In the Hospital
.
Kesan pertama--rumah sakitnya bagus. Tentu saja--itu klinik eksekutif. Keramik tampak bersih, kursi - kursi dan sofa untuk duduk menunggu tampak terawat, lampu menerangi ruangan dengan maksimal, setiap ruangan diberi nama, bisa dibilang tempat ini nyaman, meski ramai.
Mama bergegas menuju kasir setelah mengambil nomor antrian, sementara itu author dan ayah berdiri dekat situ. Sesekali author bertanya(lagi).
Setelah mendapat berbagai teknis(?), author disuruh Mama untuk duduk menunggu dekat ruang EKG. Nanti author akan ditimbang dan sebagainya dulu. Author mengangguk, menurut.
Karena bosan, akhirnya author buka novel yang author bawa. Males buka komik enstars--gak bisa baca kanji, jadi bacanya harus dipelototin. Mau dengerin lagu tapi ribet.
Dengan segera author tenggelam dalam tarian huruf - huruf. Author selalu suka novel tentang detektif, politik, dan teman - temannya. Bahasa yang sistematis selalu menarik untuk dibaca. Setidaknya untuk author :V.
Saat sedang di bagian yang seru, tiba - tiba author dipanggil. Untung suasana hati author lagi baik--kalau enggak mungkin author akan mengumpat(dalam hati). Tapi author langsung bangkit, sambil menitipkan barang - barang author ke ayah yang memilih menunggu.
Di ruangan EKG, author ditimbang, diukur tinggi, dan teman - temannya. Taulah ya. Jadi author gak perlu jelasin--//plak
Berat, 48 kg. Oke, turun. Tinggi, 155 cm. Nah loh, kok turun??
"Ma, emang tinggi bisa turun ya??" Tanya author. "Ya enggaklah dek. Emang tinggi adek berapa??" Tanya Mama balik. "155. Kan tadinya 156." Jawab author. Mama cuma tersenyum.
"Ayu!! Ukur tensi dulu yuk!" Panggil seorang suster. Author menoleh. Tapi wajah author langsung terlipat dengan ekspresi heran sedikit horror melihat alatnya.
Biasanya, lengan kita akan dibalut semacam kain(?)yang akan menggembung. Author sudah beberapa kali mengalami hal itu, dan itu memang hal yang wajar di rumah sakit.
Tapi alat yang author lihat amat asing bagi author. Jadi, lengan kita dimasukkan ke sebuah kotak--yang isinya ada kain yang akan menggembung, sama seperti yang author tahu. Nanti di layar yang terdapat di kotak itu akan menunjukkan hasilnya.
Author sampe cek 2 kali karena yang pertama ketinggian. Mungkin karena author gak nyaman jadi gerak - gerak. Akhirnya disuruh sekali lagi dan akhirnya didapat hasilnya.
"Panggilannya Ayu juga ya?? Dikira Padi-eh, Fadi, eh, Fadya yak??" Tanya seorang suster yang merupakan teman Nenek author. Author cuma tersenyum sambil mengangguk. Bukannya jaim, tapi bingung mau jawab apa.
"Ayu, masuk ke situ dulu yak!" Kata suster sambil menunjuk sebuah ruangan yang ditutup tirai. Karena gak yakin yang mana, akhirnya author cuma bisa berdiri gamang di dekat tirai. Hingga akhirnya suster selesai mencatat dan menyuruh author masuk ke situ.
"Tiduran ya, mau di EKG dulu." Perintah susternya. Author mengangguk, langsung tiduran di atas kasur. Suster dengan cekatan menempelkan alat yang tersambung dengan kabel - kabel.
Waktu di hermina, EKG-nya kaki dan tangan author dijepit. Dan yang ditempel di dada itu pas dilepas berbekas. Kalau disini, baik dipergelangan tangan-kaki maupun di dada semuanya ditempel. Tapi pas dilepas perekatnya bikin perih. Author nyengir. Sayup - sayup terdengar suara Mama dan para suster yang membicarakan Pangandaran--kampung halaman Mama dan Nin--panggilan untuk Nenek author.
"Keluhannya apa nih??" Tanya suster selagi memasang peralatan. Pertanyaan klasik. "Dadanya suka sesek sama nyeri." Jawab author pelan.
"Sebelum ke sini, udah berobat ke mana??" Tanyanya lagi. Kali ini ia sudah selesai. Sekarang berkutat dengan mesin - mesin di samping tempat tidur. "Hermina Depok." Jawab author singkat. "Diagnosanya apa??" Tanpa menoleh, ia bertanya lagi. "PFO." Jawab author singkat lagi. Susternya manggut - manggut.
"Nah, udah selesai ya. Mamanya mana nih, mau ditanya - tanya dulu." Gumamnya sendiri, lantas melewati tirai. Author turun dari kasur lalu merapihkan baju. Karena bingung, akhirnya author putuskan untuk menunggu kembali ke ruang tunggu sementara Mama ditanya - tanya di ruang EKG.
Di ruang tunggu, ayah tampak tertidur dengan barang - barang author di pangkuannya. Author menghempaskan diri di sebelahnya. Author kadang suka risih sama malu kalau orangtua author baca atau pegang koleksi komik author meski mereka tahu author suka anime dan manga. Terkadang malu saja kalau mereka melihat sisi fangirl author.
Tak lama kemudian, Mama kembali dan meminta kami untuk menunggu dekat ruang 8, ruang dokternya. Tapi karena disana masih penuh, akhirnya kembali lagi ke tempat sebelumnya. Tak lama kemudian, disana akhirnya lumayan kosong dan kami pun pindah ke sana.
Adzan ashar baru saja berkumandang. Dr. Raditya--dokter yang akan memeriksa author--keluar dari ruangannya. Pas ditanya sama susternya, katanya mau sholat dulu. Author terkejut mendengar suaranya. Suaranya menggelegar tapi terdengar ramah dan penuh semangat.
Karena author lagi gak sholat, jadi author lanjut baca novel, tapi kali ini sambil dengerin lagu. Sementara itu, Suster Budi--teman Nenek author duduk di samping author dan bertanya banyak hal pada author dan Mama. Mulai dari bahas batuk-pilek sampai ngebahas jika memang harus tindakan. Padahal singkatnya sih, mereka ngebahas author.
Mama sibuk dengan rajutannya. Sementara ayah yang tak mau tidur lagi, akhirnya malah bermain dengan bayi yang duduk di seberang kami. Keluarga muda. Bayi itu terkekeh senang. Suaranya benar - benar imut. Apalagi wajahnya. Bahkan perhatian Mama pun tersita oleh bayi itu.
Author cuma melirik beberapa kali. Aduh, bayinya lucu banget. Semoga adeknya gak kenapa - napa deh. Ayahnya berusaha membetulkan letak pangkuannya. Sementara itu ibunya berdiri di sampingnya.
Mama menjelaskan, kalau umur segitu fokus pandangan bayi itu masih samar - samar. Author manggut - manggut. Mungkin karena itulah memori kita waktu bayi gak ada. Atau mungkin karena hal lain?? Entahlah, author mah suka sok tahu aja.
Tak lama kemudian, Dr.Raditya kembali. Pasien kembali masuk keluar ruangan. Hingga akhirnya, tibalah saatnya untuk author//thor, sengaja dicepetin yah??
"Ayu!!" Panggil beliau. Author langsung loncat dari sofa, lalu berjalan kelewat santai ke ruangan dokter. Ruangannya gak begitu besar. Hanya ada sebuah kasur, satu wastafel, satu meja komputer beserta beberapa alat di sudut ruangan. Dokter Raditya tampak sibuk mencatat. Beliau langsung menyapa kami ketika masuk.
"Kenapa nih keluhannya??" Tanya dokter. Percaya atau tidak, mau berobat kemanapun, ke dokter apapun, pasti selalu ditanya begitu. Mau pakai surat pengantar atau tidak, pasti begitu. Author inget, Mama pernah cerita, waktu SMA, Mama membutuhkan waktu 1 tahun untuk mengetahui kelainannya. Dan selama satu tahun itulah, Mama hanya ditanya, "Keluhannya apa??".
Kembali ke laptop, author langsung menjawab. "Dadanya sering sakit sama sesek. Kalau misalnya lari atau terlalu semangat naik turun tangganya, kadang dadanya bisa nyeri sampai beberapa jam ke depan." Jawab author. Dokter manggut - manggut. "Rasanya kayak gimana??" Tanyanya lagi. "Sesek." Jawab author singkat.
"Kayak diinjek ya??" Tanya Dokter, yang membuat author sedikit terhenyak. Soalnya selama ini, author gak pernah ditanya seakurat itu. Biasanya dokter cuma akan mengernyit mendengar penjelasan author. Tapi kali ini, tebakan dokternya tepat.
"Iya dok." Jawab author jujur. Dokter tersenyum. "Yaudah!! Tiduran dulu gih, saya periksa dulu!!" Serunya. Author bangkit menuju kasur di samping meja dan tiduran diatasnya.
Dr. Raditya dengan cekatan memeriksa author. Setelah diperiksa dengan stetoskop, akhirnya author diminta untuk di rontgen dan di ECHO.
Menunggu kembali--setelah menyerahkan data ke perawat di meja. Katanya petugasnya yang bakal jemput kita. Ruang rontgen memang berada di lantai 3.
Tak lama kemudian, perawat datang menjemput kami. Akhirnya kami pun naik ke lantai 3.
Sesampainya di ruang rontgen, author langsung disuruh bersalin. Author mengerutkan kening.
"Semuanya dilepas??" Tanya author lugu.
"Ya, atasnya aja dek. Roknya mah gak usah." Jawab Mama sabar. "Oh, kayak operasi ya??" Tanya author lagi, berusaha mengingat saat operasi dulu. Mama cuma mengangguk.
Akhirnya Mama pamit untuk menunggu di luar. Setelah memastikan author bisa sendiri tentunya. Setelah bersalin, author pun menjalankan proses rontgen.
"Make kerudung gak papa kan??" Tanya author. Make baju khusus rumah sakit sih boleh, tapi kerudung gak boleh lepas. "Boleh kok. Nggak make peniti kan??" Tanya si perawat. Author mengangguk.
"Nah sekarang, berdiri di depan sini yah," katanya sambil menunjuk sebuah benda berbentuk kotak yang ternyata adalah sebuah kamera. "Tangannya di pinggang, tubuhnya ditempel aja ya. Nanti kalau disuruh melakukan sesuatu ikutin ya." Perintahnya lagi. Author turuti dengan patuh. Setelah memastikan author sudah bisa di rontgen, perawat itu menuju ruangan kecil di ruangan itu.
"Yak, sekarang tarik napas!" Serunya. Author pun menarik napas. "Yak, dikeluarin." Serunya lagi. Author menurut.
"Yak, sudah selesai." Katanya. "Eh?? Udah?? Cepet banget." Komentar author. "Ya iya, kan cuma di foto doang." Katanya sambil tersenyum. Author cuma nyengir.
Setelah ganti baju, author menunggu di luar ruangan. Lumayan, sofanya nyaman dan tempatnya sepi. Tapi sayang, mungkin tubuh author yang kurang tinggi, jadinya kaki author gantung di sofanya.
"Tadi cepet banget loh ma." Celetuk author sembarangan. Habis kelewat sepi. Lalu author menceritakan kejadian di dalam.
"Berarti beda dong sama waktu Mas Ilmi??" Respon mama. Memang, dulu kakak author pernah di rontgen juga. Cuma beda kasus.
Tak lama kemudian, hasilnya sudah jadi dan kami pun kembali ke bawah untuk pemeriksaan selanjutnya.
Di bawah, ruang tunggu makin rame aja. Tapi untungnya gak serame pasar. Masih bisa ditolensir lah~
Karena gak ada tempat duduk yang tersisa, akhirnya kami terpaksa menunggu sambil berdiri. Tak lama kemudian, Mama menyuruh kami untuk segera masuk ke ruang ECHO.
Lagi - lagi, disini author disuruh untuk bersalin lagi. Padahal waktu di rumah sakit hermina, author gak perlu ganti baju. Ah, ikutin aja lah.
Seperti yang sudah - sudah, karena itu yang keempat kalinya author di ECHO, jadi author udah gak doki - doki lagi. Santai aja. Meski tetap penasaran akan hasilnya. Namanya juga remaja. Apa - apa penasaran.
Yang melakukan Dr.Raditya sendiri. Seperti biasa, Mama dan Ayah dipersilahkan untuk ikut melihat. Author cuma bisa menatap tirai pembatas atau wajah Mama dan Ayah sambil menebak - nebak hasilnya. Sayangnya muka keduanya sama - sama unpredictable. Meski sesekali muka mereka mengernyit.
Akhirnya Dr.Raditya mempersilahkan author untuk ikut melihat layarnya.
Ah--gambar yang sama dengan sebelumnya. Sebenarnya agak aneh melihatnya. Sekatnya tampak seperti putus-sambung. Kalau sebelumnya gambarnya harus diperbesar, sekarang gak perlu. Mungkin alatnya lebih canggih.
Dr.Raditya juga terdiam.
"Saya masih gak yakin ini ada lubang apa enggak bu, pak. Jadi saya belum bisa beri tindakan. Nanti bisa dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Jadi nanti dimasukin kamera." Kata Dr.Raditya setelah terdiam beberapa saat.
Akhirnya setelah bercakap satu dua kalimat, kami kembali menunggu di depan ruangan Dr.Raditya lagi. Tak lama kemudian, kami kembali dipanggil.
"Ibu, Bapak, kan hasil ECHO kurang meyakinkan, nanti akan dilakukan TEE untuk melihat lebih jelas. Nanti akan dimasukkan kamera lewat kerongkongan." Deg. Author langsung tertegun. Sebelumnya author juga sudah mendengat hal ini, tapi author gak menyangka akan author alami.
"Memang sebelumnya, kalau PFO itu biasanya ditunggu beberapa bulan dulu. Tapi sekarang, kalau memang ada lubang, sebaiknya segera ditutup." Kata Dr.Raditya.
"Itu gejalanya apa ya dok?? Kok bisa gak ketahuan??" Tanya Mama.
"Gejalanya kan stroke bu. Masa', kita harus nunggu stroke dulu bu?? Karena memang kelainan, jadi biasanya gak ketahuan bu. Nah, daripada nunggu stroke kan mending langsung ditutup." Jelas Dr.Raditya. Mama sama Ayah manggut - manggut.
Author ingat, author juga pernah baca soal ini di internet sebelumnya. Meniru teladan Ayah yang kalau keluar dari ruangan dokter, setiap mendapat istilah baru pasti langsung mencari di google. Sejak saat itu pula, author juga jadi sering baca - baca di internet. Lumayanlah, memahami diri sendiri.
"Itu... ditutupnya gimana ya dok?? Apa harus dioperasi??" Tanya Mama cemas.
"Ah, nggak kok bu!" Dr.Raditya langsung bereaksi. "Nanti akan dimasukkan selang dari paha. Nanti selangnya akan sampai di jantung. Nanti disumpel deh." Jelasnya lagi.
"Itu nanti sadar gak dok??" Tanya mama lagi. "Ya enggaklah." Jawab Dr.Raditya. Author menghembuskan nafas lega.
"Itu selangnya nyampe??" Tanya author tiba - tiba. Sontak Mama, Ayah dan Dr.Raditya tertawa.
"Nanti kalau misalnya memang ada lubang, kalau misalnya ibu siap, weekend ini bisa langsung tindakan." Deg. Lagi - lagi author tertegun. Weekend?? Secepat itu?? Sekarang sudah hari Selasa...
Setelah bercakap - cakap beberapa kalimat lagi, akhirnya kami mengakhiri pertemuan sore itu.
"Ayah, kok selangnya bisa nyampe??" Tanya author di samping kasir. Ayah author bersandar di dinding di samping author. Sementara Mama sedang membayar.
"Kan dari paha sama jantung kan jauh yah." Protes author.
"Kan di paha ada pembuluh arteri." Jawab ayah. Seketika author teringat novel tentang penderita jantung. Di novel itu, diceritakan juga tentang tindakan dimana selang dimasukkan ke dalam paha.
"Oh iya, aku inget!" Seru author. Ayah tersenyum.
"Nah, pengetahuan itu dipakai sama tentara sama dokter." Kata ayah.
"Kalau tentara dihadapkan dalam pertarungan jarak pendek, maka salah satu titik yang harus dilumpuhkan adalah paha. Kan kalau pahanya terluka, pembuluhnya robek, nanti lawannya jadi kehabisan darah. Nah, pengetahuan itu dipake sama dokter buat yah... itu tadi." Jelas Ayah. Author manggut - manggut.
Author pun membuat tanda oke dengan jari author, lalu author berkata,
"Oke, akan kugunakan keduanya." Kata author. Ayah langsung meninju bahu author pelan. "Emangnya adek mau jadi tentara??" Seru beliau sambil tertawa. Author nyengir.
Tak lama kemudian, Mama telah selesai membayar.
"Bayarnya tadi make apa??" Tanya Ayah. Tak sengaja, author mendengarnya. "Pribadi. Kalau jantung kan biasanya pribadi." Jawab Mama.
Deg.
Inilah bagian paling membuat author gak nyaman. Selama berobat ke dokter jantung, Ayah dan Mama selalu memakai pengobatan pribadi. Ingin rasanya author berkata bahwa sebaiknya author gak usah berobat, author gak tega kalau orangtua author harus keluar banyak karena author sendiri. Kan masih ada kebutuhan lainnya.
Tapi Mama dan Ayah selalu bilang, kalau untuk kesehatan author dan kakak author, Mama dan Ayah gak akan segan - segan mengeluarkan uang untuk biaya pengobatan.
Author jadi teringat, saat kelas 4, sesaat sebelum operasi amandel.
"Ma, takut." Adu author di atas ranjang. Mama tersenyum. "Bayangin aja nanti adek bakal sembuh. Yang semangat ya dek. Sebut nama Allah banyak - banyak." Seketika author langsung membayangkan author berlari dengan riang bersama teman - teman author. Author yang tanpa beban memakai seragam olahraga dengan bahagia yang saat itu rasanya mustahil author pakai.
Author tersenyum, mengangguk.
Sampai sekarang, hal itu belum tercapai sepenuhnya.
Sampai sekarang, author belum bisa melakukannya. Bahkan ketika author sudah berganti seragam. Bukan lagi gadis kelas 4 SD yang cengeng.
Memang, author sudah bisa berolahraga, tapi tetap saja author tak bisa sepenuhnya bahagia ketika berolahraga. Tak bisa melepas rasa cemas ketika berlari.
Author tersenyum dalam hati.
Perjuangan author belum separuh jalan. Author harus semangat. Author gak boleh patah semangat. Author gak boleh putus asa. Author harus berusaha.
Author melangkah keluar rumah sakit.
Menantikan hari esok dengan senyuman.
~~~
HWAAAAAAA!!
Minna-sama!!! Give me a hug :'((
Author beneran nangis, entah kenapa, nulis chapter ini. Ehe... author emang baperan orangnya.
Terlebih memang author sudah ingin menceritakan tentang hal ini. Entahlah--apakah ini tindakan yang tepat untuk bercerita disini. Yang penting semoga Reader-san bisa mengambil pelajaran. Amiin!!
Untuk istilah - istilah di chapter ini yang Reader-san tidak ketahui, Reader-san selalu bisa bertanya pada Kak Google. Maaf author tidak bisa membantu banyak soal menjelaskan :'>.
Untuk chapter selanjutnya, masih akan bersambung ceritanya.
Yossh~~☆☆ Sampai bertemu di chapter berikutnya~~☆☆
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro