Gala ingat, Gala menarik senyumnya sedikit. Matanya tampak menimbang sejenak. Lalu ... tangan Gala melempar dadu ke udara, sembari berkata pelan namun seperti tiupan kematian yang sangat mengerikan.

"Bereskan."

Lalu ... semua yang menghadang jalanya hancur tanpa sisa. Tersisa hanyalah ceceran tubuh yang terkena ledakan kuat. Aroma pekat serta asap hitam yang membumbung tinggi pun menjadi pemandangan yang ia nikmati sekarang. Tak ada pekikan atau rintihan kesakitan. Benar-benar menghilang.

"TIDAAAKK!!!"

Gala bangun! Matanya melotot sempurna. Dadanya turun naik, napasnya tersengal hebat. Lehernya seperti dicekik akar yang sangat kuat. Tubuhnya lengket karena keringat yang membanjiri hampir di setiap lapis kulitnya. Saat ia sudah mulai bisa mengendalikan diri, matanya bergerak cepat. Memindai ruangan tempatnya berada. Kamarnya. Satu helaan napas lega Gala beri sebagai rasa syukur, ia bisa keluar dari mimpi ... mimpi tapi kenapa rasanya seperti ia mengalami sendiri?

Tangannya seperti menggenggam sesuatu dan saat ia buka kepalannya, ada dadu yang sejak tadi ia genggam erat. Ingatannya kembali tertuju pada makan malam yang aneh juga keberadaan Dice yang masih belum ia ketahui lagi. Biasanya Dice berada tak jauh darinya. Tapi tadi ... gadis hologram itu ada di dekatnya. Memberi satu perlindungan penuh dengan ... dadu yang ia lempar?

Ya Tuhan! Apa yang sebenarnya terjadi?

Diusapnya wajah Gala dengan kasar, menjambaki rambutnya yang berantakan dengan cukup kuat. Tak peduli rasa sakit yang mendadak timbul di kulit kepalanya. Ia butuh menjadi waras dan normal sekarang. "ARGH!" jeritnya.

"Tuan? Anda baik-baik saja?"

Gala membuka matanya. Terbeliak antara senang juga terkejut mendapati Dice ada di ambang pintu kamarnya. Wajah kaku itu menatap lurus Gala yang seperti mendapat tenaga baru yang luar biasa besar. Cepat ia bergerak dari ranjangnya. Menerjang Dice dalam satu pelukan yang entah kenapa Gala ingin sekali lakukan.

"Ke mana saja kau?"

Gadis hologram itu bisa Gala peluk. Erat. Tak peduli bagaimana alur napasnya, Gala sendiri tak tau ia terbuat dari apa. Yang terpenting sekarang, Gala bisa memeluknya. Ia takut. Sungguh. Apalagi mimpi atau penglihatannya barusan membuatnya makin menggigil.

"Tuan." Dice sedikit mendorong tubuh Gala yang bertelanjang dada. "Ada apa?"

"Kau!" tunjuk Gala dengan sorot mata tajam. "Kau yang ada apa? Ke mana saja kau ini, hah?"

"Aku? Di dalam dadu." Dice mengerjap pelan. "Anda ... khawatir denganku?"

Gala melengos, sedikit menyingkirkan Dice yang menghalangi jalannya menuju meja makan. Aroma roti panggan juga manisnya madu membuat perut Gala mendadak kelaparan. Nanti. Semua hal yang ingin ia tanyakan pada Dice pasti akan ia tanyakan. Dan ia tak mau informasi yang hanya setengah-setengah saja.

"Hari ini Anda bekerja?"

"Apalagi yang akan kulakukan, Dice?" tanya Gala sembari menggigit besar roti panggangnya. Segelas susu hangat yang Dice siapkan sudah habis tanpa sisa. Begitu Dice berdiri dengan patuh di sampingnya, dengan pendar berwarna kuning yang lembut, Gala berkata, "Aku yakin kau tau apa yang kualami semalam."

Dice menatap Gala lekat.

"Siapa dia?"

"Yang Anda maksud yang mana, Tuan?"

Gala memejam sejenak. Ia masih bisa merasakan betapa dirinya yang gagah berdiri di antara semua orang yang mengacungkan senjata ke arahnya. Tanpa kenal takut. Juga tangan yang melempar dadu ke atas di mana ada satu lengkingan kuat yang memekak. Sepersekian detik sebelum ledakan itu terjadi. Disertai satu peringatan yang sangat kuat.

'Satu dadu mengudara, kematian yang akan menjemput. Satu dadu mengeluarkan anak matanya, kehancuran tiba.'

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro