14. Tak Jadi Jemput
Hiruk pikuk orang-orang yang berada di stasiun ini otomatis semakin ramai dengan kedatangan para penumpang yang turun.
Nindi yang menyadari raut wajah Zahra mendadak berubah 180 derajat. Langsung mengikuti arah pandangnya. Ia pun lalu mengelus lengan Zahra seraya berkata, "Itu mungkin teman atau saudarinya, Ra. Coba deh sekarang kamu telepon dia."
Zahra yang mendengar pertanyaan aneh Nindi seketika menoleh. "Telepon?"
"Iya, tanyain aja sekarang dia ada di mana dan sama siapa."
"Kan aku udah tahu, Nin. Jangan aneh-aneh, deh." Zahra tampak kesal, karena menurutnya usul Nindi semakin ngelantur.
"Tes kejujuran, Ra."
Zahra akhirnya paham dengan usul Nindi. Ia pun mengambil gawainya lalu menelpon sang kekasih.Zahra terus melihat gerak-gerik Farid.
Laki-laki itu tampak merogoh saku celananya, mengecek panggila di ponselnya. Namun, bukannya menerima panggilan itu, ia malah sengaja membiarkan panggilan yang masuk tanpa bermaksud menerima.
Zahra semakin kesal, panggilan terputus tanpa ada jawaban. Kembali jari jempolnya menekan tombol gambar telepon berwarna hijau itu.
Sekali lagi kamu nggak angkat, aku bakal labrak kamu, Farid, batin Zahra sembari menatap ke arah laki-laki yang berjalan semakin dekat ke arahnya. Saat ini, emosi seakan mulai meletup di dalam hatinya.
"Assalamulaikum, Ra. Entar dulu ya, Ra. Nanti aku telepon kamu lagi."
Belum juga Zahra menjawab salam. Sambungan telepon langsung terputus. "Iiih nyebelin banget, sih. Ayo, Nin. Kita pulang aja sekarang," ucap Zahra semakin kesal. Tangannya menggandeng tangan Nindi, agar gadis yang tadi hanya menjadi penonton itu mengikuti langkahnya.
Sengaja Zahra berjalan melewati jalan tepat di depan Farid yang kini berjalan ke arahnya. Zahra menoleh sebentar, saat itu Farid juga melihat ke arahnya.
Tampak laki-laki itu terkejut. "Za-Zahra!" Farik berteriak memanggil sang kekasih yang malah tak menggubris panggilannya. Zahra malah semakin cepat berjalan menjauh darinya.
"Siapa, Rid?" tanya perempuan yang sejak tadi berjalan beriringan dengan Farid.
"Maaf aku duluan, ya, Fir," ucap Farid langsung berlari mengejar Zahra.
Zahra yang hanya berjalan cepat, tak berlangsung lama bisa menghindar dari laki-laki yang kini mengejarnya. Hanya beberapa meter dilalui, kini Farid telah mampu menggapai lengannya untuk menghentikan langkah Zahra.
"Zahra, Ra. Stop dong. Kenapa kamu malah menghindar, sih?"
Zahra bergeming, enggan menjawab pertanyaan Farid. Ia menggerak-gerakkan pergelangan tangannya, agar genggaman tangan Farid terlepas. "Lepasin, Farid. Berani-beraninya kamu pegang-pegang aku."
"Jawab dulu pertanyaan aku, Ra. Baru nanti aku lepas."
"Lepas sekarang atau aku bakal teriak," ucap Zahra lirih, berusaha sekuat tenaga agar ia tak meluapkan emosinya dengan suara keras sekarang.
Farid pun perlahan melepas cengkramannya. "Kenapa kamu ke sini nggak bilang dulu ke aku, Ra?"
"Oh, jadi sekarang. Setelah buru-buru matiin telepon, kamu maunya aku pergi dari sini, kan?" Akibat emosi yang sudah telanjur mendera dalam hati, membuat Zahra semakin sensitif dan mudah salah paham.
"Ya ampun, Ra. Bukan kayak gitu maksudnya." Farid tampak frustasi, ia meraup mukanya kasar.
"Oke, oke. Sorry, sorry tadi aku memang buru-buru matiin telepon kamu. Tapi kan kamu pasti tahu sendiri, Ra. Kalau aku lagi jalan kan tadi?"
Zahra diam, sama sekali tak berminat menjawab pertanyan Farid.
"Lagian kamu ngapain, sih telepon. Tinggal nyamperin aja, kan?"
Farid menatap Zahra penuh keheranan. Tak paham apa maksud Zahra melakukan panggilan lewat telepon, padahal bisa saja ia langsung menyapanya tadi.
Zahra masih bergeming, masih betah dengan kebisuannya. "Zahra, please ... maafin aku, ya. Aku tak bermaksud nyuekin atau nggak suka kalau kamu telepon, bahkan kamu jemput aku kayak gini. Sekarang malah aku senang. Bisa lihat wanita yang aku rindukan berada di hadapan aku."
"Ehm," Nindi yang sejak tadi diam sontak berdehem saat mendengar kata rindu.
Zahra yang baru sadar dengan keadaan kurang nyaman seperti ini mendadak canggung. "Ya sudahlah nggak usah di bahas. Aku pulang dulu sama temen aku."
"Loh, loh. Bukannya ini jemput? Kok malah mau pulang dulu."
"Nggak jadi jemputnya, terlanjur badmood," ucap Zahra masih tampak kecewa.
"Ya sudah, untuk ngilangin badmood. Gimana kalau kita makan bareng dulu di kafe seberang sana. Aku yang traktirin, deh."
Zahra yang tadinya akan mengayun langkah seketika urung. Tampak gadis itu terdiam, seperti orang berpikir.
"Sekalian teman kamu diajak, Ra. Biar kita nggak berduaan."
Mata Zahra langsung berbinar. Ia menoleh ke arah Nindi untuk meminta persetujuannya.
Nindi mengangguk lalu berbisik. "Kebetulan perut aku juga udah bergendrang, Ra." Zahra terkekeh mendengar penuturan sang sahabat, ia pun tak bisa mengelak jika dirinya saat ini juga merasa lapar.
"Ya sudah, ayo."
Bibir Farid sontak menyungging senyum, kelegaan dalam hatinya ia rasakan. Melihat Zahra tak ngambek lagi, membuat hatinya langsung tenang.
---***---
Bertemu adalah cara mengobati rasa rindu. Niatan surprise yang dikiranya akan membuat sang kekasih semakin senang dan bahagia. Ternyata yang terjadi tak semulus dengan rencana. Ada rintangan berupa sedikit kesalahpahaman, tetapi pada akhirnya bisa terlesaikan hingga hati yang kini menjadi damai.
Ya, begitulah hidup. Manusia boleh berencana. Namun sadarlah, bahwa manusia tak ada daya untuk mewujudkan rencana itu sendiri, karena ada Allah Sang Pengendali kehidupan terbaik.
"Aku anterin kamu sampai rumah ya, Ra?" tanya Farid saat ketiganya telah menandaskan makanan masing-masing.
"Emang udah siap ketemu orang tua dan ngelamar?"
"Uhuk ... uhuk." Sontak Farid yang sedang minum tersedak mendengar pertanyaan Zahra.
Zahra melihat ke arah Nindi yang tampak menahan senyum.
"Kok malah bahasnya kesitu, sih?"
"Ya siapa tahu, kan? Habis dari luar kota, sekarang udah ada pikiran segera ngehalalin."
"Emmm, jadi sekarang ceritanya kamu udah nggak sabar ya untuk hidup bersama denganku?"
Zahra menghela napas cukup panjang. Tiba-tiba ia mengingat ceramah yang ia dengar saat acara pengajian di rumahnya sepekan lalu.
"Jujur, aku takut dengan komitmen kita yang sudah tiga tahun ini akan kandas ditengah jalan."
Farid yang mendengar penuturan Zahra pun terkejut. Pikirannya pun mendadak memutar kejadian beberapa hari yang lalu. Namun, ia segera menepis pikiran itu dan kembali menatap Zahra.
"Kenapa kamu mikir kayak gitu, Ra? Bukankah kita ini saling mencintai? Jadi apa lagi yang membuat kamu meragukan komitmen kita?"
"Karena Allah Maha Pembolak Balik Hati manusia, Rid."
Deg, hati Farid seakan tersentak dengan kalimat pendek Zahra. Namun syarat dengan peringatan yang benar benar harus diwaspadai.
"Aku merasa berdosa, Rid. Karena kita malah menjalin hubungan pacaran yang sudah jelas-jelas berdosa."
"Tapi kita tak pernah melakukan hal-hal yang umumnya dilakukan oleh orang pacarak kan, Ra? Tak ada syariat islam yang kita langgar. Kita tak pernah bertemu hanya berdua. Kita ngggak pernah bersentuhan."
"Iya, tapi hati kita yang selalu berzina, Rid."
Farid langsung terdiam, hatinya tak munafik. Karena apa yang dikatakan Zahra benar adanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro