Siapa Dia?
Rasanya bagai mimpi. Melihat tajuk berita tentang penampakan makhluk-makhluk yang hanya ada di dongeng semata membuat garis kenyataan dan fantasi semakin menipis. Agnes, sebagai manusia yang berpegang teguh pada kenyataan sontak menampik hal yang beredar di internet tersebut.
"Serius, kalian bakalan percaya dengan berita itu? Yang benar saja, Blair, Victoria." Meski berkata begitu, jauh di sudut hati rasa tak enak semakin membuatnya risau.
"Tapi ini berita online, loh. Berita. Masa kamu bakal menampik berita?" Blair—gadis berambut pendek dengan warna biru—menyodorkan ponselnya di depan wajah Agnes.
Sembari menyingkirkan ponsel yang hampir mengenai hidungnya gadis itu buka suara. "Ya, ya. Aku tahu itu dari berita online, tapi bukankah banyak hal-hal yang tak benar di sana. Kalau ingin menunjukkan hal yang benar buktikan lewat berita koran."
"Dasar kolot. Kau harus mulai berpikiran terbuka, Nes," celetuk Blair sebelum kembali fokus pada ponselnya. Agnes tak peduli. Dia ingin cepat-cepat pulang ke rumah dan melupakan hal yang dirinya alami hari ini.
"Pulang aja yuk, besok juga masih sekolah, kan?" ujar Victoria, gadis yang sedari tadi diam memperhatikan perdebatan kecil kedua temannya.
Ajakan gadis itu dibalas dengan respon positif, ketiganya tanpa basa-basi segera melangkahkan kaki menuju halte bus terdekat, sekuat mungkin berusaha melupakan berita dan ilustrasi seram yang diberikan.
Meski ketiga gadis itu berusaha melupakan, para anak yang sekelas dengan mereka malah gencar membahas hal itu setiap ada kesempatan. Ada yang menghubungkannya dengan ajaran agama, ada yang mengatakan paling hanya editan, ada pula yang berkata bahwa hal ini merupakan efek manusia yang mengabaikan kondisi alam. Semua orang kebingungan, mereka sekuat mungkin mencari sumber penyebab bencana, kendati demikian hanya nihil yang mereka dapatkan.
Agnes, tak ingin terlibat dengan percakapan itu. Gadis yang sering memasang muka datar akhirnya hanya melirik dengan malas dari bangkunya. Ada Blair di sana, sorot matanya tampak berapi-api seakan menemukan hal yang sangat menyenangkan.
"Kau tak mau bergabung?" Victoria menoleh dari depan. Di tangannya ada sebuah buku tebal. Novel yang Agnes yakini bergenre utama misteri.
"Melelahkan," balasnya singkat kemudian meletakkan kepala di atas telapak tangan. Victoria diam sejenak sebelum senyumnya merekah.
"Yah, mereka memang selalu membahas hal yang sama, sih," ujarnya sebelum kembali memandang buku yang terbuka. Jujur saja, Agnes cukup penasaran kenapa dari segala genre Victoria lebih memilih membaca hal semacam itu. Maksudnya, anak-anak muda sekarang lebih banyak tertarik dengan cerita manis bertema percintaan remaja, 'kan?
"Kau, kenapa sangat suka dengan genre misteri?" Rasa penasarannya mengambil alih, Agnes pada akhirnya bertanya demikian. Victoria sendiri terdiam sejenak setelah mendengar perkataan temannya tersebut.
"Kenapa kau tanya? Ya, karena menarik."
"Menarik? Bukannya genre itu sangat memusingkan, ya? Aku saja tak tuntas membaca novel yang pernah kau pinjamkan dulu karena terlalu penuh teka-teki yang rumit." Dia kembali mengingat kenangan itu. Tepatnya, saat semester ganjil kelas satu SMA. Agnes yang ingin mengetahui tentang kesukaan temannya itu meminta saran bacaan, dan akhirnya novel berjudul "Who's the Real"* menjadi rekomendasi.
Percayalah, novel itu tak akan membuatmu bisa menebak apa-apa. Selalu ada lapisan baru dalam setiap bab, ditambah dengan petunjuk yang semakin sukar, Agnes harus menutup bukunya padahal baru dua puluh lima halaman yang dirinya baca.
Padahal, baru sehari sejak dia meminjam, tetapi otaknya sudah laksana mesin rusak.
"Ah, novel itu. Maaf, tampaknya aku terlalu menaruh harapan tinggi. Mau coba novel lain? Aku ada kok yang alurnya nggak terlalu berat."
Agnes menggeleng cepat mendengar penawaran itu. Cukup sudah, waktu itu Victoria juga mengatakan hal yang sama. Katanya alur novelnya ringan. Ya, sangat ringan sampai Agnes ingin segera menguburkan diri di lubang terdekat.
Victoria menghela napas kala melihat balasan dari Agnes. Gadis itu hanya segera balik badan dan kembali membaca. Agnes sendiri tak berniat membuka obrolan baru. Dia lebih memilih meletakkan kepala di atas meja, pikirannya ke segala tempat. Semalam, mimpinya yang selalu sama tiba-tiba berubah.
***
Agnes terbangun di tempat terbuka dengan bangunan menjulang di kanan-kiri. Gadis itu tak melihat siapa pun di sekitar. Sepi, seakan tak terjamah oleh makhluk apa pun. Merasa tak ada guna hanya berdiri, dia segera berjalan ke sekitar. Pandangannya berkeliaran ke mana-mana, memperhatikan kabut yang secara tiba-tiba mulai mengaburkan pandangannya.
Tak lama kemudian, gadis itu melihat bayangan. Wajahnya tak jelas karena seluruhnya tertutup oleh kabut, tetapi ada sedikit rambut yang terlihat, berwarna putih, hampir menyatu dengan kabut itu sendiri.
"Siapa?"
Suara itu membuatnya tertarik ke antah berantah.
***
Ketika kembali membuka mata, dia kembali berada di kelas. Ah, jangan-jangan dia tertidur saat mengingat mimpinya semalam.
"Kau tahu, sangat susah menemukan kontraktor yang cocok denganku." Suara yang terdengar tak asing membuat gadis itu memandang lurus. Seorang pemuda duduk di atas meja guru, kakinya disilang dua sedang salah satu tangan berada di dagu. Senyumnya merekah kala pandangan mereka bertemu. "Halo, senang akhirnya kamu bangun."
Dua detik setelah sadar, Agnes baru menyadari situasinya. Gadis itu sontak berdiri, menjaga jarak dari orang asing tersebut.
"Hei, tenang. Jangan panik, dong. Masa kamu bakalan panik bahkan kala kita akan bersatu."
Kerutan muncul ketika mendengar ucapan pemuda asing itu. Apa maksudnya?
"Kau tak paham?" Bukannya menjelaskan pemuda itu malah turun dari meja. Langkah kakinya bergema di kelas. Agnes penasaran, ke mana perginya teman sekelas yang sangat berisik itu? Namun, ketika sadar jarak mereka hampir dekat dia tak mau mempedulikannya. Pemuda ini aneh, perkataannya sangat rancu, dan Agnes merasakan tekanan agar tak dekat-dekat dengannya.
"Berhenti di sana." Kala dia bisa melontarkan perkataan, jarak mereka sudah terlampau dekat. Wajah pemuda yang ternyata lebih tinggi itu sudah berjarak tak jauh dari miliknya.
"Berhenti?"
Jika dia berada di novel romantis, Agnes sudah pasti terhanyut dalam suasana. Namun, dia sedang tak ada niatan untuk hal begitu. Jadi, dipasangnya ekspresi wajah yang menjadi ciri khasnya; datar.
Tak hanya itu, Agnes kemudian memandang netra merah sang pemuda dengan tajam. "Ya, berhenti. Dan bisakah kamu menyingkir? Pasokan oksigenku terkuras habis karena terhalang kepala besarmu."
Pemuda itu sendiri diam, tak menduga mendapat balasan demikian. Namun, kendati marah, dia hanya tersenyum dan menyingkirkan kepalanya dari hadapan Agnes.
"Segini cukup?" tanyanya saat mereka berada cukup jauh. Gadis itu sendiri hanya mengangguk, jadi sang pemuda kembali angkat suara. "kau tahu, aku butuh mencari kontraktor." Mulainya tak basa-basi.
"Dunia sedang tak baik-baik saja. Kau pasti tahu itu, kan?" Pada kelanjutan ucapan sang pemuda, Agnes diam saja. "dengan begitu, aku diberi misi untuk mencari kontraktor. Medium yang bisa menahan tubuhku agar tak lenyap ketika di dunia manusia."
"Kau berkata seakan-akan bukan manusia itu sendiri," komentarnya sambil lalu.
"Ya, kamu benar." Namun, alih-alih tawa, Agnes malah mendapati balasan seperti itu.
"Jadi, kamu itu sebenarnya apa?" Perasaan aneh perlahan menyusup ke hatinya, Agnes merasa, jika dia tahu tentang pemuda itu, hidupnya akan penuh dengan rintangan.
Pemuda itu memandang Agnes lekat, kemudian senyumnya terbit. "Aku? Aku adalah iblis, makhluk yang selalu manusia jadikan kambing hitam."
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro