15. Mabuk Cinta
Saat cinta memabukkan hati manusia. Disaat itulah godaan syetan mulai ampuh untuk menjerumuskannya ke lembah kemaksiatan.
Sesampainya di kampus, sengaja Zahra datang lebih pagi agar ia bisa fokus belajar sebelum teman-temannya datang dan mulai ramai karena nanti ada kuis. Semalam ia tak sempat belajar karena menghadiri acara syukuran penempatan rumah baru Mira dan suaminya.
Namun, baru sepuluh menit ia terjun dalam dunia kalimat pengetahuan itu. Fokusnya langsung ambyar saat bunyi notifikasi dari ponselnya. Ia pun akhirnya malah hanyut chat-an dengan sang kekasih melupakan buku yang terbuka di hadapannya.
[Please, Ra. Hari ini kan ulang tahun aku. Masak iya kamu nggak mau nanti kita makan siang bareng.]
[Aku takut ada orang yang tau, Rid.]
[Enggak akan, Ra. Aku akan ajak kamu ke restoran yang jauh dari kampus kok. Pasti aman.]
Zahra menghela napas. Pikirannya mulai goyah seiring dengan hati yang mulai ragu, antara ingin bertemu tapi rasa takut ketahuan teman atau orang yang dikenalnya tetap menghantui.
[Zahra, Please. Kamu nggak mau bikin aku bahagia di hari ulanh tahunku?]
Iya juga ya. Lagian baru kali ini Farid minta makan siang bersama. Selama 3 tahun pacaran dia tak pernah memohon seperti ini. Ia selalu mau ngertiin dan nuruti keinginanku, batin Zahra.
[Ya sudah iya aku mau. Kamu mau kado apa dari aku?]
Zahra berlanjut menanyakan tentang barang apa yang Farid mau di hari ulang tahunnya. Sengaja ia langsung tanya, karena ia tak mau memusingkan apa yang disukai atau dibutuhkan Farid hanya dengan menebak-nebak. Toh, baginya tak ada gunanya surprise jika pada akhirnya barang ia kasih malah tidak disukai, bahkan tak dimanfaatkan.
Tepat saat Nindi datang, barulah ia sadar jika malah keasyikan dengan gawainya dan mengabaikan bukunya. Ia pun meletakkan ponsel ke dalam tasnya agar tak terganggu lagi. Toh Farid juga tak membalas pesannya lagi.
"Sekarang ada kuis ya, Ra?" tanya Nindi sembari megeluarkan buku dan meletakkan di meja.
Zahra pun menoleh lalu menggangguk.
"Ya sudah, yuk belajar."
Zahra tersenyum lalu mengangguk lagi.
---***---
Tepat pukul 11.30 WIB, teman-teman Zahra mulai berhamburan keluar dari kelas. Hari ini ada 2 mata kuliah, itu berarti kini sudah waktunya mereka pulang.
"Zahra, Nindi bentar, deh," ucap Jihan yang tampak fokus mengobrak-abrik tasnya.
Selang beberapa detik. Ia pun menyodorkan kertas berpita putih ke arah dua sahabatnya itu.
"Undangan?" ucap Zahra memastikan.
"Iya, Ji. Undangan pernikahan siapa, nih?"
Jihan yang menatap kedua sahabatnya yang tampak kebingungan tampak menyungging senyum. "Buka aja biar kalian nggak penasaran lagi."
"Ini inisilnya J dan I. Apa jangan J nya kamu, Ji?" tebak Nindi seraya tangannya mulai membuka pita.
Zahra pun sempat terkejut, melihat Jihan yang hanya senyum-senyum. Ia pun mempercepat gerakan tangannya untuk membuka undangan itu.
Netra Zahra langsung melotot saat tulisan indah yang tercetak paling besar pada nama sepasang pengantin itu adalah Jihan Fahira dan Ihsan Maulana.
"Masyaallah, Jihan! Ternyata kamu diem-diem malah langsung sebar undangan," ucap Zahra sedikit memekik, tampak mukanya kini terharu menatap Jihan yang terkekeh.
"Iiih, iya, Ji. Diam diam kamu menghanyutkan ya. Atau kamu pacaran diam-diam kayak kita?" Nindi langsung menutup mulutnya saat sadar kalimat terakhir yang terlontar merupakan pembocoran aib dirinya dan Zahra.
Jihan terkejut, pun Zahra yang beralih melototi Nindi. Jihan yang penasaran pun langsung bertanya. "Jadi kalian selama ini punya pa-car?" tanya Jihan yang sempat ragu untuk mengatakan kata pacar.
Zahra dan Nindi saling berpandangan dengan raut wajah sendu bercampur rasa bersalah.
Sebagai seorang sahabat yang memang ketiganya telah dekat semenjak awal masuk kuliah. Meski tanpa ada jawaban dari dua gadis yang kini sama-sama membisu, Jihan paham betul apa jawaban dari pertanyaannya sendiri.
Jihan pun tampak menghela napas cukup panjang agar rasa terkejutnya kembali membuat hatinya tenang. Ia juga beranggapan, jika saat ini yang dibutuhkan dua sahabatnya adalah penjelasan perihal undangan yang kini ada di tangan mereka. Bukan penghakiman atas apa yang mereka lakukan.
"Sebenarnya aku dan Bang Ihsan sudah lama kenal. Tapi kami nggak pernah pacaran. Kami hanya sering ketemu saat kajian. Bertegur sapa pun tak pernah. Tapi jujur, memang aku punya rasa sama dia semenjak awal jumpa."
Zahra yang mulai tertarik dengan cerita Jihan langsung melempar tanya, "Dan kamu tahu kalau dia juga suka sama kamu?"
Jihan menggeleng. "Dia sama sekali tak pernah menunjukkan rasa sukanya. Yang ada dia super kaku dan dingin. Aku, sih nggak terlalu mikirin. Soalnya aku perhatiin hampir kepada semua perempuan dia bersikap demikian. Kecuali pada satu cewek." Jihan berhenti sejenak seraya tersenyum melihat muka serius dua sahabatnya itu.
Entah mengapa, ia merasa bahagia saat menceritakan kisah cinta dalam diamnya meski dulu sempat menyiksa hatinya.
"Siapa?" tanya Nindi dengan cepat karena ia merasa sangat penasaran.
"Namanya Salsa. Perempuan cantik bercadar yang biasanya berperan sebagai moderator dari pihak muslimah."
Zahra dan Nindi mengangguk-anggukkan kepala pertanda paham. "Jadi kamu cemburu setiap kali lihat dia dekat dengan calon suami kamu siapa tadi? Em, Ihsan, ya?" tanya Nindi semakin kepo dan sempat melihat lagi isi undangan saat lupa dengan nama calon suami Jihan.
"Hehe iya. Aku pikir Bang Ihsan suka sama dia. Apalagi Salsa bisa dibilang teman dekat aku."
"Wah ... makan hati, dong," ucap Zahra tampak memelas.
"Enak, dong. Apalagi hati ayam. Mantap tuh dibumbu tumis dipedesin. Ish," Nindi berdesis, seakan menikmati rasa pedas kesukaannya.
"Ish, apaan, sih kamu, Nin." Zahra menyenggol lengan Nindi yang seketika terkekeh. "Sorry-sorry, efek perut laper, nih."
Jihan terkekeh, Zahra kembali melempar tanya karena semakin tertarik dengan kisah cinta Jihan. "Terus-terus. Kok bisa sekarang kalian malah nikah?"
"Emm anggap aja kejutan kebahagiaan dari Allah. Hehehe. Alhamdulillah Bang Ihsan datang ke rumah sebulan yang lalu, langsung melamar."
"MasyaAllah. So sweet." Suara Nindi langsung menguar rasa takjub dan iri. Karena ia pun ingin seperti itu. Padahal pada kenyataannya ia juga mendapatkan laki-laki baik yang langsung mengkhitbahnya. Hanya saja posisi bedanya, saat ini ia sama sekali tak mencintainya.
"Seindah cinta Sayyidah Fathimah dan Sayyidina Ali," imbuh Zahra dengan raut wajah haru menatap Jihan. Dalam hatinya tak bisa ia pungkiri, ada iri berkelebat karena dua sahabatnya kini telah mempunyai calon imam yang siap menghalalkan cintanya.
Ya Allah, kapankah giliranku mendapatkan jodoh? batin Zahra yang kini tersenyum hambar. Sedih meratapi nasibnya yang hubungannya masih jalan di tempat, tanpa ada perkembangan status--pacar menjadi tunangan atau suami.
.
.
.
.
Bersambung
Bagi yang mau novelnya bisa langsung DM ya.
Harganya 78.000
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro