Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

( DyBL - Bagian IV )

( ⚘ )

Hal pertama yang mengusik Langit ketika kembali ke rumah Guntur adalah teriakan Semesta. Pemuda itu yakin dugaan yang ia buat tak salah. Suara tersebut masuk dengan familier di relung telinganya. Membuat Langit serta-merta mengaplikasikan geming karena cemasnya mulai bekerja sama dengan sebidang kebingungan.

"Itu pasti suara Semesta," kata Gerhana.

Kepala Langit menoleh ke arah anak laki-laki yang lebih tua dua tahun darinya itu. Menangkap ekspresi yang sama persis seperti dengan miliknya: kaget dan khawatir.

Gerhana membalas tatapan Langit. Lantas melangkah menuju pintu masuk rumah. "Kayaknya Semesta lagi dipukulin bokap lo."

"Dipukul bokap gue?" tanya Langit sembari mengekor. Kebimbangan kian terpompa di dalam dirinya.

"Iya." Gerhana mengangguk mantap. Tangannya menekan knop. Berusaha untuk membuka satu-satunya akses rumah tersebut. "Lo nggak tahu?"

Tak ada suara yang keluar dari Langit, kecuali deru napasnya yang tertahan. Lalu di detik kemudian, ia menarik Gerhana dari depan pintu. Mengakibatkan lelaki itu terkejut dengan kekuatan yang dimilikinya. Namun, Langit tidak punya waktu untuk memberi acuh. Yang ia inginkan hanyalah dapat segera masuk dan mengetahui apa yang terjadi pada Semesta. Hingga tanpa pikir panjang, Langit mundur beberapa langkah, melakukan ancang-ancang untuk mendobrak sebelum Gerhana lagi-lagi menahannya.

"Kalau Semesta yang ada di depan pintu gimana?"

Seolah baru sadar telah melakukan kegegabahan, Langit mengusap wajah sekilas. Menimbulkan raut merengut setelahnya.

"Biar gue intip dulu," ucap Gerhana seraya berjalan ke jendela. Menerawang ke vista dari balik kaca. Ia perlu mengernyit terlebih dahulu untuk melihat dengan jelas pria yang memukul seseorang di depannya. Tidak perlu menebak, sudah pasti mereka si empu rumah. "Nggak ada yang di depan pintu. Semesta sama bokap lo di tengah ruang tamu."

Setelah menerima informasi, Langit kembali mempersiapkan diri. Lalu menubrukkan tubuhnya dengan pintu. Entah karena Langit terlalu tangguh atau pembatas rumah tersebut cukup tua, dengan satu kali dobrakan, pintu terbuka bersama beberapa engselnya. Menyebabkan Langit hampir terjerembap, jika Gerhana tak menarik lebih cepat, karena tekanan yang kuat.

Aksi kedua pemuda itu mampu menginterupsi pukulan Guntur dan teriakan Semesta. Sepasang ayah dan anak tersebut memasang air muka tergemap. Tak menyangka dengan kedatangan mereka.

Di sekon selanjutnya, tatapan Langit bertemu dengan mata basah Semesta. Sorot gadis itu penuh luka, sama dengan wajah dan seluruh tubuhnya. Membuat hati Langit kontan teriris. Tangan anak laki-laki tersebut mengepal kencang. Ia murka melihat keadaan adiknya yang kacau.

"Bangsat!" umpat Langit tak tertahan. Amarahnya sudah sampai di puncak, siap menaikkan bendera peperangan. Dengan langkah cepat, ia menghampiri Guntur. Mencengkam kerah pria itu dan menariknya menjauh dari Semesta. "Kenapa Ayah pukulin Tata?!"

Sebelumnya Langit tak pernah meninggikan suara pada orang tua. Ia merupakan tipe anak penurut yang sebisa mungkin tak melawan, tetapi keadaan kali ini mengakibatkan pemuda tersebut harus keluar dari kepribadiannya.

"Kurang ajar!" pekau Guntur tak kalah nyaring. Meringankan satu pukulan yang telak mendarat mengenai wajah si sulung.

"Langit!" jerit Semesta diikuti isakan saat melihat Langit terhuyung ke belakang karena tinjuan ayahnya.

Dengan sigap, Gerhana menahan Langit yang hampir jatuh. Lantas mendorong pelan lelaki itu agar kembali tegap dan menanyai keadaannya, "Lo nggak pa-pa?"

Jawaban sekali lagi tak keluar dari Langit. Redutnya untuk Guntur menyamarkan segala hal di sekitar. Menyebabkan ia kembali maju. Membalas serangan yang tadi Guntur berikan sampai telak mengenai rahang pria tersebut.

Mendapatkan satu hantaman dari putranya membuat Guntur membeku sejenak. "Berani, ya, lo sekarang? Jadi, ini ajaran Jora?"

Nama Kejora yang dibawa merupakan sinonim dari api, menyulut cepat ladang minyak di dalam diri Langit. Membuat remaja itu menggeram nyaring sebelum melayangkan tinju yang membabi buta. Gusarnya mengakibatkan ia tak terkendali, sehingga Guntur yang belum siap hanya bisa menangkis beberapa pukulan.

Gerak laku Langit yang tak terkontrol akhirnya mengakibatkan Gerhana turun tangan. Sebisa mungkin ia mencoba menjauhkan anak laki-laki tersebut dari ayahnya. Namun, kekuatan Langit lebih besar dari Gerhana, sampai-sampai ia harus mengeluarkan seluruh tenaga.

Di tengah pergulatan ketiga lelaki itu, Semesta menyeret diri untuk mendekat. Ia menahan kaki Langit dengan sisa energinya. Berupaya untuk andil agar Langit tak terjun makin dalam di sungai keberangan.

Alih-alih membantu, tindakan Semesta menyebabkan Gerhana kelimpungan. Dengan berat hati lepas dari perkelahian Langit dan Guntur, ia berusaha menyingkirkan Semesta supaya tak terkena terjangan yang salah sasaran.

"Ini bukan ajaran Bunda, tapi Ayah!" raung Langit bersama satu tonjokan keras mengenai Guntur. Membuat pria tersebut kehilangan keseimbangan dan terduduk di lantai. Pemandangan itu mampu menghentikan Langit. Mengakibatkannya berlutut di depan sang ayah. Ia melontarkan tatapan tajam, menyalurkan setiap keping dendam yang terbelenggu di dadanya. "Aku tahu dulu Ayah sering mukulin Bunda dan sekarang korbannya Tata?! Ayah udah kelewatan! Seharusnya dari dulu aku emang nahan Ayah supaya nggak bawa Tata!"

Setiap koherensi kalimat yang Langit lesatkan membatukan Guntur. Pria yang hampir menginjak usia setengah abad tersebut mendatarkan ekspresi. Menjadikan dirinya tak terbaca. Kemudian, dengan nyeri yang masih menyerang wajahnya, ia tersenyum dan mengirimkan satu pukulan lagi untuk Langit.

Perbuatan Guntur mengakibatkan Langit mengembuskan napas kencang. Kepalan tangan pemuda itu kembali dan mulai tak tertanggulangi. Menunu hatinya yang semula sudah padam. Sekarang ia berjanji tak akan berhenti, tidak ada kata iba lagi.

Hingga menit-menit berselang, daya Guntur habis. Menyebabkan laki-laki tersebut terbatuk dan berbaring di lantai, hanya menerima setiap gempuran yang Langit hadiahkan.

"Dulu aku belum kuat buat ngelawan Ayah, tapi sekarang aku bisa. Aku nggak bakal tinggal─"

"Langit!"

Panggilan itu tak diikuti tangisan. Suaranya sama familier, tetapi mengandung unsur keibuan. Membuat Langit benar-benar berhenti. Ia berbalik perlahan, menemukan Kejora berdiri tepat di belakangnya.

Indra penglihatan Kejora melinangkan beberapa tetes air. Keterkejutan tergambar jelas dari posenya yang menutup mulut dengan tangan bergetar. Sungguh tertumbuk dengan keadaan kaos di sekitarnya.

Di belakang Kejora berdiri muka-muka asing yang merupakan para tetangga. Sedangkan di ujung ruangan, Gerhana terduduk lunglai bersama Semesta yang tak sadarkan diri di depannya.

Sejak tadi Langit tak menyadari itu semua. Amarah yang menggari mengakibatkan fokusnya hanya jatuh pada Guntur.

"Bawa Tata ke rumah sakit," perintah Kejora.

Kepala Langit mendongak. Memandang Kejora yang mengulurkan kunci mobil. Lalu mengambil benda tersebut dan menghampiri Semesta dan Gerhana.

"Biar gue aja yang bawa mobilnya. Lo nanti jagain Semesta di bangku belakang," usul Gerhana.

( ⚘ )

Bangku besi di rumah sakit yang menanggung berat Langit terasa dingin. Angin malam menari-menari di sekeliling, menerpa tubuhnya tanpa izin. Kian membirukan atmosfer sekitar. Menjadikan perasaan pemuda itu keruh seperti genangan lumpur. Netranya mengarah ke tangan, memperhatikan warna merah yang mendominasi karena terlalu banyak menghantam Guntur. Namun, tak ada rasa sakit dari sana. Bahkan wajah lebamnya pun tidak berpengaruh sama sekali.

Hanya satu tempat yang mengurung kesesakan Langit, yaitu dadanya. Perih di sana teramat dalam. Seolah ada ribuan badik yang menancap gagah. Alasannya karena berbagai perasaan tentang Semesta yang selama ini sengsara. Berbanding terbalik dengan dirinya yang selalu dinaungi segala.

Tak habis dengan hal tersebut, pikiran Langit juga menyendat seperti alat transportasi yang terjebak di lautan kendaraan. Ia diterpa kebimbangan. Tak tahu perbuataannya tadi merupakan kebenaran atau sesuatu yang akan disesali nanti.

"Everything's gonna be okay."

Kalimat penyemangat itu diikuti tepukan di punggung Langit. Gerhana yang melakukannya. Sejak tadi lelaki tersebut setia menemani. Bahkan sampai sekarang tak terlihat punya niat untuk pergi. Bisa dilihat dari bagaimana ia menempatkan diri di sebelah Langit.

"Gue tahu ini pasti berat buat lo dan Semesta, tapi gue yakin kalian berdua bisa ngelewatin semuanya. Semangat."

"Makasih." Hidung Langit melakukan penghelaan. "Makasih juga udah bantuin gue."

Bibir Gerhana melengkung tipis. "Nggak masalah. Gue senang bisa bantuin kalian."

"Lo teman Tata? Kapan kenalnya?"

Bola mata Gerhana mengarah ke plafon sebelum menyahut, "Enam bulan lalu, pas gue masih pegang jabatan sebagai ketos di sekolah. Satu minggu setelah penerimaan murid baru, gue ngeliat Aurora nge-bully Semesta. Kasus mereka ini parah banget, nggak bisa gue hentiin sampai sekarang karena status bokap Rora yang merupakan ketua yayasan di sekolah. Ya, gue ngerasa tugas gue sebagai ketos belum kelar kalau kasus ini belum selesai, walaupun gue udah digantiin sama adik kelas, makanya gue tetap usut semuanya.

"Dan beberapa hari lalu setelah lo ketemuan sama Semesta, sepedanya hancur. Bisa lo tebak, 'kan, siapa yang ngelakuin? Iya, Aurora. Alasannya cemburu ngelihat lo berduaan sama Semesta. Terus di hari itu juga gue tahu kalau Semesta korban kekerasan bokap lo. Dia dipukulin karena pulang telat, bahkan sebelum dimintain penjelasan. Gue yang ngelihat itu, of course, nggak mungkin diam gitu aja dan untungnya bokap lo mau berhenti. Ya, udah, akhirnya setelah itu Semesta cerita semua, termasuk tentang lo. Semesta bangga punya kembaran kayak lo dan gue tahu sekarang alasannya kenapa."

Paparan panjang Gerhana yang ditutup oleh sebuah senyuman, didengar Langit dengan baik. "Makasih udah di sebelah Tata selama ini."

Anggukan kepala Gerhana lakukan. "Gue juga siap pasang telinga kalau lo mau cerita."

Langit diam. Netra pemuda tersebut mengarah ke pintu ruangan tempat Semesta tengah ditangani oleh dokter. Isi kepalanya mencoba menimbang tawaran Gerhana, yang akhirnya memutuskan untuk menumpahkan semua. Dari cerita tadi, Langit berupaya percaya.

"Gue ... takut," lirihnya.

"Takut kenapa?"

Tangan Langit menyatu erat di depan perutnya. "Takut kalau yang tadi gue lakuin salah."

Kepala Gerhana bergerak naik-turun. Mengerti maksud Langit yang gelisah kendati memakai topeng ketenangan. "Gue nggak bisa ngebenarin perbuatan lo, tapi gue ngerti. Kalau gue di posisi lo, gue yakin, gue juga ngelakuin hal yang sama. Mungkin, tetap nggak bakal berhenti walaupun Nyokap udah nyuruh stop. Ya, siapa yang nggak marah, 'kan, karena ngelihat orang yang kita percayain malah ngelakuin hal kayak gitu."

Bertepatan dengan respons anggutan Langit untuk Gerhana, suara ketukan lantai dan alas kaki menggema di dekat mereka. Kedua remaja itu menoleh ke asal suara, di mana Kejora tengah berjalan mendekat.

"Tata masih ditangani dokter?" tanya Kejora sesampainya di depan mereka.

"Iya," jawab Langit.

Tubuh Kejora pindah haluan untuk menghadap pintu yang menyembunyikan sosok putrinya selama beberapa sekon. Lantas kembali menatap para anak laki-laki tersebut. "Kalian pulang gih. Mandi terus ganti baju. Besok mesti harus sekolah, 'kan?"

Keduanya tak memberi tanggapan. Sama-sama bungkam seribu bahasa. Langit dengan posisi menunduk memandangi porselen, sementara Gerhana melengos ke kiri.

"Nggak pa-pa, biar Bunda yang jaga Tata. Ayo, cepat pulang." Kejora menjatuhkan penglihatan pada Gerhana yang masih lengkap dengan pakaian sekolah. "Apalagi kamu belum ganti baju, Bang. Pasti dicariin orang tuanya deh."

Langit menengadah, menoleh ke arah Gerhana dan ikut mengamati penampilan pemuda itu. Selanjutnya, ia berdiri. Memberikan kunci mobil pada Kejora. "Nanti aku ke sini lagi."

"Kamu tidur di rumah aja, Bang."

"Aku bakal nemenin Bunda jaga Tata," bantah Langit yang mau tak mau dituruti. Kejora juga tak tenang meninggalkan buah hati lainnya di rumah sendirian. "Ayo, Bang, gue antar ambil motor lo di rumah Bokap."

Menyadari kalimat tadi ditujukan untuknya, Gerhana akhirnya bangkit. Ia segera berdiri. Menyalami Kejora setelah Langit melakukannya terlebih dahulu.

( ⚘ )

Tatkala mengantar Gerhana untuk mengambil kendaraan, Langit mendapatkan informasi─dari wanita paruh baya yang menegurnya tadi sore─bahwa Guntur sudah diseret ke kantor polisi terdekat karena gugatan yang diajukan Kejora. Menyebabkan Langit, dengan dibantu Gerhana, turun tangan membereskan rumah Guntur yang berantakan.

Sebenarnya saat itu Langit tak ingin acuh dan langsung pulang. Akan tetapi, nalurinya tak mau menuruti. Meskipun mempunyai sebidang benci, ia tak bisa pura-pura tak melihat semuanya karena hati anak tersebut tahu, walau bagaimanapun Guntur tetaplah ayahnya.

Napas Langit keluar dengan pelan sebab pikiran itu. Kakinya terus melanjutkan niat menuju kamar inap Semesta yang─menurut kabar dari Kejora ketika Langit di rumah untuk melakukan bersih-bersih kedua kalinya─sudah selesai ditangani dan siuman.

Sesampai di depan ruangan, Langit masuk dengan salam tanpa mengetuk. Kemudian, telinganya diupahi dentingan nyaring dari pertemuan pisau buah dan lantai. Membuat ia cepat-cepat membagi sorot ke asal suara dan Semesta yang merupakan dalang dari kejadian tersebut.

"Ka-kamu datang ...," ujar Semesta sangat pelan. Nyaris tak terdengar. Mukanya yang mula-mula terkejut dengan kehadiran Langit, membentuk senyum tipis. Ia mengamati setiap pergerakan Langit yang mendekat, mengambil pisau jatuh dengan sebelah alis terangkat. Dari mimik pemuda itu, Semesta tahu telah lahir segaris kebingungan. "Aku mau makan buah aja kok."

Kepala Langit berjengit. "Nanti aku cuci pisau buahnya. Bunda ke mana?"

"Ne-nebus obat."

"Ya, udah, aku mau cuci dulu."

"I-iya ...." Lengkungan bibir Semesta melebar. "Makasih, Langit."

( Dia yang Bernama Langit - Bagian IV )

Kalau mau baca cerita dari seri Bianglara lainnya, bisa cek di CreaWiLi, ya.

The simple but weird,
MaaLjs.

7 Juni 2019 | 18.00

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro